Tampilkan postingan dengan label Dosa Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dosa Sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 September 2021

Siapa Sangka, Kalau Azis Berbuat Seperti Itu, Mari Kita Simak Bersama Kelakua Orang Tersebut Di Bawah Ini.

gambar ilustrasi saja
Siapa Sangka, Kalau Azis Berbuat Seperti Itu, Mari Kita Simak Bersama Kelakua Orang Tersebut Di Bawah Ini.

"Benar kata para bijak: semakin tinggi jabatan dan karir, semakin tinggi pula tempat jatuhnya. Dan dengan itulah, saya dan Anda semua tak perlu silau dengan kegemilangan hidup orang-orang sekeliling"

Azis Syamsuddin dikabarkan jadi tersangka korupsi di KPK. Dan kita pun kembali menambah catatan tentang rontoknya politisi muda di puncak karir di negeri ini.

Saya kerap bertanya -- dalam batin tentunya -- apa yang kurang dari tokoh muda seperti Azis ini? 

Di usia 24 tahun, ia sudah jadi pengacara di sebuah kantor advokat ternama ibukota. Tentu ia sudah kaya raya.

Lalu ia masuk parlemen. Tahun ini, periode ketiga ia di DPR. Bukan anggota biasa, tapi orang nomor dua di lembaga tinggi negara itu. Ia Wakil Ketua DPR RI dari Partai Golkar. Ia mengendarai mobil berpelat nomor Republik Indonesia. Tunjangan tak terbilang, kehormatan tak alang kepalang. Hartanya, yang ia laporkan resmi sebagai pejabat negara, lebih dari Rp100 miliar.

Kata perempuan-perempuan di luar sana, ia pun tampan. Dan di usia 51 tahun, karirnya masih panjang sesungguhnya. Sekarang wakil ketua DPR, besok-besok mungkin jadi menteri, atau ketua DPR, atau .... 

Tapi kehidupan ini sungguhlah semesta misteri. Luas nan tak terperi. Azis rupanya merawat satu sisi gelap yang lambat laun terungkap. Ia tak belajar dari kasus-kasus yang pernah pernah menyerempet namanya: perkara penyelundupan dua kontainer telepon Blackberry bernilai miliaran rupiah di Tanjung Priok atau perkara yang melibatkan  Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat, koleganya di DPR dulu. 

Karirnya menanjak cepat. Tapi secepat ia menanjak, secepat itu pula ia menukik sampai ke palung terdalam kehidupan. Hari ini kita mendengar ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK.

Korupsi, suap-menyuap, kongkalikong dan asyik-masyuk politisi dan kriminal belum bisa sirna di negeri ini. Ia merontokkan begitu banyak politisi muda cemerlang: Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Alifian Mallarangeng, Patrice Rio Capello, Taufan Tiro, dll. Setelah Azis Syamsuddin, entah siapa lagi...

Sabtu, 04 September 2021

Kupas Tuntas Bagaimana Hubungan Taliban Afganistan Dengan Indonesia, Simak Dan Gunakan Akal Sehat, Waspada, Jaga Pancasila

 
*Kupas Tuntas Bagaimana Hubungan Taliban Afganistan Dengan*
 *Indonesia,Simak Dan Gunakan Akal Sehat, Waspada, Jaga Pancasila* - arsip.topsekali.com

"Sasaran terorisme (biasanya berupa aksi bom bunuh diri) bukan hanya aparat keamanan atau kantor pemerintahan, tetapi bisa siapa saja (warga sipil, jurnalis, anak-anak, perempuan, dan sebagainya) dan apa saja (termasuk madrasah dan masjid). Mereka disinyalir juga jadi pelaku pengeboman di area kerumunan massa yang ingin kabur di kompleks bandara Kabul", Sumnato.*
Sejumlah kelompok agama dan elite politik di Indonesia tampak kegirangan dengan keberhasilan milisi Taliban mengontrol dan mengambil alih kekuasaan di Afghanistan.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Entah apa yang ada di benak mereka. Padahal, Taliban memiliki sejarah dan reputasi sangat buruk dalam menjalankan roda kepolitikan dan pemerintahan yang membuat rakyat Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir-batin.

Fakta bahwa ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur dari negara mereka sejak Taliban mengambil alih kekuasaan menunjukkan apa atau siapa “jati diri” Taliban sesungguhnya. Jelas bahwa rakyat Afghanistan trauma terhadap rezim Islamis-fundamentalis Taliban saat lima tahun (1996-2001) berkuasa, yang penuh dengan kebiadaban dan ketidakmanusiawian. Dengan jatuhnya kembali Afghanistan ke tangan Taliban, mimpi buruk dan drama horor terbayang di depan mata mereka.

Selama kekuasaan rezim Taliban yang disokong Pakistan dan Al Qaeda, Afganistan (oleh Taliban diberi nama Emirat Islam Afghanistan) menjelma jadi “neraka” dunia mengerikan. Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa Taliban. Kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi merajalela. Kekerasan demi kekerasan tak pernah berhenti. Perang sipil antarfaksi Islam dan kelompok suku terus berkecamuk.

Pembantaian warga terjadi di mana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan agama saja (misalnya, kelompok Syiah Hazara) tetapi juga terhadap siapa saja dan kelompok mana saja yang mereka anggap dan cap rival dan musuh pengganggu kekuasaan.

Penting untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin disebut “cultural genocide”) seperti aneka ragam karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang dan yakini.

Selama berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar. Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan. Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan. Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi, lukisan, film, tarian, dan sebagainya.

Kaum perempuan jadi obyek paling mengenaskan. Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan dilarang sekolah. Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka. Jika melanggar aturan, mereka akan dihukum cambuk di hadapan publik.

Taliban juga menerapkan kebijakan scorched earth, yakni sebuah strategi untuk menghancurkan aset apa saja (kawasan, fasilitas publik, sumber-sumber ekonomi, industri, dan lainnya) yang dipandang memberi manfaat pihak lawan.

Karena itu jangan heran kenapa ketika Taliban berkuasa mereka memusnahkan banyak kawasan subur dan membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Ketika kekuasaan rezim Taliban rontok tahun 2001 karena digempur tentara AS setelah tragedi terorisme 9/11, kekerasan yang mereka lakukan tak serta-merta berhenti.

Berbagai aksi pengeboman dan terorisme keji untuk menggoyang pemerintah terus mereka lancarkan tanpa henti selama 20 tahun (2001–2021), memakan korban ribuan nyawa dan kerusakan fisik tak terhingga.

Nafsu kekuasaan (*baca terus narasi penting di bawah ini*...👭👪👇👇👇)
Kenapa Taliban menerapkan politik totalitarian dan membabi buta yang membuat Afghanistan kian terperosok dan porak-poranda? Jawabannya sangat simpel. Karena mereka tak mengerti cara memimpin warga yang majemuk dan memerintah sebuah negara. Mereka tidak memiliki pengetahuan, wawasan, strategi, dan skill untuk memerintah dan mengelola sebuah negara-bangsa. Hanya nafsu kekuasaan yang mereka miliki.

