Senin, 19 Mei 2008

Lawatan ke Pelosok Negeri

SEKELOMPOK wartawan melakukan lawatan ke Sumatera, Singapura, hingga Malaysia pada 1947. Mereka dipimpin seorang pegawai tinggi Departemen Penerangan Republik Indonesia, Parada Harahap. Muhammad Radjab, wartawan kantor berita Antara, kemudian menuliskan perjalanan itu ke dalam sebuah buku, Tjatatan di Sumatera.

Buku itu diterbitkan Dinas Penerbitan Balai Pustaka dan dilansir pertama kali pada 1949. Bentuknya laporan perjalanan, lengkap dengan tanggal peristiwa. Selain Radjab, ikut serta Suardi Tasrif dari harian Berita Indonesia dan Rinto Alwi dari koran Merdeka. Mereka sudah menuliskan laporan perjalanan di koran masing-masing.

Radjab dalam pengantar bukunya menyebutkan, meski tak resmi berbagi tugas, masing-masing penulis melakukan pengamatan yang berbeda. Suardi Tasrif, misalnya, mengamati soal ekonomi, sementara Rinto Alwi lebih berfokus pada masalah politik. Ia sendiri lebih memperhatikan kondisi masyarakat serta kebiasaan dan kehidupan rakyat, yang baru saja merdeka.

Program lawatan wartawan ini, menurut tokoh pers nasional Soebagijo Ilham Notodidjojo, dilakukan tidak hanya ke Sumatera, tapi juga ke daerah lain. Tujuannya agar masyarakat di suatu daerah mengetahui kondisi daerah lain. "Sehingga menumbuhkan rasa nasionalisme di antara masyarakat Indonesia," ujarnya.

Buku setebal 227 halaman ini bercerita tentang segala hal yang disaksikan, dirasakan, dan dipikirkan penulis dalam perjalanannya. Misalnya kondisi alam dan adat istiadat seperti tradisi kawin paksa di Bukittinggi. Juga kebiasaan sogok-menyogok yang dikenal sebagai wang ajam yang dilakukan polisi dengan pedagang pembawa hasil bumi. Sogokan ini ditemukan dalam perjalanan antara Bukittinggi dan Pekanbaru.

Radjab juga menyempatkan diri berdialog dengan rakyat kecil serta para pemimpin lokal dan tokoh politik di daerah-daerah itu. Pandangan mereka ternyata amat beragam. Masyarakat Tapanuli, misalnya, meminta pembesar Sumatera diberi keleluasaan menjalankan aturan dan politik sendiri. Ini terkait dengan ketidaksabaran mereka atas sikap pemerintah pusat yang dinilai tidak memiliki ketegasan dalam setiap perundingan dengan Belanda.

Juga ada perbandingan sikap dan semangat orang Sumatera dengan masyarakat Singapura dan Malaysia, yang dinilai lebih berdisiplin dan bekerja keras. Masyarakat Indonesia dinilai masih suka bermalas-malasan, dan banyak kebiasaan buruk serta paham keliru yang harus dibuang.

Pendek kata, buku ini memberikan gambaran masyarakat Indonesia di sudut yang jauh dari Jakarta pada masa awal setelah Proklamasi.

(97) Catatan di Sumatera
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1949)

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India