Oleh: John Roosa
SELAMA 32 tahun berkuasa, rezim Soeharto menggunakan segala macam propaganda untuk mengindoktrinasi rakyat bahwa PKI lah yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa G30S. Sampai hari ini, buku-buku pelajaran dilarang dan dibakar karena menuliskan G30S, bukan G30S/PKI. Tapi apa artinya mengatakan PKI yang bertanggung jawab?
Apakah itu berarti bahwa tiga juta anggota partai itu bertanggung jawab semua? Jelas tidak. G30S itu merupakan aksi konspirasi; ia diorganisasi secara rahasia. Ia berhasil menculik dan membunuh enam orang jenderal karena ia berhasil mencapai unsur kejutan. Orang tidak bisa membayangkan tiga juta orang Indonesia diberi tahu sebelumnya mengenai rencana itu, lalu bisa menjaga kerahasiaannya.
Namun entah bagaimana juga Soeharto menyalahkan mereka. Tentara memimpin penangkapan massal sekitar 1,5 juta orang dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Sebuah penerbitan Lemhannas pada 1969 yang dipakai dalam kursus yang diselenggarakan lembaga itu bagi para pejabat negara memuat pertanyaan: "Apakah setiap anggota PKI tentu terlibat dalam G30S/PKI?" Jawabannya, sudah pasti, ya: "Setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan."
Demikianlah, setiap anggota PKI bertanggung jawab karena mereka tahu sebelumnya mengenai bakal dilakukannya tindakan kejahatan itu, tapi tidak memberitahukannya kepada aparat pemerintah. Argumentasi semacam ini tidak masuk akal mengingat bahwa Soehartolah yang telah diberi tahu sebelumnya mengenai bakal terjadinya tindakan itu, bukan tiga juta anggota partai itu.
Patut dicatat bahwa buku putih mengenai G30S yang diterbitkan rezim Soeharto tidak mengklaim bahwa semua anggota partai diberi tahu sebelumnya mengenai aksi yang akan dilakukan itu. Laporan resmi yang diterbitkan pada 1994 itu mengklaim bahwa Politbiro PKI memutuskan dilancarkannya G30S dan kemudian menggunakan jaringan rahasia partai di dalam tubuh militer, Biro Khusus, untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Versi peristiwa seperti ini setidak-tidaknya tampak masuk akal, berbeda dengan klaim yang menyatakan bahwa setiap anggota partai ikut serta. Tapi ada beberapa masalah dengan versi semacam ini. Buku putih itu tidak konsisten. Judul bagian yang membahas persoalan ini berbunyi: "Keputusan CC [Comite Central] PKI untuk Melancarkan Gerakan Perebutan Kekuasaan." Namun isinya cuma mengatakan keputusan itu dibuat oleh Politbiro (yang beranggotakan sekitar 12 orang). Comite Central itu seluruhnya beranggotakan 85 orang. Sulit mempercayai suatu badan dengan anggota sebanyak itu bisa membahas rencana G30S itu atau bahkan diberi tahu mengenai rencana itu sendiri. Mayjen Parman, kepala intelijen angkatan darat yang dibunuh G30S, mempunyai mata-mata di markas PKI. Jika setiap anggota CC tahu mengenai G30S, Parman juga pasti tahu-dan dapat mencegahnya.
Masalah lainnya dengan buku putih itu adalah ia tidak mengutip sumber dari informasi yang diperolehnya. Pembaca tidak diberi tahu di mana penulis memperoleh informasi mengenai pengambilan keputusan internal tingkat tinggi partai itu. Pada akhir 1965, tentara diam-diam telah menangkap dan mengeksekusi banyak pemimpin PKI yang duduk dalam Politbiro: Aidit, Lukman, Njoto, dan Sakirman. Tentara membunuh seorang lagi pada 1968: Oloan Hutapea. Anggota Politbiro yang selamat dan sempat berbicara atau menulis (Sudisman, Njono, Munir, Peris Pardede, dan lain-lain) memberikan keterangan yang berbeda-beda mengenai apa yang telah terjadi. Sebagian besar tidak berbicara apa-apa mengenai keputusan Politbiro. Keterangan dalam buku putih mengenai Politbiro itu tidak bisa dipercaya karena tidak memberikan evaluasi yang kritis mengenai sumber-sumber informasinya.