Akhirnya, untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, yang bisa mereka lakukan hanya meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai peraturan dan hukuman keras atas nama “penegakan syariat Islam”. Jadi Taliban pada dasarnya adalah “para bandit berjubah agama.”

Taliban memang bukan kelompok cerdik-cendikia yang berwawasan luas tentang seluk-beluk ilmu pemerintahan, kepolitikan, perekonomian, atau kebudayaan.

Dalam sejarahnya, Taliban adalah sebuah gerakan politik-agama yang terdiri dari kumpulan murid/alumni madrasah (taliban berarti murid/ siswa) yang berafiliasi ke sekolah-sekolah Deobandi (tersebar di berbagai daerah di Asia Selatan) yang bercorak literalis-revivalis-konservatif yang sangat ketat, rigid, closed-minded dan ekstrem dalam memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan teks, wacana dan ajaran keislaman.

Baca juga : Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan

Lebih jelasnya, kelompok atau gerakan Taliban adalah kombinasi antara ajaran Islam revivalis-konservatif ala Deobandi, ideologi militan Islamisme ala Al Qaeda, dan norma sosial Pasthunwali, yakni gaya hidup tradisional masyarakat Pasthun karena mayoritas Taliban memang dari suku/etnik Pasthun.

Taliban dibentuk tahun 1994 oleh Muhammad Umar (1960-2013, dikenal sebagai Mullah Umar), mantan siswa madrasah Deobandi dan bekas milisi Mujahidin dalam perang Afghanistan - Soviet (1979–1989), yang kala itu baru berumur 34 tahun.

Taliban berhasil menguasai panggung kekuasaan Afghanistan setelah berhasil memanfaatkan situasi chaos dan konflik internal antar-faksi Islam lantaran kegagalan elite politik-agama Afghanistan capai kesepakatan pemerintah koalisi nasional pasca-hengkangnya Tentara Merah Soviet.

Konflik internal antarkelompok Islam dan elite politik-agama itu kemudian memicu meletusnya perang sipil mahadahsyat yang membuat Afghanistan untuk kesekian kali hancur lebur. Sekitar enam faksi Islam (Hizbul Islam Gulbuddin, Jamiat Islami, Ittihad Islam, Harakat Inqilab Islam, Hizbul Wahdat, dan Junbish Milli) saling berebut kekuasaan, saling mengkhianati, saling membunuh, dan saling memerangi.

Padahal, kelompok radikal Islamis ini (dengan dukungan AS) dulu bersatu-padu sebagai “pejuang mujahidin” melawan tentara Soviet. Begitu Soviet berhasil dipukul mundur, mereka sendiri yang ironisnya saling gempur demi kekuasaan.

Di saat Afghanistan kacau-balau dilanda perang sipil itulah, milisi Taliban muncul sebagai “kuda hitam” yang berhasil merangsek, mengontrol, dan menguasai dua pertiga wilayah Afghanistan dan mendeklarasikan diri pemerintahan baru dengan nama Emirat Islam Afghanistan tahun 1996.

Apakah dengan pendeklarasian pemerintah oleh Taliban ini dengan sendirinya perang sipil berhenti? Tentu saja tidak. Perang sipil antarkelompok (termasuk “Aliansi Utara” yang dibentuk warlord Ahmad Shah Massoud yang terdiri dari koalisi sejumlah kelompok etnis seperti Uzbek, Tajik, Hazara, Turki, Pasthun) terus berlanjut dan berkecamuk.

Mewaspadai “Indonistan”

Jadi, cerita elite Taliban yang sekarang dianggap mengkhianati klausul/kesepakatan perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan (dan pemerintah AS) bukan hal baru. Cerita pendongkelan/pengambilalihan kekuasaan yang kini Taliban lakukan setelah 20 tahun bergerilya juga bukan cerita baru. Ini hanya kisah lama yang kembali terulang.

Siapapun yang mempelajari sejarah Afghanistan akan tahu negeri di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan ini diwarnai konflik, perang, dan perebutan kekuasaan bukan hanya dengan kelompok luar (non-Afghanistan), tetapi juga dengan sesama kelompok sosial di Afghanistan.

Aksi saling jegal, saling bunuh, dan saling memerangi antarkelompok, baik kelompok agama, ideologi, etnis, suku, klan, keluarga, maupun daerah (misalnya Afghanistan utara vs selatan) sudah lumrah terjadi. Jauh sebelum munculnya kelompok Islamis di panggung politik Afghanistan, kelompok-kelompok sosial lain sudah saling baku hantam demi kekuasaan.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari “drama horor” Afghanistan dan rezim militan Taliban? Satu hal yang tak boleh diabaikan: jangan meremehkan dan membiarkan kelompok agama berhaluan radikal-konservatif.

Meski awalnya kelompok ini barang kali hanya bergerak di wilayah non-politik (dakwah-keagamaan, moralitas publik, akidah/teologi, dan sebagainya), jika ada kesempatan, peluang, sokongan, dan dukungan pihak luar, mereka bisa menjelma jadi kelompok militan agama-politik yang kejam, ekstrem, dan radikal dalam menjalankan paham kepolitikan dan keagamaan.

Baca juga : Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan

Anggota Taliban mungkin tidak ada di Indonesia. Tetapi umat Islam yang berhaluan, berwawasan, bermental, dan berpola-pikir ala Taliban cukup banyak populasinya. Mereka menyelinap dan tersebar di parpol, ormas, institusi pendidikan, lembaga dakwah, dan bahkan pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan masa depan perdamaian, toleransi, dan kebinekaan bangsa dan negara Indonesia perlu waspada dengan gerak-gerik mereka. Aparat hukum dan aparat keamanan juga jangan sampai lengah. Jika tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan tidak mungkin, mereka kelak bisa menjelma menjadi “Taliban Indonesia” dan menyulap negara ini menjadi “Indonistan”. ●
SUMANTO AL QURTUBY ;  Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute, Washington DC
Sumber: 
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/03/taliban-afghanistan-dan-indonesia/
*Arsip.TOPsekali.com*

Jumat, 03 September 2021

Perlu Segenap Rakyat Indonesia Ketahui Strategi HTI, Dan Waspadai Sejak Dini Yaaa Teman-Teman.


