Tampilkan postingan dengan label andre vincent wenas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label andre vincent wenas. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Mei 2022

Pemilu dan Serigala: Sebuah Kaleidoskop


Pemilu dan Serigala: Sebuah Kaleidoskop

Oleh: Andre Vincent Wenas

Kita sudah “berpengalaman” dengan 12 kali pemilu selama kurun waktu 64 tahun (1955 – 2019). Cukupkah itu untuk “mendewasakan” kita sebagai “insan politik”? 

Akankah di pemilu 2024 nanti kita akan “cukup matang” dalam menentukan pilihan? Yaitu untuk memilih Capres-Cawapres, Caleg (DPR-RI, DPD-RI, DPRD Prov., DPRD Kab/Kota), dan Kepala Daerah plus wakilnya di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Memilih secara “dewasa” dan “matang” dengan mudah kita artikan sebagai memilih secara rasional. Dengan melepas anasir-anasir fanatisme, primordialisme, maupun isme-isme lain yang berpotensi menyempitkan pandangan obyektif kita.

Sedangkan arti “insan politik” dimaknai seperti yang dimaksud oleh Aristoteles, bahwa manusia itu sejatinya adalah “zoon politicon” (makhluk sosial). Zoon (makhluk, atau “hewan”) yang “politicon” (bermasyarakat). Kodrat hidupnya bersosialisasi, berinteraksi satu sama lain.

Catatannya, walau Adam Smith mengatakan Homo Homini Socius, manusia adalah sahabat bagi sesamanya, namun ia juga memandang manusia itu sebagai Homo Economicus. Makhluk ekonomi, lantaran  kecenderungannya yang tak pernah puas. Maka ia selalu berupaya memenuhi kebutuhan (serta keinginannya). Akibatnya, secara natural, dalam segala upaya serta interaksi sosial itu terjadilah: kompetisi! 

Sedangkan Thomas Hobbes “terang-terangan” memandang bahwa manusia itu kecenderungannya adalah jadi serigala (musuh) bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Jadi bagaimana ini?

Konsekuensinya, demi menjamin “rasa aman” dalam kehidupan bersama, di dalam suatu tatanan sosial mesti ada aturan (norma) yang disepakati. Semacam “kontrak sosial” yang mengikat kita untuk menjamin kehidupan sosial yang harmonis (taat hukum). 

Memang ada semacam paradoks, dimana segala aturan hukum (norma) itu jadi “mengikat” kita, namun justru dalam ikatan hukum itulah kita serentak “dibebaskan” dari bahaya saling memangsa laksana serigala tadi. Manusia jadi “bebas” berinteraksi dengan aman, lantaran “terikat” oleh norma (aturan). Paradoksal.

Kembali ke kaleidoskop pemilu. Pengalaman pemilu 12 kali itu terjadi pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Masa 1945 sampai 1954 tak ada pemilu. Dan masa 1956 sampai 1970 juga tak ada pemilu untuk presiden dan wakil presiden. Sedangkan masa pemilu 1970 sampai 1997 adalah pemilu orde baru (orba), dimana kita semua bisa tahu pemenang pemilu bahkan sebelum pemilu itu diselenggarakan! Sejarah yang aneh tapi nyata. 

Tahun 1998 adalah tahun reformasi, rejim korup Soeharto jatuh, digantikan oleh B.J. Habibie (21 Mei 1998) yang kemudian menyelenggarakan pemilu pertama pasca Orba pada 7 Juni 1999. Ada 48 parpol peserta pemilu. 

Saat itu PDIP memperoleh suara terbanyak, namun terjadi sengkarut politik di tingkat elit, dan MPR masih berkuasa untuk memilih presiden. Pada 20 Oktober 1999 dilantiklah Gus Dur (representasi PKB) sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri (representasi PDIP) sebagai wapresnya. 

