Untuk plastik yang terlanjur sudah ada, itu sekarang yang terbaik untuk dibuat. Tetapi mengingat bahwa 90% plastik selama ini tak mampu didaur ulang oleh masyarakat umum dan pemerintah, saya tetap berdoa agara pertemuan akhir tahun di Korea bisa melarang plastik sekali pakai. Moga2 doa saya tak merugikan usaha beberapa teman pengrajin yang sekarang menjadi contoh daur ulang dan berhasil menjadikan sedikiiiit plastik menjadi emas. Tetapi, tak tampak bahwa way out seluruh masalah plastik sekali pakai ada di situ.
PERTAHANKAN NKRI DI SELURUH INDONESIA
Indonesia adalah Negara yang Berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45.Maju terus pantang mundur guna menuju Rakyat Adil Dan Makmur untuk Seluruh Rakyat Indonesia.
PEMIMPIN ANTI KORUPSI
Presiden Satu-satunya di Indonesia memiliki Sertificate ANTI KORUPSI,Jujur dan Kerja Keras,Dekat Dengan Rakyatnya.
Minggu, 29 September 2024
September 29, 2024
top
No comments
Iya, tapi kalo ditimpakan hanya pada masyarakat sipil yo tetep jebol. Negara dan korporasi mesti juga melakukannya. Kita harus mendorong dua institusi itu. Regulasinya sudah ada kok.
Sambil tetap ngompos, bikin eco enzyme.
September 29, 2024
top
No comments
Jadi ... Mulai dgn melawan segala iklan kebohongan produsen aqua kemasan plastik di media kita tentang daur ulang yang mereka anjurkan tapi juga tak bisa lakukan. Ini cuma kesempatan iklan bagi produknya dan tidak memberi pemecahan masalah yang mereka timbulkan. Boicot konsisten air botol plastik. BTS, bawa tumbler sendiri. 😇
Masalah export pasir
September 29, 2024
top
No comments
[28/09, 22:59] +444: Menjelang tidur sy tuliskan ini , membaca soal ekspor pasir laut atau sendimen laut apapun namanya , ya membuat hati sedih jadi ingat beberapa minggu lalu saat sy berbincang2 dengan 2 orang bankir muda mengenai visi misi sy berkarya dan legacy untuk generasi muda, bankir muda itu mengatakan pada sy apakah tahu apa pernyataan alm PM Lee Kwan Yeo mengenai Indonesia ?
[28/09, 23:04] +444: Katanya alm pernah mengatakan bangsa Indonesia harusnya sdh bukan terus mengeksploitasi sumber alam namun harus memajukan sumber daya manusianya. Ya mendengar itu teringat sy baru bulan Juni lalu saat sy ke Spore untuk bantu putri kami memboyong balik barang2 nya ke Jakarta, supir taksi dengan nada riang mengatakan jalan ini daerah ini aslinya laut tp direklamasi dengan pasir dari Indonesia . Dan sedangkan Indonesia wilayahnya bertambah kecil bahkan pulau2 bakal tenggelam ( bacaan di atas ) . Kondisi spt ini apakah ada penguasa yang mampu melakukan sesuatu akn tergugah atau sebaliknya spt kata mendiang Gua Nur , emangnya gua pikirin ? . Prihatin namun inilah situasinya ….
[28/09, 23:22] +6601: Hr ini sy sempat nonton podcast Tempo soal pasir laut. Peraturan Menteri Perdagangan tsb sbg tindak lanjut Peraturan Pemerintah yg terbit sebelumnya. Larangan export pasir laut telah 20 th. Salah satu info utamanya pengusaha utama yg mengantongi ijin eksport pasir laut adalah pak Hasyim Djojohadikusumo, adik pak Prabowo. Pak Hasyim ini skr juga main 'timah', tdk heran pemain timah yg lama dikenakan kasus hukum, akan terjadi perubahan 'pemain utama' bisnis SDA di Indonesia. Shg Tempo pesimistis pemerintahan baru pak Prabowo nantinya akan memperbaiki ekonomi rakyat Indonesia. Yg terjadi perubahan konstalasi oligarki penguasa sumber2 SDA.😰😰 Agak memprihatinkan memang.
Bila butuh payung UU, UU dibuat, bila butuh PP, PP dibuat. Shg secara hukum clean, tdk ada yg salah.😰😰
Indonesia emas 2045 betul2 bisa menjadi Indonesia cEmas.😰😰
Sabtu, 28 September 2024
Cmr
September 28, 2024
top
No comments
Semangat Pagi Semuanya
Salam sehat selalu buat kita semua🙏
Setiap Opini Pagi dari Pak Ketua @paupagun 333 KH.Fachurddin selalu berkesan dan memiliki arti yg mendalam👍...
Kita sebagai *Generasi CMR* (Cerdas Modern Religius) harus tampil *BEDApisan* utk *MELANJUTKAN* yg sdh dibangun oleh Wali Kota & Wakilnya berserta Jajarannya termasuk yg tidak kalah penting dari unsur ToMas, ToGa, ToDat dan Tokoh2 lainnya utk menjunjung tinggi nilai Toleransi & Kebangsaan demi TANGSEL MAJU BERSAMA BANTEN dan BUKAN YANG LAIN
Salam C-MoRe & Kerukunan 🤏💪
Sabtu, 14 September 2024
20TH ANNIVERSARY OF THE BIRTH FOR HEAVEN OF FR. ROLF REICHENBACH SSCC (1931-2004)
September 14, 2024
top
No comments
20TH ANNIVERSARY OF THE BIRTH FOR HEAVEN OF FR. ROLF REICHENBACH SSCC (1931-2004)
The General Chapter of the Brothers of the Congregation of the Sacred Hearts of Jesus and Mary (Picpus), meeting in Rome from September 1 to 22, 2024, will consider, among other things, the applications of the SSCC General Postulator to begin the beatification processes of two religious of the Congregation of the Sacred Hearts who died with a reputation for holiness.
One of them concerns Fr. Rolf Reichenbach SSCC, a missionary in Indonesia, Apostolic Administrator of Pangkalpinang, a charismatic priest with a rich spirituality, a man of great humility, completely devoted to God and man, whom the Lord called to himself exactly 20 years ago, on September 11, 2004.