"Lajnah Dosen, Peneliti dan Akademisi. Bertugas merekrut para akademisi (dosen, peneliti, tenaga administrasi kampus) untuk dibina dalam halaqah-halaqah HTI. Lajnah ini dikomandani oleh: 
Prof. Fahmi Amhar dibantu Dr. Kusman Sadik (dosen IPB)"

Selain organ struktural, ada Organ Fungsional HTI.
Organ fungsional yang masih diaktifkan sekarang:

SIAPA SAJA ORANG INDONESIA PEJUANG MILITAN HTI ...?
ORGAN FUNGSIONAL HTI

1. Lajnah Thalabun Nushrah. 
Lajnah ini bertugas menyusup ke TNI/Polri untuk merekrut perwira tinggi dan menengah kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan melakukan kudeta! Lajnah ini amat-sangat rahasia!! Di tingkat pusat hanya ada lima orang anggota. 
Dipimpin oleh seorang Ketua Lebih dan disupervisi langsung oleh Amir Hizbut Tahrir internasional!

2. Lajnah Fa'aliyah. 
Lajnah ini bertugas menyusup ke lembaga-lembaga negara, partai politik, dan ormas Islam untuk merekrut ketua lembaga seperti ketua MPR, DPR, DPD, menteri-menteri, MA, MK, Kejaksaan Agung, ketua partai, dan ormas-ormas kemasyarakatan kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan mengkondisikan lembaga negara, partai dan ormas-ormas untuk mendukung kudeta yang dieksekusi oleh dewan jenderal yang telah dibina oleh Lajnah Thalabun Nushrah. Melakukan kudeta di tingkat pusat hanya ada lima orang anggota. 
Dipimpin oleh seorang Ketua Lebih dan disupervisi langsung oleh Amir Hizbut Tahrir internasional. 

Ketua Lajnah Fa'aliyah HTI sekarang adalah M. Rahmat Kurnia (dosen IPB).

3. Lajnaj siyasiyah. 
Lajnah ini bertugas membangun opini masyarakat! Masyarakat dipastikan menyerang pemerintah agar masyarakat mendukung Khilafah melalui tulisan yang disebarkan dengan nama fiktif! Seperti:
Nasrudin Hoja, buletin Kaffah, tabloid Media Umat, dan channel Youtube Khilafah Channel, dll. Lajnah ini juga yang mengatur dan mensupervisi gerakan LBH PELITA UMAT. LBH ini bentukan HTI.

4. Lajnah Khos Ulama. Lajnah ini bertugas menyusup ke pesantren-pesantren dan majlis ta'lim untuk merekrut para kiai dan ustadz yang akan dibina dalam halaqah-halaqah HTI untuk memberi dukungan bagi tegaknya Khilafah versi HTI. Lajnah ini diiisi oleh anggota senior HTI yang punya latar belakang santri Antara lain, 
Mustofa Ali Murtadha, Yasin Muthahhar, Ahmad Junaidi (Gus Juned), Nurhilal Ahmad, Abdul Karim, dll. Mereka mempublikasi kegiatan di www.shautululama.id

5. Lajnah Thullab wal Jami'ah. Lajnah ini bertugas merekrut pelajar dan mahasiswa melalui Rohis dan LDK yang berafiliasi ke HTI dan melalui komunitas milineal yang dibuat oleh aktivis HTI seperti: 
#yukngaji yang diinisiasi oleh Felix Siauw, KARIM, dll. Untuk LDK-LDK yang berafiliasi dengan HTI dikumpulkan dalam BKLDK dan Gema Pembebasan.

6. Juru bicara  M. Ismail Yusanto didampingi wakilnya Farid Wajdi.

7. Mudir Maktab yang dijabat oleh Anwari alias M. Anwar Iman alias Suwarno. Selain menjadi pusat data, informasi dan administrasi internal, mudir maktab juga menjadi penterjemah surat-surat dari Amir HT Internasional. 
Dan mengelola majalah internal al-Wae'ie.

8. Lajnah Dosen, Peneliti dan Akademisi. Bertugas merekrut para akademisi (dosen, peneliti, tenaga administrasi kampus) untuk dibina dalam halaqah-halaqah HTI. Lajnah ini dikomandani oleh: 
Prof. Fahmi Amhar dibantu Dr. Kusman Sadik (dosen IPB), *Dr. Fahmi Lukman (dosen UNPAD), dll.

++++++++++++
Wajib diviralkan, biar umat lslam tidk TERTIPUUU..🇲🇨( sumber : group WA GRPB)
Share by : 🇮🇩 ✍️
Arsip.Topsekali.com


Jumat, 27 Agustus 2021

Artikel Yang Bagus Tentang Rasisme Dan HAM, Baca Dan Pelajari.Menarik Sekali Pada Saat2 Sekarang Ini.

 "Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya" Waspada terhadap rasisme (Admin)

Rasisme dan HAM

Mulai dari hinaan dan stereotipe terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan, banyak orang di seluruh dunia didiskriminasi hanya karena warna kulitnya. 

Merebaknya protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terkini Stop Asian Hate adalah akumulasi kemarahan terhadap diskriminasi rasial yang melanggar hak orang sejak berabad-abad lalu, yang menyebabkan berbagai kesenjangan yang merugikan sampai sekarang.

Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dibasmi tuntas.

Apa itu rasisme? 

Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. 

Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Gagasan ini juga meyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain. 

Apa saja dimensi rasisme?

Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting, organisasi yang merekomendasikan kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebut bahwa rasisme punya empat dimensi: internal, interpersonal, institusional dan sistemik.

Rasisme internal mengacu pada pikiran, perasaan dan tindakan kita sendiri, sadar dan tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai stereotip ras yang negatif, atau bahkan menyangkal adanya rasisme.

Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari seseorang ke orang lain, yang bisa mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya perilaku negatif seperti pelecehan, diskriminasi, dan kata-kata rasis. 

Rasisme institusional ada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang secara langsung atau tidak langsung melanggengkan diskriminasi atas dasar ras. Ini menyebabkan ketidaksetaraan kekayaan, pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan bidang lainnya. Misalnya, praktik perekrutan diskriminatif, membungkam suara orang dengan ras tertentu di ruang rapat, atau budaya kerja yang mengutamakan sudut pandang kelompok ras dominan.

Rasisme sistemik melibatkan institusi atau entitas berwenang yang menegakkan kebijakan rasis, baik di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, pemerintah, dan lain-lain. Ini adalah efek riak dari ratusan tahun praktik rasis dan diskriminatif yang masih berlangsung hingga kini.

Kenapa rasisme berbahaya?

Pemikiran rasis bisa membuat seseorang punya prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini bisa berdampak negatif terhadap orang yang terdiskriminasi. Bahkan rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Nazi.

Berikut beberapa dampak buruk rasisme:

  • Rasisme kerap berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk

Rasisme memandang mereka yang berbeda sebagai bukan manusia, tapi objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, penyiksaan dan perlakuan buruk sering menimpa kelompok yang menjadi target perilaku rasis.

Misalnya, di AS, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi berkulit putih, tapi jumlah orang kulit hitam yang ditembak tidak proporsional dibandingkan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tapi yang dibunuh polisi lebih dari dua kali lebih banyak dibanding orang kulit putih.

