Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HAM. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 September 2021

Jalan Suharto Berdarah-Darah Menuju Istana, Tampuk Pimpinan Republik Indonesia, Apakah Memang Harus Begitu Untuk Mendapatkan Tampuk Kekuasaan

Jalan Suharto Berdarah-Darah Menuju Istana, Tampuk Pimpinan
 Republik Indonesia, Apakah Memang Harus Begitu 
Untuk Mendapatkan Tampuk Kekuasaan

"Miskin imajinasi itu pula yang menjadikan para purnawirawan Jenderal tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan ruang pengabdian baru pascapensiun. Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Statemen ini kemudian ditafsirkan mereka sendiri secara sempit, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan. Ini seolah jebakan bagi para purnawirawan jenderal, mereka terkurung dalam asumsi yang mereka bangun sendiri.",Aris Santoso

Dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. 

SUHARTO - JALAN DARAH MENUJU ISTANA
Cara Soeharto Menyingkirkan Para Pesaingnya
Prajurit Tak Bertuan

Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. 
Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.

Simbolis

Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto secara bertahap mulai menyingkirkan lawan-lawan politik di militer, yang sekiranya berpotensi menghambat hasrat Soeharto untuk berkuasa. Salah satu jenderal yang masuk daftar untuk segera disingkirkan adalah, adalah Mayjen Ibrahim Adjie (Panglima Siliwangi), seorang jenderal yang dikenal sangat setia pada Soekarno.

Dari sekian banyak jenderal Soekarnois, Ibrahim Adjie perlu diberi catatan khusus.
Mungkin karena karismanya yang demikian besar,  Soeharto tampak hati-hati dalam memperlakukan Ibrahim Adjie. Beda cara dengan jenderal-jenderal lain, yang disingkirkan secara tertutup, khusus terhadap Ibrahim Adjie, Soeharto  menyempatkan turun  sendiri ke "lapangan”.

Soeharto menyingkirkan Ibrahim Adjie dengan sangat halus, dan cenderung simbolik. 
Pada 20 Mei 1966, jadi hanya dua bulan setelah menerima Supersemar, Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri 17/Kujang I di Bandung, satuan baru di bawah Kodam VI/Siliwangi. 
Dalam peresmian satuan tersebut  Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen HR Dharsono (Pak Ton, Kasdam Siliwangi) juga hadir, selaku pimpinan kodam dengan nama besar tersebut.
Upacara tersebut seolah merupakan "salam perpisahan” bagi Ibrahim Adjie, sebab tepat sebulan kemudian, dirinya dicopot selaku Panglima Siliwangi, untuk digantikan  HR Dharsono. 
Kesan satire bagi Ibrahim Adjie semakin terasa, ketika yang dilantik sebagai komandan pertama Brigif 17 adalah Letkol Inf Himawan Soetanto. Himawan adalah perwira yang dibesarkan Siliwangi, namun dikemudian hari dikenal sangat setia pada Soeharto, yang notabene adalah bagian dari rumpun Diponegoro.

Upacara hari itu juga ingin menegaskan, bahwa kini Kodam Siliwangi tak lagi dominan, sebagaimana citra yang berkembang sebelumnya. Soeharto sebagai bagian dari rumpun (Kodam) Diponegoro, sudah menunjukkan eksistensinya sebagai "raja” baru di Angkatan Darat. Sebab selama ini ada kesan, Kodam Diponegoro selalu berada di bawah bayang-bayang Kodam Siliwangi.
Dominasi Soeharto terhadap Kodam Siliwangi semakin terlihat, ketika dia pada akhirnya juga menyingkirkan HR Dharsono (Pak Ton), sekitar dua tahun kemudian. 
Kebersamaannya bersama Pak Ton ternyata hanya seumur jagung. Pak Ton disingkirkan setelah bersekutu sejenak guna menyingkirkan Ibrahim Adjie, dan unsur Soekarnois lainnya di Siliwangi.


