Selasa, 16 November 2021

Biografi Politik Soeharto karya O. G. Roeder

 
Gambar Ilustrasi saja
 Biografi Politik Soeharto karya O. G. Roeder
 biografi politik, resensi buku
 
Biografi politik Soeharto karya O. G. Roeder ini ditulis dalam Bahasa Inggris. Judulnya The Smiling General President Soeharto of Indonesia. Roeder sendiri seorang Jerman. Senyum, adalah bahasa non verbal yang populer dilekatkan pada Soeharto, presiden kedua Republik Indonesia. Buku ini tidak pelak adalah sebuah biografi politik yang perlu dibaca pecinta Ilmu Politik apa pun motivasinya. Apa yang akan disampaikan artikel ini tidak lain 'pengulangan' dan 'interpretasi' atas semua yang dikatakan Roeder mengenai Soeharto. 
Soeharto awalnya adalah 'nobody.' Ia cuma anak kampung Kemusuk, lahir dari ayah seorang ulu-ulu (namanya Karto atau Kartoredjo, pekerjaannya pengatur irigasi) dan ibu seorang desa biasa (namanya Fatimah). Tidak ada aneka peristiwa supranatural yang kerap mengiringi lahirnya seorang tokoh penting hadir dalam biografi ini. Tidak ada hujan meteor, letusan gunung, gelegar petir di siang bolong, atau terlebelahnya bumi mengiringi kelahirannya. Soeharto, manusia biasa, lahir dari orang tua kampung biasa, kemudian tumbuh layaknya anak kampung biasa. Tidak ada yang istimewa.

Saat beranjak kanak-kanak, remaja, dan menjelang dewasa, kisah hidup Soeharto pun biasa-biasa saja. Tidak ada hal istimewa, hal yang bisa dijadikan bahan untuk diceritakan berulang-ulang di aneka kesempatan, seperti banyak dilakukan aneka tokoh politik. Umumnya, tokoh politik biasa mereplay kisah 'istimewa' mereka untuk menegaskan 'kebesaran' dirinya. Pada Soeharto? Semua tampak begitu biasa-biasa saja dan apa yang bisa dianggap istimewa dari masa kecil yang miris dari dirinya. Kendati pun memang ada yang ia ceritakan berulang-ulang, itu pun cuma kisah biasa.

Nama 'Soeharto' diberikan oleh seorang tetua desa, bukan oleh ayah kandungnya, demikian kebiasaan di Kemusuk. Segera begitu ia lahir, orang tua kandungnya bercerai. Dipeliharalah ia oleh neneknya dari pihak ayah. Penduduk Kemusuk melihat neneknya itu sepenuh hati mengasuh sang cucu. Kesepenuhhatian sang nenek ini mungkin muncul dari rasa iba akan nasib si anak. Sekali lagi, pun, kisah seperti ini banyak terjadi pada seluruh orang biasa di Indonesia. Demikian pula, saat ia berusia 4 tahun, ibu kandungnya menikah lagi (oya, ayah kandungnya pun sudah menikah lagi sebelumnya) dan ia kembali tinggal dengan sang ibu berikut... seorang ayah tiri. Setahun setelah ia tinggal bersama sang ibu kandung, lahir adik tirinya bernama Sucipto. Saat tinggal bersama ibu kandung, Soeharto masuk jenjang sekolah dasar. Lalu, saat berusia 9 tahun, kembali ia diambil diam-diam oleh ayah kandungnya untuk kembali dioperasuhankan: Bukan diajak tinggal bersama ayah kandung (dan ibu tiri, tentunya), tetapi dititip pada keluarga bibi (adik kandung ayahnya) di luar Kemusuk.

Perkembangan masa kanak-kanak Soeharto ini tentu saja tidak terlampau membahagiakan, tetapi tentu banyak terjadi di keluarga-keluarga lain. Bahkan semakin marak di era milenial ini. Bagaimana seorang anak berkali-kali berpindah asuhan di usia golden age. Entah bagaimana tanggapan seorang psikolog anak mengenai dampak 'pindah-pindah asuhan' atas pembentukan watak dan kepribadian mereka di masa datang.

Ia lalu tinggal bersama keluarga bibinya yang bersuamikan Prawirodiardjo. Kondisi sekolah di kota bibinya tentu lebih baik ketimbang kampung tempat ayah kandungnya. Tahun 1930, keluarga Prawirodiardjo pindah ke Wuryantoro, yang lokasinya dekat kota kecil Wonogiri (48,9 km selatan Solo). Wuryantoro adalah wilayah rural, bukan urban seperti Surakarta. Di Wuryantoro, Soeharto duduk di kelas 3 dan dalam perkembangannya, ia dipercaya Kepala Sekolah untuk mengelola perpustakaan kecil. Untuk setiap buku yang dipinjam, peminjam dikenakan charge 2 sen. 

Saat sekolah di Wuryantoro, Soeharto pernah terlibat perkelahian dengan anak Mantri Polisi. Saat bertarung, mereka dikelilingi kerumunan anak-anak lain yang menikmati 'pertunjukan' baku-hantam tersebut. Akhirnya keduanya 'petarung' disetrap Kepala Sekolah (namanya Djojosujitno). Perkelahian anak-anak, sekali lagi, sesuatu yang terlampau biasa terjadi. Bukan sesuatu yang istimewa terjadi di masa kecil seorang pemimpin besar Republik kelak di kemudian hari. 

Di Wuryantoro, sepulang sekolah, Soeharto mengaji Al Qur'an layaknya anak-anak lain seusianya. Kegemaran Soeharto kecil lainnya adalah bermain slepetan, permainan kampung yang sungguh biasa dimainkan oleh anak-anak lain sebayanya. Hanya saja, sang paman kurang suka atas kegemaran Soeharto yang satu ini. Sebab itu, Soeharto berupaya menyenangkan hati pamannya dengan bercocok tanam tumbuhan yang bisa digunakan untuk penganan sehari-hari. Kegiatan ini dilakukannya di halaman belakang rumah. 

Di Wuryantoro juga, Soeharto bergabung dengan Hizbulwathan sebuah gerakan pemuda Islam. Kendati bernuansa agama, organisasi ini juga mengajarkan gagasan nasionalis. Namun, sekali lagi, Soeharto tidak menonjol dan kembali: biasa-biasa saja. Soeharto tidak menjadi anggota ideologisnya untuk kemudia mendorong ia punya cita-cita besar demi bangsa dan negara. Tidak ada yang istimewa terjadi padanya saat jadi anggota organisasi tersebut. 

Setelah rampung 4 tahun jenjang pendidikan dasar, ia melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah bawah. Kembali, Soeharto pindah dan kali ini ke Wonogiri bersama Sulardi, sepupunya (anak Prawirodirdjo). Mereka tinggal dengan anak sulung Prawirodirdjo yang sudah menjabat demang tani. Sulardi dan Soeharto kerap kekurangan uang. Mereka hanya mendapat uang saku 3 sen per hari dan sekadar cukup untuk naik kereta api sebagai alat transportasi ke sekolah. Untuk itu, kadang mereka menumpang andong, kereta kuda beroda empat. Dengan uang yang bisa disisihkan, keduanya bisa membeli baju dan permen. Rejeki datang lebih besar saat Sulardi diberi sepeda bekas oleh kakaknya: Soeharto dan Sulardi kini bisa berboncengan ke sekolah dan uang pun lebih banyak bisa dihemat. 

Soeharto dikhitan pada usia 14 tahun, cukup telat untuk anak sebayanya. Prosesinya sekadar diiringi selametan kecil-kecilan dengan menanggap wayang kulit. Suatu yang biasa dilakukan masyarakat setempat. Keterlambatan khitan ini pun bisa dimaklumi sebab tidak ada satu otoritas sentral dalam masa kanak-kanan dan remaja Soeharto yang sifatnya permanen, dalam menentukan pola baku pendidikan anak ini. Saat berusia 15 tahun, Soeharto menjelma jadi seorang remaja laki-laki yang jangkung dan kuat. Namun, kembali, ia harus berpindah tempat tinggal. Kali ini ke Wonogiri untuk tinggal bersama seorang kawan ayahnya bernama Hardjowijono yang tidak punya anak. Di sini Soeharto mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari, membawa hasil jahitan istri Hardjowijono ke pasar (Soeharto juga kerap membantu ibu semangnya menjahit baju). Pelanggan bajunya di pasar tertarik pada kerajinan Soeharto dan menawarkannya untuk tinggal bersamanya. Namun, Soeharto menolak dan tetap memilih tinggal bersama Hardjowijono. 

Hardjowijono beragama secara cukup puritan yang mungkin diakibatkan oleh pengaruh dari Kiai Darjatmo, gurunya. Kiai Darjatmo selain menguasai ilmu agama juga dikenal sebagai dukun, sebutan untuk paranormal di desa. Ini adalah hal lumrah di dalam pola kemasyarakatan Jawa Tengah, di mana dunia fisik dan metafisik berkelindan secara harmonis.  Kiai Darjatmo kerap ceramah tentang apa yang terkandung di dalam Al Qur'an kepada jamaahnya. Namun, sebagai seorang Jawa, ia juga percaya pada mistik. Puasa dan meditasi semalam suntuk kerap diamalkan oleh Kiai Darjatmo. Sudah bisa diduga Soeharto pun tidak lama kemudian berpindah tempat tinggal: Dari keluarga Hardjowijono ke Kiai Darjatmo. 

Setelah shalat subuh bersama di awal hari, rutinitas Soeharto adalah menemani Kiai Darjatmo beraktivitas. Ini termasuk dalam aneka kunjungan Kiai ke wilayah lain. Kiai Darjatmo ini juga punya profesi sama seperti ayah kandung Soeharto: ulu-ulu. Kiai Darjatmo hendak memperkenalkan sistem subak yang berhasil di Bali ke daerah Wonogiri. Juga, sebagai dukun, Kiai Darjatmo banyak kedatangan pasien dengan aneka masalah hidup: sakit 'buatan', pernikahan tanpa anak, perselingkuhan, perceraian, masalah bisnis, masalah dengan pejabat pemerintah, rumah berhantu. Semua hal ini menarik perhatian Soeharto. 

