*PPN naik jadi 12% mulai 2025, apa pengaruhnya pada daya beli masyarakat?*
_Kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial. Sejumlah warga menilai kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan._
Saat mengumumkan kepastian kenaikan PPN dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan keputusan ini sudah dipertimbangkan "demi APBN" dan "bukan membabi buta".
Meski begitu, sejumlah ekonom mengkhawatirkan "efek turunan" dari rencana pemerintah itu di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun.
Adapun pengamat pajak menilai reaksi negatif publik menandai "masyarakat tidak percaya" kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayarkan "akan kembali ke masyarakat" dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
*Apa reaksi warga soal kenaikan PPN?*
Augie Reyandha Giuliano, 33 tahun, seorang pengusaha penyelenggara acara alias event organizer, menjadi salah satu warganet yang terlibat perbincangan soal kenaikan PPN di jejaring X (sebelumnya Twitter).
Pemilik Reynur Event Organizer yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, itu menyebut kenaikan PPN dapat berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan—yang akhirnya bisa berujung ke gaji karyawan.
"[Misalnya] anggaran per acara itu Rp2 miliar dan sudah termasuk pajak. Lalu acara diselenggarakan per akhir pekan alias empat kali sebulan. PPN jadi 12% itu membuat selisih pendapatan dalam satu bulan mencapai Rp 64 juta," ujar Augie kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (15/11).
Uang sebesar itu, kata Augie, bisa untuk menggaji delapan sampai 12 orang karyawan.
Perhitungan kasar Augie itu padahal belum mempertimbangkan kemungkinan kenaikan biaya produksi per acara.
Walaupun bidang jasa untuk seni dan hiburan termasuk yang dikecualikan dari PPN, Augie menyebut klien _event organizer_-nya seringkali berasal dari instansi pemerintah.
"[Sehingga] kalau transaksi sama mereka, harus PKP [Pengusaha Kena Pajak]. Jadi, kena PPN dan PPh [Pajak penghasilan]. PPh artis juga besar buat acara, dan [kadang dibebankan] event organizer," ujarnya.
Augie mengakui perspektifnya ini berasal dari kacamata pebisnis. Dia menyebut menurunnya pendapatan kantor akan berimbas ke banyak hal, termasuk penurunan fasilitas dan tunjangan atau bonus para karyawan.
"Bahkan bisa jadi saya memilih memutuskan hubungan kerja agar karyawan yang bertahan tidak perlu turun pendapatannya," tutur Augie.
Di Kerobokan, Bali, penyedia jasa makanan sehat Nimas Utama juga khawatir akan kenaikan PPN. Dia yakin usahanya akan terkena dampak, meski bisnisnya termasuk yang dikecualikan dari skema pajak itu.
"Pada akhirnya [kenaikan PPN] akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Setelah pandemi Covid pun, kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli sesuatu sudah jauh menurun. Pastinya itu akan merambah ke kemampuan kita untuk menjual barang," tutur Nimas secara terpisah.
*Apa itu PPN dan bagaimana cara menghitungnya?*
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN merupakan jenis pajak yang dikenakan atas setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Meskipun beban pajak secara langsung ditanggung oleh konsumen akhir, namun kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN tetap berada di pundak PKP.
Dalam sistem PPN, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban memungut PPN dari konsumen, menyetorkannya ke negara, dan melaporkan jumlah PPN yang telah dipungut.
Cara menghitung PPN adalah mengalikan harga barang atau jasa dengan tarif PPN yang berlaku.
Saat ini, tarif PPN di Indonesia adalah 11%.
Apabila konsumen membeli pulsa atau kartu perdana di minimarket dengan harga Rp100.000, maka PPN yang harus dibayarkan konsumen itu adalah Rp100.000 x 11% = Rp11.000.
Harga pulsa atau kartu perdana itu pun menjadi Rp111.000 setelah PPN.
*Apakah semua barang dan jasa dikenai PPN?*
Tidak semua barang atau jasa dikenai PPN.
Menurut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), berikut adalah barang dan jasa yang tidak dikenai PPN:
• Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
• Uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga.
• Jasa keagamaan
• Jasa kesenian dan hiburan
• Jasa perhotelan (sewa kamar/ruangan)
• Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum
• Jasa penyediaan tempat parkir
• Jasa boga dan katering
• Barang kebutuhan pokok (beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu tanpa tambahan gula, buah-buahan, sayur-sayuran).
• Dan lain-lain.
Patut dicatat bahwa sebagian barang dan jasa yang tidak dikenai PPN ini masih tetap menjadi objek pajak daerah, dan retribusi daerah.
*Kenapa PPN naik di Januari 2025?*
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pertama kali mengatur mengenai tarif PPN sebesar 10%.