Lima besar kursi DPR hasil pemilu 1999 adalah: PDIP (153 kursi), Golkar (120), PPP (58), PKB (51), dan PAN (34). Ketua MPR-nya Amien Rais (PAN) dan Ketua DPR-nya Akbar Tanjung (Golkar). Tabiat serigala sangat tercermin dalam konstelasi sengkarut elit politik saat itu.

Notasi, di masa kepresidean Gus Dur terjadi 2 kali amandemen UUD 1945. Amandemen pertama dalam SU-MPR Oktober 1999, fokusnya membatasi kekuasaan serta masa jabatan presiden. Amandemen kedua dalam SU-MPR Agustus 2000, terkait wewenang serta posisi pemerintah daerah, peran dan fungsi DPR, serta penambahan mengenai hak asasi manusia. 

Namun sengkarut politik elit pasca-orba dan pasca-reformasi itu terus berlanjut. Dikiranya Gus Dur bisa diatur-atur oleh sementara oligarki, ternyata perkiraannya salah total. Maka diinisiasi upaya “menjerat Gus Dur” lewat apa yang dikenal sebagai “operasi semut merah”. Singkat cerita, Gus Dur “dimakzulkan” lewat konspirasi-jahat (operasi semut merah itu) yang diskenariokan seolah-olah konstitusional. Sampai akhirnya pada 23 Juli 2021 kepemimpinan nasional beralih ke Megawati Soekarnoputri. 

Di masa Megawati ini juga dilakukan dua kali amandemen UUD 1945. Dalam SU-MPR November 2001 dilakukan amandemen ketiga mengenai Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Pemakzulan, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman. Lalu dalam SU-MPR Agustus 2002 amandemen keempat yang meliputi perubahan dalam bidang pendidikan, perekonomian, aturan peralihan dan tambahan. 

Pemilu 2004 : Di area legislatif (pileg) diselenggarakan tanggal 5 April, diikuti 24 parpol, hasil saringan dari 150 parpol yang mendaftar di KPU. Hasilnya 16 parpol masuk parlemen: Golkar (127 kursi), PDIP (109), PKB (52), PPP (58), Demokrat (56), PAN (53), PKS (45), PBR (14), PDS (13), PBB (11), PPDK (4), Pelopor (3), PKPB (2), PKPI (1), PNIM (1) dan PPDI (1). Total kursi DPR-RI dalam Pileg 2004: 550 kursi.

Hasil pileg 5 April 2004 ini menentukan parpol mana yang dapat menyalonkan kandidatnya untuk pilpres 2004 pada tanggal 5 Juli. Hanya partai yang memperoleh 5% popular vote atau 3% kursi di DPR yang dapat menyalonkan kandidatnya. Kalau tidak ya mesti berkoalisi.

Pada Pemilu 2004 ini pertama kali pilpres secara langsung. Diikuti 6 paslon: 1) Gus Dur – Marwah Daud Ibrahim (dicalonkan oleh PKB), 2) Amien Rais – Siswono Yudo Husodo (PAN, PKS, PBR, PNBK, PNIM, PPDI, Sarikat, Buruh), 3) Hamzah Haz – Agum Gumelar (PPP), 4) Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi (PDIP, PDS), 5) SBY – JK (Demokrat, PBB, dan PKPI), dan 6) Wiranto – Salahuddin Wahid (Golkar, PDK, Patriot, PPNU). Dalam 2 putaran pasangan SBY – JK menang (60,62%) mengalahkan Megawati – Hasyim Muzadi. Pelantikannya pada 20 Oktober 2004. 

Pemilu 2009 : Pileg diselenggarakan 9 April 2009, diikuti 38 parpol. Hasilnya 9 parpol masuk parlemen (DPR-RI): Demokrat (148 kursi), Golkar (106), PDIP (94), PKS (57), PAN (46), PPP (38), PKB (28), Gerindra (26) dan Hanura (17). Total kursi: 560.