Kembali, setelah ia merasa kerasan di rumah Kiai Darjatmo, Soeharto harus pindah ke rumah ayah kandungnya di Kemusuk (tentu serumah dengan ibu tiri. Dari sana, ia berkendara sepeda untuk bersekolah di lembaga yang dinaungi Muhammadiyah, yang berlokasi di Yogyakarta. Di sekolah tersebut, Soeharto pertama kali bersentuhan dengan gerakan protes nasional anti kolonial Belanda. Namun, seperti biasa, Soeharto tidak larut dan tetap 'biasa-biasa' saja, tidak heroik, tidak menonjol, dan memilih tetap sebagai awam politik. Ia tetap berkonsentrasi sekolah dan lulus tahun 1939. 

Setelah rampung sekolah setara SMP ini, Soeharto kesulitan untuk melanjutkan studi. Ayahnya menyerah soal biaya dan menganjurkannya untuk mencari pekerjaan. Dari upah pekerjaan ini, nasehat ayahnya, Soeharto bisa melanjutkan sekolah. Untuk itu satu episode baru dalam hidup Soeharto dimulai: survival of the fittest. Soeharto cuma orang kecil, tidak punya pergaulan dengan tokoh-tokoh terkemuka, dan cuma orang kampung biasa yang coba cari kerja ke sana ke mari. Pekerjaan 'enak' seperti apa yang bisa diharap seorang Soeharto?

Karena tidak kunjung mendapat pekerjaan, ia putuskan kembali ke Wuryantoro, lingkungan yang cukup dikenal dan mengenalnya. Alhasil, di Wuryantoro ia diterima bekerja selaku pegawai magang sebuah bank desa (istilah waktu itu volksbank). Pekerjaan itu tidak ia sukai, tetapi mau apa lagi diperbuat. Seragam kerjanya adalah sarung, blangkon, dan beskap. Tugasnya menemani klerik bank yang menawarkan kredit pada petani, pedagang, dan pebisnis kecil. Tibalah suatu saat, sarung yang ia pakai (ternyata pinjaman dari bibinya) robek saat ia jatuh dari sepeda. Bibinya bilang, "Harto, itu satu-satunya sarung terbaik yang saya punya. Saya ngga bisa pinjamkan kamu lainnya." Itulah akhir karir Soeharto sebagai pegawai magang volksbank. Kembali, Soeharto jadi pengangguran.

Ia sempat dapat informasi dari salah satu kawan bahwa ada lowongan kerja di Angkatan Laut Belanda. Namun, lowongan itu adalah koki, 'profesi' yang hampir seumur hidup ia lakukan saat tinggal menumpang dari keluarga satu ke keluarga lain di masa kanak-kanak dan remajanya. Soeharto enggan melamar, lalu memutuskan pergi ke Solo. Perlu dijelaskan sebelumnya, tatkala masih kerja di volksbank Soeharto pernah mengirim aplikasi ke Royal Netherlands Indies Army (KNIL). Namun, jawaban dari KNIL tak kunjung ia peroleh saat masih di volksbank. 

Soeharto mencoba mencari peruntungan di Solo. Namun, di kota itu pun tiada pekerjaan ia peroleh. Akhirnya, ia putuskan kembali lagi ke Wuryantoro, tepatnya, ke rumah paman dan bibinya (keluarga Prawirodiardjo). Di saat menganggur ini, ia terlibat dalam pembangunan mesjid desa, di mana anak-anak muda dibutuhkan keahlian dan tenaganya. Demikianlah, masa-masa di Wuryantoro ini adalah sebagian besar waktu ia menghabiskan 'profesi' joblessnya.

Ternyata, aplikasi yang ia kirim ke KNIL di waktu lampau beroleh jawaban. Masa itu, Belanda tengah menghadapi tekanan negara Axis. Datang seorang tukang pos ke Wuryantoro membawa surat panggilan dari KNIL untuk Soeharto. Mungkin karena bakatnya (atau mungkin motivasinya yang begitu kuat karena bosan menganggur, .red), ia lalu diterima di sekolah militer KNIL di Gombong, Jawa Tengah, pada tanggal 1 Juni 1940. Sebelumnya, Soeharto tidak punya ketertarikan kuat atas dunia militer. Alasan sederhananya bergabung ke KNIL (tentu selain daripada menganggur, .red) adalah agar bisa keliling daerah, melihat-lihat kehidupan di tempat lain. Di sekolah militer inilah, Soeharto mulai merasa dirinya telah menemukan 'keluarga' dan 'tempat tinggal' tetap, setelah berkali-kali dioperasuhkan antar keluarga dan teman keluarga. Di sekolah militer KNIL ini Soeharto mulai berpikir untuk membangun karir di bidang militer sebagai serdadu pribumi yang 'berbakti' pada Belanda. Namun, Soeharto tidak pernah 'terbelandakan' karena ia adalah tetap orang Jawa tulen.

Saat masuk, Soeharto adalah prajurit tanpa pangkat jelas. Setelah 6 bulan training dasar kemiliteran ia ditunjuk untuk mengikuti Sekolah Kader Militer di Gombong. Peristiwa itu terjadi tanggal 2 Desember 1940. Setelah lulus, ia berpangkat kopral dan ditempatkan di Batalion XIII Rampal, Malang, Jawa Timur. Soeharto pun dijadikan kadet percontohan dalam waktu singkat, dan buahnya adalah promosi dirinya menjadi Sersan. KNIL di Indonesia didominasi suku Manado dan Ambon. Kehadiran seorang kadet model dari Jawa tentu menjadi bahan pembicaraan.

Belanda diduduki Jerman tahun 1940. Berita menyebar sampai ke Indonesia. Muncul aneka demonstrasi pro kemerdekaan Indonesia, rapat-rapat umum diselenggarakan, lagu Indonesia Raya mulai dinyanyikan secara lebih terbuka, kendati kolonial Belanda tetap melarang. Soeharto, pada sisi lain, berharap Jepang segera datang dan melakukan perang terbuka dengan Belanda, di mana Soeharto adalah salah satu serdadunya di KNIL. Namun, harapan ini punah manakala Letjen Ter Poorten, Komandan Aliansi Belanda-Sekutu menyerah pada Jepang dan ditawan. Lalu, bagaimana nasib Sersan (KNIL) Soeharto? Soeharto melarikan diri bersama sejumlah rekannya. Ia sembunyi di rumah kerabat Prawirodiardjo di Wonogori, dekat Solo. Di sana Soeharto terkena malaria, dan harus bed rest.

Seperti umum diketahui, Jepang menjalankan politik mengambil hati bangsa Indonesia lewat slogan Tiga A. Jepang membentuk Heiho, prajurit pembantu tentara Jepang. Diikuti dengan pembentukan PETA, sebagai antisipasi menghadapi serangan sekutu di masa datang. Soeharto mendengar pembentukan PETA oleh Jepang ini. Semangatnya kembali bangkit. Bersama sejumlah kawan, ia mendaftar sebagai relawan Keibuho (banpol Jepang) tanggal 1 November 1942. Lalu, ia dikirim ke Yogyakarta. Di sana ia dipekerjakan sebagai asisten Kepala Polisi Jepang di Yogyakarta. Namun, Keibuho bukanlah PETA. Soeharto lebih tertarik untuk masuk PETA.

Atas masukan dari atasannya, Soeharto beralih menjadi prajurit PETA. Kembali, ia menjalani training militer. Pengalamannya di KNIL sangat membantu latihan berat yang ia jalani di Sekolah Militer Jepang. Di sekolah ini, bahasa, semangat, dan budaya yang digunakan adalah Jepang. Pada tanggal 8 Oktober 1943, Soeharto dipromosikan jadi Shodanco (setara komandan Peleton) dan dikirim ke markas PETA di Wates, sebelah timur Yogyakarta. Dari Wates, ia dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat, untuk kembali menempuh sekolah militer. Usai tamat, ia beroleh promosi menjadi Cudanco (setara Komandan Kompi). Promosi ini terjadi tahun 1944.

Setelah berpangkat Cudanco Soeharto ditugaskan pada unit PETA di Solo. Ia tidak lama di sana, sebab kemudian dipindahtugaskan lagi ke Madiun, Jawa Timur, sebagai staf di Markas PETA. Tugasnya sebagai instruktur dan pelatih militer. Di sana ia dikenal punya metode yang tegas, tetapi tidak brutal. Saat Soeharto bertugas, di wilayah lain banyak bermunculan pemberontakan PETA terhadap tentara pendudukan Jepang. Muncul situasi tegang antara tentara Jepang dengan PETA yang pribumi. Salah satu pemberontakan PETA terjadi di Blitar, Jawa Timur. Soeharto ikut serta dalam unit pemberontak ini. Akar masalah pemberontakan adalah perilaku tentara Jepang yang tidak bisa diterima serdadu PETA pribumi.

Namun, pemberontakan PETA di Blitar ini disikapi Jepang secara efektif. Pemberontakan langsung padam, korps perwira PETA pribumi dibekukan, beberapa dipensiunkan, lainnya dipenjara. Soeharto termasuk penerima sanksi dua yang terakhir ini. Ia ditahan di Brebek, Jawa Timur. Namun, ada atasannya yang orang Jepang dan simpati padanya, 'mengasingkannya' ke kaki Gunung Wilis, wilayah sepi dan jauh. Di sana, Soeharto melanjutkan latihan kemiliteran dengan unitnya. Namun, situasi lalu berubah cepat.

Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada sekutu. Ini disusul proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 (saat itu bulan puasa). Soeharto, yang berpangkat Cudanco mengetahuinya saat tugas di Madiun. Segera ia kembali ke kaki Gunung Wilis. Situasi galau terjadi di sana. Setelah bermusyawarah, Soeharto beserta unitnya memutuskan untuk membubarkan diri, dan ini pun salah satu perintah yang diberikan Markas Besar PETA. Demikianlah, karir Soeharto sebagai Cudando berakhir.

Soeharto, orang biasa, yang berusaha untuk bertahan hidup. Pertama menjadi pegawai magang di volksbank. Kedua, menjadi sersan KNIL Belanda dan Cudanco PETA Jepang. Ketiga, Soeharto bukan orang yang terkoneksi dengan pusaran gerakan kemerdekaan Indonesia. Keempat, Soeharto adalah outsider dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, bukan siapa-siapa. Ia tidak seperti para pemuda pribumi lain dengan pemahaman politik dan ideologi berkobar-kobar layaknya Aidit, Wikana, Johan Syahroezah, Sukarni, atau Amir Sjarifuddin. Tidak seperti kaum muda tersebut, Soeharto sama sekali tidak punya peran dalam detik-detik kemerdekaan Indonesia. Kelima, dalam konteks pergerakan Indonesia menuju merdeka, Soeharto tidak punya peran (atau dapat pula dikatakan tidak paham arah politik dalam konteks tersebut, .red). Soeharto sekadar 'penonton', awam politik, orang biasa yang sekadar ingin bertahan hidup di dunia yang serba sulit. Keenam, Soeharto sekadar orang Jawa kebanyakan yang sekadar ingin meniti karir militer, punya pekerjaan, dan tentu penghasilan, terlepas dari siapa yang mensponsori pasukan di mana karir militer tersebut dititi. Dalam logika ini pula, merdekanya Indonesia menjadi babak baru karir militer Soeharto.

Tanggal 20 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX menyatakan dukungan terbuka atas kemerdekaan Indonesia. Segera dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang fundasinya adalah para bekas PETA. Eks Cudanco Soeharto memasuki Yogyakarta di pertengahan Agustus 1945. Situasi saat itu dicengkeram demam Kemerdekaan, dan ini mencengangkan Soeharto the pragmatist. Tercengang dengan situasi tersebut, Soeharto batal pulang kampung dan pilih menetap di Yogyakarta. Di kota perjuangan itu, ia tinggal di rumah seseorang yang masih punya hubungan kerabatan. Tempat tinggal kerabatnya itu dekat dengan dengan rumah Sukiman Wirosanjoyo, tokoh Masyumi. Soeharto banyak mendengar diskusi politik dan debat-debat panas. Ini adalah pengalaman baru baginya. Pengalaman yang tidak pernah ia alami di barak-barak militer KNIL dan PETA yang dipenuhi kaum pragmatis. Dapat ditebak, Soeharto memutuskan ikut dalam arus besar Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Angin kuat dalam pandangan Soeharto berhembus demi kemerdekaan Indonesia.

Di awal revolusi kemerdekaan, usia Soeharto sudah 24 tahun. Pilihannya jelas, berpijak di dunia militer demi mendukung revolusi kemerdekaan Republik muda ini. Ia kumpulkan kawan-kawan di PETA dahulu dan terpilihlah ia sebagai Deputi Komandan. Omar Slamet, seniornya, jadi Komandan. Tanggal Soeharto masuk BKR adalah 5 Oktober 1945. Bagi Soeharto, persoalan utama BKR adalah kurangnya senjata modern. Saat Omar Slamet, komandannya, tugas ke Madiun, Soeharto mengambil inisiatif merebut senjata di garnisun Jepang di Kotabaru. Terjadi pertempuran sepanjang 12 jam yang dimenangkan pasukan Soeharto. Amunisi dan senjata Jepang di garnisun itu jatuh ke tangan mereka. Keputusan Soeharto menyerbu garnisun ini akan fatal apabila ia kalah (beruntung ia menang). Apabila ia kalah, maka karir militer dapat dipastikan terganjal bahkan berpotensi masuk pengadilan perang. Untung saja, serangannya berhasil. Yogyakarta secara umum kini ada di tangan Republikan. Empat batalion didirikan. Soeharto sendiri diangkat menjadi Komandan Batalion X. Anggota batalionnya ini mayoritas terdiri atas para penyerbu garnisun Jepang di Kotabaru itu.

Bulan Oktober 1945, sekutu Inggris-Australia di bawah Letjen Sir Philip Christison mendarat di Indonesia. Tentara Belanda (NICA) ikut mendompleng. Ini dianggap pemuda revolusioner Indonesia sebagai cikal-bakal kembalinya kolonial Belanda. Mereka tidak sudi lagi dijajah. Perang atau mati adalah zeitgeist pemuda waktu itu.

Saat sekutu sampai di Jawa Tengah, wilayah perang jadi lebih dekat ke Yogyakarta. Unit yang dipimpin Soeharto (Batalion X) ditransfer ke Magelang. Bersama unit-unit lain, Batalion X membentuk Resimen tempur di bawah pimpinan Letkol Sarbini. Setelah bertempur dengan Republikan, sekutu mundur ke Ambarawa, lalu ke pelabuhan Semarang. Sekali lagi, Yogyakarta jadi relatif aman untuk sementara. Kini, Soeharto naik pangkat jadi Letkol. Perhitungan dan keberaniannya di medan perang mendapat perhatian khusus dari Jenderal Sudirman, sang Komandan Divisi. Dengan pangkat barunya, Soeharto diangkat menjadi komandan Resimen. Resimen ini terbentuk dari sejumlah Batalion, termasuk Batalion X yang dulu dipimpinnya. Namun, kendati naik jabatan, Soeharto merasa kehilangan. Ini akibat ikatan emosionalnya yang kuat dengan para anggota Batalion X.

Soeharto kini menjadi Komandan Resimen wilayah Semarang. Sayangnya, anggota pasukannya masih kurang perlengkapan tempur. Soeharto adalah prajurit lapangan, dan ia sangat memperhatikan seragam, amunisi, dan senjata pasukan karena pertempuran bisa terjadi setiap saat. Soeharto pun tetap dikenal sebagai komandan yang konsisten menerapkan disiplin militer. Ia sangat marah apabila ada anggota pasukan yang sengaja meninggalkan senjata di sela-sela perpindahan pasukan. Ia berkata tegas akan menghukum siapapun yang meninggalkan atau tidak merawat senjata sebaik-baiknya.

Diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno-Hatta bukan lantas membuat Belanda diam. Belanda terus melancarkan upaya untuk kembali mencengkeramkan kuku-kuku eksploitatifnya atas Indonesia. Sebab itu, selain melancarkan aksi militer, Belanda juga melancarkan aksi diplomatik. Pemerintah Indonesia 'terpaksa' banyak melakukan perudingan dengan Belanda. Hal ini tidak disukai oleh sejumlah pejuang kemerdekaan, termasuk Tan Malaka. Saat Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia, memerintah, Tan Malaka berkongsi dengan Mayjen Sudarsono menculik Sjahrir. Tujuan dari penculikan adalah menekan pemerintah untuk meninggalkan jalur perundingan dan mengobarkan perang rakyat semesta. Tuntutan minimum kelompok Tan Malaka adalah kemerdekaan 100% bagi Indonesia.

Soeharto, yang awalnya relatif jauh dari pusaran politik, pun ikut terseret. Saat itu pertengahan tahun 1946, ia tengah menjadi Komandan Resimen wilayah Yogyakarta. Saat itu berhembus isu kup yang dipicu penculikan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Soeharto diperintahkan menghadap Sukarno di istana Sultan Yogyakarta. Saat bertemu, terjadilah pertemuan dua kontras: Sukarno dan Soeharto. Karakter Sukarno yang emosional, percaya diri, dan determinatif, lengkap dengan misi politik yang jelas bertemu dengan karakter Soeharto yang sekadar seorang prajurit tempur, dengan lingkup pemahaman terbatas atas tugas keprajuritan, dan pola pikir lugas. Kontras pun terjadi antara nuansa visioner (Sukarno) dengan cita-cita tinggi di langit dengan pragmatisme (Soeharto) dengan 'kaki' sepenuhnya berpijak di tanah Jawa.

Sukarno memerintahkan Soeharto menangkap Mayjen Sudarsono, perwira militer yang menculik Sjahrir. Soeharto terkejut, karena ia harus menangkap atasan langsungnya yang merupakan Komandan Divisi. Soeharto lalu meminta pernyataan tertulis Sukarno soal perintah, ataupun dari Jenderal Sudirman. Sukarno lalu marah atas kekeraskepalaan dan keawaman politik Soeharto dan (seperti dicatat Roeder) berkata, "I am the supreme Commander of the Armed Forces, if you please ... General Sudirman himself is involved in the affair. We are in an emergency situation, mind you." Di sini seorang politisi kampiun memarahi anak muda yang naif.

Soeharto akhirnya pergi menemui Mayjen Sudarsono, bukan untuk menangkap, melainkan "mengundangnya" ke markas Resimen. Di sana mereka melakukan musyawarah. Letkol Soeharto menekankan keberadaan pasukan liar yang cukup kuat di wilayah dekat Yogyakarta. Pasukan liar itu siap membela Sjahrir dan aneka kebijakannya. Mungkin yang dimaksud Soeharto soal pasukan 'liar' itu adalah Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Singkat kata, mereka (Sudarsono dan Soeharto) bersetuju untuk memberi laporan kepada Jenderal Sudirman, dan menunggu perintahnya.