Friedrich Joseph Reichenbach, later Fr. Rolf, was born as the third son in a Jewish-German Catholic family in Cologne, on Ocober 15, 1931. Because of the attacks to Jewish possessions and person in the 1930s the family moved to the Netherlands in 1939. Then the father moved to the United Kingdom where he died in January 1946. All his three sons studied theology and became priests. Klaus was a diocesan priest in Cologne. Hans was like his brother Rolf a member of the Congregation of the Sacred Hearts and a missionary to Indonesia, but had to return in the early 1960s to the Netherlands.
Rolf Reichanbach made his first vows on September 25, 1953 and final vows on September 25, 1956. He was ordained as a priest on September 14, 1958. One year later, on September 05, 1959, he was sent to strengthen the mission in Indonesia. He came in late 1959 in the diocese of Pangkalpinang and worked as a parish priest in the island of Belitung and even longer in Tanjung Pinang, close to Singapore. His parish was a diaspora church of mostly Chinese Catholics.
In 1975 in the diocese of Pangkalpinang a new problem started: the arrival of ten thousands of boat refugees from Vietnam, espcially on the island of Galang. Fr. Rolf went very often to the island to help them.
In 1977 he became Vicar of the Bishop of Pangkalpinang and then from 1979 until 1988 Apostolic Administrator of the diocese.
From 1988-1991 he was the SSCC Superior for Indonesia. But after that year he returned to the duty of parish priest and more and more concentrated on local and even national propagation for a charismatic spirituality.
Fr. Rolf was very active in many places to give retreats, held talks, also for many young groups and he could use this opportunity to seek more vocations for the Congregation of the Sacred Hearts, not only for Brothers, but also for Sisters.
In the late 1990s Fr. Rolf became the regional supervisor of BPN PKK, Badan Pelayanan Nasional Persekutuan (Doa) Karismatik Katolik. In 2002 he was nominated national supervisor, but soon after that his health declined with cancer of the skin and bones. After long suffering, trip to many hospitals in Singapore, Jakarta, Bandung and the Netherlands he died on September 11, 2004 in Breda.
In 2008, his body, preserved in good condition, was transported from the Netherlands to Indonesia and buried in Batam, where the faithful can ask for the necessary graces through his intercession.
The second application concerns
Fr. Mateo Crawley-Boevey SSCC (1875-1960), one of the greatest apostles of the Sacred Heart of Jesus in the 20th century, founder and zealous propagator of the Work of the Enthronement of the Sacred Heart in Christian families.
He was born on November 18, 1875 in Tingo (Arequipa), Peru. At baptism he was named Edward Maksym. His father, Charles Octave Crawley-Boevey, was of English descent and a Protestant, later converted to Catholicism. Mother Maria, née Murga, was Peruvian and a devout Catholic.
In 1884, the Crawley-Boevey family moved to Valparaiso, Chile. There, at the age of 15, most likely following the example of saint Father Damian of Molokai, Edward joined the Congregation of the Sacred Hearts of Jesus and Mary and took the name Joseph Stanislas, which he later changed to Mateo.
On August 11, 1892, he took perpetual vows, on April 2, 1897, he was ordained a deacon, and on December 17, 1898, he was ordained a priest.
After his ordination, he was appointed director of the Social Center in Santiago, and then collaborated in the creation of the Catholic University of Valparaiso. In 1905, he was appointed rector of the Faculty of Law in Valparaiso.
On August 16, 1906, a key event for the further life of Father Mateo took place. A strong earthquake left Valparaiso in ruins, including the building of the Faculty of Law, of which he was rector. Rushing to help the victims of the disaster, working day and night, Father Mateo brought his body to complete physical exhaustion. In this situation, his superiors, following the doctors' suggestion, decided to send him to Europe for treatment, not realizing that it would begin a completely new stage in Father Mateo's life and activities.
On August 24, 1907, while praying in the Chapel of the Apparitions in Paray-le Monial in France, the young priest regained full health and clearly saw his new mission: winning the whole world to the Sacred Heart by enthroning individual families and social groups. Having previously received the blessing of Pope St. Pius X and strengthened by his pilgrimage to the Holy Land, Father Mateo returns to Chile to begin the crusade for the enthronement of the Sacred Heart. The work spread very quickly in Chile and then in other countries of the Americas.
In the years 1914-1935 Father Mateo promoted enthronement in European countries, then in the years 1935-1940 in Asia and finally in the years 1940-1956 in Hawaii, the United States and Canada. During this period, Father Mateo was seriously ill.
In 1956 he returned to Valparaiso. In 1959, he underwent surgery to amputate a leg infected with gangrene, which was the result of his diabetes and leukemia.
Father Mateo died in the reputation of holiness on May 4, 1960, at the age of 84. His body was buried in the church of the Sacred Hearts of Jesus and Mary in Valparaiso, which was most dear to him after the chapel in Paray-le-Monial. Notified of the death of the Founder of the Work of Enthronement, the Holy Father John XXIII sent his condolences to the Superior General of the Congregation, Father Henry Systermans, expressing the hope that the loss suffered by the Congregation "will be compensated by the presence in heaven of a new and effective protector."
I encourage all interested parties to pray fervently for the successful commencement of the beatification processes of both Fr. Rolf Reichenbach and Fr. Mateo Crawley-Boevey.
The General Chapter of the Brothers of the Congregation of the Sacred Hearts of Jesus and Mary (Picpus), meeting in Rome from September 1 to 22, 2024, will consider, among other things, the applications of the SSCC General Postulator to begin the beatification processes of two religious of the Congregation of the Sacred Hearts who died with a reputation for holiness.
One of them concerns Fr. Rolf Reichenbach SSCC, a missionary in Indonesia, Apostolic Administrator of Pangkalpinang, a charismatic priest with a rich spirituality, a man of great humility, completely devoted to God and man, whom the Lord called to himself exactly 20 years ago, on September 11, 2004.
