Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 September 2021

Kalkulasi Daya Rusak Varian Kadrun Sangat Besar Semenjak Pandemi Covid-19, Kadrunis Ideot Ini Terus Berkiprah Menyesatkan Rakyat, Sungguh Mengenaskan.

*Kalkulasi Daya Rusak Varian Kadrun Sangat Besar Semenjak* 
Pandemi Covid-19, Kadrunis Ideot Ini Terus Berkiprah* 
*Menyesatkan Rakyat, Sungguh Mengenaskan.*

"Daya rusak varian kadrun dalam pandemi Covid-19 sangat besar, terbukti banyak kelompok masyarakat menolak vaksin karena percaya akan hasutan kadrun di Media Sosial. Sebut saja di Sumenep Madura, pada sebuah sekolah negeri para peserta didik menolak hadir kegiatan vaksinasi karena terpengaruh fitnah kadrun di media sosial. Konten fitnah memang laku keras di Madura", Firman Syah Ali,penulis artikel ini.

Sangat menarik,mari ikuti narasi berikut di bawah ini secara tuntas, perlu sekali Brooo.

Kadrun adalah singkatan dari kadal gurun, julukan yang biasanya disebutkan secara dikotomis dengan NKRI. Kadal gurun dimaksudkan sebagai sekelompok masyarakat yang bercita-cita ingin menggurunpasirkan tanah nusantara nan subur makmur dan damai. Komunitas inti Kadrun terdiri dari barisan anti Daulah NKRI dan  pro Daulah  Khilafah, di lingkar yang lebih luar lagi termasuk barisan sakit hati atau residu pilpres dan masyarakat awam yang jadi korban para buzzer anti NKRI. Kelompok anti Jokowi ikut serta dalam lingkaran kadrun, mereka bisa jadi tidak anti NKRI namun punya kesamaan aksi dengan kelompok anti NKRI. Satu aksi beda agenda.

Varian Kadrun dalam pandemi Covid-19 sudah muncul sejak kemunculan SARS-Cov-2 Wuhan di Cina pada tahun 2019. Begitu SARS-Cov-2 muncul, salah seorang propagandis Kadrun berceramah dengan mata melotot bahwa virus corona diturunkan oleh Allah SWT sebagai azab terhadap komunis cina dan bantuan terhadap muslim uyghur. Tak berapa lama dari ceramahnya, provokator ini harus menanggung malu karena virus corona juga menyerang Uighur bahkan bergerak ke Mekkah, pusat spriritualitas kaum muslimin sedunia. Namun sang propagandis khilafah bertubuh kurus ini tetap tidak merasa malu dan terus berceramah di youtube. Kadrun jelas tetap memuliakannya.

Setelah SARS-Cov-2 mendunia dan ditetapkan sebagai pandemi serta masuk ke Indonesia, kadrun tiada henti menyebarkan banyak berita bohong dan hasutan tentang Corona. Inti dari semua konten hoax dan provokasi tersebut adalah ingin membangun opini bahwa :

1. Virus Covid-19 tidak ada, itu semua hanya rekayasa Jokowi dan cina komunis untuk hancurkan umat islam dan pribumi Indonesia;
2. Vaksinasi adalah politik cina komunis berupa pembunuhan massal terhadap umat islam dan pribumi Indonesia. Karena semua ulama yang disuntik vaksin akan mati dua tahun lagi;
3. PPKM adalah politik cina komunis untuk membunuh pribumi dan umat islam indonesia melalui ekonomi. Dengan PPKM maka pribumi dan umat islam Indonesia akan mati kelaparan;
4. PPKM berkepanjangan merupakan skenario cina komunis untuk menjauhkan umat Islam dan pribumi Indonesia dari Masjid, sehingga di akhir PPKM mereka sudah lupa akan Masjid dan terbiasa sholat di rumah. Masjid adalah tempat yang paling ditakuti oleh cina komunis.

Itulah empat poin utama yang ingin mereka bangun dari semua varian hoax dan hasutan yang mereka sebarkan. Sampai detik ini kita tidak tau siapa sebenarnya yang mereka maksud sebagai cina komunis, dan kenapa selalu dikaitkan dengan Jokowi. Kalau yang mereka maksud adalah RRC, sesungguhnya RRC bekerja sama dengan banyak kepala negara pujaan para kadrun, antara lain kepala negara Saudi Arabia, pemimpin Taliban Afghanistan, Kepala negara Turki dan lain-lain. 

Tapi kita tidak kaget, karena sejak sebelum 2014, Jokowi memang mereka tuduh sebagai komunis, syiah, liberal, yahudi, kapitalis, zionis, freemason, kafir, PKI dll. Sangat konyol ada seorang tokoh komunis sekaligus merangkap sebagai tokoh liberal kapitalis. Ini betul-betul naif tapi yang berbicara seperti itu dianggap orang alim dan dicium tangannya oleh massa kadrun.

Yang terbaru para buzzer kadrun di media sosial sibuk menyebarluaskan video Sultan Brunei Darussalam yang tidak menerapkan protokol kesehatan dinegaranya, namun rakyat Brunei selamat dari Covid-19. Video-video tersebut tentu saja dilengkapi dengan narasi cuplikan-cuplikan dalil yang tentu saja disalahgunakan dan disalahtafsirkan. Hanya selang beberapa hari langsung viral ledakan corona di Brunei Darussalam dengan angka 1000 persen. Namun tentu saja kadrun tidak merasa malu, mereka masih terus percaya diri menyebarkan kekonyolan-kekonyolan berikutnya.

SEBERAPA BESAR DAYA RUSAKNYA?

Kejadian di Sumenep Madura itu tentu saja hanya contoh, sebab di daerah lain di Indonesia kejadiannya diduga tidak jauh beda.

Begitupun aksi penolakan terhadap PPKM banyak diinspirasi oleh media sosial. Narasi-narasi yang mereka kemukakan saat aksi sama persis dengan yang beredar secara viral di media sosial.


BAGAIMANA TINDAKAN PEMERINTAH?

Pemerintah RI menerapkan restorative justice terhadap mereka, tentu saja pendekatannya pre-emtif dan preventif. Sepanjang masih bisa dicegah dan dibina, maka tidak dilakukan represi. Represi hanya dilakukan jika daya rusaknya luar biasa dan itupun harus dilakukan secara presisi, cepat tepat dan terukur.

Pemerintah tidak bekerja sendirian dalam menghadapi Covid-19 Varian Kadrun, pemerintah bersinergi dengan simpul-simpul masyarakat terutama simpul keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, SI, LDII, DDII, MUI, PHDI, dll.

Besar harapan kita sinergitas pemerintah dengan simpul-simpul masyarakat ini akan efektif dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dari Varian Covid-19 non biologis tersebut.
Oleh : Firman Syah Ali
Arsip.Topsekali.com

Benarkah Ada Busana Muslim atau Busana Muslimah, Mari Ikuti Narasi Seorang Dosen King Fahd University Arabia,di Middle East Institute

*Benarkah Ada Busana Muslim atau Busana Muslimah*, 
*Mari Ikuti Narasi Seorang Dosen King Fahd University Arabia* 
*di Middle East Institute*

"Menjadi Muslim/ Muslimah tidak harus bercadar, berniqab, berjilbab, berhijab, berkerudung, berabaya, bergamis / berjubah, berkoko dan seterusnya tetapi juga bisa berkebaya, bersarung, berblangkon, berpeci, berjeans, berkemeja, berjas, berjarik dan seterusnya", tutur Sumanto Al Qurtuby,Arabia.
Banyak umat Islam di Indonesia yang mengatakan, menganggap atau mengklaim “busana Muslim/Muslimah”. Padahal sejatinya itu tidak ada... Itu hanya illusi.

Biasanya yang mereka maksud dengan "busana Muslim" itu misalnya "baju koko". Padahal "baju koko" itu kan "busana Tionghoa". Namanya saja "koko". Itu kan panggilan orang-orang Tionghoa kepada kakak laki2 / abang : misal KoKo Ahok , KoKo Aling , KoKo Ping Ho , dll. 