Kedekatan dengan  Soedirman

Cara lain yang biasa dilakukan Soeharto untuk menyingkirkan lawannya adalah dengan menghambat karier perwira bersangkutan, salah satu yang bisa disebut adalah Suadi Suromihardjo (terakhir berpangkat Mayjen). 
Sama dengan Ibrahim Adjie, Suadi juga dikenal sebagai Soekarnois, sebuah istilah yang merujuk pada perwira yang dianggap setia pada Soekarno.
Hubungan antara Soeharto dengan Suadi terbilang unik, mengingat keduanya sama-sama dari rumpun Diponegoro, hanya karena faktor politik, perjalanan karir keduanya  bersimpang jalan. Sejak dulu karier seorang perwira adalah misteri, dimana soal nasib tak dapat diramalkan, begitulah yang terjadi pada Suadi dan Soeharto. Keduanya sama-sama lahir tahun 1921, dan sama-sama pula memiliki kedekatan dengan Panglima Soedirman.

Dalam kasus Suadi memang ganjil, karena Suadi dipinggirkan, berdasarkan alasan keterkaitannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Kenapa baru dipersoalkan pasca-Peristiwa 1965? Jadi ada tumpang-tindih argumentasi pada kasus eliminasi Suadi, yakni antara Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.

Mengapa penyingkiran terhadap Suadi terkesan mulus? Saya kira justru disebabkan adanya kedekatan khusus antara Suadi dan Soeharto sejak lama. Seperti bunyi peribahasa lama, hati orang siapa tahu. Keduanya dikenal sebagai perwira yang sangat dekat Panglima Soedirman, Overste Suadi adalah Komandan Pasukan Kawal Soedirman saat melaksanakan perjalanan gerilya yang monumental itu. Sementara Overste (Letkol) Soeharto yang menjemput Soedirman, untuk sama-sama kembali ke Jogja pasca-perang kemerdekaan.
Sedikit mundur ke belakang, Suadi pula yang mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi Madiun usai peristiwa September 1948, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. 
Soeharto turun langsung ke lapangan berdasar perintah Jenderal Soedirman. Namun di kemudian hari, kebersamaan keduanya di Madiun, justru dijadikan alasan Soeharto, bahwa Suadi dianggap terlibat Peristiwa Madiun 1948.

Miskin Imajinasi

Pelajaran yang bisa kita petik dari gaya Soeharto dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi.

Benar, soal imajinasi inilah yang tidak kita dapatkan dari elite militer generasi sekarang, dalam mencari cara untuk mengatasi konflik. Karena tidak adanya imajinasi, sehingga perwujudannya terkesan kacau, seperti kerusuhan di Jakarta baru-baru ini.

Seperti telah dikabarkan media, bagaimana mungkin seorang perwira sekelas Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin bersedia turun ke lapangan untuk bergabung dengan para demonstran. Ikut turunnya Sjafrie hari itu bisa dibaca sebagai "terjun bebas” bagi seorang jenderal. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Sjafrie ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC), jadi Sjafrie adalah wakil dari Erick Thohir. Dengan kata lain, rezim Jokowi masih memberi kepercayaan pada Sjafrie saat itu.
Dalam hitungan bulan, Sjafrie sudah turun ke jalan, lalu apa yang dicari Sjafrie? Saya kira Sjafrie adalah representasi dari kelompok purnawirawan yang tidak mau belajar dari Soeharto. Para purnawirawan itu kurang sabar, mereka menjadi limbung ketika tak lagi berkuasa. Bandingkan dengan Soeharto yang sangat mulus dan rapih dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Seperti ketika Soeharto menyingkirkan Suadi, itu baru dilakukan Soeharto pada awal tahun 1970-an, padahal Soeharto sudah berkuasa penuh sejak 1966.

Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD.
ARSIP.TOPsekali.com

Jumat, 27 Agustus 2021

Artikel Yang Bagus Tentang Rasisme Dan HAM, Baca Dan Pelajari.Menarik Sekali Pada Saat2 Sekarang Ini.

 "Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya" Waspada terhadap rasisme (Admin)

Rasisme dan HAM

Mulai dari hinaan dan stereotipe terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan, banyak orang di seluruh dunia didiskriminasi hanya karena warna kulitnya. 

Merebaknya protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terkini Stop Asian Hate adalah akumulasi kemarahan terhadap diskriminasi rasial yang melanggar hak orang sejak berabad-abad lalu, yang menyebabkan berbagai kesenjangan yang merugikan sampai sekarang.

Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dibasmi tuntas.

Apa itu rasisme? 

Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. 

Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Gagasan ini juga meyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain. 

Apa saja dimensi rasisme?

Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting, organisasi yang merekomendasikan kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebut bahwa rasisme punya empat dimensi: internal, interpersonal, institusional dan sistemik.

Rasisme internal mengacu pada pikiran, perasaan dan tindakan kita sendiri, sadar dan tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai stereotip ras yang negatif, atau bahkan menyangkal adanya rasisme.

Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari seseorang ke orang lain, yang bisa mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya perilaku negatif seperti pelecehan, diskriminasi, dan kata-kata rasis. 

Rasisme institusional ada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang secara langsung atau tidak langsung melanggengkan diskriminasi atas dasar ras. Ini menyebabkan ketidaksetaraan kekayaan, pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan bidang lainnya. Misalnya, praktik perekrutan diskriminatif, membungkam suara orang dengan ras tertentu di ruang rapat, atau budaya kerja yang mengutamakan sudut pandang kelompok ras dominan.

Rasisme sistemik melibatkan institusi atau entitas berwenang yang menegakkan kebijakan rasis, baik di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, pemerintah, dan lain-lain. Ini adalah efek riak dari ratusan tahun praktik rasis dan diskriminatif yang masih berlangsung hingga kini.

Kenapa rasisme berbahaya?

Pemikiran rasis bisa membuat seseorang punya prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini bisa berdampak negatif terhadap orang yang terdiskriminasi. Bahkan rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Nazi.

Berikut beberapa dampak buruk rasisme:

  • Rasisme kerap berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk

Rasisme memandang mereka yang berbeda sebagai bukan manusia, tapi objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, penyiksaan dan perlakuan buruk sering menimpa kelompok yang menjadi target perilaku rasis.

Misalnya, di AS, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi berkulit putih, tapi jumlah orang kulit hitam yang ditembak tidak proporsional dibandingkan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tapi yang dibunuh polisi lebih dari dua kali lebih banyak dibanding orang kulit putih.

Setiap satu juta populasi orang kulit hitam, ada 30 orang tewas ditembak polisi. Jumlah ini timpang dengan statistik yang menyatakan dalam setiap satu juta populasi orang kulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit lebih gelap. 

Sumber data: Riset The Washington Post (https://www.washingtonpost.com/graphics/investigations/police-shootings-database/)
  • Rasisme melanggengkan impunitas

Negara yang lalai dan tak menganggap serius rasisme bisa mengakibatkan mekanisme yang ada tak bisa mengidentifikasi dan memperbaiki pola diskriminasi. Di banyak negara, perlakuan buruk aparat kerap tidak bisa diinvestigasi tuntas. Kalaupun berhasil dituntut dan didakwa, mereka hanya mendapat hukuman ringan. Sebaliknya, korban yang melapor ke otoritas tidak mendapatkan perlindungan memadai dari ancaman dan intimidasi. 

Misalnya, di Prancis, menurut data Ombudsman Nasional Prancis, pemuda imigran asal Arab dan pemuda kulit hitam 20 kali lebih mungkin dituduh sebagai kriminal dan digeledah polisi Prancis di jalanan hanya karena warna kulit mereka. Penggeledahan ini merendahkan martabat manusia dan kerap berujung pada intimidasi dan kekerasan. 

Menurut Madjid Messaoudene, aktivis dan politisi lokal Prancis, belum ada pelaku kekerasan aparat ini yang sudah diadili. Impunitas atau ketiadaan hukuman bagi pelaku menunjukkan sikap negara yang tidak berkomitmen menganggap serius rasisme sistemik.

  • Rasisme bisa menyebabkan konflik terbuka

Untuk mempertahankan kekuasaannya, pemimpin politik kerap membangkitkan kebencian ras untuk menggalang kekuatan mereka, memandang lawan sebagai bukan manusia yang berhak dihormati hak-haknya, dan melegitimasi pelanggaran HAM. Hasilnya, rasisme mencemarkan segala aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem keadilan. 