Friedrich Joseph Reichenbach, later Fr. Rolf, was born as the third son in a Jewish-German Catholic family in Cologne, on Ocober 15, 1931. Because of the attacks to Jewish possessions and person in the 1930s the family moved to the Netherlands in 1939. Then the father moved to the United Kingdom where he died in January 1946. All his three sons studied theology and became priests. Klaus was a diocesan priest in Cologne. Hans was like his brother Rolf a member of the Congregation of the Sacred Hearts and a missionary to Indonesia, but had to return in the early 1960s to the Netherlands.
Rolf Reichanbach made his first vows on September 25, 1953 and final vows on September 25, 1956. He was ordained as a priest on September 14, 1958. One year later, on September 05, 1959, he was sent to strengthen the mission in Indonesia. He came in late 1959 in the diocese of Pangkalpinang and worked as a parish priest in the island of Belitung and even longer in Tanjung Pinang, close to Singapore. His parish was a diaspora church of mostly Chinese Catholics.
In 1975 in the diocese of Pangkalpinang a new problem started: the arrival of ten thousands of boat refugees from Vietnam, espcially on the island of Galang. Fr. Rolf went very often to the island to help them.
In 1977 he became Vicar of the Bishop of Pangkalpinang and then from 1979 until 1988 Apostolic Administrator of the diocese.
From 1988-1991 he was the SSCC Superior for Indonesia. But after that year he returned to the duty of parish priest and more and more concentrated on local and even national propagation for a charismatic spirituality.
Fr. Rolf was very active in many places to give retreats, held talks, also for many young groups and he could use this opportunity to seek more vocations for the Congregation of the Sacred Hearts, not only for Brothers, but also for Sisters.
In the late 1990s Fr. Rolf became the regional supervisor of BPN PKK, Badan Pelayanan Nasional Persekutuan (Doa) Karismatik Katolik. In 2002 he was nominated national supervisor, but soon after that his health declined with cancer of the skin and bones. After long suffering, trip to many hospitals in Singapore, Jakarta, Bandung and the Netherlands he died on September 11, 2004 in Breda.
In 2008, his body, preserved in good condition, was transported from the Netherlands to Indonesia and buried in Batam, where the faithful can ask for the necessary graces through his intercession.
The second application concerns
Fr. Mateo Crawley-Boevey SSCC (1875-1960), one of the greatest apostles of the Sacred Heart of Jesus in the 20th century, founder and zealous propagator of the Work of the Enthronement of the Sacred Heart in Christian families.
He was born on November 18, 1875 in Tingo (Arequipa), Peru. At baptism he was named Edward Maksym. His father, Charles Octave Crawley-Boevey, was of English descent and a Protestant, later converted to Catholicism. Mother Maria, née Murga, was Peruvian and a devout Catholic.
In 1884, the Crawley-Boevey family moved to Valparaiso, Chile. There, at the age of 15, most likely following the example of saint Father Damian of Molokai, Edward joined the Congregation of the Sacred Hearts of Jesus and Mary and took the name Joseph Stanislas, which he later changed to Mateo.
On August 11, 1892, he took perpetual vows, on April 2, 1897, he was ordained a deacon, and on December 17, 1898, he was ordained a priest.
After his ordination, he was appointed director of the Social Center in Santiago, and then collaborated in the creation of the Catholic University of Valparaiso. In 1905, he was appointed rector of the Faculty of Law in Valparaiso.
On August 16, 1906, a key event for the further life of Father Mateo took place. A strong earthquake left Valparaiso in ruins, including the building of the Faculty of Law, of which he was rector. Rushing to help the victims of the disaster, working day and night, Father Mateo brought his body to complete physical exhaustion. In this situation, his superiors, following the doctors' suggestion, decided to send him to Europe for treatment, not realizing that it would begin a completely new stage in Father Mateo's life and activities.
On August 24, 1907, while praying in the Chapel of the Apparitions in Paray-le Monial in France, the young priest regained full health and clearly saw his new mission: winning the whole world to the Sacred Heart by enthroning individual families and social groups. Having previously received the blessing of Pope St. Pius X and strengthened by his pilgrimage to the Holy Land, Father Mateo returns to Chile to begin the crusade for the enthronement of the Sacred Heart. The work spread very quickly in Chile and then in other countries of the Americas.
In the years 1914-1935 Father Mateo promoted enthronement in European countries, then in the years 1935-1940 in Asia and finally in the years 1940-1956 in Hawaii, the United States and Canada. During this period, Father Mateo was seriously ill.
In 1956 he returned to Valparaiso. In 1959, he underwent surgery to amputate a leg infected with gangrene, which was the result of his diabetes and leukemia.
Father Mateo died in the reputation of holiness on May 4, 1960, at the age of 84. His body was buried in the church of the Sacred Hearts of Jesus and Mary in Valparaiso, which was most dear to him after the chapel in Paray-le-Monial. Notified of the death of the Founder of the Work of Enthronement, the Holy Father John XXIII sent his condolences to the Superior General of the Congregation, Father Henry Systermans, expressing the hope that the loss suffered by the Congregation "will be compensated by the presence in heaven of a new and effective protector."
I encourage all interested parties to pray fervently for the successful commencement of the beatification processes of both Fr. Rolf Reichenbach and Fr. Mateo Crawley-Boevey.
Mari Kita Merenung Sejenak Bersama Sama....