Busana lain yang dianggap "busana Muslim" adalah gamis/ jubah. Padahal jubah itu pakaian etnis mana saja dan pengikut agama apa saja . Jubah juga busana tradisional Tionghoa . Lihat saja Wong Fai Hung , para Biksu (Pendeta Budha) . Pakaian gamis itu dulu diperkenalkan oleh para pengelana dan pedagang Tionghoa ke Timur Tengah lewat Jalur Sutera . 

Di Timur Tengah, gamis juga dipakai oleh kelompok etnis mana saja dari agama/kepercayaan apa saja bukan melulu Arab/Muslim tetapi juga Qashqai, Kurdi, Yazidi, Druze, Assyrian, Mandaean, Shabak, Agama Katholik dlsb. 
Juga Etnis & suku-suku di Afrika Utara & Afrika Barat juga mengenakan jubah . 

Kemudian juga , yang biasanya disebut / dianggap sebagai “busana Muslimah” untuk perempuan yaitu hijab/ jilbab atau minimal kerudung... Padahal jenis pakaian ini juga lebih dulu dipakai oleh kaum perempuan dari berbagai penganut agama lainnya di dunia ini, bukan hanya Muslimah saja. Bahkan cadar (niqab/ burqa) juga lebih dulu dipakai oleh kaum perempuan kelompok ortodoks Yahudi yang mengklaim , "cadar" adalah "syariat/ ajaran Yahudi".

JADI , istilah yg dipakai utk sebutan “busana Muslim/Muslimah dsb” itu tidak lebih sebagai alat kampanye (bagi propaganda politik & propaganda agama saja) dan juga digunakan sebagai gimmick dan bahan promosi dagangan (oleh pedagang2 bakul) supaya dagangan pakaiannya cepat laris saja dibeli oleh konsumen2 yg mau dibohongi oleh pedagang2 tsb.
Begitulah kira2 analisa yg menggunakan akal sehat/ nalar ... Tidak lebih, tidak kurang...

Oleh : Sumanto Al Qurtuby,Direktur Nusantara Institute, Dosen King Fahd University, dan Senior scholar Middle East Institute. Jabal Dhahran, Jazirah Arabia.

Sabtu, 04 September 2021

Kupas Tuntas Bagaimana Hubungan Taliban Afganistan Dengan Indonesia, Simak Dan Gunakan Akal Sehat, Waspada, Jaga Pancasila

 
*Kupas Tuntas Bagaimana Hubungan Taliban Afganistan Dengan*
 *Indonesia,Simak Dan Gunakan Akal Sehat, Waspada, Jaga Pancasila* - arsip.topsekali.com

"Sasaran terorisme (biasanya berupa aksi bom bunuh diri) bukan hanya aparat keamanan atau kantor pemerintahan, tetapi bisa siapa saja (warga sipil, jurnalis, anak-anak, perempuan, dan sebagainya) dan apa saja (termasuk madrasah dan masjid). Mereka disinyalir juga jadi pelaku pengeboman di area kerumunan massa yang ingin kabur di kompleks bandara Kabul", Sumnato.*
Sejumlah kelompok agama dan elite politik di Indonesia tampak kegirangan dengan keberhasilan milisi Taliban mengontrol dan mengambil alih kekuasaan di Afghanistan.

Mereka juga mendesak Pemerintah RI untuk segera mendukung rezim Taliban. Entah apa yang ada di benak mereka. Padahal, Taliban memiliki sejarah dan reputasi sangat buruk dalam menjalankan roda kepolitikan dan pemerintahan yang membuat rakyat Afghanistan ketakutan dan hidup dalam penderitaan lahir-batin.

Fakta bahwa ratusan ribu warga Afghanistan mencoba kabur dari negara mereka sejak Taliban mengambil alih kekuasaan menunjukkan apa atau siapa “jati diri” Taliban sesungguhnya. Jelas bahwa rakyat Afghanistan trauma terhadap rezim Islamis-fundamentalis Taliban saat lima tahun (1996-2001) berkuasa, yang penuh dengan kebiadaban dan ketidakmanusiawian. Dengan jatuhnya kembali Afghanistan ke tangan Taliban, mimpi buruk dan drama horor terbayang di depan mata mereka.

Selama kekuasaan rezim Taliban yang disokong Pakistan dan Al Qaeda, Afganistan (oleh Taliban diberi nama Emirat Islam Afghanistan) menjelma jadi “neraka” dunia mengerikan. Bahkan Korea Utara jauh lebih baik ketimbang Afghanistan di masa Taliban. Kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi merajalela. Kekerasan demi kekerasan tak pernah berhenti. Perang sipil antarfaksi Islam dan kelompok suku terus berkecamuk.

Pembantaian warga terjadi di mana-mana, bukan hanya terhadap kelompok minoritas etnis dan agama saja (misalnya, kelompok Syiah Hazara) tetapi juga terhadap siapa saja dan kelompok mana saja yang mereka anggap dan cap rival dan musuh pengganggu kekuasaan.

Penting untuk dicatat, rezim Taliban bukan hanya melakukan genosida atas manusia tetapi juga atas produk-produk spiritual-kebudayaan mereka (oleh Raphael Lemkin disebut “cultural genocide”) seperti aneka ragam karya seni, monumen bersejarah, peninggalan kepurbakalaan, atau bahkan bangunan tempat peribadatan karena dicap kafir-sesat, berpotensi menyekutukan Tuhan, tidak religius, atau dianggap menodai kemurnian akidah dan ajaran fundamental Islam yang mereka pegang dan yakini.

Selama berkuasa, rezim Taliban mengunci atau menggembok Afghanistan dari dunia luar. Mereka juga menolak bantuan makanan PBB untuk jutaan warga yang kelaparan. Mereka melarang media dan berbagai aktivitas publik yang dianggap berpotensi mengganggu kekuasaan. Berbagai aktivitas seni-budaya diharamkan termasuk musik, fotografi, lukisan, film, tarian, dan sebagainya.

Kaum perempuan jadi obyek paling mengenaskan. Mereka harus berpakaian tertutup rapat dari ujung kaki hingga ujung kepala, tak boleh pergi ke tempat umum sendirian tanpa ditemani muhrim (biasanya anggota keluarga), dilarang bekerja di sektor publik (kecuali dokter atau perawat untuk melayani pasien perempuan karena petugas medis laki-laki tak boleh menangani pasien perempuan), anak perempuan dilarang sekolah. Dan masih banyak lagi kisah pilu mereka. Jika melanggar aturan, mereka akan dihukum cambuk di hadapan publik.

Taliban juga menerapkan kebijakan scorched earth, yakni sebuah strategi untuk menghancurkan aset apa saja (kawasan, fasilitas publik, sumber-sumber ekonomi, industri, dan lainnya) yang dipandang memberi manfaat pihak lawan.

Karena itu jangan heran kenapa ketika Taliban berkuasa mereka memusnahkan banyak kawasan subur dan membakar rumah-rumah dan perkampungan penduduk. Ketika kekuasaan rezim Taliban rontok tahun 2001 karena digempur tentara AS setelah tragedi terorisme 9/11, kekerasan yang mereka lakukan tak serta-merta berhenti.

Berbagai aksi pengeboman dan terorisme keji untuk menggoyang pemerintah terus mereka lancarkan tanpa henti selama 20 tahun (2001–2021), memakan korban ribuan nyawa dan kerusakan fisik tak terhingga.

Nafsu kekuasaan (*baca terus narasi penting di bawah ini*...👭👪👇👇👇)
Kenapa Taliban menerapkan politik totalitarian dan membabi buta yang membuat Afghanistan kian terperosok dan porak-poranda? Jawabannya sangat simpel. Karena mereka tak mengerti cara memimpin warga yang majemuk dan memerintah sebuah negara. Mereka tidak memiliki pengetahuan, wawasan, strategi, dan skill untuk memerintah dan mengelola sebuah negara-bangsa. Hanya nafsu kekuasaan yang mereka miliki.

Akhirnya, untuk mengontrol ketaatan publik serta membuat warga tunduk dan patuh, yang bisa mereka lakukan hanya meneror dan menakut-nakuti warga dengan berbagai peraturan dan hukuman keras atas nama “penegakan syariat Islam”. Jadi Taliban pada dasarnya adalah “para bandit berjubah agama.”