Jenderal Sudirman memerintahkan Mayjen Sudarsono melapor ke Markas Besar Tentara. Namun, setelah meninggalkan markas Soeharto, Sudarsono tidak menjalankan perintah tersebut. Ia malah mengumpulkan para pengikut radikalnya dan mempersiapkan pertemuan di keesokan hari. Pertemuan itu tidak memasukkan Soeharto sebagai pesertanya. Tujuan pertemuan adalah mencapai kata sepakat di antara para perwira yang dekat dengan Sudarsono. Pernyataan akhirnya pertemuan tersebut intinya mendesak Presiden segera menyusun 'Dewan Pimpinan Politik' dan kabinet baru.

Kini, Soeharto waspada akan kemungkinan putsch. Baginya, tindakan Sudarsono telah melanggar disiplin militer karena Sudarsono tidak mematuhi perintah Sudirman. Pelanggaran ini akan mendorong perpecahan lebih luas di kalangan angkatan perang, sementara Belanda terus merangsek. Kesimpulan Soeharto adalah, ada plot yang jelas soal pemberontakan perwira, dan ia harus memberi informasi ini kepada Presiden dan meyakinkannya (Sukarno) bahwa ia (Soeharto) akan memberi dukungan penuh dalam menindak segala tindakan yang tidak punya dasar hukum jelas. Lewat seorang kurir, Soeharto memberi pesan kepada Sukarno. Intinya, ia akan sepenuhnya menjamin keselamatan Presiden dan Pemerintah Republik.

Demikianlah, saat Mayjen Sudarsono datang ke istana (istana Sultan Yogyakarta, maksudnya, .red), ia segera ditangkap oleh pasukan pengawal Presiden. Pada pihak lain, Soeharto melakukan pemastian keamanan dan ketertiban di Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai affair 3 Juli. Berkat kelihaian diplomasi dan militer Soeharto, affair tersebut berhasil dilalui tanpa diletuskannya satu pun butir peluru bermesiu. Juga, pada satu sisi, Soeharto tidak kehilangan muka akibat menentang atasan langsungnya (Mayjen Sudarsono). Serta, pada sisi lain, ia tidak mengabaikan spirit keprajuritannya  untuk melindungi negara dan pemerintahan yang sah. Peristiwa inilah yang menyeret Soeharto ke pusaran politik praktis level nasional. Dalam peristiwa ini dua masalah pelik terselesaikan, masalah yang selalu menghantui Indonesia hingga tahun artikel ini dibuat. Hirarki otoritarianme militer dan Hirarki pemerintahan sipil. Mulai saat itu, Soeharto distereotipkan sebagai serdadu militer yang 'keras kepala' dan 'sulit ditangani.'

Konflik bersenjata tidak hanya muncul antara pasukan Republik versus Belanda. Konflik bersenjata juga muncul antara pasukan reguler pemerintah versus kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan partai politik. Ini dicontohkan oleh Madiun Affair yang diawali serangan mendadak kelompok bersenjata komunis pro Musso tanggal 18 September 1948 jam 3 pagi. Sesungguhnya, peristiwa Madiun ini kompleks. Untuk keperluan artikel ringkas ini, hanya akan kami muat poin-poin tertentu, utamanya yang berhubungan dengan peran Soeharto.

Kekuatan bersenjata 'kiri' Madiun dipukul mundur oleh sebuah Brigade dari Divisi Siliwangi di bawah komando Letkol Sadikin. Soeharto, sebagai komandan salah satu Resimen terkuat di Jawa Tengah, tidak ikut ambil bagian dalam antisipasi serangan secara langsung. Peran Soeharto di peristiwa ini ada di fase awal.

Atas perintah Jenderal Sudirman, Letkol Soeharto dikirim ke wilayah yang rusuh sebelum peristiwa Madiun terjadi. Tugas utamanya melakukan mediasi terhadap aneka pasukan non reguler di sana. Di sana, ia dikonfrontasi oleh aneka pertanyaan dari para pemimpin militer yang nantinya terlibat dalam peristiwa Madiun. Bahwa tujuan Madiun affair adalah memelihara elan revolusi-progresif, yang harus dilindungi, terutama atas adanya ancaman tekanan dari Divisi Siliwangi. Mengutip Roeder, Soeharto menjawab, "We are now facing an imminent attack from the Dutch. We must unite against the enemy's threat. Bloodshed among Indonesians must stop immediately." Namun, mediasi antara Soeharto dengan mereka mengalami jalan buntu. Tidak ada konsensus tercapai, misinya gagal, dan akhirnya Soeharto kembali ke Yogyakarta. Madiun affair, kendati berskala terbatas, telah membentuk pemahaman di kalangan Angkatan Darat, tidak terkecuali Soeharto, seputar karakter kelompok 'kiri' khususnya PKI. Kendati terjadi sejumlah bentrokan senjata Madiun, Solo, dan wilayah sekitarnya, tetapi itu semua tidak mampu menjangkau dan berpengaruh atas Yogyakarta: Ibukota perjuangan. Madiun affair padam secepat perencanaan oleh para penggagasnya, khususnya Musso dan Amir Sjarifuddin. Musso ditembak mati dalam masa pelarian, Sjarifuddin ditembak mati melalui proses pengadilan. Kabinet yang tengah memerintah saat itu adalah Kabinet Hatta.

Akhir 1947, Soeharto mengunjungi paman dan bibinya: Keluarga Prawirowiardjo. Bibinya menanyakan kapan Soeharto menikah. Soeharto menjawab belum terpikir, calon pun belum ada. Alasannya ia sibuk memimpin Resimen. Namun, bibinya terus mendesak. Akhirnya, Soeharto menyerah dengan menjawab (seperti dicatat Roeder), "Well, mother, even if I were to follow your advice, I don't know a girl I would like to marry. Whom do you think I should ask?" Demikian jawaban Soeharto saat didesak menikah oleh bibinya. Lalu bibinya berujar, dengan mengingatkan Soeharto tentang Hartinah, seorang gadis yang dulu pernah sekelas dengan Soeharto saat masih sekolah dasar di Wuryantoro. Soeharto pun masih ingat gadis itu. Soeharto bertanya balik pada bibinya, "But do you think, mother, that her parents would agree?" I'm common man from the village. She is from the upper class, the daughter of an official of the Mangkunegaran. As far as I remember she is a distant relative, a niece of the Mangkunegaran." Bibinya menyakinkan Soeharto, bahwa itu urusannya untuk 'mencomblangi.'

Hartinah adalah putri Soemoharjomo dan Hatmanti. Keduanya berusaha mengingat Soeharto, saat bibinya mengutarakan maksud 'comblang'nya pada mereka. Soemoharjomo dan Hatmanti, sekuat apapun usaha mengingat tetap tidak bisa menangkap sosok Soeharto. Akhirnya dipanggillah Hartinah. Hartinah masih ingat pada Soeharto, dan yang paling penting: Hartinah bersedia dinikahi Soeharto.

Penikahan Soeharto - Hartinah berlangsung tanggal 26 Desember 1947. Soeharto menyewa sedan tua untuk menempuh perjalanan dari Yogyakarta ke Solo. Soeharto digoda Sulardi, sepupunya (anak kandung keluarga Prawirodiardjo) soal 'rumitnya' upacara pernikahan ala Solo. Pernikahan pun digelar saat siang hari. Soemohardjomo, mertua lelaki Soeharto adalah orang beken sehingga tamu yang datang cukup banyak. Malamnya diadakan selametan dengan hanya diterangi sejumlah lilin. Mengapa? Serangan udara Belanda masih mengancam. Tiga hari lepas pernikahan, Soeharto memboyong Hartinah ke Yogyakarta. Soeharto kembali bertugas sebagai tentara Republik. Hartinah bersiap mengurus rumah tangga sebagai isteri seorang perwira militer Republik.

Keluarga yang dibangun Soeharto-Hartinah harmonis dan damai, tanpa dihantui 'PIL' dan 'WIL.' Kelak, mereka dikaruniai 6 anak, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Anak pertamanya perempuan, lahir saat ia tengah bergerilya di rimba Jawa Tengah dan baru bisa ia lihat setelah usia si bayi 3 bulan. Anak kedua laki-laki lahir saat Soeharto bertempur melawan pasukan Andi Aziz di Sulawesi Selatan. Anak lainnya yang laki-laki, lahir saat Soeharto bermarkas di Makassar saat ia menjadi Panglima Trikora (Operasi Mandala) untuk membebaskan Irian Barat.

Tentu saja, pernikahan Soeharto - Hartinah tidak membuat Belanda menghentikan niatnya kembali menguasai Indonesia. Kembali terjadi Aksi Polisionil Belanda 19 Desember 1948, padahal baru saja Republik 'muda' ini diguncang Madiun affair. Aksi Belanda itu dimulai pukul 05.30, selepas Subuh. Lapangan udara Republik mereka bombardir, senjata mesin dan roket menghantam bumi Yogyakarta bertubi-tubi, disusul tibanya serdadu Belanda dari langit (tentu pakai parasut, .red), dan dipungkasi pendaratan Brigade Marinir Belanda di pantai dekat Yogyakarta. Yogyakarta, ibukota perjuangan, terkepung. Penduduknya panik, dan ... para pemimpin tidak tahu lagi ke mana harus mengungsi karena wilayah sekeliling Yogyakarta sudah diblokade Belanda. Demikianlah, Sukarno, Hatta, dan sejumlah menteri ditangkap Belanda. Roeder mencatat kata-kata Sukarno saat ditangkap Belanda, "Continue our struggle and believe that the ultimate victory is ours." Roeder juga mencatat Hatta mengucapkan, "The people must fight and I am convinced that the entire population of Indonesia is prepared to take over the struggle from us." Tidak ada kata menyerah dari kedua founding fathers. Republik harus mengandalkan kekuatan militer yang mereka miliki. Soeharto adalah salah satu aset Republik, di samping tentu saja Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Lalu, apa yang dialami Soeharto tanggal 19 Desember 1948 itu? Ia terbangun oleh akibat gelegar ledakan bom di lapangan udara Yogyakarta. Ia langsung berkomunikasi telepon dengan Letnan Maya Retna, yang tengah bertugas di Markas Resimen hari itu. Maya Retna, saat itu tengah berolah raga pagi. Ia melapor bahwa tidak ada hal serius terjadi. Retna juga menambahkan bahwa ledakan itu adalah manuver latihan. Soeharto meledak amarahnya, catat Roeder, dengan menyatakan "Listen, this is not an Indonesian manoeuvre, it's the Dutch. I'll be over there at once. Alarm the regiment. Get ready with your men. Burn secret papers. This is an order."