Di Myanmar, misalnya, kaum minoritas sering jadi target pelanggaran HAM. PBB berpendapat bahwa  ‘pembersihan etnis’ yang disertai genosida terjadi terhadap Rohingya. Orang Rohingya menjadi target pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuan buruk. Militer Myanmar diduga membunuh laki-laki, perempuan, dan anak-anak Rohingya, memperkosa perempuan dan anak-anak, dan membakar desa tempat tinggal mereka. Mereka juga disiksa jika tak bisa bekerja sesuai harapan. Mereka kerap dipukuli, tidak diberi makanan, air, istirahat dan pelayanan kesehatan, dan bahkan dibunuh jika ketahuan ingin kabur. Banyak yang dipaksa kerja tanpa dibayar di proyek konstruksi baru. 

  • Rasisme menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya

Secara historis, mereka yang secara terbuka mengakui atau mempraktikkan rasisme berpendapat bahwa anggota ras berstatus rendah harus dibatasi pada pekerjaan berstatus rendah, sementara anggota ras dominan harus memiliki akses eksklusif ke kekuasaan politik, sumber daya ekonomi, pekerjaan berstatus tinggi, dan hak-hak sipil lainnya.

Walau ideologi rasis mungkin memudar di masa kini, tapi diskriminasi ras berdasarkan warna kulit tetap berlanjut, membuat anggotanya tak punya akses ke pendidikan, pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya.

Salah satu contohnya di Inggris. Pada 2017, misalnya, pemerintah Inggris mengidentifikasi lebih dari 4000 orang ke dalam “Gang Matrix”, yaitu daftar nama-nama pemuda yang dicurigai sebagai anggota geng. Banyak orang masuk ke daftar hanya karena pernah melihat video dan mendengar musik yang dianggap ‘berbahaya’, lantas mereka dapat distigma berpotensi melakukan kekerasan. Perlu diingat bahwa sebanyak  78% orang di daftar ini berkulit hitam. Padahal, hanya 27% pemuda kulit hitam di daftar tersebut terbukti melakukan kejahatan serius. 

Karena daftar yang bias tersebut, banyak pemuda akhirnya susah mendapat pekerjaan, pendidikan, atau tempat tinggal. Dalam hal ini, akhirnya, Komisi Informasi Inggris memutuskan bahwa kebijakan daftar Gang Matrix ini melanggar aturan privasi data karena pengawasan terhadap mereka dilakukan tanpa surat perintah investigasi.

  • Rasisme membuat perempuan semakin terdiskriminasi

Beberapa bentuk diskriminasi ras menimpa perempuan dan laki-laki secara berbeda. 

Ada tindakan rasis yang hampir sepenuhnya dialami perempuan, seperti sterilisasi paksa perempuan komunitas adat. Terkadang, diskriminasi ras menimpa perempuan dalam cara tertentu, misalnya ketika aparat memperkosa atau melecehkan perempuan untuk mengintimidasi sebuah komunitas. Di saat lain, konsekuensinya berbeda untuk perempuan – misalnya ketika pemerkosaan berujung pada kehamilan tidak diinginkan dan pengucilan.

Pemerkosaan beberapa kali dipakai sebagai instrumen penyiksaan dan intimidasi terhadap ras tertentu. Misalnya pada kerusuhan Mei 1998, bias rasial juga diduga melatarbelakangi perkosaan terhadap ratusan perempuan Tionghoa di berbagai lokasi di Indonesia, hingga presiden Habibie kala itu merekomendasikan pembentukan Komnas Perempuan. Catatan Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 menyebutkan, sebagian elemen tentara Indonesia diduga menjadi pelaku.

Bagaimana dengan rasisme di Indonesia? 

Persentuhan orang Indonesia dengan rasisme bisa ditelusuri setidaknya sejak masa penjajahan Belanda, ketika Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menetapkan penggolongan kelas dan melegalkannya. 

Masyarakat di Indonesia kala itu dibagi jadi tiga golongan. Strata tertinggi adalah golongan Eropa yang berisi orang-orang Belanda. Strata kedua diisi golongan Timur Asing yang berisi keturunan Arab dan Tionghoa. Strata terendah saat itu adalah masyarakat asli Indonesia. 

Golongan masyarakat Eropa menganggap ras mereka lebih unggul dari ras lain, punya derajat lebih tinggi dan karenanya mereka berhak berlaku semena-mena, seperti mengeksploitasi golongan lainnya. Penggolongan kelas itu dipertajam dengan penegakan aturan yang diskriminatif. Misalnya, orang asli Indonesia tidak boleh masuk stadion sepakbola.