Taliban memang bukan kelompok cerdik-cendikia yang berwawasan luas tentang seluk-beluk ilmu pemerintahan, kepolitikan, perekonomian, atau kebudayaan.

Dalam sejarahnya, Taliban adalah sebuah gerakan politik-agama yang terdiri dari kumpulan murid/alumni madrasah (taliban berarti murid/ siswa) yang berafiliasi ke sekolah-sekolah Deobandi (tersebar di berbagai daerah di Asia Selatan) yang bercorak literalis-revivalis-konservatif yang sangat ketat, rigid, closed-minded dan ekstrem dalam memahami, menafsirkan, dan mempraktikkan teks, wacana dan ajaran keislaman.

Baca juga : Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan

Lebih jelasnya, kelompok atau gerakan Taliban adalah kombinasi antara ajaran Islam revivalis-konservatif ala Deobandi, ideologi militan Islamisme ala Al Qaeda, dan norma sosial Pasthunwali, yakni gaya hidup tradisional masyarakat Pasthun karena mayoritas Taliban memang dari suku/etnik Pasthun.

Taliban dibentuk tahun 1994 oleh Muhammad Umar (1960-2013, dikenal sebagai Mullah Umar), mantan siswa madrasah Deobandi dan bekas milisi Mujahidin dalam perang Afghanistan - Soviet (1979–1989), yang kala itu baru berumur 34 tahun.

Taliban berhasil menguasai panggung kekuasaan Afghanistan setelah berhasil memanfaatkan situasi chaos dan konflik internal antar-faksi Islam lantaran kegagalan elite politik-agama Afghanistan capai kesepakatan pemerintah koalisi nasional pasca-hengkangnya Tentara Merah Soviet.

Konflik internal antarkelompok Islam dan elite politik-agama itu kemudian memicu meletusnya perang sipil mahadahsyat yang membuat Afghanistan untuk kesekian kali hancur lebur. Sekitar enam faksi Islam (Hizbul Islam Gulbuddin, Jamiat Islami, Ittihad Islam, Harakat Inqilab Islam, Hizbul Wahdat, dan Junbish Milli) saling berebut kekuasaan, saling mengkhianati, saling membunuh, dan saling memerangi.

Padahal, kelompok radikal Islamis ini (dengan dukungan AS) dulu bersatu-padu sebagai “pejuang mujahidin” melawan tentara Soviet. Begitu Soviet berhasil dipukul mundur, mereka sendiri yang ironisnya saling gempur demi kekuasaan.

Di saat Afghanistan kacau-balau dilanda perang sipil itulah, milisi Taliban muncul sebagai “kuda hitam” yang berhasil merangsek, mengontrol, dan menguasai dua pertiga wilayah Afghanistan dan mendeklarasikan diri pemerintahan baru dengan nama Emirat Islam Afghanistan tahun 1996.

Apakah dengan pendeklarasian pemerintah oleh Taliban ini dengan sendirinya perang sipil berhenti? Tentu saja tidak. Perang sipil antarkelompok (termasuk “Aliansi Utara” yang dibentuk warlord Ahmad Shah Massoud yang terdiri dari koalisi sejumlah kelompok etnis seperti Uzbek, Tajik, Hazara, Turki, Pasthun) terus berlanjut dan berkecamuk.

Mewaspadai “Indonistan”

Jadi, cerita elite Taliban yang sekarang dianggap mengkhianati klausul/kesepakatan perjanjian damai dengan pemerintah Afghanistan (dan pemerintah AS) bukan hal baru. Cerita pendongkelan/pengambilalihan kekuasaan yang kini Taliban lakukan setelah 20 tahun bergerilya juga bukan cerita baru. Ini hanya kisah lama yang kembali terulang.

Siapapun yang mempelajari sejarah Afghanistan akan tahu negeri di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan ini diwarnai konflik, perang, dan perebutan kekuasaan bukan hanya dengan kelompok luar (non-Afghanistan), tetapi juga dengan sesama kelompok sosial di Afghanistan.

Aksi saling jegal, saling bunuh, dan saling memerangi antarkelompok, baik kelompok agama, ideologi, etnis, suku, klan, keluarga, maupun daerah (misalnya Afghanistan utara vs selatan) sudah lumrah terjadi. Jauh sebelum munculnya kelompok Islamis di panggung politik Afghanistan, kelompok-kelompok sosial lain sudah saling baku hantam demi kekuasaan.

Pelajaran apa yang bisa kita petik dari “drama horor” Afghanistan dan rezim militan Taliban? Satu hal yang tak boleh diabaikan: jangan meremehkan dan membiarkan kelompok agama berhaluan radikal-konservatif.

Meski awalnya kelompok ini barang kali hanya bergerak di wilayah non-politik (dakwah-keagamaan, moralitas publik, akidah/teologi, dan sebagainya), jika ada kesempatan, peluang, sokongan, dan dukungan pihak luar, mereka bisa menjelma jadi kelompok militan agama-politik yang kejam, ekstrem, dan radikal dalam menjalankan paham kepolitikan dan keagamaan.

Baca juga : Talibanisasi dan Kontestasi Perempuan

Anggota Taliban mungkin tidak ada di Indonesia. Tetapi umat Islam yang berhaluan, berwawasan, bermental, dan berpola-pikir ala Taliban cukup banyak populasinya. Mereka menyelinap dan tersebar di parpol, ormas, institusi pendidikan, lembaga dakwah, dan bahkan pemerintah.

Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat yang peduli dengan masa depan perdamaian, toleransi, dan kebinekaan bangsa dan negara Indonesia perlu waspada dengan gerak-gerik mereka. Aparat hukum dan aparat keamanan juga jangan sampai lengah. Jika tidak hati-hati dan tidak ditangani dengan tegas dan saksama, bukan tidak mungkin, mereka kelak bisa menjelma menjadi “Taliban Indonesia” dan menyulap negara ini menjadi “Indonistan”. ●
SUMANTO AL QURTUBY ;  Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals; dan Kontributor Middle East Institute, Washington DC
Sumber: 
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/03/taliban-afghanistan-dan-indonesia/
*Arsip.TOPsekali.com*

Kamis, 02 September 2021

Jalan Suharto Berdarah-Darah Menuju Istana, Tampuk Pimpinan Republik Indonesia, Apakah Memang Harus Begitu Untuk Mendapatkan Tampuk Kekuasaan

Jalan Suharto Berdarah-Darah Menuju Istana, Tampuk Pimpinan
 Republik Indonesia, Apakah Memang Harus Begitu 
Untuk Mendapatkan Tampuk Kekuasaan

"Miskin imajinasi itu pula yang menjadikan para purnawirawan Jenderal tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan ruang pengabdian baru pascapensiun. Selama ini ada pernyataan klise: purnawirawan tidak mengenal istilah "pensiun” dalam mengabdi kepada bangsa dan negara. Statemen ini kemudian ditafsirkan mereka sendiri secara sempit, bahwa mengabdi itu artinya tetap dalam lingkaran kekuasaan. Ini seolah jebakan bagi para purnawirawan jenderal, mereka terkurung dalam asumsi yang mereka bangun sendiri.",Aris Santoso

Dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi. 

SUHARTO - JALAN DARAH MENUJU ISTANA
Cara Soeharto Menyingkirkan Para Pesaingnya
Prajurit Tak Bertuan

Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. 
Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.

Simbolis

Sesaat setelah memperoleh Supersemar, Soeharto secara bertahap mulai menyingkirkan lawan-lawan politik di militer, yang sekiranya berpotensi menghambat hasrat Soeharto untuk berkuasa. Salah satu jenderal yang masuk daftar untuk segera disingkirkan adalah, adalah Mayjen Ibrahim Adjie (Panglima Siliwangi), seorang jenderal yang dikenal sangat setia pada Soekarno.