September 14, 2024
top
No comments
gambar ilustrasi
Teman . . Sebelum manusia Bisa membuat bangunan rumah untuk tempat tinggal, katakanlah leluhur kita masing-masing 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, betapa Keras dan mati-matian kepala-kepala Rumah tangga Leluhur-leluhur kita masing - masing, 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, Dalam Berjuang Mempertahankan keberlangsungan keluarga, masuk hutan keluar hutan, naik bukit turun Bukit, masih bertempat tinggal dibawah rindangnya hutan untuk menghindari terik matahari dan menghindari Hujan, sambil menggendong dan menggandeng anak-anaknya yang masih kecil-kecil dan sebagian ada yang tinggal di dalam goa
Bahwa Selain Perjuangan leluhur kita masing-masing 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, yang masih belum ada rumah seperti sekarang ini, jelas berjuang dengan gigih untuk mempertahankan Keberlangsungan Hidupnya dan Keluarganya dengan Hidup dibawah Pohon Rindang atau hidup di dalam goa, juga berjuang untuk mencari makanan, berburu binatang untuk dimakan, agar supaya tetap hidup, sekalgus juga menghadapi tantangan melawan binatang - binatang kecil yang berbisa, sekalgus juga melawan binatang-binatang pemangsa, seperti srigala, Harimau, singa, ular-ular besar dan lain sebagainya
Bahwa selain itu, mari kita bayangkan apabila Perjuangan mempertahankan hidup leluhur kita 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, ketika ada beberapa anaknya yang masih balita dalam keadaan sakit dan kehujanan serta di hujam oleh sambaran-sambaran petir dimana-mana, betapa sedihnya leluhur kita 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, yaitu orang tua baik Ibu Atau ayah, melihat anak-anaknya yang menangis keras-keras dalam keadaan sakit dan kehujanan serta sambaran petir dimana-mana
Teman . . kembali dalam keadaan sekarang ini, sebagian besar manusia sudah mempunyai rumah (baik rumah sendiri, Rumah warisan orang tua, atau menyewa rumah) untuk di huni dan dijadikan tempat tinggal, sehingga bisa tidur pada malam hari, bisa terhindar dari hujan deras, bisa terhindar dari angin topan, bisa terhindar dari hewan Pemangsa dan terhindar dari hal - hal lain sebagainya yang tidak menyenangkan
Teman . . dalam keadaan sekarang, apabila dibandingkan dengan keadaan 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita saat sekarang ini, jelas terlihat dan dapat dirasakan, betapa kehidupan saat sekarang ini jauh lebih menyenangkan, jauh lebih nyaman apabila dibandingkan dengan kehidupan 300 (tiga ratus) generasi sebelum kita, yang penuh Perjuangan keras untuk mempertahankan Kehidupan
Bahwa dalam keadaan sekarang ini, sudah banyak tempat tinggal yang Indah-Indah dan asri, sehingga sangat nyaman untuk ditempat tinggali, bahkan banyak gedung-gedung menjulang tinggi yang tingginya melebihi bukit-bukit kecil yang alami, namun masih banyak juga, diantara sesama Umat manusia, masih menghuni di tempat yang tidak layak huni, padahal tiap hari sudah bekerja keras, karena hanya diambil tenaganya, namun tidak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan Hasil kerja kerasnya
Pertanyaannya : Mengapa dalam keadaan yang lebih nyaman, lebih menyenangkan, namun masih ada orang-orang yang serakah yang menghalalkan segala cara untuk mengambil semua hampir tanpa sisa ?
Apa ndak bisa punya rasa peduli berbagi kepada yang lemah dan papa ?, bukan sekedar memberikan bantuan sosial dalam jumlah yang ndak seberapa, dibandingkan dengan yang diperolehnya, yang berlimpah ruah, yang ndak akan habis dimakan 70 (tujuh puluh) turunan
Photo from Marsello
September 14, 2024
top
No comments
*Katolik Kristen*
DI's Way
13 Sep 2024
SiTUMORANG kini tidak hanya terkenal karena lagu SiTUMORANG begitu populer. Marga SiTUMORANG kini tercatat dan diingat sebagai pembangun patung Yesus tertinggi di dunia.
Nama-nama seperti Sudung Situmorang dan atau Daulat Situmorang melekat di patung itu. Keduanya termasuk pemrakarsa patung yang dibangun di Sibeabea itu: di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Begitu pentingnya patung yang mereka bangun sampai Paus Fransiskus berkenan meresmikannya. Yakni saat Sri Paus berkunjung ke Indoneeia pekan lalu. Peresmiannya dilakukan di kedutaan Vatikan di Jakarta.
Tentu orang Samosir ingin Sri Paus datang ke Sibeabea. Tapi Anda sudah tahu: usia beliau sudah 87 tahun. Pakai kursi roda. Anda juga sudah tahu di mana itu Sibeabea: di balik Pulau Samosir --kalau Anda melihatnya dari arah Medan.
Jalan tercepat mencapai Sibeabea ada dua. Lewat Medan dan Silangit.
Dari Medan naik mobil ke Danau Toba. Dua jam. Medan-Siantar sudah jalan tol. Siantar-Toba pakai jalan lama.
Begitu jalan raya mentok di danau Toba Anda belok kiri. Ke arah Parapat. Sampai di Tiga Raja Anda berhenti. Ada kapal fery di situ. Mobil Anda bisa dinaikkan fery. Mengarungi danau toba. Ke arah pulau Samosir di seberang sana.
Tibalah Anda di Ambarita, di pantai Pulau Samosir. Mobil Anda bawa turun. Dari Ambarita kembali naik mobil: menyusuri pantai pulau Samosir. Ikut lengkungan di ujung utara pulau. Lalu memutar ke arah selatan dan timur.
Anda tidak akan bosan. Inilah saatnya Anda menikmati indahnya menyusuri pantai Danau Toba yang tenang. Udaranya selalu sejuk. Sepanjang tahun.
Sampai Bolon Pangururan, di sisi barat pulau Samosir, Anda tidak perlu menyeberang lagi. Dari pulau Samosir kini sudah ada jembatan. Itulah jembatan yang menyatukan pulau Samosir dengan daratan Tapanuli di seberang pulau.
Jembatannya sendiri kini jadi objek wisata kebangaan orang Samosir. Mereka tidak membayangkan akan ada jembatan modern nun di pedalaman Samosir. Baru. Melengkung di atas selat Tano Ponggol. Itulah selat antara Samosir dan daratan Tapanuli yang paling sempit.
Jembatan itu panjangnya 350 meter. Berpilar tiga. Tinggi Warna merah. Di bagian atas sana tiga pilar itu menyatu: jadi pegangan kabel-kabel baja.
Jembatannya sendiri berada di sela-sela ''paha'' pilar itu. Bentang terpanjangnya 90 meter. Kapal bisa tetap lewat di bawahnya. Arsitektur jembatan itu modern. Tiga pilar yang menyatu tinggi itu menjadi icon tersendiri.
Nama Presiden Jokowi abadi melekat di jembatan itu.
Tiba di jembatan ini berarti Sibeabea tidak jauh lagi. Sibeabea sudah di depan mata.
