*Kanti W Janis, Pemberontak Kutu Buku*
Dalam kamus Kanti W Janis, pengetahuan akan melindungi dari ketidakadilan. Adapun membaca akan memerdekakan pikiran.
oleh
SEKAR GANDHAWANGI
27 April 2024
Ruangan yang penuh buku justru adalah tempat paling bebas buat Kanti W Janis (39). Kepalanya berpikir dengan lepas dan hasilnya dijalin menjadi refleksi yang bertumpu pada pengetahuan. Kanti percaya bahwa orang yang suka membaca adalah mereka yang pikirannya paling merdeka.
Dialog dengan Kanti berlangsung di sebuah ruangan yang seluruh sisi dindingnya dipasang rak buku yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Setidaknya ada 11 tingkat di rak berbahan baja itu. Rak tersebut dipesan khusus oleh Kanti dan rekannya, Wien Muldian, saat mendirikan perpustakaan Baca di Tebet.
"Ada lebih dari 20.000 judul buku. Awalnya 90 persen koleksi pribadi Bang Wien. Terus, orang-orang mulai donasi dan kami juga beli yang baru-baru," kata Kanti di Jakarta, Rabu (17/4/2024).
Perpustakaan yang dibuka pada 2022 ini cukup populer di kalangan anak muda Jakarta. Walau judulnya perpustakaan, Kanti dan Wien sebetulnya membuat Baca di Tebet sebagai ruang temu yang santai. Jika perpustakaan umumnya melarang orang untuk makan dan minum, Baca di Tebet malah memperbolehkan itu. Pengunjung juga boleh mengobrol.
Saking asyiknya, pengunjung tak hanya datang untuk membaca. Ada pula yang bekerja di situ, mengobrol, hingga berfoto pranikah. Tak jarang pula Baca Di Tebet jadi wadah diskusi publik berbagai isu, mulai dari pendidikan hingga konflik agraria.
"Ini menjawab bahwa perpustakaan kesannya suram, membosankan, terus enggak boleh ngobrol," katanya. "Perpustakaan itu bukan tempat nyimpen buku, tapi untuk merawat pengetahuan. Buku-buku ini enggak ada gunanya kalau enggak ada yang baca dan kalau enggak diobrolin."
Sejak dulu perpustakaan adalah tempat favorit Kanti. Ia pasti datang ke perpustakaan saat jam istirahat sekolah untuk membaca Lima Sekawan, ensiklopedia, majalah Bobo, novel-novel karya NH Dini, atau Buku Pintar.
Minat membaca itu tumbuh secara alami. Orangtuanya suka membaca, tapi tidak pernah memaksa anak-anak membaca. Sebagai gantinya, mereka diajak ke toko buku atau bazar buku setiap akhir pekan. Di mata anak-anak, pergi ke pasar buku sama serunya dengan main di taman ria.
"Wahana permainan" di dalam buku membuat Kanti bebas berfantasi. Imajinasinya mengalir lepas hingga akhirnya mewujud ke buku fiksi Frans dan Balerina. Ia juga pernah menulis Saraswati—novel pertamanya—yang menjadikan Kanti sebagai nomine di ajang penghargaan Sastra Khatulistiwa (kini Kusala Literary Award) pada 2007.
Saat ini ia telah menerbitkan lima buku fiksi dan beberapa buku kompilasi. Tapi mungkin yang sangat berkesan adalah Cita-cita Titik Dua Petani. Penelitian selama 12 tahun dibalut Kanti jadi fiksi tentang persahabatan tiga remaja SMP yang beda cita-cita. Salah satu tokohnya bermimpi jadi petani.
Kanti jadi ingat kalimat mendiang bapaknya, Roy BB Janis. Katanya, petani adalah pekerjaan mulia karena telah memberi makanan banyak orang. Tapi sayang, nasib petani di negeri yang tanahnya subur ini tidak selalu mujur. Profesi ini saja tak selalu dilirik.
"Kalau sudah enggak ada yang mau jadi petani, berarti impor makanan dong? Kalau soal perut aja kita sudah tergantung sama bangsa lain, kita berdaulat di mananya?" kata Kanti.
Menyoal kekuasaan
Kanti habis membaca buku tentang kontrak sosial dari Jean-Jacques Rousseau. Di sana dijelaskan konsep ekonomi dan politik yang sebetulnya berkelindan. Negeri bisa makmur jika keduanya dikelola dengan benar.
Tapi sayang, ekonomi kerap dipahami sebagai pasar belaka. Kapitalisme. Kegiatan ekonomi didasarkan pada keuntungan sambil menutup mata soal kondisi sosial dan budaya masyarakat yang disuruh memenuhi permintaan pasar.