Dari sekian banyak jenderal Soekarnois, Ibrahim Adjie perlu diberi catatan khusus.
Mungkin karena karismanya yang demikian besar,  Soeharto tampak hati-hati dalam memperlakukan Ibrahim Adjie. Beda cara dengan jenderal-jenderal lain, yang disingkirkan secara tertutup, khusus terhadap Ibrahim Adjie, Soeharto  menyempatkan turun  sendiri ke "lapangan”.

Soeharto menyingkirkan Ibrahim Adjie dengan sangat halus, dan cenderung simbolik. 
Pada 20 Mei 1966, jadi hanya dua bulan setelah menerima Supersemar, Soeharto (selaku KSAD) meresmikan berdirinya Brigade Infanteri 17/Kujang I di Bandung, satuan baru di bawah Kodam VI/Siliwangi. 
Dalam peresmian satuan tersebut  Mayjen Ibrahim Adjie (Pangdam Siliwangi) dan Brigjen HR Dharsono (Pak Ton, Kasdam Siliwangi) juga hadir, selaku pimpinan kodam dengan nama besar tersebut.
Upacara tersebut seolah merupakan "salam perpisahan” bagi Ibrahim Adjie, sebab tepat sebulan kemudian, dirinya dicopot selaku Panglima Siliwangi, untuk digantikan  HR Dharsono. 
Kesan satire bagi Ibrahim Adjie semakin terasa, ketika yang dilantik sebagai komandan pertama Brigif 17 adalah Letkol Inf Himawan Soetanto. Himawan adalah perwira yang dibesarkan Siliwangi, namun dikemudian hari dikenal sangat setia pada Soeharto, yang notabene adalah bagian dari rumpun Diponegoro.

Upacara hari itu juga ingin menegaskan, bahwa kini Kodam Siliwangi tak lagi dominan, sebagaimana citra yang berkembang sebelumnya. Soeharto sebagai bagian dari rumpun (Kodam) Diponegoro, sudah menunjukkan eksistensinya sebagai "raja” baru di Angkatan Darat. Sebab selama ini ada kesan, Kodam Diponegoro selalu berada di bawah bayang-bayang Kodam Siliwangi.
Dominasi Soeharto terhadap Kodam Siliwangi semakin terlihat, ketika dia pada akhirnya juga menyingkirkan HR Dharsono (Pak Ton), sekitar dua tahun kemudian. 
Kebersamaannya bersama Pak Ton ternyata hanya seumur jagung. Pak Ton disingkirkan setelah bersekutu sejenak guna menyingkirkan Ibrahim Adjie, dan unsur Soekarnois lainnya di Siliwangi.


Kedekatan dengan  Soedirman

Cara lain yang biasa dilakukan Soeharto untuk menyingkirkan lawannya adalah dengan menghambat karier perwira bersangkutan, salah satu yang bisa disebut adalah Suadi Suromihardjo (terakhir berpangkat Mayjen). 
Sama dengan Ibrahim Adjie, Suadi juga dikenal sebagai Soekarnois, sebuah istilah yang merujuk pada perwira yang dianggap setia pada Soekarno.
Hubungan antara Soeharto dengan Suadi terbilang unik, mengingat keduanya sama-sama dari rumpun Diponegoro, hanya karena faktor politik, perjalanan karir keduanya  bersimpang jalan. Sejak dulu karier seorang perwira adalah misteri, dimana soal nasib tak dapat diramalkan, begitulah yang terjadi pada Suadi dan Soeharto. Keduanya sama-sama lahir tahun 1921, dan sama-sama pula memiliki kedekatan dengan Panglima Soedirman.

Dalam kasus Suadi memang ganjil, karena Suadi dipinggirkan, berdasarkan alasan keterkaitannya dengan Peristiwa Madiun 1948. Kenapa baru dipersoalkan pasca-Peristiwa 1965? Jadi ada tumpang-tindih argumentasi pada kasus eliminasi Suadi, yakni antara Madiun 1948 dan Peristiwa 1965.

Mengapa penyingkiran terhadap Suadi terkesan mulus? Saya kira justru disebabkan adanya kedekatan khusus antara Suadi dan Soeharto sejak lama. Seperti bunyi peribahasa lama, hati orang siapa tahu. Keduanya dikenal sebagai perwira yang sangat dekat Panglima Soedirman, Overste Suadi adalah Komandan Pasukan Kawal Soedirman saat melaksanakan perjalanan gerilya yang monumental itu. Sementara Overste (Letkol) Soeharto yang menjemput Soedirman, untuk sama-sama kembali ke Jogja pasca-perang kemerdekaan.
Sedikit mundur ke belakang, Suadi pula yang mendampingi Soeharto dalam memonitor kondisi Madiun usai peristiwa September 1948, sekitar tanggal 19 atau 20 September 1948. 
Soeharto turun langsung ke lapangan berdasar perintah Jenderal Soedirman. Namun di kemudian hari, kebersamaan keduanya di Madiun, justru dijadikan alasan Soeharto, bahwa Suadi dianggap terlibat Peristiwa Madiun 1948.

Miskin Imajinasi

Pelajaran yang bisa kita petik dari gaya Soeharto dalam menyingkirkan lawan-lawannya adalah, Soeharto sangat canggih dan kaya akan imajinasi.

Benar, soal imajinasi inilah yang tidak kita dapatkan dari elite militer generasi sekarang, dalam mencari cara untuk mengatasi konflik. Karena tidak adanya imajinasi, sehingga perwujudannya terkesan kacau, seperti kerusuhan di Jakarta baru-baru ini.

Seperti telah dikabarkan media, bagaimana mungkin seorang perwira sekelas Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsuddin bersedia turun ke lapangan untuk bergabung dengan para demonstran. Ikut turunnya Sjafrie hari itu bisa dibaca sebagai "terjun bebas” bagi seorang jenderal. Masih segar dalam ingatan kita, ketika Sjafrie ditunjuk sebagai Wakil Ketua Umum Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC), jadi Sjafrie adalah wakil dari Erick Thohir. Dengan kata lain, rezim Jokowi masih memberi kepercayaan pada Sjafrie saat itu.
Dalam hitungan bulan, Sjafrie sudah turun ke jalan, lalu apa yang dicari Sjafrie? Saya kira Sjafrie adalah representasi dari kelompok purnawirawan yang tidak mau belajar dari Soeharto. Para purnawirawan itu kurang sabar, mereka menjadi limbung ketika tak lagi berkuasa. Bandingkan dengan Soeharto yang sangat mulus dan rapih dalam menyingkirkan lawan-lawannya. Seperti ketika Soeharto menyingkirkan Suadi, itu baru dilakukan Soeharto pada awal tahun 1970-an, padahal Soeharto sudah berkuasa penuh sejak 1966.

Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD.
ARSIP.TOPsekali.com

Jumat, 27 Agustus 2021

Apakah Anda Mengetahui Kalau Diberi Senjata, FPI Itu Lebih Sadis Dari Taliban, Baca Narasi Berikut ini.

Gambar Ilustrasi saja

"FPI dan Taliban sama sama sama selalu meneriakan penegakan Islam secara kaffah, bercita cita menjadikan negara makmur dinaungi satu pemimpin atau kholifah yang amanah dari kelompok mereka walapun faktanya di lapangan sering kita dapati antara tujuan dan realitas sangat berbeda.",Ken Setiawan

Ken Setiawan: Jika Diberi Senjata, FPI Lebih Sadis Dari Taliban.

Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan mengatakan FPI dan Taliban sejatinya akidahnya bagus yaitu ahlusunah waljamaah, tapi karena para pimpinan mereka salah bergaul dan terkontaminasi dengan kelompok salafi wahabi seperti kalau di Indonesia ada HTI dan Ikhwanul Muslimin Indonesia yang akhirnya secara wawasan kebangsaan mereka turut berubah menjadi radikalisme atas nama agama.

Untuk diketahui bahwa fakta hampir semua teroris di Indonesia itu berideologi latar belakang NII dan Salafi Wahabi, Jelas Ken.

Bagi mereka, dalam bernegara harus menggunakan syariat Islam atau hukum Islam. Bila tetap pakai hukum KUHP yang bersumber dari Pancasila maka mereka akan tetap memerangi pemerintahan siapapun presidennya. Jelas Ken.

