PANCASILA MEMANG BUKAN WAHYU ILAHI, NAMUN IA FIKRUL ISLAMI
Oleh Ayik Heriansyah
Ketakutan kaum radikal yang mau mendirikan khilafah akan diberangus pemerintah sampai ke akar-akarnya karena gerakan mereka ingin mengganti ideologi negara, membuat mereka terus menerus melancarkan propaganda anti Pancasila, membenturkan Pancasila dan agama, mem-bully Pancasila serta mendelegitimasi Pancasila secara membabi buta.
Membabi buta karena mereka menolak Pancasila tanpa membaca, mengkaji, menghayati dan menjiwai Pancasila dengan objektif dan ilmiah terlebih dahulu. Mereka sebenarnya panik.
Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana M. Ismail Yusanto (Juru bicara HTI) gagap, gugup, salah tingkah dan serba salah ketika ditanya Aiman Wicaksono dari Kompas TV 15 Juni 2017, tentang apakah Pancasila tetap ada ketika khilafah tegak?
Bahasa tubuh M. Ismail Yusanto menjawab, “Pancasila akan lenyap”. Namun jawaban ini ditutupi dengan lisannya. Dia berkelit berusaha mengaburkan/mengabstrakkan masalah dengan mengatakan bahwa proses dialektis masyarakat yang akan menentukan Pancasila tetap atau lenyap ketika khilafah berdiri.
Fanatisme kelompok (ashabiyah) terlalu membebani kaum radikal. Ditambah obsesi untuk menegakkan khilafah terlalu membuncah, membuatnya mereka kehilangan objektivitas dan selalu emosional dalam menyikapi narasi-narasi yang mendukung NKRI.
Seandainya mereka bersikap rasional, dengan paradigm tasyri’i, sejatinya sudah sangat jelas dan gamblang bahwa Pancasila adalah ajaran yang islami. Karena islami, Pancasila sebagai sebuah ajaran, sakti dan abadi.
Faktanya memang Pancasila bukan wahyu ilahi. Pancasila tidak tercantum dalam al-Qur’an dan hadits. Pancasila bukan nash. Cara berpikir kaum radikal yang wahabis, yaitu segala sesuatu harus ada nash, harus tertulis dan harus terbaca langsung dengan mata kepala adalah cara berpikir yang salah.
Jumlah ayat dan hadits terbatas. Al-Qur’an dan hadits tidak mencatat segala hal yang ada alam semesta ini. Al-Qur’an dan hadits juga tidak mencatat semua yang dipikirkan, dirasakan dan diperbuat oleh masing-masing orang.
Kitab yang mencatat segala sesuatu itu namanya kitab Lauhul Mahfudz. Kitab ghaib, kita tidak bisa membacanya. Itu rahasia Allah swt. Saya yakin Pancasila tercatat dalam kitab tersebut.
Kaum radikal salah besar saat mereka menolak Pancasila dengan dalih, Islam itu hanya yang ada nash-nya. Dalih ini tidak nyambung, sesat menurut logika.
Benar, Pancasila bukan nash. Sebab itu keliru kalau kita sebut Pancasila ajaran Islam. Akan tetapi sila-sila Pancasila digali dari nash (sumber ajaran Islam) yakni al-Qur’an dan hadits melalui proses ijtihad pemikiran.
Setiap sila dan butir-butirnya bersandar kepada dalil-dalil syara’. Tepat sekali kalau kita sebut Pancasila ajaran yang islami. Pancasila fikrul Islami. Sudah banyak ulama yang mengulasnya.
Kaum radikal tinggal baca, kaji, pahami, jiwai dan adopsi. Bukan tempatnya kalau saya uraikan pada tulisan singkat ini.
Yang penting, kaum radikal yang katanya ingin menegakkan syariah dapat bersikap adil dan beradab terhadap Pancasila. Anggaplah kaum radikal tidak sependapat dengan penjelasan para ulama tentang Pancasila, tetap tidak mengubah Pancasila sebagai fikrul islami.
Selama nash dan dalil syara’ yang dijadikan sandaran para ulama menerima Pancasila tidak berubah, maka status Pancasila tetap fikrul islami. Ketidaksetujuan kaum radikal tidak bisa mengubah Pancasila menjadi ide kufur atau ajaran thaghut.
Adab dan etika ikhtilaf dalam fiqih juga berlaku terhadap fikrul islami. Setiap orang harus sabar membiarkan orang lain berbeda pendapat dengannya.
Jangan mencelanya, meruntuhkan kehormatannya apalagi menyebarkan fitnah. Fikrul islami tidak boleh diserang secara terbuka dengan maksud provokasi.
Jika ingin dibahas, perbedaan pendapat tentang fikrul islami, dibahas dengan ilmiah secara terbatas sesama ulama dan tertutup untuk orang awam.
Sangat disayangkan, isu agama dan Pancasila dijadikan bahan propaganda politik kaum radikal. Sangat tidak beradab dan tidak etis. Berhentilah menyerang Pancasila.