Sibeabea adalah kampung halaman Sudung Sitomorang. Juga kampung halaman Daulat Situmorang. Rumah mereka berdekatan. Keduanya memang masih sepupu --Sudung memanggil Daulat sebagai paman.
Untuk mencapai Sibeabea, Anda juga bisa terbang dari Jakarta. Langsung ke Bandara Silangit di Siborongborong. Lalu naik mobil sejauh 2,5 jam menuju arah Humbang Hasundutan. Ada pertigaan menuju Sibeabea.
Dari desa itu Sudung merantau ke Medan. Lalu ke Jakarta. Pun Daulat. Dari Sibeabea menuju Medan. Lalu ke Bandung.
Kampung itu memang tidak subur. Bahkan bukit yang jadi lokasi patung sangat tandus. Berbatu. Tidak bisa jadi lahan pertanian. Singkong pun, tanaman tradisional sumber hidup mereka, tidak bisa ditanam di bukit itu.
Sudung jadi sarjana hukum di Universitas Indonesia (UI). S-2 nya pun di bidang hukum. Lalu jadi jaksa. Jadi orang terpandang. Pernah menjadi kepala Kejaksaan Tinggi, Jakarta.
Di Bandung, Daulat jadi insinyur. Arsitek. Lulusan ITB. Lalu jadi pegawai negeri. Daulat bekerja di PU Sumut di Medan. Sudah lama pensiun. Seumur saya: 73 tahun.
Mereka menjadi punya waktu. Lalu terpikir kejadian puluhan tahun sebelumnya. Saat Orde Baru. Yakni ketika menteri pariwisata (waktu itu) Joop Ave datang ke Medan. Keduanya menemui sang menteri. Bersama tokoh Batak lainnya.
Saat itulah Joop Ave mengucapkan kata-kata yang terus terngiang di pikiran mereka: bangunlah patung Yesus di Toba. Yang tertinggi di dunia. Itulah objek wisata yang akan jadi daya tarik tambahan bagi danau Toba.
Kata-kata Joop Ave itu tenggelam. Lama. Lalu muncul lagi saat mereka sudah pensiun.
Proses pembangunan Patung Yesus di Sibea-Bea, Samosir.-Scrupulous / Wikipedia-Scrupulous / Wikipedia
Tahun 2018 mereka mendirikan yayasan: Yayasan Jadilah Terang Danau Toba. Sudung jadi ketua pembina di yayasan. Daulat satu-satunya arsitek di yayasan itu. Warga Situmorang menjadi inti dari yayasan itu.
Sebagai arsitek Daulat tahu apa yang harus dilakukan: membuat perencanaan. Mereka tahu di mana lokasi terbaik: di atas bukit tandus berbatu di kampung halaman.
Posisinya bagus sekali. Ketinggian bukit itu 100 meter dari permukaan air danau Toba.
Kalau patung dibangun di situ langsung bisa seperti Yesus sedang memberkati seluruh danau Toba. Sudah termasuk Pulau Samosir di tengahnya.
Saya berbincang lama dengan Daulat. Kemarin. Saya baru tahu: inilah patung Yesus tertinggi di dunia yang dikerjakan dengan keikhlasan tertinggi pula.
Sudung dan Daulat pun mengadakan pertemuan dengan warga Sibeabea. Rencana itu dipaparkan. Secara lisan. Tidak ada proposal lengkap seperti umumnya proyek besar. Semuanya ada di kepala sang arsitek.
Warga pun setuju. Bukit itu tidak bertuan. Tidak perlu biaya pembebasan. Luasnya 15 hektare.
Jadilah patung Yesus dibangun di situ. Tidak ada warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah.
Untuk mulai membangunnya tidak perlu menunggu dana terkumpul. Daulat cukup meminjam satu alat berat dari PU. Hanya perlu bayar satu orang operator dan membeli bahan bakarnya.
Dengan satu alat berat itu Daulat merintis jalan menuju puncak bukit. Jauhnya 1,2 km. Naik dan naik. Berliku. Mengikuti kontur bukit.
Ketika sudah terbuka sampai puncak dilakukanlah pemotongan puncaknya. Agar bisa didapat tanah rata di puncak itu.
Jadilah ketinggiannya berkurang. Jadi tinggal 90 meter dari permukaan air danau Toba.
Badan jalan yang dibuat Daulat lebarnya 12 meter. Batu mudah didapat di sana. Tidak perlu beli. Kualitas badan jalan pun bagus.
Tinggal dilakukan pengaspalan. Selebar 7 meter. Tidak banyak lagi biaya. Setelah badan jalan selesai barulah mereka minta bantuan pengaspalan dari PU pusat.
Dengan mudah permintaan itu dipenuhi --karena badan jalan sudah jadi. Berapa miliar rupiah kalau proyek itu pakai dana negara.
Untuk membangun patungnya Daulat yang merancang. Mulai bentuk sampai rancangan konstruksinya.
Bahwa tinggi patung sampai 61 meter itu supaya bisa disebut yang tertinggi di dunia. Sudah bisa mengalahkan yang di Polandia: 52 meter.
Jauh mengalahkan yang paling terkenal di dunia, yang di Rio de Janeiro itu, yang saya pernah ke sana: 30 sampai 38 meter.
Patut Yesus di Rio de Janeiro-Tribun-Tribun
Daulat bukan Katolik. Ia protestan. Gerejanya GKPI --Gereja Kristen Protestan Indonesia. Tidak masalah. Sama-sama Yesus. Tapi tetap ada "warna" Kristennya di patung itu.
Lihatlah dari jauh. Dari jarak yang sampai tidak terlihat detail wajah Yesusnya. Yang tampak tinggal siluetnya. Maka patung itu akan terlihat seperti salib.
Inilah patung Katolik dengan rasa Protestan. Orang Indonesia selalu punya jalan untuk akomodatif.
Sudung sendiri Katolik. Kini Sudung berlanjut mengabdi di kampung halaman: merawat Hutan Tele. Itulah hutan yang berperan penting menjadi penyangga air danau Toba. Sudung tidak mau Hutan Tele rusak.
Setelah diresmikan oleh Sri Paus patung Yesus itu akan diresmikan lagi oleh Presiden Jokowi. Minggu depan. Langsung di lokasinya di Sibeabea.