Apa itu radikalisme atas nama agama ? Menurut Ken, itu merupakan sebuah paham keagaman atau pemikiran orang suatu kelompok yang kecewa terhadap kondisi pemerintah saat saat ini karena menganggap pemerintahan dan produk hukum dianggap tidak berhukum Islam,  dan mereka ingin merubahnya dengan cara yang keras dan drastis tanpa mengikuti prosedur hukum dan konstitusi.

FPI dan Taliban sama sama sama selalu meneriakan penegakan Islam secara kaffah, bercita cita menjadikan negara makmur dinaungi satu pemimpin atau kholifah yang amanah dari kelompok mereka walapun faktanya di lapangan sering kita dapati antara tujuan dan realitas sangat berbeda.

Kedua kelompok ini sama sama menggunakan politisasi agama,  tukang sweping, bedanya taliban sweping pakai senjata langsung eksekusi, kalau FPI sweping dan demo pakai pentungan saja, kalau dipegangin senjata api seperti Taliban, Ken menyebut FPI akan lebih sadis, dan faktanya banyak pengurus dan anggota FPI ditangkap densus 88 dengan tuduhan pasal terorisme.

Politisasi agama yang ketara banget oleh kelompok FPI dan pelindungnya adalah pilgub beberapa dearah di Indonesia, sebagai muslim, Ken merasa malu karena mereka menggunakan cara cara kotor, sampai sampai tempat ibadah dan jenazah pendukung paslon berbeda tidak boleh disholatkan di masjid tertentu, ini sudah kelewatan, Ujar Ken.

Tapi Ken mengpresiasi kebaikan dan kesantunan salah satu pemimpin hasil politisasi agama tersebut, walaupun dengan anggaran trilyunan rupiah tapi tidak pernah pamer hasil dan prestasinya, walaupun kelebihan bayar dan beberapa proyek juga tidak pernah menagihnya, ini kan luar biasa. Kalau jadi Presiden keren kayaknya, karena dilihat dia berambisi jadi Presiden. saya tidak sebut nama loh, Ujar Ken.

Ken mengapresiasi organisasi FPI dan HTI di Indonesia sudah dibubarkan oleh pemerintah, walaupun mereka metamorfosa dengan nama nama organisasi yang baru, paling tidak sudah ada keseriusan dalam menindak ormas radikal yang meresahkan tersebut. Mereka itu ibarat ganti baju, tapi tidak mandi, jadi bau dan keberadaan nya masih ada dan terasa.

Aktor intelektual dibelakang layar dengan istilah 3C yang jelas tidak akan diam membiarkannya. Siapa mereka, cari jawaban sendiri. Tegas Ken.

Menurut Ken, pemerintah perlu membuat regulasi yang melarang dan menindak organisasi atau kelompok pengusung khilafah di Indonesia, Khilafah itu kan sama saja dengan membuat pemerintahan dan pemimpin baru didalam sebuah negara, itu sama saja makar.

Selama ini kelompok pengasong khilafah ini masih bebas menyebarkan pahamnya atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, ini kelemahannya karena belum ada regulasi yang mengatur tentang pelarangan mereka. Jelas Ken.

NKRI sudah final dengan Pancasila dan keberagaman dalam Bhineka Tunggal Ika, jangan otak atik dan ganti dengan ideologi lain kalau tetap ingin aman, damai dan kondusif. 

Sementara ini menurut Ken, kelompok dan pendukung radikal cenderung aktif dan dapat panggung dimana mana, sementara yang mayoritas moderat nasionalis diam membiarkanya, jika yang waras diam, maka kelompok Taliban Indonesia ini tidak mustahil akan berkuasa. Tutup Ken.

Source : https://kontraradikal.com/2021/08/23/ken-setiawan-jika-diberi-senjata-fpi-lebih-sadis-dari-taliban/
Arsip.Topsekali.com

Kamis, 26 Agustus 2021

Artikel Yang Bagus Tentang Rasisme Dan HAM, Baca Dan Pelajari.Menarik Sekali Pada Saat2 Sekarang Ini.

 "Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya" Waspada terhadap rasisme (Admin)

Rasisme dan HAM

Mulai dari hinaan dan stereotipe terhadap warna kulit dan bentuk fisik, diskriminasi di sekolah, tempat kerja, pengadilan, hingga intimidasi oleh aparat keamanan, banyak orang di seluruh dunia didiskriminasi hanya karena warna kulitnya. 

Merebaknya protes anti-rasisme seperti Black Lives Matter, Papuan Lives Matter, dan yang terkini Stop Asian Hate adalah akumulasi kemarahan terhadap diskriminasi rasial yang melanggar hak orang sejak berabad-abad lalu, yang menyebabkan berbagai kesenjangan yang merugikan sampai sekarang.

Mari kita kulik lebih jauh apa yang dimaksud dengan rasisme dan mengapa harus dibasmi tuntas.

Apa itu rasisme? 

Rasisme adalah perbedaan perilaku dan ketidaksetaraan berdasarkan warna kulit, ras, suku, dan asal-usul seseorang yang membatasi atau melanggar hak dan kebebasan seseorang. 

Rasisme juga sering diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia dapat dibagi menjadi kelompok terpisah berdasarkan ciri biologis yang disebut “ras”. Gagasan ini juga meyakini ada hubungan sebab akibat antara ciri fisik suatu ras dengan kepribadian, kecerdasan, moralitas, dan ciri-ciri budaya dan perilaku lainnya, yang membuat beberapa ras secara ‘bawaan’ lebih unggul dari yang lain. 

Apa saja dimensi rasisme?

Lilian Green, pendiri North Star Forward Consulting, organisasi yang merekomendasikan kebijakan, praktik, dan prosedur untuk melawan opresi sistemik di AS, menyebut bahwa rasisme punya empat dimensi: internal, interpersonal, institusional dan sistemik.

Rasisme internal mengacu pada pikiran, perasaan dan tindakan kita sendiri, sadar dan tidak sadar, sebagai individu. Contohnya seperti mempercayai stereotip ras yang negatif, atau bahkan menyangkal adanya rasisme.

Rasisme interpersonal adalah tindakan rasis dari seseorang ke orang lain, yang bisa mempengaruhi interaksi publik mereka. Misalnya perilaku negatif seperti pelecehan, diskriminasi, dan kata-kata rasis. 

Rasisme institusional ada dalam institusi dan sistem politik, ekonomi, atau hukum yang secara langsung atau tidak langsung melanggengkan diskriminasi atas dasar ras. Ini menyebabkan ketidaksetaraan kekayaan, pendapatan, pendidikan, perawatan kesehatan, hak-hak sipil, dan bidang lainnya. Misalnya, praktik perekrutan diskriminatif, membungkam suara orang dengan ras tertentu di ruang rapat, atau budaya kerja yang mengutamakan sudut pandang kelompok ras dominan.

Rasisme sistemik melibatkan institusi atau entitas berwenang yang menegakkan kebijakan rasis, baik di bidang pendidikan, perawatan kesehatan, perumahan, pemerintah, dan lain-lain. Ini adalah efek riak dari ratusan tahun praktik rasis dan diskriminatif yang masih berlangsung hingga kini.

Kenapa rasisme berbahaya?

Pemikiran rasis bisa membuat seseorang punya prasangka buruk terhadap ras tertentu. Prasangka buruk ini bisa berdampak negatif terhadap orang yang terdiskriminasi. Bahkan rasisme mengawali banyak peristiwa mengerikan dalam sejarah dunia, seperti pembantaian Yahudi oleh Nazi.

Berikut beberapa dampak buruk rasisme:

  • Rasisme kerap berujung pada penyiksaan dan perlakuan buruk

Rasisme memandang mereka yang berbeda sebagai bukan manusia, tapi objek yang bisa diperlakukan semena-mena. Di negara yang terbelah konflik rasial, penyiksaan dan perlakuan buruk sering menimpa kelompok yang menjadi target perilaku rasis.

Misalnya, di AS, meski setengah dari orang yang ditembak dan dibunuh polisi berkulit putih, tapi jumlah orang kulit hitam yang ditembak tidak proporsional dibandingkan komposisi demografi AS. Jumlah orang kulit hitam kurang dari 13 persen populasi, tapi yang dibunuh polisi lebih dari dua kali lebih banyak dibanding orang kulit putih.