Setiap satu juta populasi orang kulit hitam, ada 30 orang tewas ditembak polisi. Jumlah ini timpang dengan statistik yang menyatakan dalam setiap satu juta populasi orang kulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit lebih gelap. 

Sumber data: Riset The Washington Post (https://www.washingtonpost.com/graphics/investigations/police-shootings-database/)
  • Rasisme melanggengkan impunitas

Negara yang lalai dan tak menganggap serius rasisme bisa mengakibatkan mekanisme yang ada tak bisa mengidentifikasi dan memperbaiki pola diskriminasi. Di banyak negara, perlakuan buruk aparat kerap tidak bisa diinvestigasi tuntas. Kalaupun berhasil dituntut dan didakwa, mereka hanya mendapat hukuman ringan. Sebaliknya, korban yang melapor ke otoritas tidak mendapatkan perlindungan memadai dari ancaman dan intimidasi. 

Misalnya, di Prancis, menurut data Ombudsman Nasional Prancis, pemuda imigran asal Arab dan pemuda kulit hitam 20 kali lebih mungkin dituduh sebagai kriminal dan digeledah polisi Prancis di jalanan hanya karena warna kulit mereka. Penggeledahan ini merendahkan martabat manusia dan kerap berujung pada intimidasi dan kekerasan. 

Menurut Madjid Messaoudene, aktivis dan politisi lokal Prancis, belum ada pelaku kekerasan aparat ini yang sudah diadili. Impunitas atau ketiadaan hukuman bagi pelaku menunjukkan sikap negara yang tidak berkomitmen menganggap serius rasisme sistemik.

  • Rasisme bisa menyebabkan konflik terbuka

Untuk mempertahankan kekuasaannya, pemimpin politik kerap membangkitkan kebencian ras untuk menggalang kekuatan mereka, memandang lawan sebagai bukan manusia yang berhak dihormati hak-haknya, dan melegitimasi pelanggaran HAM. Hasilnya, rasisme mencemarkan segala aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem keadilan. 

Di Myanmar, misalnya, kaum minoritas sering jadi target pelanggaran HAM. PBB berpendapat bahwa  ‘pembersihan etnis’ yang disertai genosida terjadi terhadap Rohingya. Orang Rohingya menjadi target pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuan buruk. Militer Myanmar diduga membunuh laki-laki, perempuan, dan anak-anak Rohingya, memperkosa perempuan dan anak-anak, dan membakar desa tempat tinggal mereka. Mereka juga disiksa jika tak bisa bekerja sesuai harapan. Mereka kerap dipukuli, tidak diberi makanan, air, istirahat dan pelayanan kesehatan, dan bahkan dibunuh jika ketahuan ingin kabur. Banyak yang dipaksa kerja tanpa dibayar di proyek konstruksi baru. 

  • Rasisme menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya

Secara historis, mereka yang secara terbuka mengakui atau mempraktikkan rasisme berpendapat bahwa anggota ras berstatus rendah harus dibatasi pada pekerjaan berstatus rendah, sementara anggota ras dominan harus memiliki akses eksklusif ke kekuasaan politik, sumber daya ekonomi, pekerjaan berstatus tinggi, dan hak-hak sipil lainnya.

Walau ideologi rasis mungkin memudar di masa kini, tapi diskriminasi ras berdasarkan warna kulit tetap berlanjut, membuat anggotanya tak punya akses ke pendidikan, pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya.

Salah satu contohnya di Inggris. Pada 2017, misalnya, pemerintah Inggris mengidentifikasi lebih dari 4000 orang ke dalam “Gang Matrix”, yaitu daftar nama-nama pemuda yang dicurigai sebagai anggota geng. Banyak orang masuk ke daftar hanya karena pernah melihat video dan mendengar musik yang dianggap ‘berbahaya’, lantas mereka dapat distigma berpotensi melakukan kekerasan. Perlu diingat bahwa sebanyak  78% orang di daftar ini berkulit hitam. Padahal, hanya 27% pemuda kulit hitam di daftar tersebut terbukti melakukan kejahatan serius. 

Karena daftar yang bias tersebut, banyak pemuda akhirnya susah mendapat pekerjaan, pendidikan, atau tempat tinggal. Dalam hal ini, akhirnya, Komisi Informasi Inggris memutuskan bahwa kebijakan daftar Gang Matrix ini melanggar aturan privasi data karena pengawasan terhadap mereka dilakukan tanpa surat perintah investigasi.

  • Rasisme membuat perempuan semakin terdiskriminasi

Beberapa bentuk diskriminasi ras menimpa perempuan dan laki-laki secara berbeda. 

Ada tindakan rasis yang hampir sepenuhnya dialami perempuan, seperti sterilisasi paksa perempuan komunitas adat. Terkadang, diskriminasi ras menimpa perempuan dalam cara tertentu, misalnya ketika aparat memperkosa atau melecehkan perempuan untuk mengintimidasi sebuah komunitas. Di saat lain, konsekuensinya berbeda untuk perempuan – misalnya ketika pemerkosaan berujung pada kehamilan tidak diinginkan dan pengucilan.

Pemerkosaan beberapa kali dipakai sebagai instrumen penyiksaan dan intimidasi terhadap ras tertentu. Misalnya pada kerusuhan Mei 1998, bias rasial juga diduga melatarbelakangi perkosaan terhadap ratusan perempuan Tionghoa di berbagai lokasi di Indonesia, hingga presiden Habibie kala itu merekomendasikan pembentukan Komnas Perempuan. Catatan Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 menyebutkan, sebagian elemen tentara Indonesia diduga menjadi pelaku.

Bagaimana dengan rasisme di Indonesia? 

Persentuhan orang Indonesia dengan rasisme bisa ditelusuri setidaknya sejak masa penjajahan Belanda, ketika Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menetapkan penggolongan kelas dan melegalkannya. 

Masyarakat di Indonesia kala itu dibagi jadi tiga golongan. Strata tertinggi adalah golongan Eropa yang berisi orang-orang Belanda. Strata kedua diisi golongan Timur Asing yang berisi keturunan Arab dan Tionghoa. Strata terendah saat itu adalah masyarakat asli Indonesia. 

Golongan masyarakat Eropa menganggap ras mereka lebih unggul dari ras lain, punya derajat lebih tinggi dan karenanya mereka berhak berlaku semena-mena, seperti mengeksploitasi golongan lainnya. Penggolongan kelas itu dipertajam dengan penegakan aturan yang diskriminatif. Misalnya, orang asli Indonesia tidak boleh masuk stadion sepakbola.

Menurut sosiolog Robertus Robet, rasisme memberi jalan masuk bagi bangsa Eropa untuk menaklukkan orang asli Indonesia. Bangsa Eropa menaklukkan Indonesia dengan menyerang dimensi paling mendasar dari eksistensi manusia, yaitu fisik dan rasnya. Sebutan ‘bangsa kuli’ juga dilekatkan penjajah pada masyarakat saat itu. Sebutan yang merendahkan itu menjadi strategi penjajah untuk mempermudah penguasaan ekonomi dan politik di Indonesia. 