Patung Yesus di Sibea-Bea, Samosir ketika terlihat dari jauh.--
Sebelum berbincang dengan Daulat, saya pikir lokasinya tidak terlalu jauh dari Silangit. Ternyata masih 2,5 jam. Seandainya jalan tol dari Medan sudah sampai Toba pun masih harus menyeberang ke Ambarita.
Adakah ide agar patung tertinggi di dunia itu tidak terasa terlalu jauh? Tarif masuknya memang hanya Rp 5.000/orang tapi siapa mau ke sana?
Sudah waktunya ada bandara di dekat-dekat Humbang Hasundutan. Atau jalan Silangit ke Humbang diperlebar: agar jarak itu bisa ditempuh hanya satu jam.
Toba itu indah nian alamnya, sejuk sekali suhu udaranya, sejuk sepanjang masa, tapi masih saja jauh di mata. Pun setelah ada yang tertinggi di dunia.(Dahlan Iskan)
DI's Way
13 Sep 2024
SiTUMORANG kini tidak hanya terkenal karena lagu SiTUMORANG begitu populer. Marga SiTUMORANG kini tercatat dan diingat sebagai pembangun patung Yesus tertinggi di dunia.
Nama-nama seperti Sudung Situmorang dan atau Daulat Situmorang melekat di patung itu. Keduanya termasuk pemrakarsa patung yang dibangun di Sibeabea itu: di Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir.
Begitu pentingnya patung yang mereka bangun sampai Paus Fransiskus berkenan meresmikannya. Yakni saat Sri Paus berkunjung ke Indoneeia pekan lalu. Peresmiannya dilakukan di kedutaan Vatikan di Jakarta.
Tentu orang Samosir ingin Sri Paus datang ke Sibeabea. Tapi Anda sudah tahu: usia beliau sudah 87 tahun. Pakai kursi roda. Anda juga sudah tahu di mana itu Sibeabea: di balik Pulau Samosir --kalau Anda melihatnya dari arah Medan.
Jalan tercepat mencapai Sibeabea ada dua. Lewat Medan dan Silangit.
Dari Medan naik mobil ke Danau Toba. Dua jam. Medan-Siantar sudah jalan tol. Siantar-Toba pakai jalan lama.
Begitu jalan raya mentok di danau Toba Anda belok kiri. Ke arah Parapat. Sampai di Tiga Raja Anda berhenti. Ada kapal fery di situ. Mobil Anda bisa dinaikkan fery. Mengarungi danau toba. Ke arah pulau Samosir di seberang sana.
Tibalah Anda di Ambarita, di pantai Pulau Samosir. Mobil Anda bawa turun. Dari Ambarita kembali naik mobil: menyusuri pantai pulau Samosir. Ikut lengkungan di ujung utara pulau. Lalu memutar ke arah selatan dan timur.
Anda tidak akan bosan. Inilah saatnya Anda menikmati indahnya menyusuri pantai Danau Toba yang tenang. Udaranya selalu sejuk. Sepanjang tahun.
Sampai Bolon Pangururan, di sisi barat pulau Samosir, Anda tidak perlu menyeberang lagi. Dari pulau Samosir kini sudah ada jembatan. Itulah jembatan yang menyatukan pulau Samosir dengan daratan Tapanuli di seberang pulau.
Jembatannya sendiri kini jadi objek wisata kebangaan orang Samosir. Mereka tidak membayangkan akan ada jembatan modern nun di pedalaman Samosir. Baru. Melengkung di atas selat Tano Ponggol. Itulah selat antara Samosir dan daratan Tapanuli yang paling sempit.
Jembatan itu panjangnya 350 meter. Berpilar tiga. Tinggi Warna merah. Di bagian atas sana tiga pilar itu menyatu: jadi pegangan kabel-kabel baja.
Jembatannya sendiri berada di sela-sela ''paha'' pilar itu. Bentang terpanjangnya 90 meter. Kapal bisa tetap lewat di bawahnya. Arsitektur jembatan itu modern. Tiga pilar yang menyatu tinggi itu menjadi icon tersendiri.
Nama Presiden Jokowi abadi melekat di jembatan itu.
Tiba di jembatan ini berarti Sibeabea tidak jauh lagi. Sibeabea sudah di depan mata.
Sibeabea adalah kampung halaman Sudung Sitomorang. Juga kampung halaman Daulat Situmorang. Rumah mereka berdekatan. Keduanya memang masih sepupu --Sudung memanggil Daulat sebagai paman.
Untuk mencapai Sibeabea, Anda juga bisa terbang dari Jakarta. Langsung ke Bandara Silangit di Siborongborong. Lalu naik mobil sejauh 2,5 jam menuju arah Humbang Hasundutan. Ada pertigaan menuju Sibeabea.
Dari desa itu Sudung merantau ke Medan. Lalu ke Jakarta. Pun Daulat. Dari Sibeabea menuju Medan. Lalu ke Bandung.
Kampung itu memang tidak subur. Bahkan bukit yang jadi lokasi patung sangat tandus. Berbatu. Tidak bisa jadi lahan pertanian. Singkong pun, tanaman tradisional sumber hidup mereka, tidak bisa ditanam di bukit itu.
Sudung jadi sarjana hukum di Universitas Indonesia (UI). S-2 nya pun di bidang hukum. Lalu jadi jaksa. Jadi orang terpandang. Pernah menjadi kepala Kejaksaan Tinggi, Jakarta.
Di Bandung, Daulat jadi insinyur. Arsitek. Lulusan ITB. Lalu jadi pegawai negeri. Daulat bekerja di PU Sumut di Medan. Sudah lama pensiun. Seumur saya: 73 tahun.
Mereka menjadi punya waktu. Lalu terpikir kejadian puluhan tahun sebelumnya. Saat Orde Baru. Yakni ketika menteri pariwisata (waktu itu) Joop Ave datang ke Medan. Keduanya menemui sang menteri. Bersama tokoh Batak lainnya.
Saat itulah Joop Ave mengucapkan kata-kata yang terus terngiang di pikiran mereka: bangunlah patung Yesus di Toba. Yang tertinggi di dunia. Itulah objek wisata yang akan jadi daya tarik tambahan bagi danau Toba.
