DERING telepon terdengar di tengah pesta ulang tahun Umila, 1 Oktober 1965. Tari, sang ibu, bergegas menyambar telepon itu. "Soetarni ada?" suara di seberang telepon bertanya. "Ada," Tari menjawab. "Lekas suruh pulang," suara di seberang. Itu adalah suara Harto, ipar Tari, yang berpangkat kolonel, memberi perintah.
Soetarni, istri Njoto, kala itu tengah berada di rumah Tari di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tari, adik Soetarni, tengah menggelar pesta ulang tahun anak kelimanya, Umila. Soetarni datang bersama keenam anaknya. Njoto saat itu tengah berada di Medan.
Begitu menerima pesan Tari, Soetarni bergegas membawa anak-anaknya pulang ke rumah mereka di Jalan Malang Nomor 22, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sepanjang jalan yang mereka lalui suasana tampak lengang tak seperti biasa. Kunli, sopir Soetarni, membisiki majikannya, ada peristiwa penculikan jenderal-jenderal yang disebut-sebut didalangi Partai Komunis Indonesia.
Esok malamnya, begitu pulang dari Medan, Njoto langsung mengungsikan keluarganya ke sebuah tempat persembunyian. Dua adiknya, Iramani dan Sri Windarti, yang tinggal bersama mereka selama ini, dipulangkan ke kampung mereka, Surabaya. Sejak malam 2 Oktober itulah keluarga ini tak pernah lagi menginjakkan kaki mereka di rumah di Jalan Malang itu.
Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama sembilan tahun. Empat anaknya juga lahir di rumah itu. "Rumah itu punya arti penting bagi kami," kata Soetarni, kini 81 tahun, kepada Tempo.
Kini, rumah seluas 800 meter persegi itu menjadi wisma para pastor Gereja Santo Ignatius. Sebelumnya, sepeninggal Njoto, rumah itu sempat ditempati penghuni liar, sebelum kemudian diambil alih tentara. Pada 1968, seorang pendeta Belanda dari Gereja Santo Ignatius, Pastor Groos, membeli bangunan tersebut. Sejak itulah rumah tersebut mengalami berkali-kali renovasi hingga "wajah" aslinya hilang. "Saat dibeli, kondisinya tidak layak ditempati," kata Subagyo, mantan pengurus wisma itu.
Soetarni sendiri tidak tahu pemilik rumah tersebut sebelumnya. "Saya tidak pernah tanya, bagaimana suami dapat rumah itu," katanya. Keluarga Njoto pindah ke sana pada 1956. Saat itu Njoto baru punya dua anak, Indah Svetlana Dayani, 3 tahun, dan Ilham Dayawan, 1 tahun.
Saat Njoto masuk ke rumah tersebut, rumah itu masih ditempati seorang guru balet Belanda, Ludwieg Willner. Willner tinggal bersama istri dan dua anaknya. Selama setahun, keluarga Njoto hidup serumah dengan orang Belanda itu. Masing-masing keluarga menempati satu kamar besar. "Kami hidup akur," kata Soetarni.
Kendati serumah dengan guru balet, Svetlana, puri sulung Njoto, tak sempat belajar menari balet. Guru Belanda itu keburu pindah ke Selandia Baru. Sepeninggal keluarga Belanda itu, Njoto lalu merombak ruang dalamnya. Ia menyekat ruang tengah dengan tripleks dan menjadikannya ruang kerja. Di sana ia menyimpan semua buku dan alat musiknya, seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Di sini ia kerap menghabiskan waktunya dengan membaca atau bermain musik. "Bapak membuang bosannya di sana," kata Svet.
Njoto di mata Svet adalah ayah yang baik. Tak pernah marah, apalagi memukul anak-anaknya. Menurut Svet, kadang ia dan adik-adiknya bermain kuda-kudaan dengan ayahnya. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem. Akhir pekan, kadang keluarga ini berpakansi ke pantai.
Svet mengingat, jika tidak sibuk membaca, biasanya ayahnya memainkan alat-alat musik yang ada di ruang kerjanya. Beragam alat musik itu bisa dimainkan Njoto. Teman-teman sehobinya dalam soal musik kala itu, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi terkenal di republik ini.
Di rumah, saat tak menerima tamu, Njoto biasanya hanya memakai celana pendek, berkaus singlet, atau bersarung. Ia hobi makan camilan tempe goreng. Makanan ini pula, dengan segelas teh hangat, yang kerap menemaninya jika berada di ruang kerjanya. Iramani, adik Njoto, mengingat, ia kerap mendapati kakaknya membaca buku-buku "kiri". "Bukunya banyak," kata Iramani.
Rumah ini kerap disambangi dua pemimpin PKI lainnya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman. Menurut Soetarni, dua orang ini tiga kali sepekan biasanya datang ke rumahnya. Bersama dua tamunya itu, Njoto berdiskusi masalah politik.
Suatu ketika, Njoto dan istrinya jatuh sakit. Keduanya tergolek di tempat tidur. Kemudian datanglah Aidit dan Lukman menjenguk. "Tapi tetap saja mereka bicara politik di kamar tidur," kata Soetarni.
0 Comments:
Posting Komentar