Menurut sosiolog Robertus Robet, rasisme memberi jalan masuk bagi bangsa Eropa untuk menaklukkan orang asli Indonesia. Bangsa Eropa menaklukkan Indonesia dengan menyerang dimensi paling mendasar dari eksistensi manusia, yaitu fisik dan rasnya. Sebutan ‘bangsa kuli’ juga dilekatkan penjajah pada masyarakat saat itu. Sebutan yang merendahkan itu menjadi strategi penjajah untuk mempermudah penguasaan ekonomi dan politik di Indonesia. 

Lepas dari penjajahan asing, warga Indonesia sendiri pun tidak lepas dari perilaku diskriminatif. Beberapa insiden yang pernah meledak belum lama ini menguak perilaku rasis sebagian warga Indonesia kepada orang Papua. 

Misalnya, pada Agustus 2019, sebuah organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, menuduh mereka membuang bendera ke selokan sebelum perayaan kemerdekaan, dan menghina dengan kata-kata seperti “monyet,” “anjing,” “binatang,” dan “babi.” Insiden ini mendorong orang Papua turun ke jalan memprotes tindakan diskriminatif itu di beberapa kota. Ironisnya, beberapa peserta aksi tersebut lalu justru ditangkap atas tuduhan makar. 

Warga Indonesia keturunan Tionghoa juga kerap mengalami diskriminasi. Di era Orde Baru, orang Tionghoa harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk membuktikan bahwa mereka adalah WNI. Penerapan SBKRI adalah tindakan diskriminatif karena membuat orang Tionghoa kesulitan mengurus KTP dan dokumen-dokumen administratif lainnya seperti akta kelahiran, perkawinan, dan kematian. 

Meski sudah dihapus pada 2006, ketentuan ini masih meninggalkan stigma terhadap sebagian orang Tionghoa. Di buku Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI (2008) tulisan Wahyu Effendi dkk., Roni, seorang warga Tionghoa, kesulitan mengurus surat pernikahannya karena ibunya pernah punya nama Cina. Petugas administrasi bersikeras meminta SKBRI sebagai bukti kewarganegaraan ibunya, Minarsih, yang sebelumnya bernama Sien Mo. Saat Roni mengatakan SKBRI tak lagi dibutuhkan untuk mengurus surat nikah, ia malah digertak petugas.

Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya.

Di kasus lain, Pemerintah juga menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam, yang bisa dimaknakan orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Laporan Bappenas ‘Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif’ tahun 2013 menyatakan, “dalam perspektif pemerintah, Suku Anak Dalam harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan”. 

Terlepas dari niat negara, stereotipe tersebut sebenarnya dapat juga menjadi dalih perampasan wilayah adat untuk perusahaan, apalagi jika tanpa konsultasi dengan Masyarakat Adat. Dalam hal ini, mereka dapat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.

Sebagai tambahan, Suku Orang Rimba di Jambi dan di Sumatera Selatan masih kerap mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Setidaknya 3.500 hektar wilayah adat mereka dilepas ke perusahaan sawit sejak 1986, menggusur tempat tinggal mereka hingga sekarang. 

Budaya populer juga menguatkan stereotipe ras.

Budaya populer kerap menyuburkan stereotipe ras yang melanggengkan diskriminasi. 

Misalnya, di AS, blackface, atau pertunjukan para pemain kulit putih beramai-ramai menghitamkan wajah dengan semir sepatu dan mengenakan pakaian compang-camping seperti orang Afrika-Amerika muncul pada 1830-an. Blackface meniru orang Afrika-Amerika yang diperbudak di perkebunan wilayah Selatan AS. Pertunjukan ini menggambarkan orang kulit hitam sebagai pemalas, licik, bodoh, percaya takhayul tidak ilmiah, hiperseksual, dan kriminal. 