Kata-kata Joop Ave itu tenggelam. Lama. Lalu muncul lagi saat mereka sudah pensiun.
Proses pembangunan Patung Yesus di Sibea-Bea, Samosir.-Scrupulous / Wikipedia-Scrupulous / Wikipedia
Tahun 2018 mereka mendirikan yayasan: Yayasan Jadilah Terang Danau Toba. Sudung jadi ketua pembina di yayasan. Daulat satu-satunya arsitek di yayasan itu. Warga Situmorang menjadi inti dari yayasan itu.
Sebagai arsitek Daulat tahu apa yang harus dilakukan: membuat perencanaan. Mereka tahu di mana lokasi terbaik: di atas bukit tandus berbatu di kampung halaman.
Posisinya bagus sekali. Ketinggian bukit itu 100 meter dari permukaan air danau Toba.
Kalau patung dibangun di situ langsung bisa seperti Yesus sedang memberkati seluruh danau Toba. Sudah termasuk Pulau Samosir di tengahnya.
Saya berbincang lama dengan Daulat. Kemarin. Saya baru tahu: inilah patung Yesus tertinggi di dunia yang dikerjakan dengan keikhlasan tertinggi pula.
Sudung dan Daulat pun mengadakan pertemuan dengan warga Sibeabea. Rencana itu dipaparkan. Secara lisan. Tidak ada proposal lengkap seperti umumnya proyek besar. Semuanya ada di kepala sang arsitek.
Warga pun setuju. Bukit itu tidak bertuan. Tidak perlu biaya pembebasan. Luasnya 15 hektare.
Jadilah patung Yesus dibangun di situ. Tidak ada warga yang mengklaim sebagai pemilik tanah.
Untuk mulai membangunnya tidak perlu menunggu dana terkumpul. Daulat cukup meminjam satu alat berat dari PU. Hanya perlu bayar satu orang operator dan membeli bahan bakarnya.
Dengan satu alat berat itu Daulat merintis jalan menuju puncak bukit. Jauhnya 1,2 km. Naik dan naik. Berliku. Mengikuti kontur bukit.
Ketika sudah terbuka sampai puncak dilakukanlah pemotongan puncaknya. Agar bisa didapat tanah rata di puncak itu.
Jadilah ketinggiannya berkurang. Jadi tinggal 90 meter dari permukaan air danau Toba.
Badan jalan yang dibuat Daulat lebarnya 12 meter. Batu mudah didapat di sana. Tidak perlu beli. Kualitas badan jalan pun bagus.
Tinggal dilakukan pengaspalan. Selebar 7 meter. Tidak banyak lagi biaya. Setelah badan jalan selesai barulah mereka minta bantuan pengaspalan dari PU pusat.
Dengan mudah permintaan itu dipenuhi --karena badan jalan sudah jadi. Berapa miliar rupiah kalau proyek itu pakai dana negara.
Untuk membangun patungnya Daulat yang merancang. Mulai bentuk sampai rancangan konstruksinya.
Bahwa tinggi patung sampai 61 meter itu supaya bisa disebut yang tertinggi di dunia. Sudah bisa mengalahkan yang di Polandia: 52 meter.
Jauh mengalahkan yang paling terkenal di dunia, yang di Rio de Janeiro itu, yang saya pernah ke sana: 30 sampai 38 meter.
Patut Yesus di Rio de Janeiro-Tribun-Tribun
Daulat bukan Katolik. Ia protestan. Gerejanya GKPI --Gereja Kristen Protestan Indonesia. Tidak masalah. Sama-sama Yesus. Tapi tetap ada "warna" Kristennya di patung itu.
Lihatlah dari jauh. Dari jarak yang sampai tidak terlihat detail wajah Yesusnya. Yang tampak tinggal siluetnya. Maka patung itu akan terlihat seperti salib.
Inilah patung Katolik dengan rasa Protestan. Orang Indonesia selalu punya jalan untuk akomodatif.
Sudung sendiri Katolik. Kini Sudung berlanjut mengabdi di kampung halaman: merawat Hutan Tele. Itulah hutan yang berperan penting menjadi penyangga air danau Toba. Sudung tidak mau Hutan Tele rusak.
Setelah diresmikan oleh Sri Paus patung Yesus itu akan diresmikan lagi oleh Presiden Jokowi. Minggu depan. Langsung di lokasinya di Sibeabea.
Patung Yesus di Sibea-Bea, Samosir ketika terlihat dari jauh.--
Sebelum berbincang dengan Daulat, saya pikir lokasinya tidak terlalu jauh dari Silangit. Ternyata masih 2,5 jam. Seandainya jalan tol dari Medan sudah sampai Toba pun masih harus menyeberang ke Ambarita.
Adakah ide agar patung tertinggi di dunia itu tidak terasa terlalu jauh? Tarif masuknya memang hanya Rp 5.000/orang tapi siapa mau ke sana?
Sudah waktunya ada bandara di dekat-dekat Humbang Hasundutan. Atau jalan Silangit ke Humbang diperlebar: agar jarak itu bisa ditempuh hanya satu jam.
Toba itu indah nian alamnya, sejuk sekali suhu udaranya, sejuk sepanjang masa, tapi masih saja jauh di mata. Pun setelah ada yang tertinggi di dunia.(Dahlan Iskan)
Jumat, 13 September 2024
Kasus Beberapa Tambang Di Indonesia
September 13, 2024
top
No comments
*Nama Jokowi Muncul dalam Sidang Kasus Timah, Disebut Beri Arahan Agar Tambang Ilegal jadi Legal*
JAKARTA, KOMPAS.com - Saksi dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah Tbk menyinggung arahan Presiden Joko Widodo yang memerintahkan agar para penambang ilegal di Bangka Belitung diakomodir agar tidak diburu aparat.
Informasi ini disampaikan mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk Wilayah Bangka Belitung Ali Samsuri sebagai saksi untuk terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.
Mulanya, Jaksa Penuntut Umum mencecar Ali terkait program PT Timah untuk mengatasi tingkat produksi timah yang kecil pada 2015-2017.