Segera setelah tiba di Markas Resimen, Soeharto memerintahkan pasukannya memperlambat laju gerak tentara Belanda. Ia sendiri segera menghadap Jenderal Sudirman. Sudirman dalam keadaan sakit keras, dan mengharuskannya bed-rest sekurangnya 2 bulan. Namun, Sudirman melawan pendapat dokter, berangkat ke Istana (Sultan), untuk rapat darurat. Namun, kembali kesehatannya drop dan ia pun terpaksa dikembalikan ke rumah. Sudirman memerintahkan tentara Republik untuk segera evakuasi. Soeharto tergesa berpamitan pada Hartinah, dengan mengatakan, "It's better for you to stay in Jogja ... and it's better for the baby we shall have, Insja Allah, in a few months." Bayi yang dikandung Hartinah adalah buah hati pertama mereka.

Resimen Soeharto bergerak cepat (gercep, .red) ke Gangdok, dalam sebuah march malam hari 19 Desember 1948. Setelah menginap semalam di sana, mereka kembali bergerak ke arah selatan menuju Gunungpiring lalu Bibis, sebuah desa di perbukitan. Di Bibis, Soeharto mendirikan markas di rumah kepala desa, Hardjowijadi. Resimen Soeharto berbaur dengan penduduk desa, ikut bercocok tanam, melakukan perbaikan jalan desa, dan ia sendiri menjalin hubungan akrab dengan sang kepala desa. Sempat Resimen Soeharto diinspeksi oleh Kolonel Nasution (saat itu Panglima Komando Seluruh Wilayah Jawa) dan Kolonel Simatupang (saat itu Deputi Komandan Angkatan Bersenjata Republik). Dari inspeksi ini, fasilitas dibangunkan untuk Resimen Soeharto berupa jaringan komunikasi wireless yang bisa menghubungkan antara markas Soeharto dengan markas Jenderal Sudirman. Jalur komunikasi serupa pun dibangun antara markas Soeharto dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi (Sumbar), yang dipimpin oleh Sjafrudin Prawiranegara, salah satu tokoh Masyumi.

Sekitar 2,4 km dari markas Soeharto di Bibis, terletak Gua Selarong. Gua ini pernah dipakai Pangeran Diponegoro sebagai markasnya dalam melawan Belanda dan cecunguk pribuminya. Di Gua Selarong Soeharto melewatkan satu malam suntuk meditasi di dalam gua untuk menyerap semangat perjuangan Pangeran Diponegoro.

Setelah 10 hari beradaptasi di Bibis, Soeharto melancarkan serangan pertama ke pos tentara Belanda. Senjata favorit Soeharto adalah Owen 9 mm, sebuah sub-machine gun. Soeharto mendapat senjata ini setelah ia menyitanya dari kepala rampok bernama Djangkok (Djangkok sendiri lalu bergabung dengan pejuang kemerdekaan lain dan gugur dalam aksinya). Dalam melancarkan serangan, Soeharto tak pernah beroperasi tanpa sebelumnya mengirim intelijen ke wilayah target. Anak buahnya, dalam pakaian orang desa, masuk terlebih dahulu ke posisi musuh. Setelah itu, seorang Letnan ia kirimkan ke Kantor Perencanaan Kota untuk memetakan posisi. Soeharto sendiri pun kerap menjadi intelijen tersebut, secara incognito. Juga, itu ia lakukan saat hendak menghadap Sultan. Di saat bertemu, terjadilah konferensi kecil antara seorang 'anak desa' dengan seorang bangsawan tingkat tinggi. Sultan tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan terus memihak Republik. Maka, jadilah Sultan sebagai jantung perlawanan rakyat, dan Soeharto sebagai prajurit tempur lapangan kepercayaan Sultan.

Di istana Sultan pula, Soeharto bisa menemui Hartinah dan bayi mereka (Tutut). Istana Sultan tidak berani diganggu oleh Belanda. Belanda tahu apabila istana Sultan diusik, maka sama saja membangunkan 'macan tidur' dengan akibat seluruh rakyat Yogyakarta bangkit melawan mereka secara semesta. Di istana ini pula, Sultan (pangkat militernya adalah Kolonel) merencanakan Serangan Umum 1 Maret 1949. Target serangan umum ini adalah menunjukkan pada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis, lewat hadirnya tentara. Target Serangan Umum 1 Maret sederhana saja yaitu menguasai Yogyakarta selama beberapa jam saja. Roeder tidak menyebutkan bahwa Soeharto adalah inisiator Serangan Umum 1 Maret. Mungkin ide tersebut tumbuh dari aneka diskusi antara Sultan dan Soeharto, lalu Sultan menemukan gagasan brilyan tersebut. Mungkin pula ide tersebut sekonyong-konyong datang dari Sultan karena ia punya kontak politik level nasional yang lebih intens ketimbang Soeharto.

Namun, siapa pun penggagasnya, eksekusi lapangan dari Serangan Umum 1 Maret dilakukan oleh Soeharto. Perencanaannya sangat matang. Tentara Republik diinfiltrasi terlebih dahulu ke dalam kota lewat aneka cara (mungkin seperti Perang Troya, .red). Satu Batalion dikerahkan untuk menguasai lapangan udara Maguwo, sementara lainnya yang lebih banyak, menyerang Yogyakarta dari 4 penjuru mata angin. Ranjau-ranjau darat dipasang demi menghambat pergerakan kendaraan angkut tentara bantuan Belanda.

Tepat pukul 6 pagi tanggal 1 Maret 1949, sirine berbunyi. Gerilyawan bak air bah membanjiri kota. Soeharto sendiri ikut terjun dalam pasukan serbu, lengkap dengan Owen 9 mm-nya. Tentaranya memakai janur kuning di bahu selaku penanda. Pasukan serbu merangsek hingga ke pusat kota. Pabrik amunisi Watson dikuasai dan 5 ton amunisi serta senjata ringan disita oleh pasukan Republik. Sebuah tank berukuran kecil diperoleh tapi tidak ada satu pun anak buah Soeharto (termasuk Soeharto sendiri tentunya) bisa mengendarai. Akhirnya tank kecil itu pun diledakkan.

Di siang hari, Kolonel van Zanten (komandan dari sebuah unit yang dikenal sebagai Gajah Merah) datang membantu tentara Belanda. Ia datang lengkap dengan tank dan kendaraan lapis baja. Melihat kondisi yang berpotensi berbalik angin, Letkol Soeharto memerintahkan pasukannya mundur ke basis gerilya. Korban di pihak Republik minimal. Tujuan utama sudah tercapai: Menguasai Yogyakarta kendati hanya beberapa jam saja. Ini, sesuai yang sudah direncanakan Sultan dan Soeharto, cukup untuk menunjukkan bahwa Republik masih eksis dan tidak bisa dianggap remeh. Jenderal Sudirman menulis ucapan selamat kepada komandan operasi: Letkol Soeharto. Reputasi Soeharto selaku prajurit dan pejuang gerilya meningkat.

Belanda semakin tidak puas. Kali ini taktik mereka adalah mau memecah-belah Indonesia jadi kepingan-kepingan kecil. Belanda mau mengakui Indonesia asalkan bentuknya Federasi, dan Republik Indonesia adalah salah satu negara bagiannya saja. Ini adalah buah dari serangkaian perundingan Indonesia-Belanda dari 23 Agustus - 2 November 1949). Bentuk federasi tidak menyenangkan hati para pejuang gerilya, termasuk Soeharto. Namun, atas perintah dari Sultan agar pejuang gerilya ikut mengakui hasil perundingan, Soeharto pun manut. Perintah ini diberikan Sultan tanggal 18 Juni 1949 menyusul hasil perundingan Roem-Royen.

Resimen Soeharto pindah ke wilayah kurang dari 1,6 km dari pusat kota Yogyakarta. Tentara Belanda harus keluar dari Yogyakarta. Rakyat Yogyakarta menyambut kedatangan Resimen Soeharto dari Bibis. Malioboro dipenuhi rakyat Yogyakarta yang menyambut kedatangan pasukan Republik mereka. Di sini, Soeharto kembali terlibat masalah baru. Ia diperintahkan Sultan untuk mengajak Jenderal Sudirman kembali ke kota dari markas gerilyanya di tengah hutan. Jenderal Sudirman adalah satu dari sekian banyak perwira yang menolak perjanjian Roem-Royen. Wilayah basis gerilya Jenderal Sudirman masuk ke dalam wilayah yang masuk kategori penguasaan Belanda.

Soeharto lalu pergi menemui Sang Panglima Besar. Musyawarah antara Jenderal Sudirman dan Letkol Soeharto berlangsung selama berjam-jam. Soeharto meyakinkan Sang Panglima bahwa keputusan untuk kembali masuk Yogyakarta pun didukung oleh Sultan dan Kolonel Gatot Subroto, dua orang dengan reputasi baik di mata Sudirman. Ia akhirnya setuju untuk kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949. Setelah tiba di Yogyakarta, Soeharto memerintahkan garnisun kota untuk melakukan parade penghormatan pada Jenderal Sudirman. Setelah transfer tentara gerilya selesai, pangkat Soeharto selaku Letnan Kolonel dibakukan. Kini tentara Indonesia telah bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Masalah Soeharto kemudian adalah menyediakan tempat tinggal dan logistik lain bagi Resimen yang ia pimpin. Masalah lainnya adalah pendisiplinan tentara, karena kini, semangat tempur saja tidak cukup. Tentara harus terus menerima pelatihan dan pendisiplinan. Dengan kata lain, pola baku kemiliteran terhadap para mantan gerilyawan perlu dibangun, dan ini bukan persoalan mudah. Tentara Soeharto terbiasa hidup bebas di hutan dan pegunungan. Perlu upaya keras melakukan tertib militer di wilayah perkotaan.

