Analisis Intelijen
KENAPA SBY PANIK MENGHADAPI YUSRIL?
Tahun 2010, Susilo Bambang Yudhoyono masih sebagai presiden ketika Yusril Izha Mahendra "memaksa"-nya untuk memberhentikan Jaksa Agung melalui “Judicial Review“ (JR) atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada intinya Yusril menggugat keabsahan masa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji saat itu yang seharusnya sudah kadaluarsa, sehingga tidak lagi memiliki kewenangan apapun.
Saat mengajukan JR itu, Yusril sedang diperiksa sebagai tersangka oleh Hendarman sehubungan dengan kasus dugaan korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum). Tentu saja, JR oleh Yusril itu menjadi “flanking maneuver” yang mengejutkan Hendarman, juga Presiden SBY sendiri.
Yusril jeli melihat ada kesalahan tafsir pada Pasal 22 ayat 1 UU Kejaksaan tersebut dimana seolah-olah Jaksa Agung dapat terus menjabat tanpa surat pengangkatan dari presiden, sehingga membuka peluang terjadinya tafsir seorang Jaksa Agung bisa menjabat seumur hidup — kecuali atas apa yang telah ditetapkan UU dalam hal berhalangan tetap, seperti meninggal, terlibat pidana, mengundurkan diri, dsb.
Yusril juga jeli melihat bahwa Keppres Nomor 84/P Tahun 2009 oleh Presiden SBY sebagai dasar hukum pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009-2014, tidak ada menyebutkan nama Hendarman Supandji diangkat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia. Juga tidak ada Keppres lain yang menunjukkan bahwa Hendarman Supandji diangkat kembali sebagai Jaksa Agung yang bukan menjadi anggota kabinet dengan status pejabat setingkat Menteri Negara.
Hendarman Supandji juga tidak disebutkan sebagai Jaksa Agung dengan kedudukan pejabat setingkat menteri yang diberhentikan dalam Keppres Nomor 83/P Tahun 2009 tentang pembubaran kabinet 2004-2009 sehubungan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden SBY, efektif mulai 20 Oktober 2009. Aha!
Padahal, sebagai bagian dari ranah eksekutif, masa jabatan seorang Jaksa Agung seharusnya mengikuti masa bakti kabinet presiden terkait. Artinya, batas waktu masa jabatan seorang Jaksa Agung ikut berakhir pada saat masa jabatan presiden yang mengangkatnya berakhir. Jadi, Yusril melihat ada kekosongan penafsiran hukum disini (rechtsvacuum)
Argumentasi solid dalam JR Yusril itu dikabulkan MK. Ketua MK saat itu adalah Prof. Mahfud MD.
Presiden SBY akhirnya terpaksa memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung Hendarman Supandji, dan mengangkat Wakil Jaksa Agung sebagai Plt — ini menunjukan bahwa SBY saat itu hanya siap menang sehingga tidak mempersiapkan penggantinya. Denny Indrayana adalah penasehat bidang hukum SBY saat itu.
Itu hanya salah satu kasus JR dari beberapa lainnya yang dimenangkan oleh Yusril Ihza “Lionel Messi” Mahendra, yang aktif mencetak gol kemenangan di berbagai gugatan JR yang diajukannya. Seingat saya, sejak 2010, skor kemenangan Yusril vs Pemerintah RI dalam soal JR ini sudah sekitar 6 atau 7 kali. Silahkan Anda riset sendiri.
Maka SBY trauma terhadap ketajaman argumentasi ketatanegaraan Yusril.
**
Sekarang Yusril ditunjuk menjadi pengacara Partai Demokrat kubu Moeldoko yang beberapa diantaranya adalah kader/anggota Partai Demokrat (PD) untuk mengajukan JR AD/ART PD tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA). Dengan demikian Yusril punya “legal standing.”