Jaksa lantas menyinggung bagaimana pelaku tambang ilegal menjual bijih timahnya kepada PT Timah melalui perusahaan mitra.
"Itu berarti menggunakan perusahaan pemilik IUJP (Izin Usaha Jasa Pertambangan) itu ketika menjual biji timahnya, itu saudara praktek seperti itu terhadap mitra-mitra seperti itu ya?" tanya Jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (11/8/2024).
IUJP merupakan salah satu program untuk meningkatkan produksi PT Timah dengan menggandeng pihak swasta sebagai mitra.
Namun, dalam prakteknya, PT Timah Tbk memberi kesempatan pada mitra pemilik IUJP membeli bijih timah dari penambang ilegal.
Padahal, bijih timah itu diambil dari wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Menjawab pertanyaan Jaksa, Ali menyebut tidak semua pelaku tambang ilegal menjual bijih timah ke PT Timah Tbk melalui mitra IUJP.
Pada kurun waktu itu, Presiden RI berkunjung ke Bangka Belitung dan menerima keluhan dari masyarakat yang mengeluhkan persoalan tambang ilegal.
"Statemen beliau (Jokowi) adalah 'ya itu semua masyarakat saya, minta tolong bagaimana caranya yang ilegal ini menjadi legal'," kata Ali menirukan arahan presiden saat itu.
"Jadi ya itulah waktu itu masyarakat yang ada di sekitar-sekitar tambang yang ada SPK (Surat Perintah Kerja) kita itu yang dibina agar mereka tidak dikejar-kejar oleh aparat," tambahnya.
Jaska lantas menanyakan apakah masyarakat dimaksud memiliki basic pertambangan.
"Itu yang sifatnya nomaden masyarakat umum yang mereka menambang pakai mesin kecil," ujar Ali.
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, situs Sekretariat Kabinet (Setkab) pernah menerbitkan rilis yang menyebut Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said untuk mengkoordinir seluruh penataan tambang timah di Bangka Belitung.
Sudiarman menyatakan akan bekerja sama dengan Kementerian BUMN, dan pemerintah daerah.
Menurutnya, terdapat banyak sekali tambang rakyat yang tidak memiliki syarat, baik menyangkut persoalan legalitas, lingkungan, maupun teknis.
"Bagaimanapun itu masyarakat kita. Kemudian dibina secara teknis, bagaimana mengelola lingkungan, peralatan, bahkan tadi disarankan apabila mereka memerlukan support permodalan untuk membangun dirinya, itu kita pikirkan," kata Sudirman di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/6/2015), sebagaimana dikutip dari situs Setkab.
Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
Mochtar didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama pelaku lain seperti, Direktur Keuangan PT Timah Tbk Periode 2016-2020 Emil Ermindra, crazy rich Helena Lim, dan Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa MB Gunawan.
Sejauh ini, terdapat 22 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Harvey merupakan perpanjangan tangan PT RBT bersama dengan Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.
Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena Lim selaku Manager PT QSE.
Pentingnya Keluarga Dalam Kehidupan
September 13, 2024
top
No comments
PIDATO PAUS FRANSISKUS YANG MENGEJUTKAN DUNIA
Silakan simak pidato yang dibacakan oleh Paus.
Apa pun agamanya, lihatlah bagaimana Paus Fransiskus menulis dengan indah tentang keluarga.
KELUARGA, TEMPAT PENGAMPUNAN ...
©️ Tidak ada keluarga yang sempurna.
©️ Kita tidak memiliki orang tua yang sempurna,
- Anda sendiri juga tidak sempurna.
Kita tidak menikah dengan orang yang sempurna atau kita tidak memiliki anak yang sempurna.
©️ Kita saling mengeluh. Kita tidak dapat hidup bersama tanpa saling menyinggung.
©️ Kita terus-menerus kecewa. Ya, karena banyak alasan di waktu yang berbeda kita dikecewakan satu sama lain.
©️ Tidak ada pernikahan yang sehat atau keluarga yang sehat tanpa adanya pengampunan. Pengampunan adalah obat bagi kegembiraan dan kebahagiaan keluarga.
©️ Pengampunan sangat penting bagi kesehatan emosional dan kelangsungan hidup spiritual kita. Tidak peduli pelanggarannya atau siapa pelakunya. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi arena konflik dan benteng kejahatan.
©️ Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sakit dan tidak sehat.
©️ Pengampunan adalah asepsis jiwa, pemurnian roh dan pembebasan hati. Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk diampuni.
Dia yang tidak memaafkan tidak memiliki kedamaian dalam jiwanya dan tidak dapat bersekutu dengan Tuhan.
©️ Tidak memaafkan adalah Kejahatan dan racun yang memabukkan dan membunuh orang yang menolak untuk memaafkan.
©️ Menyimpan sakit hati karena tidak memaafkan di dalam hati Anda adalah tindakan yang merusak diri sendiri. Itu adalah autophagy.
©️ Mereka yang tidak memaafkan sakit secara fisik, emosional dan spiritual. Dan mereka akan menderita dalam dua cara.
Karena alasan ini, keluarga harus menjadi tempat kehidupan dan bukan tempat kematian; tempat pengampunan, tempat surga dan bukan tempat neraka; Wilayah penyembuhan dan bukan penyakit; magang tentang pengampunan dan bukan rasa bersalah.
Pengampunan mendatangkan sukacita di mana kesedihan mendatangkan kesedihan; tentang
Penyembuhan di mana kesedihan menimbulkan penyakit.
Keluarga adalah tempat dukungan dan bukan tempat gosip dan fitnah satu sama lain. Itu harus menjadi tempat penerimaan bukan tempat penolakan. Malu bagi mereka yang menanam kejahatan tentang orang lain. Kita adalah keluarga dan bukan musuh.
Ketika seseorang menghadapi tantangan, yang mereka butuhkan hanyalah dukungan.
¤ Oleh Paus Fransiskus
Silakan kirim ke semua keluarga yang Anda kenal. Ini dapat membantu menyembuhkan beberapa luka keluarga dan menyelesaikan beberapa pertempuran!
-HIDUP & BIARKAN HIDUP 🙏😀 Nasihatcanggih.Blogspot.com