Eddy, mantan Asisten Intelijen Tentara Nasional Indonesia, juga masih mengingat para taruna dulu tak pernah mendiskusikan buku-buku mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu. Ia bahkan baru membaca buku Nasution, Pokok-pokok Perang Gerilya, di Sekolah Staf dan Komando, Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat, 1992. Buku yang telah diterjemahkan menjadi Fundamentals of Guerilla Warfare itu merupakan bacaan wajib di sana.
Inilah periode awal Nasution dikucilkan dari politik Indonesia. Menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 1966, ia memimpin sidang umum yang memberhentikan Soekarno. Ia pula yang mengangkat Soeharto menjadi presiden. Namun, kemudian ia dianggap menjadi ancaman. Ia dicegah ke luar negeri. Rezim Orde Baru bahkan melarangnya hadir pada undangan-undangan pernikahan.
Pada awal "masa pengucilan" ini Nasution meneruskan misi lama yang terhenti: menulis peristiwa sejarah 1945-1949. Ia telah mengumpulkan bahan-bahannya pada 1952-1955, setelah diberhentikan dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat. Misi ini tertunda ketika Presiden Soekarno mengangkatnya kembali ke jabatan yang sama, November 1955.
Nasution menilai, hingga seperempat abad proklamasi, perjuangan kemerdekaan dikesankan "hanya berisi pidato-pidato, rapat-rapat, perundingan-perundingan diplomasi, dan resolusi-resolusi". Padahal "pokok perjuangan ialah perang rakyat semesta untuk menggagalkan kembali penjajahan". Perang gerilya, itu inti perjuangan kemerdekaan.
Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah ketika itu menyebutkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 1949 diperoleh melalui jalan diplomasi. Begitu juga dengan penerbitan-penerbitan yang mengecilkan perjuangan bersenjata. Tak mudah bagi Nasution untuk meneruskan kembali misinya.
Begitu memimpin Angkatan Darat pada 1955, ia menyerahkan puluhan peti berisi arsip aneka peristiwa ke markas kesatuannya. Ia tak memeriksanya lagi sampai meninggalkan jabatan itu tujuh tahun kemudian. Peti-peti tersebut ternyata tak ketahuan rimbanya pada saat Nasution perlu untuk menyusun naskah.
Nasution pun merekrut para anggota staf Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat untuk bekerja bersama Moela Marboen, anggota staf pribadinya. Merekalah yang mengumpulkan arsip, membuka kliping harian di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung pada 1945-1949, sampai mengumpulkan surat-surat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jadilah naskah Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia pada 1973, dua tahun setelah Nasution melepaskan jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan.
***
Di Jakarta, Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink menyerahkan kedaulatan kepada Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Perdana Menteri. Ratusan ribu orang berkumpul di jalan raya dan lapangan depan Istana "Gambir". Pasukan Belanda menurunkan bendera merah-putih-biru, lalu regu Tentara Nasional Indonesia mengibarkan Merah-Putih.
Sehari kemudian, Presiden Soekarno dan rombongan terbang dari Yogyakarta, ibu kota revolusi, menuju Jakarta. Berangkat dari Pangkalan Udara Maguwo dan mereka menumpang dua pesawat udara. Tiba di Jakarta pada pukul 11.40, Soekarno disambut Hamengku Buwono. Ratusan orang bersorak gempita.
Begitulah ending 11 jilid tulisan Sekitar Perang Kemerdekaan. Pada jilid-jilid sebelumnya, Nasution memaparkan gerakan politik diplomasi yang dianggapnya justru banyak melemahkan Republik. Nasution melihat kesalahan dari awal: para pemimpin tak sigap mengambil alih kekuasaan segera setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945.
Anggota Pembela Tanah Air dan Heiho, pasukan terlatih pendudukan Jepang, juga tak segera dijadikan tentara nasional. "Kita melepaskan kesempatan memperoleh tentara yang lengkap guna menjamin pertahanan proklamasi, tanpa mengutamakan diplomasi saja," Nasution menulis.
