"SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.
Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka. "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.
Panglima Jenderal Sudirman tidak menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur terseret konflik politik ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan Kolonel Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeadi, yang memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling meninjau kondisi Kota Madiun.
"Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan (kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur)," ujar Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelah tiba di Madiun, Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan tidak ada pemberontakan di kota itu. "Menurut pidato Sukarno, bendera Merah Putih di Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto melihat mana ada bendera merah, semuanya bendera merah putih."
Di rumah Residen Madiun yang ditinggali Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan Musso yang sudah satu setengah bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun, setelah pemberontakan PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kali itulah Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang. Soeharto menanyakan kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi royal malah ikut berseteru.
+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?
- Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya.
+ Kenapa tidak diadakan pembicaraan?
- Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.
+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya Pak Musso masih menginginkan persatuan?
- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan.
Menurut penuturan Soemarsono, yang kini tinggal di Sydney, Australia, seusai pertemuan tersebut, dia meminta Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi Madiun aman dan tak ada sinyal-sinyal pemberontakan. "Mas saja yang buat, saya tidak terbiasa," kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu. Soemarsono meminta Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno dan perdana menteri Hatta.
Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun tangan mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan menyampaikan semua pernyataan Musso kepada Panglima Sudirman yang ketika itu sudah sakit keras. "Pak Dirman yang menyampaikan hasil pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta," kata Soeharto. Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi. Dan Musso tewas di ujung senapan.
Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka. "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.
Panglima Jenderal Sudirman tidak menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur terseret konflik politik ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan Kolonel Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeadi, yang memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling meninjau kondisi Kota Madiun.
"Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan (kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur)," ujar Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelah tiba di Madiun, Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan tidak ada pemberontakan di kota itu. "Menurut pidato Sukarno, bendera Merah Putih di Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto melihat mana ada bendera merah, semuanya bendera merah putih."
Di rumah Residen Madiun yang ditinggali Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan Musso yang sudah satu setengah bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun, setelah pemberontakan PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kali itulah Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang. Soeharto menanyakan kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi royal malah ikut berseteru.
+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?
- Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya.
+ Kenapa tidak diadakan pembicaraan?
- Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.
+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya Pak Musso masih menginginkan persatuan?
- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan.
Menurut penuturan Soemarsono, yang kini tinggal di Sydney, Australia, seusai pertemuan tersebut, dia meminta Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi Madiun aman dan tak ada sinyal-sinyal pemberontakan. "Mas saja yang buat, saya tidak terbiasa," kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu. Soemarsono meminta Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno dan perdana menteri Hatta.
Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun tangan mendamaikan kedua belah pihak.
Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan menyampaikan semua pernyataan Musso kepada Panglima Sudirman yang ketika itu sudah sakit keras. "Pak Dirman yang menyampaikan hasil pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta," kata Soeharto. Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi. Dan Musso tewas di ujung senapan.