Lepas dari penjajahan asing, warga Indonesia sendiri pun tidak lepas dari perilaku diskriminatif. Beberapa insiden yang pernah meledak belum lama ini menguak perilaku rasis sebagian warga Indonesia kepada orang Papua. 

Misalnya, pada Agustus 2019, sebuah organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, menuduh mereka membuang bendera ke selokan sebelum perayaan kemerdekaan, dan menghina dengan kata-kata seperti “monyet,” “anjing,” “binatang,” dan “babi.” Insiden ini mendorong orang Papua turun ke jalan memprotes tindakan diskriminatif itu di beberapa kota. Ironisnya, beberapa peserta aksi tersebut lalu justru ditangkap atas tuduhan makar. 

Warga Indonesia keturunan Tionghoa juga kerap mengalami diskriminasi. Di era Orde Baru, orang Tionghoa harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk membuktikan bahwa mereka adalah WNI. Penerapan SBKRI adalah tindakan diskriminatif karena membuat orang Tionghoa kesulitan mengurus KTP dan dokumen-dokumen administratif lainnya seperti akta kelahiran, perkawinan, dan kematian. 

Meski sudah dihapus pada 2006, ketentuan ini masih meninggalkan stigma terhadap sebagian orang Tionghoa. Di buku Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI (2008) tulisan Wahyu Effendi dkk., Roni, seorang warga Tionghoa, kesulitan mengurus surat pernikahannya karena ibunya pernah punya nama Cina. Petugas administrasi bersikeras meminta SKBRI sebagai bukti kewarganegaraan ibunya, Minarsih, yang sebelumnya bernama Sien Mo. Saat Roni mengatakan SKBRI tak lagi dibutuhkan untuk mengurus surat nikah, ia malah digertak petugas.

Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya.

Di kasus lain, Pemerintah juga menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam, yang bisa dimaknakan orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Laporan Bappenas ‘Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif’ tahun 2013 menyatakan, “dalam perspektif pemerintah, Suku Anak Dalam harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan”. 

Terlepas dari niat negara, stereotipe tersebut sebenarnya dapat juga menjadi dalih perampasan wilayah adat untuk perusahaan, apalagi jika tanpa konsultasi dengan Masyarakat Adat. Dalam hal ini, mereka dapat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.

Sebagai tambahan, Suku Orang Rimba di Jambi dan di Sumatera Selatan masih kerap mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Setidaknya 3.500 hektar wilayah adat mereka dilepas ke perusahaan sawit sejak 1986, menggusur tempat tinggal mereka hingga sekarang. 

Budaya populer juga menguatkan stereotipe ras.

Budaya populer kerap menyuburkan stereotipe ras yang melanggengkan diskriminasi. 

Misalnya, di AS, blackface, atau pertunjukan para pemain kulit putih beramai-ramai menghitamkan wajah dengan semir sepatu dan mengenakan pakaian compang-camping seperti orang Afrika-Amerika muncul pada 1830-an. Blackface meniru orang Afrika-Amerika yang diperbudak di perkebunan wilayah Selatan AS. Pertunjukan ini menggambarkan orang kulit hitam sebagai pemalas, licik, bodoh, percaya takhayul tidak ilmiah, hiperseksual, dan kriminal. 

Karakter blackface yang paling terkenal, Jim Crow, diciptakan Thomas Dartmouth Rice, akhirnya menjadi simbol stereotipe terhadap orang kulit hitam. Orang-orang kulit putih dalam industri pertunjukan pun mengarang narasi tidak benar tentang eksistensi dan budaya orang Afrika-Amerika, dari penampilan, bahasa, hingga karakter, sehingga menimbulkan cemoohan dan stereotip rasial. Stereotip rasial ini menjadi salah satu pemicu berbagai perilaku dan kebijakan diskriminatif terhadap orang Afrika-Amerika. Bahkan, organisasi rasis seperti Ku Klux Klan menjadikan stereotip rasial ini sebagai pembenaran atas tindakan kejam mereka.

Meski saat ini kesadaran tentang rasisme semakin luas, stereotipe ras juga masih ada di berbagai budaya populer hingga sekarang. Riset yang dilakukan media Jerman Deutsche Welle (DW), yang menganalisis lebih dari 6.000 film Hollywood sejak 1928, menemukan bahwa stereotipe ras yang digambarkan di dunia perfilman selama ini bermasalah. Hollywood, yang mendominasi perfilman global, turut berkontribusi terhadap stereotipe ras. Apalagi, mayoritas anggota panitia Oscar, salah satu ajang penghargaan film bergengsi, juga berasal dari kalangan profesional film AS yang turut memperkuat hegemoni global Hollywood.

Penggambaran keliru tentang karakteristik ras tokoh film bisa menghambat kesempatan bagi kelompok ras tertentu untuk direpresentasikan, atau bahkan bisa membuat penggambaran keliru tentang ras tertentu dan menimbulkan prasangka buruk. Misalnya, meski orang Asia merupakan lebih dari setengah populasi dunia, hanya 3 persen dari semua peran di film-film Hollywood pada tahun 2017 dan 2018 yang diperankan orang Asia. Karakter orang kulit hitam membentuk 12,5 persen dari semua peran, mendekati representasi proporsional untuk populasi AS. 

Dalam banyak kasus, penggambaran tokoh orang Asia, orang kulit hitam, dan orang Latin juga cukup bermasalah. Misalnya, karakter orang kulit hitam digambarkan sebagai agresif dan menyeramkan. Mereka pun sering diceritakan sebagai tokoh yang meninggal lebih dulu dari tokoh lainnya. Penggambaran budaya dan kehidupan orang Afrika juga pesimistik-mereka kerap digambarkan sebagai primitif dan tidak terjangkau budaya modern. 

Orang Asia digambarkan sebagai ‘yellow peril’, atau ancaman bagi orang kulit putih dan peradaban Barat. Mereka juga kerap digambarkan sebagai ‘model minority’, atau minoritas yang berhasil sukses hidup di negara-negara Barat karena kecerdasan dan kemampuan mereka. Penggambaran ini bermasalah karena menempatkan stereotipe terhadap orang Asia sebagai ‘musuh asing’ yang mengancam kelompok ras lainnya di AS. Stereotipe terhadap perempuan Asia juga bermasalah. Mereka kerap diseksualisasi dan dianggap submisif terhadap penjajah atau imperialis.

Orang Latin adalah etnis minoritas terbesar di AS, membentuk sekitar 18 persen dari populasi. Dari 2.682 film yang diproduksi sejak tahun 2000, penggambaran karakter Latin paling sering berfokus pada daya tarik seks dan kejahatan kriminal mereka. Ini melekatkan stereotipe kriminal dan hiperseksual pada mereka hingga ke tingkat individu dalam kehidupan sehari-hari.