Setiap satu juta populasi orang kulit hitam, ada 30 orang tewas ditembak polisi. Jumlah ini timpang dengan statistik yang menyatakan dalam setiap satu juta populasi orang kulit putih, 12 orang tewas ditembak polisi. Data ini mengindikasikan dugaan rasisme atau diskriminasi terhadap orang berkulit lebih gelap. 

Sumber data: Riset The Washington Post (https://www.washingtonpost.com/graphics/investigations/police-shootings-database/)
  • Rasisme melanggengkan impunitas

Negara yang lalai dan tak menganggap serius rasisme bisa mengakibatkan mekanisme yang ada tak bisa mengidentifikasi dan memperbaiki pola diskriminasi. Di banyak negara, perlakuan buruk aparat kerap tidak bisa diinvestigasi tuntas. Kalaupun berhasil dituntut dan didakwa, mereka hanya mendapat hukuman ringan. Sebaliknya, korban yang melapor ke otoritas tidak mendapatkan perlindungan memadai dari ancaman dan intimidasi. 

Misalnya, di Prancis, menurut data Ombudsman Nasional Prancis, pemuda imigran asal Arab dan pemuda kulit hitam 20 kali lebih mungkin dituduh sebagai kriminal dan digeledah polisi Prancis di jalanan hanya karena warna kulit mereka. Penggeledahan ini merendahkan martabat manusia dan kerap berujung pada intimidasi dan kekerasan. 

Menurut Madjid Messaoudene, aktivis dan politisi lokal Prancis, belum ada pelaku kekerasan aparat ini yang sudah diadili. Impunitas atau ketiadaan hukuman bagi pelaku menunjukkan sikap negara yang tidak berkomitmen menganggap serius rasisme sistemik.

  • Rasisme bisa menyebabkan konflik terbuka

Untuk mempertahankan kekuasaannya, pemimpin politik kerap membangkitkan kebencian ras untuk menggalang kekuatan mereka, memandang lawan sebagai bukan manusia yang berhak dihormati hak-haknya, dan melegitimasi pelanggaran HAM. Hasilnya, rasisme mencemarkan segala aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk sistem keadilan. 

Di Myanmar, misalnya, kaum minoritas sering jadi target pelanggaran HAM. PBB berpendapat bahwa  ‘pembersihan etnis’ yang disertai genosida terjadi terhadap Rohingya. Orang Rohingya menjadi target pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuan buruk. Militer Myanmar diduga membunuh laki-laki, perempuan, dan anak-anak Rohingya, memperkosa perempuan dan anak-anak, dan membakar desa tempat tinggal mereka. Mereka juga disiksa jika tak bisa bekerja sesuai harapan. Mereka kerap dipukuli, tidak diberi makanan, air, istirahat dan pelayanan kesehatan, dan bahkan dibunuh jika ketahuan ingin kabur. Banyak yang dipaksa kerja tanpa dibayar di proyek konstruksi baru. 

  • Rasisme menyebabkan kesenjangan akses pendidikan, pekerjaan, dan kesempatan lainnya

Secara historis, mereka yang secara terbuka mengakui atau mempraktikkan rasisme berpendapat bahwa anggota ras berstatus rendah harus dibatasi pada pekerjaan berstatus rendah, sementara anggota ras dominan harus memiliki akses eksklusif ke kekuasaan politik, sumber daya ekonomi, pekerjaan berstatus tinggi, dan hak-hak sipil lainnya.

Walau ideologi rasis mungkin memudar di masa kini, tapi diskriminasi ras berdasarkan warna kulit tetap berlanjut, membuat anggotanya tak punya akses ke pendidikan, pekerjaan, dan berbagai kesempatan lainnya.

Salah satu contohnya di Inggris. Pada 2017, misalnya, pemerintah Inggris mengidentifikasi lebih dari 4000 orang ke dalam “Gang Matrix”, yaitu daftar nama-nama pemuda yang dicurigai sebagai anggota geng. Banyak orang masuk ke daftar hanya karena pernah melihat video dan mendengar musik yang dianggap ‘berbahaya’, lantas mereka dapat distigma berpotensi melakukan kekerasan. Perlu diingat bahwa sebanyak  78% orang di daftar ini berkulit hitam. Padahal, hanya 27% pemuda kulit hitam di daftar tersebut terbukti melakukan kejahatan serius. 

Karena daftar yang bias tersebut, banyak pemuda akhirnya susah mendapat pekerjaan, pendidikan, atau tempat tinggal. Dalam hal ini, akhirnya, Komisi Informasi Inggris memutuskan bahwa kebijakan daftar Gang Matrix ini melanggar aturan privasi data karena pengawasan terhadap mereka dilakukan tanpa surat perintah investigasi.

  • Rasisme membuat perempuan semakin terdiskriminasi

Beberapa bentuk diskriminasi ras menimpa perempuan dan laki-laki secara berbeda. 

Ada tindakan rasis yang hampir sepenuhnya dialami perempuan, seperti sterilisasi paksa perempuan komunitas adat. Terkadang, diskriminasi ras menimpa perempuan dalam cara tertentu, misalnya ketika aparat memperkosa atau melecehkan perempuan untuk mengintimidasi sebuah komunitas. Di saat lain, konsekuensinya berbeda untuk perempuan – misalnya ketika pemerkosaan berujung pada kehamilan tidak diinginkan dan pengucilan.

Pemerkosaan beberapa kali dipakai sebagai instrumen penyiksaan dan intimidasi terhadap ras tertentu. Misalnya pada kerusuhan Mei 1998, bias rasial juga diduga melatarbelakangi perkosaan terhadap ratusan perempuan Tionghoa di berbagai lokasi di Indonesia, hingga presiden Habibie kala itu merekomendasikan pembentukan Komnas Perempuan. Catatan Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998 menyebutkan, sebagian elemen tentara Indonesia diduga menjadi pelaku.

Bagaimana dengan rasisme di Indonesia? 

Persentuhan orang Indonesia dengan rasisme bisa ditelusuri setidaknya sejak masa penjajahan Belanda, ketika Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/ VOC) menetapkan penggolongan kelas dan melegalkannya. 

Masyarakat di Indonesia kala itu dibagi jadi tiga golongan. Strata tertinggi adalah golongan Eropa yang berisi orang-orang Belanda. Strata kedua diisi golongan Timur Asing yang berisi keturunan Arab dan Tionghoa. Strata terendah saat itu adalah masyarakat asli Indonesia. 

Golongan masyarakat Eropa menganggap ras mereka lebih unggul dari ras lain, punya derajat lebih tinggi dan karenanya mereka berhak berlaku semena-mena, seperti mengeksploitasi golongan lainnya. Penggolongan kelas itu dipertajam dengan penegakan aturan yang diskriminatif. Misalnya, orang asli Indonesia tidak boleh masuk stadion sepakbola.

Menurut sosiolog Robertus Robet, rasisme memberi jalan masuk bagi bangsa Eropa untuk menaklukkan orang asli Indonesia. Bangsa Eropa menaklukkan Indonesia dengan menyerang dimensi paling mendasar dari eksistensi manusia, yaitu fisik dan rasnya. Sebutan ‘bangsa kuli’ juga dilekatkan penjajah pada masyarakat saat itu. Sebutan yang merendahkan itu menjadi strategi penjajah untuk mempermudah penguasaan ekonomi dan politik di Indonesia. 

Lepas dari penjajahan asing, warga Indonesia sendiri pun tidak lepas dari perilaku diskriminatif. Beberapa insiden yang pernah meledak belum lama ini menguak perilaku rasis sebagian warga Indonesia kepada orang Papua. 

Misalnya, pada Agustus 2019, sebuah organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya, menuduh mereka membuang bendera ke selokan sebelum perayaan kemerdekaan, dan menghina dengan kata-kata seperti “monyet,” “anjing,” “binatang,” dan “babi.” Insiden ini mendorong orang Papua turun ke jalan memprotes tindakan diskriminatif itu di beberapa kota. Ironisnya, beberapa peserta aksi tersebut lalu justru ditangkap atas tuduhan makar. 