Ekonomi sejatinya bicara juga soal pengelolaan sumber daya alam negara. Menentukan siapa yang dipercaya untuk mengelola sumber daya alam tentulah tak lepas dari bahasan politik. Tapi, ya, cuma politik kekuasaan yang mencolok di negeri ini.
"Indonesia, kan, selalu dibilang negara kaya, sumber daya alam melimpah, tapi kok masih ada rakyat yang miskin? Berarti ada monopoli pengelolaan sumber daya," tutur Kanti yang juga pengacara.
Ia mendambakan keadilan yang sepertinya sulit betul didapat. Matanya melihat banyak ketidakadilan, permainan kekuasaan, sampai abainya manusia menjaga alam yang jadi sumber kehidupan warga.
Jika tak percaya, coba tengok kasus penolakan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, serta penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Dua-duanya bikin hati Kanti pilu bercampur gemas. Sudah dua-duanya merusak alam, proses hukumnya pun membuat orang mengelus dada.
Kanti terlibat dalam proses hukum di kedua kasus itu sebagai advokat. Kebetulan ia punya sahabat di Rembang yang bakal terdampak buruk kawasan karst rusak oleh pabrik. Ia tak rela jika itu terjadi.
"Orang lain aja guebelain. Masa temen sendiri enggak gue bela?" ujar Kanti yang akhirnya terjun ke dunia politik setelah rajin mengadvokasi isu Kendeng.
Mimpi sejak kecil
Sejak SMP Kanti sebetulnya sudah ingin jadi pembuat kebijakan. Ia sadar bahwa banyak masalah sosial yang bisa diatasi lewat sistem ciptaan para pembuat kebijakan.
"Dulu aku suka ngumpulin sumbangan sama teman-teman, terus bikin bingkisan untuk panti asuhan dan panti jompo. Pas tahun depan datang lagi, kok, masih sama, malah nambah orangnya?" ujarnya. "Ternyata charity itu salah banget. Banyak orang ditaruh jadi, ibaratnya, maskot."
Selain jadi pembuat kebijakan, Kanti kecil juga ingin menjalani profesi yang membela orang lain saat dewasa. Kanti tak betah pada penindasan dan ketidakadilan sejak kecil. Mungkin ini karena Kanti kecil kerap diganggu teman-temannya karena terlalu kritis dan sering protes. Demi melindungi teman yang diganggu, Kanti tak segan menggebuk si pengganggu.
Bibit-bibit ini yang membawa Kanti di pekerjaannya yang sekarang: pengacara, penulis, dan kadang pelukis. Di sisi skeptis dirinya, ia sadar mimpi soal keadilan bakal sulit dicapai karena hukum bisa dibengkokkan dengan uang dan kuasa. Satu-satunya cara untuk melawan adalah lewat intelijensi dan kemerdekaan berpikir.
"Saya, tuh, pengin orang Indonesia tahu hak-haknya, pintar, cerdas, berani jadi dirinya sendiri. Kalau di sekolah kita didikte, disuapin, maka perpustakaan adalah tempat kita belajar berpikir merdeka," ucap Kanti. [ ]
*Kanti W Janis*
Lahir: Jakarta, 17 Januari 1985
Pekerjaan: penulis dan advokat
Pendidikan:
* Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
* Program LLM, Rijksuniversiteit Groningen, Groningen, Belanda, Jurusan Hukum Internasional dan Hukum Organisasi Internasional (2007-2008)
* Pendidikan Khusus Profesi Advokat Peradi (2009)
Pekerjaan:
* Penulis novel sejak 2006-sekarang
* CV Boelat Makmur, pemilik dan pengelola Kafe Boelat 2003-2006
* Kantor Hukum Robean-Janis and Associates, partner (2012-sekarang)
* Sekretariat Kantor Staf Khusus Presiden (2016-2019)
* Dewan Perpustakaan Jakarta (2019-2022)
* Ketua Koperasi Penulis Bangsa Indonesia (2021-sekarang)
* Bendahara Koperasi Gerakan Fermentasi Nusantara/Fermenusa (2021-sekarang)
* Presidium Kaukus Perempuan Politik Indonesia-KPPI (2021-sekarang)
* Presidium Bidang Advokasi dan Hukum Persatuan Penulis Alinea (2022-sekarang)
* Pendiri dan pengelola perpustakaan dan ruang temu Baca Di Tebet (2022-sekarang)
* Pengurus Badan Penelitian Pusat PDI Perjuangan (2016-sekarang)
Editor:
DAHONO FITRIANTO