Besaran tarif ini kemudian dapat mengalami perubahan sesuai dengan peraturan pemerintah, dengan batas minimum 5% dan maksimum 10%.
Ketentuan ini bertahan cukup lama meskipun Undang-Undang tersebut mengalami revisi pada tahun 2009.
Ketika menjabat presiden, Joko Widodo melakukan perubahan signifikan terhadap tarif PPN melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Menurut UU HPP, tarif PPN dinaikkan secara bertahap. Mulai April 2022, tarif PPN ditetapkan sebesar 11%. Selanjutnya, pada tahun 2025, tarif PPN akan kembali naik menjadi 12%.
Ketika PPN naik menjadi 11% pada tahun 2022, sambutan negatif dari masyarakat juga muncul.
Para pengamat ekonomi menyebut kenaikan PPN menjadi 11% itu tidak tepat di tengah tekanan hidup masyarakat sudah berat dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah, pada saat itu, lalu memberikan bantuan sosial untuk pengusaha kecil untuk merespons kenaikan tersebut.
Galih Pambudi, 39 tahun, adalah pedagang kecil asal Yogyakarta yang sempat menerima bantuan sosial dua tahun lalu. Menghadapi kenaikan PPN lagi tahun depan, Galih mengaku dilema.
"Belakangan dagangan mulai sepi, tidak bisa membayangkan kalau awal tahun PPN jadi naik, semua juga akan ikut naik [harganya]," ujarnya saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon.
Meski muncul kritik dari analis dan pengusaha, pemerintah tak goyah menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025, seperti yang ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Kamis (14/11) lalu.
Dilansir kantor berita Antara, Sri Mulyani menyatakan rencana kenaikan PPN bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kebijakan PPN 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Menkeu menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, sekaligus mampu merespons berbagai krisis.
"Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," ujarnya.
Di sisi lain, Sri Mulyani menambahkan Kementerian Keuangan akan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terkait PPN ini.
"Kami perlu menyiapkan agar [PPN 12%] bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," ungkapnya.
Rencana tarif PPN naik menjadi 12% per 2025 sebelumnya sudah diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Maret 2024.
Dilansir Antara, Airlangga yang saat itu menjadi Menteri Koordinator pada pemerintahan Presiden Jokowi, menyebut untuk kenaikan tarif PPN akan dibahas lebih lanjut dan dilaksanakan oleh pemerintahan selanjutnya.
Airlangga kembali menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di kabinet Presiden Prabowo Subianto.
*Efek turunan kenaikan PPN 'hanya 1%'*
Kerisauan yang melanda Augie di Bandung, Nimas di Bali, dan Galih di Yogyakarta mengilustrasikan bagaimana kenaikan PPN sebesar "cuma 1%" dapat memiliki dampak yang lebih besar.
"Walaupun 1% tampak sederhana, dampaknya cukup signifikan ketika dilihat dari berbagai sisi, seperti dunia usaha, kelas menengah, dan potensi efek berantai pada kebijakan pajak lainnya," ujar Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Jumat (15/11).
Ariyo mengatakan perusahaan bisa saja melakukan pengurangan biaya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK). Opsi ini sama seperti yang disebutkan oleh Augie, pemilik usaha event organizer di Bandung.
"Kenaikan harga produk akibat peningkatan PPN akan meningkatkan biaya perusahaan serta menurunkan daya beli masyarakat, sehingga dari sisi penawaran dan permintaan akan berkurang, yang pada akhirnya berdampak pada penjualan dan profitabilitas perusahaan," ujar Ariyo.
Sementara Luhur Bima, peneliti dari lembaga pengkajian ekonomi SMERU, mengingatkan kenaikan PPN ini tentu akan ditanggung salah satu pihak dalam sebuah transaksi usaha.
"Jika yang menanggung [PPN] penjual atau pengusaha. maka akan mengurangi margin profit mereka dan dapat berdampak ke karyawan-karyawannya," ujar Luhur.
"Sementara jika ditanggung oleh pembeli, maka akan terjadi inflasi. Harga-harga barang dan jasa meningkat dan tentunya menyebabkan biaya hidup masyarakat meningkat."
Seperti diberitakan BBC News Indonesia pada awal Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024.
Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Inflasi bulan Oktober 2024—seiring pergantian pemerintahan—sebesar 0,08% mengakhiri tren deflasi yang terjadi sejak Mei 2024, menurut data BPS.
Luhur berpendapat bahwa masyarakat—khususnya kelas menengah—berpotensi merasakan dampak negatif dari kenaikan harga-harga barang yang merupakan efek turunan dari kenaikan PPN ini.
"Masyarakat menengah merupakan kelompok paling rentan terdampak karena umumnya bantuan-bantuan pemerintah akan memprioritaskan kelompok miskin," ujar Luhur.