Masalah seperti ini tidak hanya terjadi di Jawa. Di Sulawesi Selatan, upaya pendisiplinan tentara mengalami hambatan. Kapten Andi Aziz dan sejumlah perwira Negara Indonesia Timur melawan gagasan negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka lalu memberontak di awal 1950. Kapten Andi Aziz sendiri adalah perwira bekas KNIL. Dalam menghadapi pemberontakan Andi Aziz, Soeharto ditunjuk sebagai perwira untuk menjadi komandannya. Berangkatlah Soeharto ke Sulawesi Selatan di bawah bendera Brigade Garuda Mataram. Penunjukan atas Soeharto ini dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Alasannya adalah, komandan yang dikirim harus punya dua keahlian: diplomatik dan militer. Keduanya, menurut para petinggi militer Indonesia saat itu, dimiliki oleh Letkol Soeharto.

Atas bantuan dari tentara yang masih loyal pada pemerintah pusat di Sulawesi Selatan, brigade Soeharto berhasil mendarat. Pemberontakan Andi Aziz lalu lekas dipadamkan, lebih melalui musyawarah ketimbang pertempuran bersenjata. Sayangnya, pemberontakan lain lalu meletup di Sulawesi Selatan. Kali ini dipimpin oleh "Tentara Rakyat", sebuah batalion non reguler, di bawah pimpinan Arief Radhi. Kali ini, Soeharto terpaksa melakukan pertempuran keras. Pertempuran ini memicu sentimen anti Jawa di kalangan populasi Sulawesi Selatan. Markas TNI pun memutuskan untuk mengirim komandan lain ke Makassar, Kahar Muzakkar, seorang tentara gerilya yang temperamental. Begitu mendengar Kahar Muzakkar yang dikirim, Soeharto melancarkan keberatan. Ia telah mengetahui watak Kahar Muzakkar saat perjuangan gerilya dahulu di Jawa. Mengenai keberatan ini, Roeder mencatat bahwa Soeharto berkata, "Kahar never keeps his promises. He will create more trouble in the area." Singkatnya, keberatan Soeharto tidak digubris. Kahar mengambil oper posisi Soeharto sebagai komandan pereda pemberontakan Arief Radhi. Soeharto kembali ke Pulau Jawa. Peringatan Soeharto pun terbukti: Kahar memberontak terhadap pemerintah pusat tahun 1952 dan perlu lebih dari 10 tahun untuk memadamkannya.

Saat masih di Sulawesi Selatan, Soeharto dikunjungi Hartinah. Kunjungan Hartinah bukan sekadar menengok suami, melainkan ada suatu misi. Misinya adalah menyuarakan kekhawatiran para istri tentara anak buah Soeharto yang tidak mau para suami mereka menikah lagi di Sulawesi Selatan. Soeharto yang saat itu disibukkan masalah Andi Aziz, kurang begitu ambil pusing soal misi istrinya. Namun, akhirnya ia pun menyampaikan himbauan agar para anak buahnya setia pada istri mereka yang setia menanti di Jawa. Saat Brigade Garuda Mataram tiba kembali di Yogyakarta, kembali Soeharto mengingatkan misi yang dibawa Hartinah. Bahwa sebelum menikahi perempuan lain, anak buahnya harus minta persetujuan isteri pertamanya. Perintah Soeharto ini dikenal dengan "Restriction Order No. 138." Perintah ini jadi perbincangan panas di barak anak buahnya untuk jangka waktu panjang.

Dalam dunia militer Indonesia yang baru, reorganisasi terus dilakukan, termasuk di dalam peraturan tentang pembentukan sebuah Brigade baru. Sebuah brigade harus terdiri atas 3 batalion TNI, 3 batalion bekas KNIL, dan 3 batalion dari lasykar. November 1951, Letkol Soeharto ditugasi memimpin Brigade Pragola yang merupakan bagian dari Divisi Diponegoro. Markasnya di Salatiga, Jawa Tengah. Salah satu dari dua anggota brigadenya yang berasal dari lasykar Hizbullah menolak diinkorporasi ke dalam brigade. Batalion 46 (yang menolak ini) lalu memberontak dan sukar dipadamkan, kendati akhirnya Brigade Pragola pun akhirnya dapat terbentuk. Soeharto baru bisa melakukan stabilisasi atas Brigade Pragola ini di akhir tahun 1952 (tahun saat Kahar Muzakkar memberontak di Sulawesi Selatan). Setelah itu, ia dipindahtugaskan ke Markas Divisi di Solo. Pada 1 Maret 1953 dia diangkat menjadi Komandan Resimen Infantri 15. Di saat-saat itu, ketegangan politik kembali terjadi.

Soeharto tidak sepenuhnya berhasil meredam gejolak pertentangan ideologis di kalangan tentara. Terutama, militansi tentara yang menganut ideologi Komunis yang banyak bertebaran di Jawa Tengah saat itu. Inilah pula yang membuat sambutan paling kuat atas G30S Biro Khusus PKI terdapat di Jawa Tengah ketimbang di provinsi-provinsi lain.

Selama di Solo, Soeharto giat meningkatkan wawasan kemiliteran. Ia banyak ambil kesempatan mengikuti aneka kursus militer setingkat di atas SMP (setara dengan SMA). Dalam kehidupan sosial, Soeharto bergabung dengan Klub Brigade, ikut pelajaran parasut. Namun, kegiatan terjun payung ini tidak bisa diteruskan karena Soeharto (dari informasi kawan Soeharto sendiri), mengikut kalimat Roeder, "His heart was considered to be too weak for flying." Di awal 1956, Soeharto diperintahkan membantu Kepala Staf TNI untuk masa singkat. Pada 1 Maret 1956, ia dipromosikan menjadi Kepala Staf Distrik Militer Keempat dari Divisi Diponegoro. Dengan jabatan ini, masa Soeharto selaku tentara lapangan berakhir, berganti dengan kehidupannya sebagai tentara staf.

Hanya beberapa bulan menjabat, Soeharto dipromosikan menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Tanggal 1 Januari 1957 pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel (Infantri) TNI. Usianya saat itu 35 tahun, 16 tahun berpengalaman sebagai prajurit, berpengalaman sebagai komandan lapangan dalam masa damai dan perang, punya karakter yang berprinsip, berani, disiplin, berhati-hati, dan bisa diandalkan. Dengan bahasa berbunga, Roeder melukiskan, dulu waktu kecil Soeharto kerap memajang lukisan Pangeran Diponegoro, dibingkai, dan dipajang di dinding kamar. Kini, Soeharto bahkan menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Divisi Diponegoro adalah salah satu divisi dengan sumberdaya terkuat dan terpolitisasi di antara tentara Indonesia lainnya.

Kendati menjabat Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto sangat kurang dalam hal kontak politik level atas. Ia dianggap asing oleh partai politik dan kurang ambisius dalam peran sosialnya. Kelebihan dari hal ini adalah, Soeharto bisa lebih fokus dalam memonitor masalah pasukan di bawah divisinya, baik dalam maupun luar tugas. Dengan bantuan Hartinah, ia mendirikan Asosiasi Istri Prajurit, koperasi prajurit untuk meningkatkan taraf ekonomi mereka, baik tamtama, bintara, ataupun perwira. Tanggal 1 September 1957, Soeharto diangkat sebagai Dewan Kurator Akademi Militer di Yogyakarta. Akademi ini didirikan 28 Oktober 1945 dengan Mayjen Suwardi selaku Gubernur pertamanya. Setelah aneka aksi Belanda yang hendak kembali menjajah, sekolah ini kolaps. Ia baru berdiri kembali secara resmi tahun 1959. Pembukaannya dihadiri bersama oleh Sukarno dan Soeharto.

Saat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, sejumlah pemberontakan di luar Jawa terjadi. Intinya adalah protes atas kedekatan Sukarto dengan PKI dan perhatian ekonomi pusat pada daerah yang dinilai kurang. Terhadap operasi pemadaman pemberontakan ini, Soeharto tidak ikut serta. Lapangan operasinya hanya di Jawa Tengah, berusaha jadi perwira profesional, tidak larut dalam politik ataupun aneka konspirasi politik level tinggi. Roeder mencatat sejumlah tanggapan Soeharto atas aneka pemberontakan daerah. Dalam peringatan 10 tahun lahirnya Divisi Diponegoro tahun 1958, Soeharto berkata, "A leader or officer should always be fully aware of what he does. He should act honestly and not be tricky. The power of a leader is not absolute. Power has its roots in the confidence given to the leader by the men and the people he is leading. Without this confidence, true leadership is imposible." Demikian tanggapan umum Soeharto atas aneka peristiwa 'politik' di daerah (PRRI-Permesta).

Tahun 1959, Soeharto dikirim ke SESKOAD Bandung. Ia menempuhnya selama 1,5 tahun. Di sinilah ia menjalin kontak dengan banyak perwira lain, yang banyak menentukan jalannya TNI. Salah satunya adalah Jenderal Sutoyo, yang kemudian menjadi korban G30S Biro Khusus PKI. Ini adalah kesempatan pertamanya untuk menempuh pendidikan tinggi militer secara leluasa. Roeder mencatat persepsi Soeharto (dalam bahasa Soeharto sendiri) mengenai sekolahnya ini, "In the beginning, I had great difficulties in following the military education at SESKOAD, C-course. I had to make up afterwards for the military knowledge which was taught at the Military Academy and in the first and second grade education. In SESKOAD, I was taught military tactics and strategy in the classroom. I found out soon that I had learnt the basic tactical and strategical principles just by experience during the physical revolution. This made me proud and gave me self-confidence in following the SESKOAD instruction."