Pernyataan yang paling dapat dipercaya dari seorang anggota Politbiro yang berhasil menyelamatkan diri adalah pidato "Uraian Tanggung Jawab" yang disampaikan Sudisman di depan mahkamah yang mengadilinya pada 1967. Dengan "yang dapat dipercaya", saya tidak mengartikannya sebagai "benar"; saya mengartikannya sebagai "mungkin benar". Pernyataan yang dibuat Sudisman itu tidak dibuat di bawah tekanan. Ia tahu bahwa ia bakal dihukum mati dan ia menghadapi kematian itu dengan gagah berani.
Berbeda dengan beberapa pemimpin PKI lainnya, ia tidak berupaya memberikan keterangan yang menyenangkan tentara dengan harapan supaya diperlakukan dengan baik. Bukannya melakukan pembelaan diri dan membantah tuduhan atas dirinya serta memohon ampunan dari pengadilan, ia menulis suatu pesan yang ditujukan kepada para pendukung partai. Sebagai satu-satunya pemimpin senior partai yang berhasil menyelamatkan diri, ia ingin memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan "oknum-oknum partai" yang sebenarnya terlibat dalam G30S.
Sudisman mengakui ia memang terlibat dalam G30S sebagai individu pemimpin, tapi partai secara keseluruhan sama sekali tidak pernah diberi tahu sebelumnya mengenai aksi yang akan dilakukan: "Tokoh-tokoh PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai partai tidak terlibat dalam G30S."
Ia mengatakan bahwa anggota PKI bersikap pasif setelah terjadinya G30S justru karena mereka sama sekali tidak diberi tahu mengenai aksi yang akan dilakukan itu. Karena mereka tidak melawan pembersihan yang dilakukan tentara, mereka "menjadi korban pembunuhan massal". Semua ini tidak bakal terjadi "jika PKI mempersiapkan dan disiapkan untuk G30. "Ia memprotes praktek penangkapan yang dilakukan tentara terhadap keluarga-keluarga PKI yang bahkan tidak terlibat dalam urusan partai, apalagi dalam G30S: "Apakah dosa Nyonya Njoto bersama anak-anaknya... sampai dijebloskan di tahanan sel Kodim Budi Kemulyaan?"
Sudisman tidak memberikan keterangan yang terperinci mengenai pengambilan keputusan yang dilakukan Politbiro. Ia hanya menyebutkan Aidit mengatakan kepada Politbiro bahwa beberapa "perwira maju" sedang mempersiapkan aksi untuk mencegah kup oleh Dewan Jenderal. Implikasinya adalah Politbiro memberikan wewenang kepada beberapa di antara para anggotanya, seperti Aidit, Njono, dan Sudisman, untuk membantu aksi yang akan dilakukan perwira-perwira militer itu. Tokoh-tokoh PKI ini tidak memimpin aksi itu, demikian menurut Sudisman. Mereka cuma memainkan peran pendukung.
Keterangan paling terperinci mengenai pengambilan keputusan Politbiro ini ditulis oleh Iskandar Subekti, yang saat itu menjabat panitera dalam Politbiro. Ketika menjalani hukuman dalam penjara Cipinang pada akhir 1980-an, Subekti menulis apa yang diketahuinya mengenai diskusi yang diadakan Politbiro mengenai rencana G30S. Subekti menulis dokumen ini untuk pimpinan partai yang berhasil menyelamatkan diri dan yang tidak mengetahui apa yang telah dilakukan Politbiro. Adanya dokumen ini merupakan bukti Politbiro tidak memberi tahu pemimpin-pemimpin partai lainnya mengenai diskusi yang berlangsung dalam Politbiro tentang rencana G30S.
Subekti menulis-tangan teks dokumen itu pada halaman-halaman sebuah notebook kecil dan kemudian menyelundupkannya ke luar penjara. Satu salinan lengkap dari halaman-halaman itu dikirim kepada Jusuf Adjitorop di Beijing. Ia adalah anggota Politbiro yang kebetulan berada di Cina pada 1965. Ia selamat dan hidup dalam pengasingan. Pengarang yang terkenal dan prolifik, Hersri Setiawan, ketika melakukan penelitian mengenai sejarah mereka yang hidup dalam pengasingan ini, membuat fotokopi teks itu pada 1990-an dan menitipkannya pada International Institute for Social History di Amsterdam, tempat dokumen itu sekarang bisa didapat oleh para peneliti.