Di area eksekutif, pilpres 2009 diikuti 3 paslon: 1) Megawati – Prabowo (dapat 26,79% suara), 2) SBY – Boediono (60,80%), 3) JK – Wiranto (12,41%). Satu putaran, dan untuk kedua kalinya SBY dilantik pada 20 Oktober 2009. Ini era kejayaan Partai Demokrat, di DPR-RI dengan 148 kursi dan SBY menang ‘land-slide’. 

Pemilu 2014 : Di area legislatif (DPR-RI) diikuti 12 parpol, dan hasilnya 10 parpol masuk parlemen: PDIP (109 kursi), Golkar (91), Gerindra (73), Demokrat (61), PAN (49), PKB (47), PKS (40), Nasdem (35), PPP (39) dan Hanura (16). Pileg ini diselenggaran 9 April 2014. Total kursi: 560. 

Di area eksekutif, Pilpres 2014 tanggal 9 Juli, ada 2 paslon: Nomor urut 01 Prabowo Subianto – Hatta Rajasa (diusung oleh: Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, PBB. Didukung: Demokrat). Sedangkan Nomor urut 02 Jokowi – JK (diusung oleh: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura. Didukung: PKPI). Kampanye “Salam 2 Jari” membawa kemenangan Jokowi dengan 53,15% suara. 

Pemilu 2019 : Di ranah Pileg (DPR-RI) pada 17 April 2019. Diikuti 16 parpol dengan hasil 9 parpol masuk parlemen: PDIP (128 kursi, atau 22,26%), Golkar (85 atau 14,78%), Gerindra (78, atau 13,57%), Nasdem (59 atau 10,26), PKB (58 atau 10,09%), Demokrat (54 atau 9,39%), PKS (50 atau 8,7%), PAN (44 atau 7,65%) dan PPP (19 atau 3,3%). Total kursi DPR-RI dalam Pileg 2019 adalah 575 kursi.

Di ranah eksekutif, Pilpres 2019 ada 2 paslon: Nomor urut 01 Jokowi – Maruf Amin (Diusung oleh: PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura. Didukung oleh: PKPI, Perindo, PSI, PBB). Nomor urut 02 Prabowo – Sandi (Diusung: Gerindra, Demokrat, PAN, PKS. Didukung: Berkarya, Garuda). Kubu Indonesia-Maju berhasil memenangkan Jokowi untuk periode kedua dengan 55,5% suara. 

Di Pilpres dan Pileg 2019 ini pun masih sengit dengan bau busuk politik uang. Mulai dari isu “Jenderal Kardus” di Pilpres lantaran diisukan ada yang mengirim berkardus-kardus duit untuk beli posisi cawapres, sampai serangan fajar di hari pencoblosan. Isu agama pun belum pupus untuk digorang-goreng serta jadi bumbu penyedap makanan basi. 

Pemilu 2024 : Pilpres dan Pileg (DPR-RI, DPD-RI, DPRD Prov dan Kabupaten/Kota) sudah diagendakan KPU tanggal 14 Februari. Lalu Pilkada Serentak bulan November. Pendaftaran parpol peserta pemilu jadwalnya tanggal 1 – 7 Agustus 2022.

Peserta Pileg 2024 nanti tentunya adalah 9 parpol yang sedang duduk DPR-RI saat ini plus beberapa parpol lain yang sedang mengikuti proses verifikasi faktual. Kabarnya ada 75 parpol yang terdaftar di Kemenkumham. Namun walau terdaftar, selain yang sedang duduk di perlemen, haruslah mengikuti proses verifikasi faktual (sesuai UU Pemilu), yang syaratnya antara lain: 

Parpol berstatus badan hukum, kepengurusan di seluruh provinsi, kepengurusan di 75% kabupaten/kota. Kepengurusan di 50% kecamatan. Minimal 30% keterwakilan perempuan. Anggota minimal 1.000 orang punya KTA. Kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Nama parpol, lambang, dan nomor rekening dana kampanye Pemilu. 