Karena serius dan tidak neko-neko, karir Soeharto terus meroket akibat luput dari judgment yang sifatnya politis. Tanggal 1 Januari 1960 Soeharto dipromosikan menjadi Brigadir Jenderal. Ia pun diangkat sebagai Asisten I Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang saat itu dipimpin Jenderal Nasution. Di saat yang sama, ia pun diangkat sebagai panglima korps cadanga (kelak dikenal sebagai Kostrad). Akhir 1960 pun, Soeharto diberi tugas tambahan selaku Ketua Komite Retooling Departemen Angkatan Bersenjata. Tahun 1961, Soeharto diberi tugas keliling untuk mendampingi Jenderal Nasution dalam menginspeksi sejumlah atase militer Indonesia di Beograd, Paris, dan Bonn. Ini adalah tugas pertama Soeharto ke luar negeri.

Datanglah tugas paling desisif atas Soeharto tanggal 23 Januari 1962. Saat itu Soeharto sudah Mayor Jenderal (dengan TMT 1 Januari 1962). Tugas tersebut adalah sebagai Komandan Distrik Militer Indonesia Timur, dan kelak ia menjadi Panglima Mandala. Prioritas tugas adalah merebut Irian Barat dari Belanda. Markasnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia membawahi Angkatan Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian yang ia harus koordinasi agar siap dengan diberi waktu 6 bulan. Roeder mencatat tanggapan Soeharto mengenai tugas ini, "My task was quite different from the duties of commanders in other countries. They have to command 'ready-made forces'. I had first to organise the forces. Only then could I plan the operations, divided between initial and advanced stages, to be followed by joint action. According to the general concept, Indonesian infiltrators had to enter West Irian there to disperse and to tie down enemy forces in certain areas. At the same time, these advance groups had to collect all information needed for further action and bigger operations." Target utama Soeharto adalah menguasai Biak, markas pusat musuh (Belanda).

Bagi Soeharto, operasi penguasaan Biak adalah operasi militer terbesar yang pernah dilakukan Indonesia hingga saat itu. Operasi ini berbahaya mengingat tentara Indonesia tidak punya perlindungan dari serangan udara. Upaya penguasaan Biak pun tidak boleh coba-coba. Ia harus dipastikan untuk berhasil, sebab apabila gagal, maka kerugian tempur Indonesia akan sangat besar. Menyusul operasi ke Biak ini, PBB pun melakukan intervensi. Biak lalu ditransfer dari administrasi Belanda kepada administrasi temporer PBB. Kesepakatan New York terbentuk untuk melakukan plebisit tahun 1969 untuk rakyat Irian menentukan nasib sendiri.

Operasi Biak dibatalkan. Mayjen Soeharto dan para stafnya memasuki Biak dengan tujuan damai. Namun, ia kecewa dengan dinginnya sambutan otoritas sipil di sana. Sumbangan militer dalam pembebasan Irian Barat dinilai kecil sahamnya. Namun, para prajurit (termasuk Soeharto) kembali ke Jakarta dengan rasa bangga karena telah memenuhi tugas negara.

Tidak lama, sebuah tugas menanti Soeharto. Tanggal 1 Mei 1963, ia diangkat sebagai Komandan Kostrad. Korps tentara ini berasal dari aneka pasukan siap tempur dari aneka unit dari beragam divisi. Sifatnya sebagai pasukan strategis yang siap diadakan kapan saja negara membutuhkan kekuatan militer. Terbukti, pada September 1963, Presiden Sukarno memproklamasikan Komando Ganyang Malaysia, Soeharto diserahi tugas. Kostrad diperintahkan untuk menyiapkan invasi ke Semenanjung Malaya. Kali ini, musuh bukanlah kaum kulit putih (Belanda atau Inggris), tetapi saudara serumpun dan seagama mayoritas (Islam). Banyak politisi Indonesia meragukan kampanye Sukarno ini. Hanya PKI yang tampaknya mendukung sepenuh hati kampanye ini, sementara kelompok-kelompok ideologis dan politik lain terpecah. PKI mengusulkan ide pembentukan milisi sipil yang dipersenjatai. Cina bersedia membantu senjata. Soeharto secara pemikiran menolak pembentukan milisi ini. Namun, ia tidak menunjukkannya lewat cara konfrontatif karena akan runyam manakala nanti berhadapan dengan Sukarno.

Sukarno pun membaca kesetengahhatian Soeharto dalam mendukung Kampanye Ganyang Malaysia. Kepercayaan Sukarno atas Soeharto saat ia menjadi Panglima Mandala menyusut manakala Soeharto terlibat dalam Komando Ganyang Malaysia. Tidak seperti operasi Trikora (pembebasan Irian Barat) di mana Soeharto menjadi komandan nomor satu, pada operasi Dwikora (Ganyang Malaysia), Sukarno menempatkan Soeharto sebagai second-liner yaitu sekadar Deputi. Omar Dhani diangkat Sukarno sebagai Panglima Kolaga (Komando Mandala Siaga). Tanggal 1 Januari 1965, Mayjen Soeharto  selaku Deputi Panglima Kolaga melakukan inspeksi ke Kalimantan Utara dan Sumatera Utara, wilayah mana akan dijadikan basis penyerbuan ke Malaysia. Kampanye Ganyang Malaysia ini pun membuka konflik antara kekuatan politik Muslim, anti Komunis, dan nasionalis pada satu sisi versus kekuatan Komunis (PKI) dan anasirnya di pihak lain. Dalam situasi ini Soeharto banyak menerima laporan dari anak buahnya. Roeder mencatat bahwa dalam menanggapi dilema ini, Soeharto berkata, "I'm not blind. I have reported to my superiors about the serious situation. There was no reaction. What can I do as a soldier? .... I'm without hope."

Hingga kampanye Ganyang Malaysia, Soeharto dikenal sebagai perwira yang realistis dan pragmatis. Ini terus bertahan hingga peristiwa G30S Biro Khusus PKI. Macam-macam spekulasi seputar di mana Soeharto berada dari 30 September - 1 Oktober 1965. Ada yang menyatakan Soeharto bertafakur pada Tuhan di lokasi dengan mana sejumlah aliran air bertemu. Tafakur Soeharto ini atas nasehat dukun. Menurut cerita ini, dukun itu memberi tahu Soeharto bahwa ia tidak boleh kembali ke rumah sebelum jam 02.00 pagi. Versi lain menyatakan, malam itu Soeharto memenuhi nasehat dukun untuk pergi ke pertemuan dua aliran air. Sebab itu, ia mengajak anaknya memancing di sebuah muara sungai. Namun, semua itu adalah spekulasi. Roeder, mengutip langsung Soeharto yang menjelaskan di mana keberadaannya di malam itu, " ... on that night of September 30, I actually went to see my ailing youngest son in the military hospital. All other reports are mere 'isapan jempol' ... I left the hospital about midnight, returned straight home and went to bed." Penjelasan yang simpel dari seorang Soeharto, karena ia bukan jenderal yang terpolitisasi. Namun, anehnya, jawaban sederhana ini banyak memunculkan kontroversi dan spekulasi yang tidak akan dibahas oleh artikel ringkas ini.

Tidak diragukan, Soeharto adalah seorang Jawa tulen. Kedekatannya dengan mistisisme tidak perlu diragukan lagi (ingat, ia dulu pernah meditasi semalam suntuk di Gua Selarong, markas Pangeran Diponegoro, saat zaman gerilya dulu). Namun, dengan berat hati disampaikan bahwa tidak ada gejala mistis saat malam kelabu itu terjadi pada diri Soeharto. Soeharto saat itu tinggal di Jl. Haji Agus Salim No. 98. Segala sesuatu berlangsung tenang dan seperti biasa di dini hari 1 Oktober 1965. Hanya sejumlah becak lalu-lalang di jalan depan rumah Soeharto. Tidak ada suara mesin jip, aktivitas di luar kebiasaan, pasukan penculik dan pembunuh, seperti terjadi atas enam jenderal lain. Saat menjawab pertanyaan mengapa ia tidak dijadikan target penculikan (dan pembunuhan), Roeder mencatat jawaban Soeharto sebagai berikut: "because they probably considered me a minor officer who could be handled later." Soeharto dinilai cuma sebagai perwira yang strict pada tugas, acuh pada masalah politik, dan lebih concern pada bagaimana melaksanakan tugas. Tindak meremehkan Soeharto mungkin kekeliruan terbesar dari G30S Biro Khusus PKI.

Pagi hari 1 Oktober 1965, Mashuri, sekretaris organisasi lokal saat itu, dalam keremangan pagi tanggal itu diperingatkan oleh seorang kapten tentara. Si kapten telah menerima informasi dari seorang teknisi televisi, yang dalam perjalanan ke rumahnya, melihat aktivitas 'tidak biasa' di dekat rumah Jenderal Nasution dan Jenderal Haryono. Mashuri, dalam kapasitasnya selaku pengurus warga dan tetangga Soeharto lalu secara santun 'menggedor' rumah Soeharto. Ini ia lakukan karena si kapten tentara tidak berani mengetuk rumah Soeharto di pagi buta karena takut dianggap tidak sopan pada atasan. Soeharto memang dikenal sebagai perwira yang 'seram' di mata anak buah. Ketukan Mashuri ini terjadi pukul 05.30 tanggal 1 Oktober 1965. Menanggapi laporan Mashuri, Roeder mencatat Soeharto berkata, "I had a shower, threw on my battle dress and took the wheel of my jeep, since my driver was not yet at hand. On my way to Kostrad HQ, I passed soldiers in green berets who were placed under Kostrad command but who did not salute me." Tampaknya itu adalah Batalyon dari Divisi Diponegoro dan Brawijaya yang digunakan G30S Biro Khusus PKI dalam melancarkan aksinya.