Warga Indonesia keturunan Tionghoa juga kerap mengalami diskriminasi. Di era Orde Baru, orang Tionghoa harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk membuktikan bahwa mereka adalah WNI. Penerapan SBKRI adalah tindakan diskriminatif karena membuat orang Tionghoa kesulitan mengurus KTP dan dokumen-dokumen administratif lainnya seperti akta kelahiran, perkawinan, dan kematian. 

Meski sudah dihapus pada 2006, ketentuan ini masih meninggalkan stigma terhadap sebagian orang Tionghoa. Di buku Tionghoa Dalam Cengkeraman SBKRI (2008) tulisan Wahyu Effendi dkk., Roni, seorang warga Tionghoa, kesulitan mengurus surat pernikahannya karena ibunya pernah punya nama Cina. Petugas administrasi bersikeras meminta SKBRI sebagai bukti kewarganegaraan ibunya, Minarsih, yang sebelumnya bernama Sien Mo. Saat Roni mengatakan SKBRI tak lagi dibutuhkan untuk mengurus surat nikah, ia malah digertak petugas.

Jelang akhir Orde Baru, orang Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan kekerasan. Menurut Catatan Komnas Perempuan, pada kerusuhan Mei 1998, setidaknya 198 perempuan Tionghoa mengalami pelecehan dan perkosaan. Pelanggaran HAM masa lalu yang menyasar perempuan etnis Tionghoa ini terjadi secara sistematis dan meluas, yang juga menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasusnya.

Di kasus lain, Pemerintah juga menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam, yang bisa dimaknakan orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Laporan Bappenas ‘Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial yang Inklusif’ tahun 2013 menyatakan, “dalam perspektif pemerintah, Suku Anak Dalam harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan”. 

Terlepas dari niat negara, stereotipe tersebut sebenarnya dapat juga menjadi dalih perampasan wilayah adat untuk perusahaan, apalagi jika tanpa konsultasi dengan Masyarakat Adat. Dalam hal ini, mereka dapat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian.

Sebagai tambahan, Suku Orang Rimba di Jambi dan di Sumatera Selatan masih kerap mendapatkan perlakuan yang tidak sesuai dengan prinsip HAM. Setidaknya 3.500 hektar wilayah adat mereka dilepas ke perusahaan sawit sejak 1986, menggusur tempat tinggal mereka hingga sekarang. 

Budaya populer juga menguatkan stereotipe ras.

Budaya populer kerap menyuburkan stereotipe ras yang melanggengkan diskriminasi. 

Misalnya, di AS, blackface, atau pertunjukan para pemain kulit putih beramai-ramai menghitamkan wajah dengan semir sepatu dan mengenakan pakaian compang-camping seperti orang Afrika-Amerika muncul pada 1830-an. Blackface meniru orang Afrika-Amerika yang diperbudak di perkebunan wilayah Selatan AS. Pertunjukan ini menggambarkan orang kulit hitam sebagai pemalas, licik, bodoh, percaya takhayul tidak ilmiah, hiperseksual, dan kriminal. 

Karakter blackface yang paling terkenal, Jim Crow, diciptakan Thomas Dartmouth Rice, akhirnya menjadi simbol stereotipe terhadap orang kulit hitam. Orang-orang kulit putih dalam industri pertunjukan pun mengarang narasi tidak benar tentang eksistensi dan budaya orang Afrika-Amerika, dari penampilan, bahasa, hingga karakter, sehingga menimbulkan cemoohan dan stereotip rasial. Stereotip rasial ini menjadi salah satu pemicu berbagai perilaku dan kebijakan diskriminatif terhadap orang Afrika-Amerika. Bahkan, organisasi rasis seperti Ku Klux Klan menjadikan stereotip rasial ini sebagai pembenaran atas tindakan kejam mereka.

Meski saat ini kesadaran tentang rasisme semakin luas, stereotipe ras juga masih ada di berbagai budaya populer hingga sekarang. Riset yang dilakukan media Jerman Deutsche Welle (DW), yang menganalisis lebih dari 6.000 film Hollywood sejak 1928, menemukan bahwa stereotipe ras yang digambarkan di dunia perfilman selama ini bermasalah. Hollywood, yang mendominasi perfilman global, turut berkontribusi terhadap stereotipe ras. Apalagi, mayoritas anggota panitia Oscar, salah satu ajang penghargaan film bergengsi, juga berasal dari kalangan profesional film AS yang turut memperkuat hegemoni global Hollywood.

Penggambaran keliru tentang karakteristik ras tokoh film bisa menghambat kesempatan bagi kelompok ras tertentu untuk direpresentasikan, atau bahkan bisa membuat penggambaran keliru tentang ras tertentu dan menimbulkan prasangka buruk. Misalnya, meski orang Asia merupakan lebih dari setengah populasi dunia, hanya 3 persen dari semua peran di film-film Hollywood pada tahun 2017 dan 2018 yang diperankan orang Asia. Karakter orang kulit hitam membentuk 12,5 persen dari semua peran, mendekati representasi proporsional untuk populasi AS. 

Dalam banyak kasus, penggambaran tokoh orang Asia, orang kulit hitam, dan orang Latin juga cukup bermasalah. Misalnya, karakter orang kulit hitam digambarkan sebagai agresif dan menyeramkan. Mereka pun sering diceritakan sebagai tokoh yang meninggal lebih dulu dari tokoh lainnya. Penggambaran budaya dan kehidupan orang Afrika juga pesimistik-mereka kerap digambarkan sebagai primitif dan tidak terjangkau budaya modern. 

Orang Asia digambarkan sebagai ‘yellow peril’, atau ancaman bagi orang kulit putih dan peradaban Barat. Mereka juga kerap digambarkan sebagai ‘model minority’, atau minoritas yang berhasil sukses hidup di negara-negara Barat karena kecerdasan dan kemampuan mereka. Penggambaran ini bermasalah karena menempatkan stereotipe terhadap orang Asia sebagai ‘musuh asing’ yang mengancam kelompok ras lainnya di AS. Stereotipe terhadap perempuan Asia juga bermasalah. Mereka kerap diseksualisasi dan dianggap submisif terhadap penjajah atau imperialis.

Orang Latin adalah etnis minoritas terbesar di AS, membentuk sekitar 18 persen dari populasi. Dari 2.682 film yang diproduksi sejak tahun 2000, penggambaran karakter Latin paling sering berfokus pada daya tarik seks dan kejahatan kriminal mereka. Ini melekatkan stereotipe kriminal dan hiperseksual pada mereka hingga ke tingkat individu dalam kehidupan sehari-hari.

Kok orang bisa rasis? Dari mana awalnya?

Rasisme muncul dari teori awal superioritas ras sebagai pembenaran dominasi satu ras atas ras lain. Teori ini berasal dari konsep survival of the fittest yang digagas Charles Darwin. Menurut teori tersebut, seseorang yang menjadi rasis bisa punya lebih banyak keuntungan yang berguna untuk bertahan hidup, dengan memanfaatkan inferioritas ras lain yang dianggap lebih rendah dari mereka. 

Samuel Morton, ilmuwan yang dikenal sebagai bapak rasisme ilmiah, meneliti ratusan tengkorak sejak 1834. Morton lalu membagi manusia menjadi lima ras dan menyimpulkan bahwa orang kulit putih adalah kelompok ras paling cerdas. Caranya? Mengukur lingkar tengkorak. Menurut Morton, orang kulit putih atau Kaukasia memiliki otak terbesar dari semua ras. Teori ini memunculkan prasangka bahwa ada ras yang lebih baik dari ras lainnya. 

Prasangka buruk kemudian muncul sebagai upaya meningkatkan citra diri seorang individu atau kelompok. Individu atau kelompok yang memandang rendah kelompok lain, akan menghasilkan prasangka lainnya, yaitu pandangan bahwa mereka berhak memimpin atau mendominasi orang lain karena superioritas mereka. Tapi, kenyataannya superioritas ras malah mendiskriminasi dan melanggar hak orang lain.