Saat pendudukan Sekutu, Inggris tak mampu mempertahankan semua kota. Di Surabaya mereka kewalahan menahan gempuran, 10 November 1945. Inggris minta diplomasi, yang disetujui Soekarno. Gempuran di Surabaya dihentikan. Perundingan digelar di Semarang, Bandung, Bogor, dan Jakarta. Kesempatan menggempur Sekutu musnah.
Nasution menganggap pemerintah kemudian melalaikan Kalimantan, Indonesia Timur, dan Irian. Akibatnya, Belanda masuk ke wilayah-wilayah itu. Republik akhirnya dipaksa melepaskan wilayah-wilayah itu melalui perundingan Linggajati, Jawa Barat, 25 November 1946. "Perundingan ini memberi Belanda ruang dan tempo untuk mendatangkan dan menyusun pasukan penyerbu," kata Nasution.
Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian dari tangan Republik setelah perundingan Linggajati. Itu karena Belanda hanya mengakui Republik Indonesia de facto di seluruh Jawa, Madura, dan Sumatera. Perundingan hanya mengatur pembentukan secara bertahap negara Indonesia Serikat, yang meliputi wilayah Hindia Belanda.
Pada periode perundingan Linggajati, Belanda merebut wilayah terpenting, seperti Sumatera Timur, Palembang yang kaya akan minyak, dan Jawa Barat. Namun, mereka tak mampu mengosongkan basis-basis gerilya. Siasat diplomasi kembali digelar: perundingan.
Kali ini digelar di USS Renville, kapal perang Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta, pada akhir 1947. Menurut Nasution, hasil perundingan ini adalah pengosongan kantong-kantong perjuangan yang sebelumnya tak dapat dicapai aksi militer Belanda. Presiden yang sudah memindahkan ibu kota ke Yogyakarta terpaksa menyerah. Pemerintahan darurat dibentuk.
Perjuangan gerilya menyelamatkan Republik. Pasukan dikirim ke wilayah-wilayah yang terlepas akibat perjanjian Renville. Instruksi dikirim ke Kalimantan, Sulawesi, juga Irian agar meneruskan gerilya. Belanda buntu dan tak mampu membasmi perang semesta itu. Mereka mundur teratur hingga bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar. Perundingan inilah yang mengawali penyerahan kedaulatan 1949.
Andi Widjajanto, anggota staf pengajar Universitas Indonesia, menilai Sekitar Perang Kemerdekaan merekonstruksi sejarah perang kemerdekaan. Buku ini menempatkan militer dan metode perjuangan bersenjatanya di titik sentral pengakuan kedaulatan.
Rekonstruksi sejarah ini membuat militer memiliki legitimasi sejarah sebagai "guardian of state" yang berperan penting membentuk negara-bangsa. Legitimasi sejarah pula yang dipakai secara sistematis oleh Nasution dan Angkatan Darat untuk mengembangkan gagasan kelompok fungsional (1957), jalan tengah (1958), hingga akhirnya tercipta doktrin dwifungsi.
Tanpa legitimasi sejarah, menurut Andi, prinsip "hak waris" militer atas pembentukan negara-bangsa tak akan muncul. "Intervensi militer dalam politik dengan demikian juga tidak terjadi," kata peneliti Center for East Asian Cooperation Studies itu.
Perjalanan sejarah mencatat Nasution sebagai figur yang dipuji sekaligus dicaci. Konsep dwifungsi, yang awalnya hanya pelibatan militer terbatas untuk mengisi kekosongan di pemerintah, membawa tentara jauh merasuk ke kehidupan bangsa. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menganggap dwifungsi membuat Tentara Nasional Indonesia memainkan peran ganda yang sangat represif dan eksesif di masa Orde Baru.
Konsep Nasution itu yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh rezim Soeharto. Ironisnya, sang "aktor intelektual" justru dikucilkan hampir sepanjang Orde Baru. Nasution menjadi paria di rezim yang ikut ia lahirkan.
(10) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Penulis: A.H. Nasution Penerbit: Dinas Sejarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa, Bandung, 1977, 11 jilid
0 Comments:
Posting Komentar