"Sejauh ini belum banyak instrumen pemerintah dalam menopang kesejahteraan kelompok menengah yang sangat rentan jatuh menjadi kelompok miskin ketika harga barang-barang meningkat akibat kenaikan PPN ini."
Ariyo menilai masyarakat kemungkinan akan lebih selektif dalam membeli barang dan jasa, khususnya barang-barang non-esensial.
"Padahal, deflasi yang berturut terjadi dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang anjlok," ujarnya.
*Mengapa muncul kerisauan dari masyarakat akan kenaikan PPN?*
Fajry Akbar, pengamat pajak sekaligus manajer riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menilai reaksi negatif dari masyarakat muncul akibat turunnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
"Masyarakat kita tidak percaya kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan kembali ke mereka," ujar Fajry kepada BBC News Indonesia pada Jumat (15/11).
Padahal, menurut dia, kenaikan tarif PPN ke 12% juga dapat meningkatkan penerimaan negara yang dapat disalurkan untuk program masyarakat menengah-bawah, baik dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial.
"Saya yakin masyarakat akan menerima kalau adanya kenaikan tarif ini selaras dengan perbaikan pelayanan publik, alias kembali ke masyarakat," tuturnya.
Fajry sendiri menilai dampak dari kenaikan PPN ini tidak sepenuhnya negatif. Akan tetapi, banyak ketakutan yang tidak berdasar dari masyarakat yang memunculkan dampak negatif tersebut.
Dia menjelaskan hasil studi dari kenaikan PPN menjadi 11% di tahun 2022 hanya berpengaruh terhadap kenaikan harga barang dan jasa sebesar 0,4% secara umum.
Dengan kata lain, papar Fajry, pemerintah berhasil mengelola dampak kenaikan tarif meski di tengah kenaikan harga komoditas.
"Ini disebabkan terdapat beberapa kebijakan yang dapat meredam kenaikan harga agar tidak setinggi kenaikan PPN yang diterapkan," jelas Fajry.
"Di sistem PPN kita masih banyak 'lubangnya', baik itu fasilitas pengecualian atau pembebasan PPN maupun PKP PPN," ujarnya.
Salah satunya, Fajry mencontohkan, pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun tidak dikenakan PPN sesuai dengan ambang batas PPN.
Akan tetapi, ketakutan-ketakutan dari masyarakat membuat orang menjadi menahan konsumsi, sementara pengusaha menahan ekspansi usaha mereka.
"[Ketakutan] ini yang berbahaya," ujar Fajry.
"Masyarakat tidak percaya, kalau tambahan penerimaan yang dihasilkan akan kembali ke mereka. Ada kecurigaan kalau itu cuma dinikmati pejabat dan sebagainya."
Di sisi lain, Fajry menyoroti pentingnya peran pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan harga atau inflasi sebagai imbas dari naiknya PPN.
Dia mencontohkan bagaimana pada tahun 2022, terdapat koordinasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia dalam meredam dampak kenaikan PPN terhadap inflasi.
"Kalau kenaikan harga, secara historis bisa pemerintah kelola," ujarnya.
Selain itu, Fajry menekankan bahwa pemerintah perlu memperbaiki dari sisi pengeluaran publik.
"Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pastinya akan menghasilkan tambahan penerimaan yang besar. Dari tambahan penerimaan tersebut, pemerintah perlu memastikan itu disalurkan ke masyarakat kelas menengah-bawah," kata Fajry,
"Baik itu dalam bentuk fasilitas publik maupun jaminan sosial."
Fajry juga menegaskan peran pemerintah untuk mengelola dampak dari kenaikan PPN.
"Tujuannya agar dampak dari kenaikan PPN terhadap inflasi tidak terlalu tinggi, agar dia tidak terlalu membebani masyarakat," paparnya.
*Bagaimana tanggapan Ditjen Pajak?*
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Dwi Astuti, mengatakan bahwa penyesuaian tarif PPN "berdiri sendiri" dan "tidak terkait dengan penyesuaian tarif pajak lainnya".
Dwi Astuti juga menekankan pemerintah dan DPR sudah mengkaji dampak dari PPN 12% ini.
"Sebagai sebuah produk perundang-undangan, penyesuaian tarif PPN menjadi 12% merupakan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR yang tentu saja telah melalui kajian yang mendalam," ujar Dwi kepada BBC News Indonesia pada Jumat (15/11) petang.
Direktorat Jenderal Pajak, imbuhnya, telah dan terus melaksanakan sosialisasi kepada wajib pajak terkait PPN 12% melalui berbagai kanal – antara lain melalui sosialisasi seminar dan media sosial. []
0 Comments:
Posting Komentar