Langkah menguji formil dan materil AD/ART Parpol merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Keduanya mendalilkan bahwa MA berwenang untuk menguji AD/ART Parpol karena AD/ART dibuat oleh sebuah parpol atas perintah undang-undang dan delegasi yang diberikan oleh UU 2/2011 tentang Partai Politik.
Yusril berargumen bahwa kalau AD/ART suatu Parpol ternyata prosedur pembentukannya dan materi pengaturannya bertentangan dengan UU, bahkan bertentangan dengan UUD 1945, maka lembaga apa yang berwenang untuk menguji dan membatalkannya.
Kasus ini memang belum pernah ada sebelumnya, jadi sangat menarik untuk kita lihat perkembangannya.
Yang menjadi materi gugatan Yusril adalah kewenangan Majelis Tinggi PD yang diketuai oleh SBY sendiri. Kalau Anda baca AD/ART PD tahun 2020, disitu memang bisa ditafsirkan Majelis Tinggi menjadi “superbody” yang bahkan mengalahkan kewenangan Kongres/Kongres Luar Biasa (KLB ini sama bobotnya dengan Kongres yang 5 tahunan) sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi partai sebagaimana diatur dalam UU Parpol.
Misalnya, penafsiran pada Pasal 81 Ayat 4(b) pada AD/ART, tidak bisa lain adalah, sekalipun sudah memenuhi quorum permintaan 2/3 DPD dan 1/2 DPC, namun tanpa persetujuan Ketua Majelis Tinggi — benar, tertulis kata “Ketua” di AD — tetaplah suatu KLB tidak bisa dilaksanakan.
Juga, pada Pasal 17 Ayat 7, kalau Anda baca, bahkan disitu jelas sekali Majelis Tinggi berada pada posisi otoritatif diatas Ketum karena dinyatakan keputusan Majelis Tinggi yang terkait dengan hal fundamental dan strategis disampaikan kepada DPP untuk dilaksanakan (ini sama dengan perintah). Dan Majelis Tinggi bahkan juga memiliki kekuasaan diatas Mahkamah Partai dalam hal terjadi persengketaan internal yang tak dapat diselesaikan, ini tertera di Ayat 6 (h).
Jadi, Ketua Majelis Tinggi (yaitu SBY) kewenangannya diatas KLB, diatas Ketum dan diatas Mahkamah Partai, sekaligus. At the same time!
**
Tanggapan Prof Mahfud MD atas upaya JR oleh Yusril ada benarnya. Mahfud menyoroti bahwa kalau toh gugatan Yusril dikabulkan MA, hal itu tidak akan mengubah komposisi DPP PD hasil Kongres V tahun 2020. Artinya, AHY akan tetap sebagai Ketum, dan para pejabat lain di DPP saat ini juga tidak akan berubah sampai 2025 sesuai keputusan Kongres terkait.
Kenapa begitu? Oleh karena keputusan MA (maupun MK) terhadap suatu JR itu tidak bersifat retroaktif tetapi prospektif. Artinya, tidak berlaku surut, tetapi berlaku sejak setelah suatu masa tertentu. Dan terhadap JR keputusan selalu bersifat final, artinya terhadapnya tidak bisa dilakukan upaya banding.
Tetapi dengan opininya seperti itu, Prof Mahfud MD menjadi terlalu politis, karena bicara soal menang kalah, gusur-menggusur diantara kepemimpinan DPP PD diantara kubu AHY dan kubu Moeldoko. Sebatas berebut kekuasaan saja.
Sedangkan Yusril mengambil posisi murni statesmanship, yaitu soal bagaimana negara akan sehat dan demokratis kalau kekuasaan internal di partai-partai monolitik, oligarkis dan nepotis. Keputusan-keputusan partai didominasi oleh seorang tokoh saja atau keputusan didominasi oleh elite tertentu melalui lembaga yang tidak demokratis di dalam partai terkait, seperti yang ditunjukkan oleh Majelis Tinggi PD sekarang ini.