Karakter blackface yang paling terkenal, Jim Crow, diciptakan Thomas Dartmouth Rice, akhirnya menjadi simbol stereotipe terhadap orang kulit hitam. Orang-orang kulit putih dalam industri pertunjukan pun mengarang narasi tidak benar tentang eksistensi dan budaya orang Afrika-Amerika, dari penampilan, bahasa, hingga karakter, sehingga menimbulkan cemoohan dan stereotip rasial. Stereotip rasial ini menjadi salah satu pemicu berbagai perilaku dan kebijakan diskriminatif terhadap orang Afrika-Amerika. Bahkan, organisasi rasis seperti Ku Klux Klan menjadikan stereotip rasial ini sebagai pembenaran atas tindakan kejam mereka.

Meski saat ini kesadaran tentang rasisme semakin luas, stereotipe ras juga masih ada di berbagai budaya populer hingga sekarang. Riset yang dilakukan media Jerman Deutsche Welle (DW), yang menganalisis lebih dari 6.000 film Hollywood sejak 1928, menemukan bahwa stereotipe ras yang digambarkan di dunia perfilman selama ini bermasalah. Hollywood, yang mendominasi perfilman global, turut berkontribusi terhadap stereotipe ras. Apalagi, mayoritas anggota panitia Oscar, salah satu ajang penghargaan film bergengsi, juga berasal dari kalangan profesional film AS yang turut memperkuat hegemoni global Hollywood.

Penggambaran keliru tentang karakteristik ras tokoh film bisa menghambat kesempatan bagi kelompok ras tertentu untuk direpresentasikan, atau bahkan bisa membuat penggambaran keliru tentang ras tertentu dan menimbulkan prasangka buruk. Misalnya, meski orang Asia merupakan lebih dari setengah populasi dunia, hanya 3 persen dari semua peran di film-film Hollywood pada tahun 2017 dan 2018 yang diperankan orang Asia. Karakter orang kulit hitam membentuk 12,5 persen dari semua peran, mendekati representasi proporsional untuk populasi AS. 

Dalam banyak kasus, penggambaran tokoh orang Asia, orang kulit hitam, dan orang Latin juga cukup bermasalah. Misalnya, karakter orang kulit hitam digambarkan sebagai agresif dan menyeramkan. Mereka pun sering diceritakan sebagai tokoh yang meninggal lebih dulu dari tokoh lainnya. Penggambaran budaya dan kehidupan orang Afrika juga pesimistik-mereka kerap digambarkan sebagai primitif dan tidak terjangkau budaya modern. 

Orang Asia digambarkan sebagai ‘yellow peril’, atau ancaman bagi orang kulit putih dan peradaban Barat. Mereka juga kerap digambarkan sebagai ‘model minority’, atau minoritas yang berhasil sukses hidup di negara-negara Barat karena kecerdasan dan kemampuan mereka. Penggambaran ini bermasalah karena menempatkan stereotipe terhadap orang Asia sebagai ‘musuh asing’ yang mengancam kelompok ras lainnya di AS. Stereotipe terhadap perempuan Asia juga bermasalah. Mereka kerap diseksualisasi dan dianggap submisif terhadap penjajah atau imperialis.

Orang Latin adalah etnis minoritas terbesar di AS, membentuk sekitar 18 persen dari populasi. Dari 2.682 film yang diproduksi sejak tahun 2000, penggambaran karakter Latin paling sering berfokus pada daya tarik seks dan kejahatan kriminal mereka. Ini melekatkan stereotipe kriminal dan hiperseksual pada mereka hingga ke tingkat individu dalam kehidupan sehari-hari.

Kok orang bisa rasis? Dari mana awalnya?

Rasisme muncul dari teori awal superioritas ras sebagai pembenaran dominasi satu ras atas ras lain. Teori ini berasal dari konsep survival of the fittest yang digagas Charles Darwin. Menurut teori tersebut, seseorang yang menjadi rasis bisa punya lebih banyak keuntungan yang berguna untuk bertahan hidup, dengan memanfaatkan inferioritas ras lain yang dianggap lebih rendah dari mereka. 

Samuel Morton, ilmuwan yang dikenal sebagai bapak rasisme ilmiah, meneliti ratusan tengkorak sejak 1834. Morton lalu membagi manusia menjadi lima ras dan menyimpulkan bahwa orang kulit putih adalah kelompok ras paling cerdas. Caranya? Mengukur lingkar tengkorak. Menurut Morton, orang kulit putih atau Kaukasia memiliki otak terbesar dari semua ras. Teori ini memunculkan prasangka bahwa ada ras yang lebih baik dari ras lainnya. 