Pada 1981, paleontolog Stephen Jay Gould menggugat pemikiran Morton lewat buku The Mismeasure of Man. Gould menemukan bahwa penelitian Morton tidak akurat dan mengandung bias rasisme. Menurut Gould, semua ras memiliki kapasitas otak dengan perbedaan yang tidak mencolok, mematahkan teori ‘otak terbesar’ milik Morton.

Psikolog asal AS, Gordon Allport berpendapat dalam bukunya, The Nature of Prejudice, bahwa manusia menggunakan kategori/ mengelompokkan hal-hal di sekitarnya untuk memahami dunia mereka dengan lebih baik, dan rasisme adalah warisan dari proses itu. Seseorang bisa berperilaku rasis karena pengaruh pembentukan karakter sejak lahir, norma sosial di masyarakat, atau sistem politik, ekonomi dan budaya di tempat tinggalnya yang mendiskriminasi ras. 

Rasa tidak aman atau khawatir akan identitas seseorang juga bisa membuat seseorang menjadi rasis karena mereka berusaha menguatkan identitas fisiknya melalui diskriminasi terhadap ras lain. Kurangnya empati atau pemahaman terhadap situasi manusia lain juga bisa menyuburkan sikap rasis.

Sebagian besar kasus rasisme merupakan akibat ketakutan dan ketidaktahuan. Kebencian ekstrim juga bisa terjadi karena rasa takut akan kehilangan kekuatan dan kendali atas pengelompokkan ras yang telah menguntungkan atau memberi mereka rasa aman.

Padahal…ras itu sebenarnya mitos!

Menurut Craig Venter, pelopor pengurutan DNA, konsep ras tidak terbukti memiliki dasar genetik atau ilmiah. 

Pada manusia, seperti pada semua spesies, perubahan genetik adalah hasil mutasi acak — perubahan kecil pada DNA, kode kehidupan. Mutasi terjadi pada tingkat yang kurang lebih konstan, sehingga semakin lama suatu kelompok bertahan, menurunkan gennya dari generasi ke generasi, semakin banyak perubahan yang akan diakumulasikan oleh gen ini. Sementara itu, semakin lama dua kelompok ras hidup secara terpisah di lingkungan tempat tinggal yang berbeda, perbedaan ciri fisik dan budaya mereka akan semakin banyak. 

Warna kulit dan ciri fisik yang beragam merupakan bukti evolusi manusia. Lebih dari 100.000 tahun yang lalu, nenek moyang manusia modern pertama, homo sapiens, hidup di daratan Afrika, lalu berpindah ke wilayah Eurasia, Australia, dan Amerika. Orang Afrika lebih intens terpapar sinar matahari, sehingga kulit mereka pada umumnya berwarna lebih gelap sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan. Adaptasi ini memberi perlindungan khusus dari sinar ultraviolet matahari yang bisa merusak kulit. Orang Eropa berkulit lebih terang karena memungkinkan mereka menyerap lebih banyak vitamin D dari sinar matahari yang minim.

Dorothy Roberts, penulis Fatal Invention: How Science, Politics, and Big Business Re-create Race in the Twenty-first Century menjelaskan bahwa ketika komunitas medis mengaitkan satu ras dengan penyakit tertentu, sering kali penyebab sebenarnya faktor lain seperti asal-usul, akses ke perawatan kesehatan, dan status sosial ekonomi. 

Contohnya penyakit anemia sel sabit, yang banyak diderita orang berkulit hitam AS. Padahal penyakit ini banyak muncul di komunitas kulit hitam bukan karena warna kulit mereka, melainkan karena warga berkulit hitam memiliki karakter adaptasi hasil evolusi untuk melawan penyakit malaria yang banyak dijumpai di Afrika, tempat asal nenek moyang mereka.

Jadi, menghapus gagasan tentang perbedaan ras bisa jadi solusi untuk menghilangkan rasisme?

Walau ras itu mitos, tapi rasisme itu nyata. 

Kesenjangan akibat rasisme berabad-abad tak bisa diselesaikan hanya dengan menghilangkan prasangka tentang ras. Anggapan keliru soal perbedaan ras telanjur merugikan banyak orang dan menghambat kesempatan mengembangkan hidup berkualitas, memicu kebencian, konflik, bahkan mengancam nyawa.

Salah satu kalimat yang problematik terkait hal ini adalah pernyataan “All Lives Matter”.  Walau terdengar rasional, ujaran ini menyangkal fakta bahwa rasisme ada dan merupakan masalah sistemik. 

Misalnya “Black Lives Matter” diutarakan untuk menunjukkan bahwa hidup orang kulit hitam lebih terancam daripada ras lainnya karena rasisme sistemik dan kekerasan polisi yang mereka alami. Membalas dengan “All Lives Matter” berarti mengabaikan kerugian yang lebih sering dialami orang kulit hitam. 

Kris Straub, komikus asal AS, pernah membuat komik yang menjelaskan kenapa slogan All Lives Matter tidak tepat, dengan analogi rumah yang terbakar di suatu distrik. Jika rumah A terbakar, kita akan mengatakan “selamatkan rumah A!” bukan “selamatkan semua rumah di distrik ini!”, karena urgensi ancaman yang paling membahayakan penghuni rumah A. 

Apa aturan yang melindungi kita dari rasisme?

Di tingkat internasional, ada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). 

Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas hak-hak ini “tanpa perbedaan dalam bentuk apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran, atau status lainnya.

DUHAM diadopsi oleh Majelis Umum PBB, setelah Perang Dunia Kedua pada 1948. 

Selain DUHAM, ada juga Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial. Konvensi ini adalah salah satu perjanjian HAM pertama yang diadopsi PBB. Lebih dari 150 negara telah meratifikasinya. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi pada 25 Mei 1999.

Berdasarkan Konvensi ini, diskriminasi rasial terjadi saat seseorang atau kelompok diperlakukan berbeda karena ras, warna kulit, keturunan, asal kebangsaan atau asal etnis dan perlakuan tersebut melanggar hak asasi manusia dan kebebasan fundamental mereka. Hak dan kebebasan yang dimaksud adalah:

Hak-hak sipil dan politik khususnya:

  • perlakuan yang sama di depan pengadilan;
  • perlindungan oleh Pemerintah dari kekerasan atau cedera tubuh;
  • hak untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan untuk mengambil bagian dalam Pemerintah serta dalam menjalankan urusan publik di tingkat manapun dan untuk memiliki akses yang sama ke layanan publik;
  • kebebasan bergerak dan tinggal;
  • hak untuk memiliki properti sendiri maupun dalam pergaulan dengan orang lain;
  • hak atas kebebasan berpikir, hati nurani, pendapat dan ekspresi agama dan berkumpul dan berserikat secara damai.

Hak ekonomi, sosial dan budaya, khususnya hak atas:

  • pekerjaan
  • perumahan
  • kesehatan masyarakat, perawatan medis, jaminan sosial dan layanan sosial
  • pendidikan dan pelatihan;
  • partisipasi yang sama dalam kegiatan budaya;
  • akses ke tempat atau layanan apa pun yang dimaksudkan untuk digunakan oleh masyarakat umum.

Di Indonesia, sudah ada aturan terkait tindakan rasisme, yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Apa yang bisa kita lakukan untuk lawan rasisme?

  • Cari tahu lebih banyak tentang rasisme
  • Sebarkan kesadaran tentang bahaya rasisme
  • Pastikan lingkungan sosial kita, seperti pendidikan dan pekerjaan, inklusif terhadap keberagaman asal-usul dan budaya
  • Desak negara melindungi warganya dari rasisme melalui aturan dan kebijakan anti-rasisme
  • Dukung kerja-kerja lembaga yang mendukung kesetaraan dan keadilan untuk semua orang
  • Beri dukungan dan dengarkan orang-orang yang terdampak rasisme  
  • Dukung keadilan rasial, yaitu perlakuan adil yang sistematis terhadap orang-orang dari semua ras untuk menghasilkan peluang yang setara untuk semua orang. 

Sumber: Amnesty International, National Geographic, Racial Equity Tools, North Star Forward Consulting.

Arsip.Topsekali.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India