**
Kalau ujungnya adalah tidak akan ada yang berubah pada kepengurusan DPP PD yang sekarang, sekalipun gugatan JR oleh Yusril dikabulkan MA, lalu apa dong yang membuat SBY ketar-ketir?
Disclaimer: Saya bukan ahli hukum tata negara. Tetapi saya tahu, Yusril itu tahu persis "the devil is in the details". Dia kuat sekali melihat hubungan-hubungan dan kontradiksi-kontradiksi antara ayat satu dengan yang lainnya dan mencari bobot inkonstitusionalitasnya (dimana yang bertentangan dengan konstitusi dan perlindungan hak-hak seorang warga negara). Inilah ketajaman khas Yusril dalam menyusun argumen-argumen hukumnya.
Kembali ke kasus diberhentikannya Jaksa Agung Hendarman Supandji diatas. Antara petitum yang diajukan Yusril dan provisi serta putusan sela yang dikabulkan oleh MK saat itu mencerminkan bagaimana Yusril menyusun strategi argumen-argumennya terhadap kemungkinan model putusan yang dikeluarkan oleh MK itu sendiri.
Jadi, di MK itu ada dua model implementasi putusan terhadap suatu JR. Pertama, implementasi yang bersifat langsung (self executing) pada umumnya dapat dilakukan terhadap model putusan “legally null and void” dan model putusan yang merumuskan norma baru. Kedua, yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan (non-self executing) karena harus melalui proses legislasi baik dengan perubahan UU maupun dengan pembentukan UU.
Biasanya putusan “conditionally constitutional” (konstitusional bersyarat), “conditionally unconstitutional” (inkonstitusional bersyarat) dan yang “limited constitutional” (konstitusional terbatas) cenderung “non-self executing.” Tetapi argumen Yusril saat itu berhasil menggiring MK untuk menyatakan bahwa status hukum jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji memang inkonstitusional. Dan ini artinya, SBY sebagai presiden melakukan tindakan yang inkonstitusional juga.
Terpaksalah SBY memberhentikan Hendarman. Masakan presiden bertindak inkonstitusional?
Memang betul, perkara diatas adalah dalam konteks MK, yang kewenangannya terbatas pada menyatakan apakah suatu UU bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Sedangkan gugatan AD/ART PD tahun 2020 ini ditujukan kepada MA yang punya kewenangan menafsirkan suatu UU. Itu dua hal berbeda.
Namun, strategi penyusunan argumentasinya sama. Saya yakin, Yusril juga akan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan model putusannya, termasuk kemungkinan putusan selanya.
Dan konsekuensi moralnya sama. Kalau toh nanti MA menyatakan bahwa penafsiran hukum dalam AD/ART PD tahun 2020 tidak sesuai dengan UU yang ada — artinya gugatan JR dimenangkan oleh Yusril — dan memerintahkan agar dilakukan perubahan AD/ART, namun juga menyatakan bahwa implementasinya tidak berlaku retroaktif, tetap saja itu artinya kepengurusan DPP PD yang sekarang sudah cacat hukum.
**
Maka dengan demikian, Ketua Majelis Tinggi PD yang bernama Susilo Bambang Yudhoyono menjabat secara cacat hukum juga. Padahal SBY selalu dicitrakan sebagai sosok yang mengedepankan konstitusi, bukan?
Nah, kita tunggu saja apakah argumen-argumen solid dari Yusril Ihza “Lionel Messi” Mahendra kali ini akan mencetak gol lagi. Menurut saya, ini akan sangat menarik.
SBY seems to have learned his lesson the hard way menghadapi Yusril, itu sebabnya dia terlihat sangat panik.
Kita doakan semoga beliau semakin gemuk, semakin sehat… serta karya-karya unggulnya di bidang seni suara dan seni lukis semakin menjadi kebanggaan Partai Demokrat.
-Josef H. Wenas, Yogyakarta 1 Oktober 2021
@Yusril Ihza Mahendra
0 Comments:
Posting Komentar