Prasangka buruk kemudian muncul sebagai upaya meningkatkan citra diri seorang individu atau kelompok. Individu atau kelompok yang memandang rendah kelompok lain, akan menghasilkan prasangka lainnya, yaitu pandangan bahwa mereka berhak memimpin atau mendominasi orang lain karena superioritas mereka. Tapi, kenyataannya superioritas ras malah mendiskriminasi dan melanggar hak orang lain.

Pada 1981, paleontolog Stephen Jay Gould menggugat pemikiran Morton lewat buku The Mismeasure of Man. Gould menemukan bahwa penelitian Morton tidak akurat dan mengandung bias rasisme. Menurut Gould, semua ras memiliki kapasitas otak dengan perbedaan yang tidak mencolok, mematahkan teori ‘otak terbesar’ milik Morton.

Psikolog asal AS, Gordon Allport berpendapat dalam bukunya, The Nature of Prejudice, bahwa manusia menggunakan kategori/ mengelompokkan hal-hal di sekitarnya untuk memahami dunia mereka dengan lebih baik, dan rasisme adalah warisan dari proses itu. Seseorang bisa berperilaku rasis karena pengaruh pembentukan karakter sejak lahir, norma sosial di masyarakat, atau sistem politik, ekonomi dan budaya di tempat tinggalnya yang mendiskriminasi ras. 

Rasa tidak aman atau khawatir akan identitas seseorang juga bisa membuat seseorang menjadi rasis karena mereka berusaha menguatkan identitas fisiknya melalui diskriminasi terhadap ras lain. Kurangnya empati atau pemahaman terhadap situasi manusia lain juga bisa menyuburkan sikap rasis.

Sebagian besar kasus rasisme merupakan akibat ketakutan dan ketidaktahuan. Kebencian ekstrim juga bisa terjadi karena rasa takut akan kehilangan kekuatan dan kendali atas pengelompokkan ras yang telah menguntungkan atau memberi mereka rasa aman.

Padahal…ras itu sebenarnya mitos!

Menurut Craig Venter, pelopor pengurutan DNA, konsep ras tidak terbukti memiliki dasar genetik atau ilmiah. 

Pada manusia, seperti pada semua spesies, perubahan genetik adalah hasil mutasi acak — perubahan kecil pada DNA, kode kehidupan. Mutasi terjadi pada tingkat yang kurang lebih konstan, sehingga semakin lama suatu kelompok bertahan, menurunkan gennya dari generasi ke generasi, semakin banyak perubahan yang akan diakumulasikan oleh gen ini. Sementara itu, semakin lama dua kelompok ras hidup secara terpisah di lingkungan tempat tinggal yang berbeda, perbedaan ciri fisik dan budaya mereka akan semakin banyak. 

Warna kulit dan ciri fisik yang beragam merupakan bukti evolusi manusia. Lebih dari 100.000 tahun yang lalu, nenek moyang manusia modern pertama, homo sapiens, hidup di daratan Afrika, lalu berpindah ke wilayah Eurasia, Australia, dan Amerika. Orang Afrika lebih intens terpapar sinar matahari, sehingga kulit mereka pada umumnya berwarna lebih gelap sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi ini memberi perlindungan khusus dari sinar ultraviolet matahari yang bisa merusak kulit. Orang Eropa berkulit lebih terang karena memungkinkan mereka menyerap lebih banyak vitamin D dari sinar matahari yang minim.

Dorothy Roberts, penulis Fatal Invention: How Science, Politics, and Big Business Re-create Race in the Twenty-first Century menjelaskan bahwa ketika komunitas medis mengaitkan satu ras dengan penyakit tertentu, sering kali penyebab sebenarnya faktor lain seperti asal-usul, akses ke perawatan kesehatan, dan status sosial ekonomi. 

Contohnya penyakit anemia sel sabit, yang banyak diderita orang berkulit hitam AS. Padahal penyakit ini banyak muncul di komunitas kulit hitam bukan karena warna kulit mereka, melainkan karena warga berkulit hitam memiliki karakter adaptasi hasil evolusi untuk melawan penyakit malaria yang banyak dijumpai di Afrika, tempat asal nenek moyang mereka.