Kok orang bisa rasis? Dari mana awalnya?

Rasisme muncul dari teori awal superioritas ras sebagai pembenaran dominasi satu ras atas ras lain. Teori ini berasal dari konsep survival of the fittest yang digagas Charles Darwin. Menurut teori tersebut, seseorang yang menjadi rasis bisa punya lebih banyak keuntungan yang berguna untuk bertahan hidup, dengan memanfaatkan inferioritas ras lain yang dianggap lebih rendah dari mereka. 

Samuel Morton, ilmuwan yang dikenal sebagai bapak rasisme ilmiah, meneliti ratusan tengkorak sejak 1834. Morton lalu membagi manusia menjadi lima ras dan menyimpulkan bahwa orang kulit putih adalah kelompok ras paling cerdas. Caranya? Mengukur lingkar tengkorak. Menurut Morton, orang kulit putih atau Kaukasia memiliki otak terbesar dari semua ras. Teori ini memunculkan prasangka bahwa ada ras yang lebih baik dari ras lainnya. 

Prasangka buruk kemudian muncul sebagai upaya meningkatkan citra diri seorang individu atau kelompok. Individu atau kelompok yang memandang rendah kelompok lain, akan menghasilkan prasangka lainnya, yaitu pandangan bahwa mereka berhak memimpin atau mendominasi orang lain karena superioritas mereka. Tapi, kenyataannya superioritas ras malah mendiskriminasi dan melanggar hak orang lain.

Pada 1981, paleontolog Stephen Jay Gould menggugat pemikiran Morton lewat buku The Mismeasure of Man. Gould menemukan bahwa penelitian Morton tidak akurat dan mengandung bias rasisme. Menurut Gould, semua ras memiliki kapasitas otak dengan perbedaan yang tidak mencolok, mematahkan teori ‘otak terbesar’ milik Morton.

Psikolog asal AS, Gordon Allport berpendapat dalam bukunya, The Nature of Prejudice, bahwa manusia menggunakan kategori/ mengelompokkan hal-hal di sekitarnya untuk memahami dunia mereka dengan lebih baik, dan rasisme adalah warisan dari proses itu. Seseorang bisa berperilaku rasis karena pengaruh pembentukan karakter sejak lahir, norma sosial di masyarakat, atau sistem politik, ekonomi dan budaya di tempat tinggalnya yang mendiskriminasi ras. 

Rasa tidak aman atau khawatir akan identitas seseorang juga bisa membuat seseorang menjadi rasis karena mereka berusaha menguatkan identitas fisiknya melalui diskriminasi terhadap ras lain. Kurangnya empati atau pemahaman terhadap situasi manusia lain juga bisa menyuburkan sikap rasis.

Sebagian besar kasus rasisme merupakan akibat ketakutan dan ketidaktahuan. Kebencian ekstrim juga bisa terjadi karena rasa takut akan kehilangan kekuatan dan kendali atas pengelompokkan ras yang telah menguntungkan atau memberi mereka rasa aman.

Padahal…ras itu sebenarnya mitos!

Menurut Craig Venter, pelopor pengurutan DNA, konsep ras tidak terbukti memiliki dasar genetik atau ilmiah. 

Pada manusia, seperti pada semua spesies, perubahan genetik adalah hasil mutasi acak — perubahan kecil pada DNA, kode kehidupan. Mutasi terjadi pada tingkat yang kurang lebih konstan, sehingga semakin lama suatu kelompok bertahan, menurunkan gennya dari generasi ke generasi, semakin banyak perubahan yang akan diakumulasikan oleh gen ini. Sementara itu, semakin lama dua kelompok ras hidup secara terpisah di lingkungan tempat tinggal yang berbeda, perbedaan ciri fisik dan budaya mereka akan semakin banyak. 

Warna kulit dan ciri fisik yang beragam merupakan bukti evolusi manusia. Lebih dari 100.000 tahun yang lalu, nenek moyang manusia modern pertama, homo sapiens, hidup di daratan Afrika, lalu berpindah ke wilayah Eurasia, Australia, dan Amerika. Orang Afrika lebih intens terpapar sinar matahari, sehingga kulit mereka pada umumnya berwarna lebih gelap sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi ini memberi perlindungan khusus dari sinar ultraviolet matahari yang bisa merusak kulit. Orang Eropa berkulit lebih terang karena memungkinkan mereka menyerap lebih banyak vitamin D dari sinar matahari yang minim.

Dorothy Roberts, penulis Fatal Invention: How Science, Politics, and Big Business Re-create Race in the Twenty-first Century menjelaskan bahwa ketika komunitas medis mengaitkan satu ras dengan penyakit tertentu, sering kali penyebab sebenarnya faktor lain seperti asal-usul, akses ke perawatan kesehatan, dan status sosial ekonomi. 

Contohnya penyakit anemia sel sabit, yang banyak diderita orang berkulit hitam AS. Padahal penyakit ini banyak muncul di komunitas kulit hitam bukan karena warna kulit mereka, melainkan karena warga berkulit hitam memiliki karakter adaptasi hasil evolusi untuk melawan penyakit malaria yang banyak dijumpai di Afrika, tempat asal nenek moyang mereka.

Jadi, menghapus gagasan tentang perbedaan ras bisa jadi solusi untuk menghilangkan rasisme?

Walau ras itu mitos, tapi rasisme itu nyata. 

Kesenjangan akibat rasisme berabad-abad tak bisa diselesaikan hanya dengan menghilangkan prasangka tentang ras. Anggapan keliru soal perbedaan ras telanjur merugikan banyak orang dan menghambat kesempatan mengembangkan hidup berkualitas, memicu kebencian, konflik, bahkan mengancam nyawa.

Salah satu kalimat yang problematik terkait hal ini adalah pernyataan “All Lives Matter”.  Walau terdengar rasional, ujaran ini menyangkal fakta bahwa rasisme ada dan merupakan masalah sistemik. 

Misalnya “Black Lives Matter” diutarakan untuk menunjukkan bahwa hidup orang kulit hitam lebih terancam daripada ras lainnya karena rasisme sistemik dan kekerasan polisi yang mereka alami. Membalas dengan “All Lives Matter” berarti mengabaikan kerugian yang lebih sering dialami orang kulit hitam. 

Kris Straub, komikus asal AS, pernah membuat komik yang menjelaskan kenapa slogan All Lives Matter tidak tepat, dengan analogi rumah yang terbakar di suatu distrik. Jika rumah A terbakar, kita akan mengatakan “selamatkan rumah A!” bukan “selamatkan semua rumah di distrik ini!”, karena urgensi ancaman yang paling membahayakan penghuni rumah A. 

Apa aturan yang melindungi kita dari rasisme?

Di tingkat internasional, ada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). 

Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak ini “tanpa perbedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.

DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB, setelah Perang Dunia Kedua pada 1948. 

Selain DUHAM, ada juga Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini adalah salah satu perjanjian HAM pertama yang diadopsi PBB. Lebih dari 150 negara telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi pada 25 Mei 1999.

Berdasarkan Konvensi ini, diskriminasi rasial terjadi saat seseorang atau kelompok diperlakukan berbeda karena ras, warna kulit, keturunan, asal kebangsaan atau asal etnis dan perlakuan tersebut melanggar hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka. Hak dan kebebasan yang dimaksud adalah:

Hak-hak sipil dan politik khususnya:

  • perlakuan yang sama di depan pengadilan;
  • perlindungan oleh Pemerintah dari kekerasan atau cedera tubuh;
  • hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan untuk mengambil bagian dalam Pemerintah serta dalam menjalankan urusan publik di tingkat manapun dan untuk memiliki akses yang sama ke layanan publik;
  • kebebasan bergerak dan tinggal;
  • hak untuk memiliki properti sendiri maupun dalam pergaulan dengan orang lain;
  • hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, pendapat dan ekspresi agama dan berkumpul dan berserikat secara damai.

Hak ekonomi, sosial dan budaya, khususnya hak atas:

  • pekerjaan
  • perumahan
  • kesehatan masyarakat, perawatan medis, jaminan sosial dan layanan sosial
  • pendidikan dan pelatihan;
  • partisipasi yang sama dalam kegiatan budaya;
  • akses ke tempat atau layanan apa pun yang dimaksudkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.

Di Indonesia, sudah ada aturan terkait tindakan rasisme, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Apa yang bisa kita lakukan untuk lawan rasisme?

  • Cari tahu lebih banyak tentang rasisme
  • Sebarkan kesadaran tentang bahaya rasisme
  • Pastikan lingkungan sosial kita, seperti pendidikan dan pekerjaan, inklusif terhadap keberagaman asal-usul dan budaya
  • Desak negara melindungi warganya dari rasisme melalui aturan dan kebijakan anti-rasisme
  • Dukung kerja-kerja lembaga yang mendukung kesetaraan dan keadilan untuk semua orang
  • Beri dukungan dan dengarkan orang-orang yang terdampak rasisme  
  • Dukung keadilan rasial, yaitu perlakuan adil yang sistematis terhadap orang-orang dari semua ras untuk menghasilkan peluang yang setara untuk semua orang. 

Sumber: Amnesty International, National Geographic, Racial Equity Tools, North Star Forward Consulting.

Arsip.Topsekali.com

Minggu, 15 Agustus 2021

Di Dalam Catur Politik, Sering Menghalalkan Segala Cara, Tipu Menipu,Bunuh Membunuh Dengan Senyap, Gaya Mafioso.

*SINDIKAT KRIMINAL, Sangat Mungkin Terjadi, Tapi Ingat DIMATA SANG PENCIPTA DALAM PENGADILAN TERAKHIR TIDAK ADA YANG BISA DISEMBUNYIKAN.*
Dalam satu diskusi dengan teman di lounge executive ritz, teman berkata. Percaya engga kamu. Bahwa politik bisa dioperasikan dengan cara mafia, gangster. Dalam kasus Century Gate, Sity Chalimah Fadjriah meninggal karena stroke di saat kehadirannya sangat diperlukan sebagai saksi kunci pengucuran dana ke bank century. Ketika itu jabatannya sebagai deputi BI Bidang pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah. Yang jelas kita tahu laporan resmi nya begitu. Apa iya? Karena itu, pemain kunci kasus century tidak tersentuh.

Dalam kasus Hambalang, ada empat orang saksi kunci yang meninggal saat proses penyidikan yaitu, Muchayat ( Deputi Meneg BUMN ). Asep Wibowo ( Direktur operasional PT. Methapora), Ikuten Sinulingga ( Direktur operasi Wika ) yang tewas jatuh dari jembatan penyeberangan di cawang dan Arif Gunawan. Apa semua kebetulan ? Kasus itu terpusat hanya kepada Nazarudin, dll yang tidak bisa menyentuh pelaku kunci.

Kasus IT PEMILU dimana Nasrudin saksi kunci ditembak dalam perjalanan pulang kerumah. Dan terakhir kasus EKTP , Johannes Marliem yang meninggal oleh pembunuh bayaran di AS. Anggota FBI yang datang menyidik dihentikan oleh NSA. Padahal kalau mereka tidak terbunuh, kasus itu akan bisa membuka pemain kunci. Dengan meninggalnya mereka yang jadi tersangka hanya terbatas kepada mereka yang tidak terhubung dengan pelaku kunci 

Saksi atau tersangka meninggal disaat keberadaan mereka sangat diperlukan untuk mengungkapkan mega skandal. Mengapa mereka meninggal? Tidak bisa dibuktikan secara hukum itu adalah pembunuhan dan lagi tidak ada investigasi soal kematian itu. Jadi benar benar gaya kerjanya sudah seperti Mafia , destroy and Clean up.  Yang kita syukuri di era Jokowi cara seperti itu tidak ada lagi. Kerena dia dan keluarganya memang menjauh dari politik lendir.
EJB.

Kamis, 12 Agustus 2021

Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia

Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin 
tak tercatat di buku sejarah Indonesia
"Apa yang aku lakukan untuk Indonesia mungkin tak tercatat di buku sejarah Indonesia,  mungkin Indonesia akan melupakan ku, namun indonesia adalah bagian hidup ku, jika aku mati tabur abu ku di pantai Bali"......K'tut Tantri.

Saya mungkin akan dilupakan oleh Indonesia...Tapi Indonesia adalah bagian hidup saya
K'TUT TANTRI......

Masih sangat di sayangkan banyak yng tidak tahu perjuangan wanita bule untuk negri ini. Disiksa Jepang nyaris membuat ia gila bahkan tewas... Tapi tak menyurutkan hati nya untuk memperjuangkan negri barunya itu... 

Bahkan Bung Tomo terkesiap saat menyaksikan bagaimana dengan tenang nya K'tut Tantri menyiarkan bombardir tentara Inggris pada kota Soerabaia dengan menulis catatan..... 

“Saja tidak akan melupakan detik detik  dikala Tantri dengan tenang mengutjapkan pidatonja dimuka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru2 mortir berdjatuhan dengan dahsjatnja dikeliling pemantjar radio pemberontakan,” tulis Bung Tomo.....

K’tut Tantri lahir di Glasgow Skotlandia  dengan nama Muriel Stuart Walker,  pada 18 Februari 1899. Ia adalah anak satu-satunya dari pasangan James Hay Stuart Walker dan Laura Helen Quayle.