Pemilu 2024 juga merupakan arena uji kematangan berpolitik bangsa Indonesia. Untuk menjawab apakah kita semua adalah “zoon-politicon” (insan-politik) atau makhluk sosial yang sudah matang (dewasa) dalam partisipasi politik. Taat aturan, setia pada norma yang adil.

Lewat pengalaman 12 kali pemilu, apakah kita sudah mampu untuk memilih secara rasional dan patuh pada aturan hukum. Tidak lagi berdasar fanatisme buta dan primodialisme sempit. Tidak main terabas dan curang. Akhirnya, apakah kita masih bisa dipermainkan para politisi serigala (berbulu domba) itu?  Yang memancing di air keruh dengan umpan amplop?

“A man has free choice to the extent that he is rational.” – Thomas Aquinas

Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=402320528571935&id=100063819726104 

Melobi, Kegiatan "Klandestin" yang Lazim dalam Sistem Sosial-Politik Apapun!

Melobi, Kegiatan "Klandestin" yang Lazim dalam 
Sistem Sosial-Politik Apapun! 

Oleh: Andre Vincent Wenas
Tak perlu baperan dalam diskusi soal lobi kelompok tertentu. Baik itu lobi politik maupun lobi bisnis, sampai ke lobi soal kegiatan sosial, keagamaan, karitatif dan filantropis. 

Biasa-biasa saja kok, kelompok lobi itu ada dimana-mana. Tak perlu dipungkiri, dan tak perlu hipokrit. Apakah itu Kelompok Lobi Kristen, Kelompok Lobi Islam, atau agama lainnya. Termasuk Kelompok Lobi Sawit/Minyak Goreng, Baja, Batubara, lobi Daging Sapi sampai ke lobi Daging Hangat. Itu fakta sosialnya, juga fakta politik praktisnya (dari power-play, maupun yang pakai fulus atau fustun). 

Baru-baru ini kita mengangkat soal isu kelompok lobi Kristen di Singapura terkait kasus deportasi UAS. Lalu sementara pihak – mungkin ada yang emosi, entah kenapa – atau ada juga yang memang tidak paham (atau naif) soal lobi-melobi ini, protes keras yang sayangnya tidak dibarengi argumentasi. Cuma ngeyel begitu saja. Meskipun pemrotes itu mengaku diri sebagai “intelektual”. Sayang sekali memang.

Lobi dan kegiatan melobi, apa itu?

Per definisi, lobbying adalah “Any attempt by individuals or private interest groups to influence the decisions of government; in its original meaning it referred to efforts to influence the votes of legislators, generally in the lobby outside the legislative chamber. Lobbying in some form is inevitable in any political system.” 

Jadi menarik lantaran dikatakan bahwa kegiatan melobi itu tidak dapat dihindari dalam sistem politik apa pun! Tentu saja, apa serta bagaimana detil kegiatan serta topik pembicaraan dalam lobi itu kerap tidak jadi konsumsi publik. Semacam kegiatan "klandestin", sebut saja begitu. Hanya hasil akhirnya yang bisa diketahui publik. Dan itu lazim terjadi di mana pun, tidak aneh.

Dalam sistem manajemen Jepang dikenal istilah “nemawashi”, suatu  proses informal (tidak resmi) untuk meletakkan dasar bagi rencana perubahan atau suatu usulan proyek. Caranya dengan pendekatan (bicara) kepada pihak-pihak yang relevan, demi meraih dukungan atau minta umpan balik. Hal ini dianggap sebagai elemen penting dalam setiap perubahan besar, sebelum langkah formal apa pun diambil.

Kegiatan melobi ini sangat lentur (flexible) dan cair. Sehingga dikatakan, “Lobbyists are commonly held in a negative light because they are seemingly able to circumvent the democratic process.” Ya, pelobi ini bisa memintas proses demokrasi. 