Jadi, menghapus gagasan tentang perbedaan ras bisa jadi solusi untuk menghilangkan rasisme?

Walau ras itu mitos, tapi rasisme itu nyata. 

Kesenjangan akibat rasisme berabad-abad tak bisa diselesaikan hanya dengan menghilangkan prasangka tentang ras. Anggapan keliru soal perbedaan ras telanjur merugikan banyak orang dan menghambat kesempatan mengembangkan hidup berkualitas, memicu kebencian, konflik, bahkan mengancam nyawa.

Salah satu kalimat yang problematik terkait hal ini adalah pernyataan “All Lives Matter”.  Walau terdengar rasional, ujaran ini menyangkal fakta bahwa rasisme ada dan merupakan masalah sistemik. 

Misalnya “Black Lives Matter” diutarakan untuk menunjukkan bahwa hidup orang kulit hitam lebih terancam daripada ras lainnya karena rasisme sistemik dan kekerasan polisi yang mereka alami. Membalas dengan “All Lives Matter” berarti mengabaikan kerugian yang lebih sering dialami orang kulit hitam. 

Kris Straub, komikus asal AS, pernah membuat komik yang menjelaskan kenapa slogan All Lives Matter tidak tepat, dengan analogi rumah yang terbakar di suatu distrik. Jika rumah A terbakar, kita akan mengatakan “selamatkan rumah A!” bukan “selamatkan semua rumah di distrik ini!”, karena urgensi ancaman yang paling membahayakan penghuni rumah A. 

Apa aturan yang melindungi kita dari rasisme?

Di tingkat internasional, ada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). 

Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak ini “tanpa perbedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.

DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB, setelah Perang Dunia Kedua pada 1948. 

Selain DUHAM, ada juga Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini adalah salah satu perjanjian HAM pertama yang diadopsi PBB. Lebih dari 150 negara telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi pada 25 Mei 1999.

Berdasarkan Konvensi ini, diskriminasi rasial terjadi saat seseorang atau kelompok diperlakukan berbeda karena ras, warna kulit, keturunan, asal kebangsaan atau asal etnis dan perlakuan tersebut melanggar hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka. Hak dan kebebasan yang dimaksud adalah:

Hak-hak sipil dan politik khususnya:

  • perlakuan yang sama di depan pengadilan;
  • perlindungan oleh Pemerintah dari kekerasan atau cedera tubuh;
  • hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan untuk mengambil bagian dalam Pemerintah serta dalam menjalankan urusan publik di tingkat manapun dan untuk memiliki akses yang sama ke layanan publik;
  • kebebasan bergerak dan tinggal;
  • hak untuk memiliki properti sendiri maupun dalam pergaulan dengan orang lain;
  • hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, pendapat dan ekspresi agama dan berkumpul dan berserikat secara damai.

Hak ekonomi, sosial dan budaya, khususnya hak atas:

  • pekerjaan
  • perumahan
  • kesehatan masyarakat, perawatan medis, jaminan sosial dan layanan sosial
  • pendidikan dan pelatihan;
  • partisipasi yang sama dalam kegiatan budaya;
  • akses ke tempat atau layanan apa pun yang dimaksudkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.

Di Indonesia, sudah ada aturan terkait tindakan rasisme, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Apa yang bisa kita lakukan untuk lawan rasisme?

  • Cari tahu lebih banyak tentang rasisme
  • Sebarkan kesadaran tentang bahaya rasisme
  • Pastikan lingkungan sosial kita, seperti pendidikan dan pekerjaan, inklusif terhadap keberagaman asal-usul dan budaya
  • Desak negara melindungi warganya dari rasisme melalui aturan dan kebijakan anti-rasisme
  • Dukung kerja-kerja lembaga yang mendukung kesetaraan dan keadilan untuk semua orang
  • Beri dukungan dan dengarkan orang-orang yang terdampak rasisme  
  • Dukung keadilan rasial, yaitu perlakuan adil yang sistematis terhadap orang-orang dari semua ras untuk menghasilkan peluang yang setara untuk semua orang. 

Sumber: Amnesty International, National Geographic, Racial Equity Tools, North Star Forward Consulting.

Arsip.Topsekali.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India