"... tata bahasa ini berusaha sungguh-sungguh membuat orientasi baru tentang pemandangan bahasa Indonesia seluruhnya."
-Sutan Takdir Alisjahbana, Kata Pengantar Tata Bahasa Indonesia Jilid I, Cetakan Pertama, 1949
EXPERES dan extera. Bukan ekspres dan ekstra. Sutan Takdir Alisjahbana berkukuh. Ia keras kepala mengatakan huruf x mesti dipakai. Alasannya sederhana. "Huruf x sudah diterima dalam huruf Indonesia. Sebaiknya dimanfaatkan saja," kata Takdir dalam buku Tata Bahasa Indonesia Jilid I karangannya.
Takdir juga berpendapat, dalam bahasa Indonesia, dua konsonan tidak boleh berdempetan. Alasannya, bahasa Indonesia tidak memiliki gugus konsonan. Maka ekspres pun senasib dengan Inggris, yang ditulis Takdir Inggeris, atau krisis, yang ditulis kerisis.
Kecintaan Takdir terhadap bahasa tak muncul kemarin sore. Pada 1928, ketika Sumpah Pemuda bergema di dinding-dinding Kota Batavia, Takdir baru saja lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung. Ia, yang kala itu berumur 20 tahun, berdiri takjub mendengar gagasan Sumpah Pemuda, terutama tentang kesatuan bahasa.
Saat diterima sebagai pegawai Balai Pustaka dua tahun kemudian, Takdir kian sadar bahwa syarat dasar bagi pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah sebuah bahasa Indonesia modern. Pada 1933, ia mendirikan majalah Poedjangga Baroe. Di situlah ia menuangkan gagasan-gagasannya tentang bahasa dan sastra, sekaligus memberikan contoh bagaimana menulis dalam bahasa Indonesia modern.
Takdir jeli melihat celah. Setelah Jepang memukul Belanda dan menghapuskan bahasa Belanda, bahasa Indonesia diberi peluang untuk lebih banyak digunakan dalam percakapan. Takdir kemudian bergabung dalam Komisi Bahasa Indonesia, yang turut dibidaninya, pada 20 Oktober 1942.
Tugas komisi itu adalah menentukan istilah-istilah modern, menyusun tata bahasa normatif, dan menentukan kata-kata umum dalam bahasa Indonesia. Hingga bubar, kata Takdir, komisi itu telah menemukan 7.000 kata baru dalam bahasa Indonesia.
Selepas kemerdekaan, Takdir memiliki percetakan sendiri. Dian Rakjat namanya. Pada 1949 dan 1950, ia menerbitkan Buku Tata Bahasa Indonesia Jilid I dan II. Dua jilid buku tata bahasa Takdir laku keras. Jilid pertama buku itu mengalami cetakan ke-24 pada 1958. Jilid kedua dicetak ulang sebanyak 18 kali hingga 1958.
"Waktu saya SMA di Bukittinggi, saya memakai tata bahasa Takdir," kenang Profesor Taufik Abdullah. Menurut sejarawan ini, tata bahasa Takdir sangat penting karena itu tata bahasa Indonesia pertama yang dibuat di luar ahli-ahli Belanda.
Kala itu, misalnya, juga ada buku Abraham Anthony Fokker tentang gramatika bahasa Indonesia, yang sejak sebelum zaman perang sampai dicetak ulang sebanyak empat kali hingga 1950. Buku lain yang kemudian muncul, susunan Sutan Muhammad Zain, Jalan Bahasa Indonesia, juga banyak dipakai oleh guru di sekolah.
Tapi, menurut ahli linguistik Profesor Harimurti Kridalaksana, hanya Takdir yang meletakkan persoalan bahasa sebagai suatu hal yang harus dipikirkan. Takdir mempersilakan pembaca turut memikirkan dan memberikan masukan terhadap tata bahasa yang ia susun. "Takdir menempatkan pembaca sebagai subyek yang aktif," kata Harimurti.
Namun tak semua gagasan Takdir dalam tata bahasa kita pakai hari ini. Experes kini kita tulis ekspres sebagaimana sex tetap kita tulis seks. Menurut Harimurti, penyelidikan terhadap bahasa-bahasa di Nusantara yang dilakukan Takdir belum tuntas betul. "Tata bahasa Takdir belum dibuktikan secara empiris," kata Harimurti.
Kendati begitu, Harimurti mengakui sumbangan besar Takdir dalam meletakkan fondasi bahasa Indonesia "yang baik dan benar". Takdirlah yang menemukan hukum "diterangkan-menerangkan" yang kita pakai hari ini.
Takdir juga bermimpi, sebagaimana bisa kita baca dalam kata pengantar cetakan ke-38 jilid pertama buku tata bahasanya. Pada 1972 itu, ia berharap kelak bahasa Indonesia bisa menjadi "... salah satu bahasa internasional kelima di dunia."
(47) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1949)
0 Comments:
Posting Komentar