Walau pun begitu, de-facto: “Lobbying in some form is inevitable in any political system.” Melobi tidak dapat dihindari terjadi dalam sistem politik apa pun. Lobi ternyata suatu keniscayaan dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi.

Kelompok penekan (pressure group) ada di dalam setiap sistem. Dan semua kelompok penekan itu pasti melakukan kegiatan lobi, sesuai cara atau gayanya masing-masing. 

Tatkala Almarhum Tengku Zulkarnaen “diusir” dari Bandara Sam Ratulangie oleh kelompok penekan adat, sulitlah untuk dicerna bila dikatakan tidak ada kelompok lobi tertentu di belakang aksi tersebut. 

Saat kasus 2 pendeta Amerika ditolak masuk ke Singapura dengan alasan yang mirip dengan alasan penolakan UAS, hanya ini dari versi radikalisme Kristen, diyakini juga ada Kelompok Lobi tertentu yang “menjaga” agar otoritas Singapura tetap tegas pada aturan, serta bertindak adil.

Sewaktu proses pengadilan Ahok berjalan, siapa bilang tak ada lobi kelompok penekan di belakang layar? Bahkan sejak sebelumnya, lobi-lobi politik pastilah terus bekelindan merangkai berbagai kepentingan kelompok yang merasa “terganggu” dengan kebijakan Ahok sebagai gubernur. 

Lobi kelompok (sindikat/mafia) Sawit yang berujung penangkapan Dirjen Daglu berikut 3 wayang korporasi, sampai yang terakhir dicokoknya staf ahli Kemenko Perekonomian, Lin Che Wei oleh Kejaksaan Agung. Apakah di peristiwa itu tak ada lobi-lobi politik? Misalnya lobi untuk mengamankan para “master-mind” (biang-kerok) lainnya agar tak tersentuh hukum. Lin Che Wei dikabarkan tidak lagi jadi anggota Tim Asistensi Kemenko Perekonomian sejak Maret 2022. Padahal kasus cpo/migor ini terjadi sejak akhir tahun lalu (2021).

Kelompok Lobi itu faktanya ada karena memang diperlukan, untuk memuluskan lahirnya suatu kebijakan. Termasuk juga untuk menjaga agar suatu regulasi/legislasi yang telah disepakati bisa berjalan pada relnya. Jadi juga berfungsi semacam anjing-penjaga (watch-dog) yang mengawal isi rumah dari mereka yang mau coba-coba menyelewengkan kesepakatan. 

Kelompok Lobi ini juga jadi semacam interface (penghubung) antara otoritas dengan kekuatan lain di jalanan. Kalau coba macam-macam, tahu sendiri akibatnya. Bisa-bisa gerakan parlemen jalanan pun direkayasa untuk diadakan. Bukankah ada mahasewa yang tarif rental-nya bisa dinegosiasikan sesuai skala demo-nya? 

Karena Kelompok Lobi ini memang ada dan terjadi di depan mata kita, lalu kenapa malu dan merasa tabu untuk membicarakannya dalam suatu wacana terbuka? Sampai ada yang bilang takut dipakai jadi alat untuk adu-domba segala! Lalu apakah kita semua ini dikiranya domba bodoh yang bisa diadu-adu? Atau, apakah justru lantaran dirinya sendiri yang takut idola (berhala)-nya roboh? Atau khawatir ‘fantasi-kebenarannya’ malah terbongkar? 

Memang, ‘confront the brutal facts’ itu adalah untuk mereka yang berani serta cerdas. Hanya bagi intelektual sejati, sokratian yang siap mereguk dari piala walau risikonya maksimum. Only for the brave, bukan untuk mereka yang pura-pura mengaku dengan embel-embel intelektual. 

“Amicus Plato, Sed Magis Amica Veritas!” Khusus dalam hal ini tak ada lobi-lobi. Maaf.  

20/05/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
 https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=405478471589474&id=100063819726104 
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India