Setelah Perang Dunia I, bersama sang ibu, ia pindah ke California, Amerika Serikat (AS). Kelak di Negeri Paman Sam, Tantri bekerja sebagai penulis naskah dan antara 1930 hingga 1932 ia menikah dengan Karl Jenning Pearson.

Tantri memutuskan pindah ke Bali setelah ia menonton film berjudul, “Bali, The Last Paradise”. Hal itu ia ungkapkan gamblang dalam bukunya, “Revolt in Paradise” yang terbit pada 1960.

“Pada suatu sore saat hujan rintik-rintik, saya berjalan di Hollywood Boulevard, saya berhenti di depan sebuah gedung bioskop kecil yang memutar film asing, mendadak saya memutuskan untuk masuk. Film asing tersebut berjudul “Bali, The Last Paradise”. Saya menjadi terpesona,” tulis Tantri.

“Sebuah film yang menunjukkan contoh kehidupan penduduk yang cinta damai, penuh rasa syukur, cinta, dan keindahan. Ya, saya merasa telah menemukan kembali hidup saya. Saya merasa telah menemukan tempat di mana saya ingin tinggal,” ujar dia dalam bukunya.

Selang beberapa bulan kemudian, Tantri tiba di Pulau Dewata. Kala itu ia bersumpah mobil yang dikendarainya hanya akan berhenti jika sudah kehabisan bensin dan kelak ia akan tinggal di tempat pemberhentian terakhirnya itu.

Ternyata mobil Tantri kehabisan bensin di depan sebuah istana raja yang pada awalnya ia yakini adalah pura. Dengan langkah hati-hati ia memasuki tempat itu dan tak berapa lama kemudian perempuan itu diangkat sebagai anak keempat oleh Raja Bangli Anak Agung Gede –sejumlah sumber menyebut ia menyamarkan nama asli sang raja.

Tantri menetap di Bali sejak 1934 dan ketika Jepang mendarat di Pulau Dewata, ia berhasil melarikan diri ke Surabaya. Di kota inilah ia mulai membangun hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.

Di Surabaya, Tantri bergabung dengan radio yang dioperasikan para pejuang pimpinan Sutomo atau akrab disapa Bung Tomo. Dan ketika pecah pertempuran hebat pada 10 November 1945, tanpa gentar, Tantri berpidato dalam bahasa Inggris sementara hujan bom dan peluru mortir terjadi di sekeliling pemancar radio.

“Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,”.. 

tulisnya dalam Revolt in Paradise.

Pilihannya untuk bergabung dalam perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan itu membuat kalangan pers internasional menjulukinya “Surabaya Sue” atau penggugat dari Surabaya. 

Ia diketahui mulai akrab dengan dunia politik setelah menjalani diskusi intens dengan Anak Agung Nura — putra tertua raja yang mengangkatnya sebagai anak.

Menyadari dirinya menjadi target Jepang, Tantri memutuskan sembunyi di Solo. Namun nahas, keberadaanya diketahui Jepang dan akhirnya ia pun ditahan Kempetai –satuan polisi militer Jepang.

Perempuan itu dibawa ke sebuah penjara di daerah Kediri. Kondisi selnya sangat memprihatinkan di mana tempat tidurnya hanya beralaskan tikar kotor, bantal yang terbuat dari merang sudah menjadi sarang bagi kutu busuk, sementara berfungsi sebagai jamban adalah lubang di tanah dengan seember air kotor di sampingnya.

Tantri hanya diberi makan dua hari sekali, itu pun hanya segenggam nasi dengan garam. Hasilnya, berat badannya turun 5 kilogram dalam minggu pertama.

Kelaparan dan kejorokan memang menjadi senjata andalan Jepang ketika itu. Ini ditujukan untuk mematahkan semangat para tahanan sehingga mereka mau memberi informasi yang dibutuhkan.

Kendati mengalami bertubi-tubi penyiksaan bahkan nyaris dieksekusi, Tantri memilih tetap bungkam ketika disodori pertanyaan terkait dengan aktivitas bawah tanahnya. Dan setelah ditahan kurang lebih selama tiga minggu, ia pun dibebaskan.

Pasca-kebebasannya, ia diberi dua pilihan. Kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan para pejuang. Tantri memilih opsi kedua.

Pada satu waktu, ia diculik oleh sebuah faksi tentara Indonesia dan diminta untuk siaran di “radio gelap” yang mereka kelola. Namun ia berhasil dibebaskan oleh pasukan Bung Tomo.

Ketika pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta, ia pun bergabung sebagai penyiar di Voice of Free Indonesia era 1946-1947. Dan ia dilaporkan pernah menjadi mata-mata yang berhasil menjebak sekelompok pengkhianat.

Mara bahaya senantiasa mengincar Tantri. Sementara ketenaran dan kerelaannya untuk berkorban membuatnya menjadi rebutan sejumlah faksi politik.

Ia diutus oleh pemerintah Indonesia ke sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden kantor berita dan media massa asing untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan kemerdekaan. Berbeda dengan propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Sukarno – Hatta tak mendapat dukungan.

Tantri juga pernah dikirim ke Singapura dan Australia dalam rangka menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa ataupun paspor dan dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang pria berkebangsaan Inggris, ia berhasil lolos dari blokade laut Belanda.

Dari Singapura ia bergerak ke Belanda demi menggalang dana dan melakukan propaganda. Ia berhasil, sebuah demonstrasi mahasiswa terjadi di perwakilan pemerintahan Belanda di Negeri Kanguru itu.

K’tut Tantri menetap di Indonesia selama 15 tahun, sejak 1932 hingga 1947.

Pada tanggal 10 November 1998, pemerintah Indonesia mengganjarnya dengan Bintang Mahaputra Nararya atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai di Kementerian Penerangan pada 1950.

Tantri yang juga memiliki darah bangsa Viking –sehingga dikenal sebagai pemberani dan gemar petualangan– tutup usia pada Minggu 27 Juli 1997. Perempuan yang perjalanan hidupnya akan segera difilmkan itu, meninggal dunia di sebuah panti jompo di pinggiran Kota Sydney, Australia, di mana ia menjadi permanen resident sejak 1985.

Perempuan yang disebut sebagai salah satu perintis hubungan persahabatan Indonesia – Australia itu memang tak pernah mengangkat senjata atau tutup usia sebagai warga negara Indonesia. K’tut Tantri justru memanfaatkan identitasnya sebagai orang asing berbahasa Inggris untuk mengambil peran dalam ranah diplomasi yang mengedepankan komunikasi dan jelas apa yang dilakukannya itu penuh risiko.

Dalam tulisan di buku catatan harian nya sebelum meninggal ia menulis..... 

Saat wanita gagah ini meninggal di peti jenasahnya ditutupi bendera Merah Putih dan di beri renda renda khas Bali seperti permintaannya.... 👍😊

Mengenang sejarah sekitar orang2 yg berjasa bagi NKRI dimasa masa perjuangan.🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Arsip.Topsekali.com
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India