Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan!
KATA lawan!" dalam baris terakhir puisi bertajuk Peringatan yang dibuat di Solo pada 1996 itu lebih terkenal daripada penciptanya, Wiji Thukul. Tidak hanya di panggung pembacaan puisi, kata lawan!" sering diteriakkan di berbagai medan demonstrasi sampai sekarang. Kata lawan!" itu bahkan lebih ngetop dibanding judul puisi Thukul.
Kata itu seperti menjadi ikon demonstrasi melawan penguasa. Makin terasa kuat dan relevan karena sang penulis, yang bernama asli Wiji Widodo, sampai sekarang hilang tak tentu rimbanya. Dugaan kuat: Thukul sengaja dihilangkan". Lelaki kelahiran Kampung Sorogenen, Solo, 26 Agustus 1963, itu masih terus dicari keluarganya. Istri dan dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, terus mempertanyakan nasib penyair mbeling itu.
Di mata Munir, Thukul luar biasa. Kalimat pendek itu menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul. Bukan pilihan yang mudah, Wiji Thukul telah membayarnya dengan mahal, dia telah menjadi korban praktek penghilangan orang," tulis Munir, Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dalam pengantar buku kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru. Munir pun kemudian tewas diracun dan kasusnya belum tuntas hingga kini.
Wiji Thukul memang terbiasa bergaul dengan perlawanan. Dia dekat dengan aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kami sering menginap di rumahnya di kawasan kumuh di Solo, saat memperjuangkan tanah rakyat yang ditenggelamkan rezim Soeharto dalam proyek Kedungombo," kata bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, Budiman Sudjatmiko.
Seniman pelo (cadel) itu pun bergabung dengan partai yang dipimpin Budiman. Wiji memimpin Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, sayap seniman partai itu. Semua kekuatan harus bersatu untuk melawan rezim otoriter dan militeristik," kata Budiman menirukan perkataan Wiji.
Memang terbukti, puisi Wiji lalu menjadi salah satu slogan dalam gerakan mahasiswa, petani, dan buruh. Kalimat terakhir Peringatan itu bagi gerakan sama dengan slogan saat proklamasi dulu: merdeka atau mati!'" ujar Budiman, yang kini Ketua Umum Relawan Pejuang Demokrasi, sayap pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Budiman dan kawan-kawan tak melupakan Wiji. Saya ditangkap setelah peristiwa 27 Juli 1996, saya tak pernah ketemu Thukul sejak 1998," katanya.
Sebagai seniman, Wiji Thukul tidak termasuk yang alergi pada politik. Dengan tidak tahu soal politik, kita mudah saja dipermainkan. Kita harus jadi pelaku, bukan obyek," katanya dalam wawancara di buku terbitan Indonesia Tera, Juni 2000. Itu dibuktikan dalam puisi-puisinya.
Dengarlah Sajak Suara:
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkam namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan!
Memang suara tak bisa diredam dan dipenjarakan. Tapi pemilik suara itu bisa dihilangkan, walaupun puisinya tetap hadir di antara aksi dan unjuk rasa. Dalam puisi Udara, penyair jebolan Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, pada 1982 itu seakan-akan sudah tahu risiko ketajaman puisi yang ditulisnya.
dari udara sama dihirup udara di kampung udara di kuburan menyambut kematian! begitu miskin milik kita kalimat berat selamat datang!
Ia memang hilang, tapi lewat puisinya ia terus berjuang.
(88) Aku Ingin Jadi Peluru Penerbit: Indonesia Tera, Magelang (2000)
0 Comments:
Posting Komentar