Subekti, seperti Sudisman, mengatakan beberapa pemimpin PKI sebagai individu memang terlibat dalam G30S tapi partai sebagai lembaga tidak terlibat. Berbeda dengan Sudisman, ia melukiskan bagaimana kerja internal partai. Ia mengatakan Aidit telah membentuk suatu kelompok kecil untuk membahas bantuan yang dapat diberikan partai kepada aksi yang akan dilakukan militer itu. Pada Agustus 1965, Aidit memberikan briefing di muka Politbiro dan "rapat Politbiro diperluas" (artinya anggota CC yang kebetulan di Jakarta diizinkan turut hadir). Tapi ia cuma menyampaikan briefing kepada para anggota Politbiro itu mengenai kemungkinan bakal terjadinya aksi militer. Ia tidak meminta mereka membuat keputusan mengenai hal itu.
Untuk membantunya membuat keputusan-keputusan yang sensitif mengenai G30S, Aidit memilih cuma anggota Politbiro yang paling dipercayanya. Menurut Subekti, tim inti yang membahas rencana G30S terdiri atas Lukman, Sudisman, Oloan Hutapea, Rewang, dan Subekti (sebagai "tukang catat"). Anggota Politbiro lainnya tidak diizinkan ikut hadir dalam pembicaraan. "Kawan Njoto sama sekali tidak mengetahui. Ia lama sekali tidak diajak Aidit dalam diskusi-diskusi mengenai gerakan ini serta perencanaan dan pelaksanaannya." Njoto tidak dipercaya Aidit karena "berdasarkan pengalaman, lebih dianggap Soekarnois daripada komunis".
Dokumen yang ditulis Subekti ini menunjukkan betapa rahasianya perencanaan aksi G30S. Sebagian besar anggota Politbiro tidak diikutsertakan dalam perencanaan. Mereka telah sepakat dalam rapat terakhir Politbiro pada akhir Agustus bahwa partai harus memberikan dukungan politik kepada suatu gerakan yang merupakan urusan internal militer di bawah pimpinan "perwira-perwira progresif". Setelah itu, Aidit tidak lagi mengadakan rapat Politbiro. Ia sibuk dengan perencanaan gerakan militer itu. Tim inti mengadakan rapat beberapa kali pada September.
Kepala Biro Khusus, Sjam, hadir dalam rapat-rapat itu. Ia berhasil meyakinkan Aidit bahwa perwira-perwira militer yang akan mengadakan aksi terhadap Dewan Jenderal itu memiliki dukungan pasukan yang besar di belakang mereka dan mampu menarik lebih banyak lagi pasukan setelah dimulainya aksi. Ia dengan ngawur melebih-lebihkan kekuatan Untung, Latief, dan lainnya. Aidit, yang sudah menutup diri terhadap pendapat dari orang-orang seperti Njoto, akhirnya terlalu percaya dengan penilaian yang diberikan Sjam.
Justru kerahasiaan yang ekstrem sekitar G30S inilah yang turut menyebabkan gagalnya gerakan ini. Bahkan segelintir anggota partai yang diminta membantu aksi militer (seperti mereka yang tergabung dalam sukarelawan di Jakarta) tidak diberi cukup informasi sehingga tidak mengerti tugas apa sebenarnya yang harus mereka lakukan. Para pemimpin partai cuma diminta mendengarkan radio dan menunggu instruksi. Tapi pesan-pesan radio yang disampaikan G30S begitu membingungkan sehingga tidak ada gunanya sama sekali. Maka partai secara keseluruhan, termasuk Njoto, tetap pasif, sementara propaganda tentara secara tidak masuk akal menggambarkan mereka sebagai gerombolan barbar yang buas, yang bertekad membunuh dengan sadistis jutaan orang non-komunis.
*) Penulis adalah dosen sejarah di University of British Columbia (Vancouver, Kanada) anggota Institut Sejarah Sosial Indonesia, dan penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (2008),