Senin, 19 Mei 2008

Cerita dari Tanah Dingin

BERAPA jauhkah jarak Marseille-Paris? Pada 1926, ketika bangsa Indonesia sedang sibuk bergerak", itu bukan pertanyaan mudah. Bacaan terbatas. Koran berbahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Orang yang pernah menginjak Eropa pun tak banyak.

Tapi pembaca harian Pandji Pustaka tahu: Cuma sejauh Banjarmasin-Long Iram di Kalimantan." Ini kata Adinegoro, yang ketika itu sedang berkelana keliling Eropa. Barangkali ada orang di Long Iram atau Bandjarmasin jang tertawa membatja ini, akan tetapi demikianlah jang sebenarnja," tulisnya, dalam ejaan asli.

Djamaluddin Adinegoro Datuk Maharadjo Sutan bukanlah wartawan Pandji. Dia mahasiswa kedokteran di STOVIA yang gemar menulis. Mula-mula dia menulis untuk majalah Tjahaja Hindia, kemudian Pandji Pustaka.

Kegemaran menulis... membuat Djamaluddin menjadi gelisah," tulis Soebagijo I.N.wartawan Penyebar Semangat, Surabaya dalam bukunya: Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia. Pada pertengahan 1926, Adinegoro tiba-tiba memutuskan merantau ke Tanah Dingin" (sebutan Eropa waktu itu) untuk belajar jurnalistik. Kala itu usianya baru 22 tahun.

Kisah perjalanan ke Eropa inilah yang diceritakan Adinegoro secara bersambung di harian Pandji Pustaka sepanjang 1926-1929. Bukan sekadar menulis laporan pandangan mata, dia mengaitkan pengalamannya dengan sejarah dunia dan membandingkan itu dengan Indonesia.

Dia berangkat naik kapal Tambora milik Rotterdamse Lloyd, Belanda, dari Pelabuhan Tanjung Priok. Dari sana, Tambora singgah di lebih dari dua lusin kota, berawal dari Singapura, lalu ke Medan, Sabang, Kolombo, Aden, Port Said, hingga Marseille, Prancis.

Di Singapura, misalnya, Adinegoro takjub dengan bandarnya yang meriah. Disini segalanja lebih murah, sebab Singapura ialah satu pelabuhan merdeka," tulisnya. Segala barang dagangan disini dibebaskan dari bia. Pakaian misalnja djauh lebih murah dari di Djawa."

Tujuan Adinegoro adalah Jerman. Namun, setiba di Marseille, dia memilih naik kereta melalui Belanda.

Di Paris, Adinegoro bertamu ke Mohammad Nazir, belakangan menjadi Duta Besar Indonesia di Prancis. Nazir memberi tahu dia ada profesor yang tengah menerjemahkan puisi Mohammad Yamin berjudul Tanah Air ke dalam bahasa Prancis.

Kala itu cuma ada beberapa puluh pemuda Indonesia yang belajar ke Eropa, kebanyakan di Belanda. Mereka tergabung dalam Indische Vereniging belakangan berubah menjadi Perhimpunan Indonesiayang pada masa itu dipimpin Mohammad Hatta.

Ketika singgah di Belanda, dia bertemu dengan sebagian dari mereka. Menurut catatan Adinegoro, kebanyakan pemuda Indonesia belajar di Amsterdam, beberapa di Utrecht. Adapun Utrecht digambarkan Adinegoro seperti Palembang. Banjak sungai-sungai ketjil dan terusan jang dilajari oleh sampan-sampan waktu pasang," tulisnya.

Cerita Adinegoro yang hidup dan kaya akan wawasan sejarah begitu digemari. Bahkan, menurut Soebagijo, anak-anak pun menyukainya. Ada bocah 11 tahun rela menyisihkan uang sakunya sekadar untuk berlangganan Pandji Pustaka. Agar dengan demikian dia dapat mengikuti cerita perlawatan Adinegoro di benua Barat," tulis Soebagijo dalam bukunya.

Pada 1932, setahun setelah Adinegoro kembali ke Jakarta, Balai Pustaka menerbitkan kisah-kisah di Pandji itu dalam buku Melawat ke Barat. Saya ingat bukunya laku keras," kata wartawan senior Rosihan Anwar. Melawat ke Barat, menurut Rosihan, memelopori sistem wartawan koresponden di media. Waktu itu ada juga orang yang pernah ke Barat, tapi hampir tak ada yang menulis cerita perjalanan dari luar," ujarnya.

Di Jakarta, Adinegoro sempat menjadi wartawan Pandji, lalu ke Medan menakhodai harian Pewarta Deli. Terakhir dia memimpin Persbiro Indonesia hingga kantor berita itu digabung dengan Antara pada 1962. Dia meninggal pada 1967 dan dimakamkan di Karet, Jakarta.

(93) Melawat ke Barat Publikasi: Pandji Pustaka, Jakarta (1927-1929)

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India