Pukul 06.30, Soeharto masuk ke markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur No. 3, dekat Istana Merdeka Jakarta. Ia langsung diberi informasi oleh para perwira Kostrad dan Komandan Garnisun Jakarta (Mayjen Umar Wirahadikusuma). Pukul 07.20, RRI menyiarkan pengumuman dari Dewan Revolusi (G30S Biro Khusus PKI) yang telah melumpuhkan kup oleh Dewan Jenderal. Letkol Untung adalah pimpinan Dewan Revolusi, seorang perwira yang amat dikenal oleh Soeharto. Untung pernah jadi anak buah Soeharto di Solo dan pasukan parasut saat Soeharto menjadi Panglima Mandala dalam pembebasan Irian Barat. Mengenai tanggapan aktual Soeharto saat itu terhadap Untung, Roeder mencatat, "Being aware of Untung as a man with radical leftist ideology, it became clear to me that the Revolutionary Council and the Movement of 30th September were a coup of the extreme left." Persepsi Soeharto ini tentu hasil rekaman memorinya saat ia lama bertugas di wilayah Jawa Tengah di mana kekuatan Komunis begitu kuat, juga affair Madiun, serta pula penculikan Sjahrir (tokoh kiri) oleh kelompok yang lebih 'kiri' lagi. Ketidaktertarikan Soeharto pada masalah ideologis tentu membantunya memberi gambaran lebih obyektif atas situasi yang terjadi.

Secara ringkas, Roeder mencatat langkah-langkah Soeharto dalam menyikapi penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965. Soeharto mencium gelagat terbahayakannya Republik Indonesia. Sebab itu ia memanfaatkan instingnya yang selalu realistis dan pragmatis, non ideologis. Soeharto biasa menggantikan Jenderal Ahmad Yani dalam rutinitas tugas sehari-hari apabila Yani tidak sedang berada di markas. Sebab itu, ia didorong para perwiranya untuk ambil alih sementara posisi Yani yang belum diketahui pasti keselamatannya (Soeharto sudah tahu Yani adalah salah satu jenderal yang diculik, tetapi belum pasti apakah masih ada atau tiada).

Mengenai alur tindakan pragmatis paling awal Soeharto saat menghadapi kekalutan di 1 Oktober 1965, Roeder mencatat Soeharto mengucapkan, "My first step were: to get information about the loyalty or disloyalty of all troops in Djakarta ---Army, Air Force, Navy and Police --- so far as I could contact them. Secondly, I ordered all troops loyal to me to be combat-ready, but confined to barracks. I wanted to avoid bloodshed between them and soldiers who were just misled by some irresponsible elements. That's why I tried to persuade as many rebels as possible to join us."  Target utama Soeharto adalah memastikan loyalitas dari 2 batalion yang ada di dekat markas Kostrad: Batalion 454 dari Divisi Diponegoro dan Batalion  530 dari Divisi Brawijaya. Padahal kedua batalion ini pada hari sebelumnya pernah diinpeksi oleh Soeharto dalam persiapan peringatan Hari ABRI yang sedianya dilangsungkan tanggal 5 Oktober 1965.

Soeharto berkomunikasi langsung dengan kedua pimpinan batalion (keduanya diwakili oleh wakil komandan, karena komandan mereka masing-masing sedang tidak berada di tempat) dan meyakinkan mereka bahwa mereka hanya dimanfaatkan oleh Letkol Untung. Setelah musyawarah berjam-jam dan tidak ada kesepakatan. Soeharto pun memunculkan sisi lainnya. Ia memberi ancaman pada mereka, dengan berkata (seperti dicatat Roeder), "You are wrong. I give you 30 minutes to gather your men and to surrender. If not, I will crush you." Akhirnya kedua batalion menyerah, kecuali 1 kompi dari Batalion 454 yang pergi menuju Pangkalan Udara Halim, markas G30S Biro Khusus PKI.

Di hari yang sama, Soeharto terus berupaya memastikan siapa kawan dan siapa lawan. Ia memberikan briefing atas seluruh komandan pasukan yang ada di Jakarta, termasuk dari Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Soeharto semakin curiga atas pimpinan Angkatan Udara (Marsekal Omar Dhani) atas keterlibatannya yang cukup mendalam dalam G30S Biro Khusus PKI. Di saat yang sama, para komandan di sekeliling Jakarta dan luar Jawa diperintahkan menyiagakan pasukan. Soeharto bahkan melakukan komunikasi radio dengan Kolonel Kemal Idris, yang saat itu tengah menunggu perintah untuk menyerbu Malaysia. Soeharto memerintahkan Kemal Idris untuk mengirim 1 brigadenya ke Jakarta. Di waktu kemudian, brigade Kemal Idris ini tiba di Jakarta pada pertengahan Oktober 1965 dan terlibat dalam penghancuran markas pemberontak di Jawa Tengah.

Pukul 17.00 tanggal 1 Oktober 1965, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang sudah diberi peringatan oleh Kostrad, tiba dari barak mereka di selatan Jakarta. Pasukan elit ini dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie, dan diperintahkan untuk ambil posisi di Cililitan, dekat Pangkalan Udara Halim. Sementara 1 batalionnya dikirim ke Kostrad untuk memperkuat kedudukan. Di saat hampir bersamaan, Unit Kavaleri (lapis baja) dari Divisi Siliwangi yang bermarkas di Bandung mencapai Jakarta. Ini bukan pertama kali Divisi Siliwangi berhadapan dengan anasir Komunis. Di Madiun, Divisi Siliwangi termasuk salah satu kekuatan inti yang merusak kekuatan militer pro komunis.

Setelah menempatkan pasukan tentara yang ia bisa pegang loyalitasnya di sejumlah posisi strategis, Soeharto, pada pukul 18.30, memberi perintah pengambilalihan RRI dan kantor telegraf dari tangan G30S Biro Khusus PKI. Perintah Soeharto jelas, sebisa mungkin tanpa tembakan dan pertumpahan darah. Mengenai karakter khas Soeharto yang lebih dahulu mengedepankan upaya diplomasi, Roeder mencatat Soeharto berkata, "I could have taken these posts by force in the morning, but I thought it senseless to incur the bloodshed we could have then ... I preferred a 'silent action' ---so, at about 7.00 p.m., the situation in the capital was more or less under my control, without provoking heavy fighting in the streets." Pola operasi militer seperti ini konsisten dengan karakter militer Soeharto sejak tahun 1940an. Ia tidak langsung menyerbu, melainkan melakukan terlebih dahulu negosiasi. Combat yang dibanjiri darah selalu menjadi pilihan akhir bagi Soeharto.

Roeder menulis bahwa posisi Kostrad sebagai basis anti Komunis mendapat penguatan dari kehadiran Jenderal Nasution. Nasution tiba di markas Kostrad pukul 16.00 tanggal 1 Oktober 1965. Soeharto sebelumnya telah mengetahui lolosnya Nasution dari upaya penculikan dari nota tulis tangan singkat Nasution kepadanya. Nasution tampak shock akibat peristiwa dini hari itu, di mana ia keseleo kaki akibat lompat dari tembok tinggi rumahnya ke pekarangan Duta Besar Iraq (di sebelah rumah) dan penembakan anak perempuannya yang masih berusia 5 tahun. Saat berada di markas Kostrad, Nasution memberi tahu para staf Kostrad yang mengelilinginya dan (seperti dicatat Roeder) berkata, "I trust General Soeharto and he will act." 

Catatan Akhir

Demikianlah apa yang dapat kami sampaikan dalam buku Roeder mengenai Soeharto. Buku Roeder ini merupakan salah satu biografi paling awal yang ditulis mengenai Soeharto. Buku yang dijadikan rujukan ini adalah Edisi Revisi Kedua, yang diterbitkan dalam Bahasa Inggris oleh Gunung Agung Ltd tahun 1970. Edisi pertamanya sendiri terbit (dalam bahasa dan penerbit serupa) tahun 1969. Buku ini pun telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Soeharto, dari Pradjurit sampai Presiden. Selain itu, ia juga diterbitkan dalam Bahasa Jepang dengan judul Asia ni okeru idaina Shidosha, Soeharto. EMI O UKABETA SHOGUN. Edisi yang kami gunakan ini dicetak di Toppan, Tokyo.

Untuk mengakhiri artikel ini, kami akan muat pendapat subyektif Roeder mengenai Soeharto, tentu dalam Bahasa Inggrisnya:

"Soeharto did not rise to the highest rank in the State by an ardent zeal to save nation and mankind. He was not obsessed by a sacred mission from boyhood and he did not formulate or develop a doctrinal ideology. Without underestimating Soeharto's personality and his inborn gifts, his rise to leadership was mainly the result of prevailing conditions and events. His actions were mainly re-actions ----to his poor childhood; to the impact of the last years of colonialism on Indonesian soil; to the occupation by the Japanese; to the attempts to re-establish a kind of enlightened neo-colonialism after independence was proclaimed; to the failure in Indonesia development; to mounting pressure by communists, culminating in the traitorous cup of 30th September 1965; to the rebellion of the excited masses after the putsch, led by the Action FrontsThis series of reactions makes it indispensable to present Soeharto in relation to various political and economic affairs --- as part of Indonesia. Insight into his personality can finally be improved by confrontation with that of his predecessor, Sukarno."

Selanjutnya, dalam menggambarkan opininya mengenai beralihnya kekuasaan presiden secara legal-formal dari Sukarno ke Soeharto tanggal 12 Maret 1967 (lewat keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), Roeder menulis secara singkat soal siapa Soeharto:

"If politics is the art of the possible, then Soeharto's tactics were masterly, not only by Indonesian but also by Western standards ..."
 
 

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India