Melobi, Kegiatan "Klandestin" yang Lazim dalam
Sistem Sosial-Politik Apapun!
Oleh: Andre Vincent Wenas
Tak perlu baperan dalam diskusi soal lobi kelompok tertentu. Baik itu lobi politik maupun lobi bisnis, sampai ke lobi soal kegiatan sosial, keagamaan, karitatif dan filantropis.
Biasa-biasa saja kok, kelompok lobi itu ada dimana-mana. Tak perlu dipungkiri, dan tak perlu hipokrit. Apakah itu Kelompok Lobi Kristen, Kelompok Lobi Islam, atau agama lainnya. Termasuk Kelompok Lobi Sawit/Minyak Goreng, Baja, Batubara, lobi Daging Sapi sampai ke lobi Daging Hangat. Itu fakta sosialnya, juga fakta politik praktisnya (dari power-play, maupun yang pakai fulus atau fustun).
Baru-baru ini kita mengangkat soal isu kelompok lobi Kristen di Singapura terkait kasus deportasi UAS. Lalu sementara pihak – mungkin ada yang emosi, entah kenapa – atau ada juga yang memang tidak paham (atau naif) soal lobi-melobi ini, protes keras yang sayangnya tidak dibarengi argumentasi. Cuma ngeyel begitu saja. Meskipun pemrotes itu mengaku diri sebagai “intelektual”. Sayang sekali memang.
Lobi dan kegiatan melobi, apa itu?
Per definisi, lobbying adalah “Any attempt by individuals or private interest groups to influence the decisions of government; in its original meaning it referred to efforts to influence the votes of legislators, generally in the lobby outside the legislative chamber. Lobbying in some form is inevitable in any political system.”
Jadi menarik lantaran dikatakan bahwa kegiatan melobi itu tidak dapat dihindari dalam sistem politik apa pun! Tentu saja, apa serta bagaimana detil kegiatan serta topik pembicaraan dalam lobi itu kerap tidak jadi konsumsi publik. Semacam kegiatan "klandestin", sebut saja begitu. Hanya hasil akhirnya yang bisa diketahui publik. Dan itu lazim terjadi di mana pun, tidak aneh.
Dalam sistem manajemen Jepang dikenal istilah “nemawashi”, suatu proses informal (tidak resmi) untuk meletakkan dasar bagi rencana perubahan atau suatu usulan proyek. Caranya dengan pendekatan (bicara) kepada pihak-pihak yang relevan, demi meraih dukungan atau minta umpan balik. Hal ini dianggap sebagai elemen penting dalam setiap perubahan besar, sebelum langkah formal apa pun diambil.
Kegiatan melobi ini sangat lentur (flexible) dan cair. Sehingga dikatakan, “Lobbyists are commonly held in a negative light because they are seemingly able to circumvent the democratic process.” Ya, pelobi ini bisa memintas proses demokrasi.
Walau pun begitu, de-facto: “Lobbying in some form is inevitable in any political system.” Melobi tidak dapat dihindari terjadi dalam sistem politik apa pun. Lobi ternyata suatu keniscayaan dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi.
Kelompok penekan (pressure group) ada di dalam setiap sistem. Dan semua kelompok penekan itu pasti melakukan kegiatan lobi, sesuai cara atau gayanya masing-masing.
Tatkala Almarhum Tengku Zulkarnaen “diusir” dari Bandara Sam Ratulangie oleh kelompok penekan adat, sulitlah untuk dicerna bila dikatakan tidak ada kelompok lobi tertentu di belakang aksi tersebut.
Saat kasus 2 pendeta Amerika ditolak masuk ke Singapura dengan alasan yang mirip dengan alasan penolakan UAS, hanya ini dari versi radikalisme Kristen, diyakini juga ada Kelompok Lobi tertentu yang “menjaga” agar otoritas Singapura tetap tegas pada aturan, serta bertindak adil.
Sewaktu proses pengadilan Ahok berjalan, siapa bilang tak ada lobi kelompok penekan di belakang layar? Bahkan sejak sebelumnya, lobi-lobi politik pastilah terus bekelindan merangkai berbagai kepentingan kelompok yang merasa “terganggu” dengan kebijakan Ahok sebagai gubernur.
Lobi kelompok (sindikat/mafia) Sawit yang berujung penangkapan Dirjen Daglu berikut 3 wayang korporasi, sampai yang terakhir dicokoknya staf ahli Kemenko Perekonomian, Lin Che Wei oleh Kejaksaan Agung. Apakah di peristiwa itu tak ada lobi-lobi politik? Misalnya lobi untuk mengamankan para “master-mind” (biang-kerok) lainnya agar tak tersentuh hukum. Lin Che Wei dikabarkan tidak lagi jadi anggota Tim Asistensi Kemenko Perekonomian sejak Maret 2022. Padahal kasus cpo/migor ini terjadi sejak akhir tahun lalu (2021).
Kelompok Lobi itu faktanya ada karena memang diperlukan, untuk memuluskan lahirnya suatu kebijakan. Termasuk juga untuk menjaga agar suatu regulasi/legislasi yang telah disepakati bisa berjalan pada relnya. Jadi juga berfungsi semacam anjing-penjaga (watch-dog) yang mengawal isi rumah dari mereka yang mau coba-coba menyelewengkan kesepakatan.
Kelompok Lobi ini juga jadi semacam interface (penghubung) antara otoritas dengan kekuatan lain di jalanan. Kalau coba macam-macam, tahu sendiri akibatnya. Bisa-bisa gerakan parlemen jalanan pun direkayasa untuk diadakan. Bukankah ada mahasewa yang tarif rental-nya bisa dinegosiasikan sesuai skala demo-nya?
Karena Kelompok Lobi ini memang ada dan terjadi di depan mata kita, lalu kenapa malu dan merasa tabu untuk membicarakannya dalam suatu wacana terbuka? Sampai ada yang bilang takut dipakai jadi alat untuk adu-domba segala! Lalu apakah kita semua ini dikiranya domba bodoh yang bisa diadu-adu? Atau, apakah justru lantaran dirinya sendiri yang takut idola (berhala)-nya roboh? Atau khawatir ‘fantasi-kebenarannya’ malah terbongkar?
Memang, ‘confront the brutal facts’ itu adalah untuk mereka yang berani serta cerdas. Hanya bagi intelektual sejati, sokratian yang siap mereguk dari piala walau risikonya maksimum. Only for the brave, bukan untuk mereka yang pura-pura mengaku dengan embel-embel intelektual.
“Amicus Plato, Sed Magis Amica Veritas!” Khusus dalam hal ini tak ada lobi-lobi. Maaf.
20/05/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=405478471589474&id=100063819726104
0 Comments:
Posting Komentar