MENELUSURI STRATEGI POLITIK DIBALIK EKSISTENSI TEGAKNYA HUKUM
Penulis : Andi Salim
Fakta pemilu saat ini lebih memperlihatkan celah politiknya untuk mendapatkan kekuasaan melalui sarana pelayanan publik sebagai upaya yang dilakukan pemerintah yang dinilai hanya penerapan lips services semata. Bahkan Pemerintah sering di isukan mulai menggunakan strategi politik untuk menyakiti hati kebanyakan rakyatnya. Hilangnya hati nurani penguasa semakin tampak jelas dari keinginan mereka dalam menyerap inti dari butir-butir sila sebagaimana yang disebutkan dalam ideologi negara yang semestinya dipegang teguh.
Ada banyak pihak yang merasa perlunya ditingkatkan kesadaran etika dan moralitas pejabat guna mengambil substansi pemahaman yang lebih dalam dan mendasar sehingga bukan sekedar pada kaidah-kaidah pemahamannya secara dangkal. Kemampuan daya pikir masyarakat umum memang masih memiliki relasi yang terbatas terhadap formalitas yang tersedia. Namun apa yang diungkapkan oleh Romo Magnis Soeseno pada persidangan MK beberapa waktu lalu, membuka mata publik bahwa peran hukum memang masih sering mengambil terminologi etika yang dimaknai secara dangkal.
Padahal dibalik itu masih terdapat pemahamannya yang bisa diambil secara substansial, sehingga hukum menjadi ukuran moralitas yang utuh serta terintegrasi pada kebutuhan penerapannya guna dikembangkan sesuai dengan perkembangan budaya saat ini. Disinilah kita menemukan bahwa apa yang terjadi sekarang, semata-mata hanya menjadikan hukum tersebut terkesan hanya tegak untuk sekedar menampakkan sisi benar dan salah, hingga mengabaikan pranata sosial atas nilai-nilai yang lebih tinggi seperti elok dan agungnya sebuah ketentuan itu diberlakukan.
Citra hukum seolah-olah kehilangan sensornya untuk menghindari negara agar tidak menjadi objek yang terperdaya bagi segelintir pihak, bahkan melalui penyalahgunaan kewenangan pemerintah yang menjadikan hukum sebagai sarana eksploitasi politik tentu bertentangan dengan kehendak mereka. Diserapnya peluang masyarakat untuk bergabung kedalam ASN, pada gilirannya ikut memperkeruh pusaran politik kepentingan guna membentengi kalangan tertentu. Termasuk kelompok swasta yang mengusahakan kepastian hukum agar memperoleh perijinan yang mereka mohonkan semakin tak luput pula dari pengaruh situasi semacam ini.
Tentu ada banyak analisa yang berbeda, khususnya pandangan yang bisa mengungkapkan keadaan hukum dan sistem Konstitusi, baik dari pihak yang ingin merongrong atas lemahnya sistem ketatanegaraan yang dirasakan masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak, namun bukan berarti pula sedikit kelompok yang ingin memperkuat legitimasi hukum dan konstitusi negara ini agar yang semakin kokoh guna menutup segala celah yang bisa dimanfaatkan secara negatif. Membahas hal ini tentu menjadi sulit, apalagi mengungkapkan adanya ciri perbedaan yang membutuhkan pengakuan dari sifat-sifat mendasar atas nilai-nilai dan penafsiran dari setiap sektor yang terdapat pada apa yang sedang di perbandingkan.
Namun jika kita ingin menyederhanakan hal ini, maka ada baiknya kita melihatnya kondisi yang paralel dari keadaan daerah, khususnya melalui lagu-lagu yang berasal dari genre masing-masing lagu dari daerah mana lagu tersebut berasal. maka kita akan merasakan adanya karakteristik yang berbeda namun nyata pada setiap alunan lagu, termasuk iringan musik yang semakin sulit untuk menolak pengakuan atas keberadaan mereka guna dinilai untuk saling mengalahkan antara satu dengan lainnya, sebab mereka duduk pada rasa dan suasana lingkungan yang serba berbeda dan dirasakan memiliki alunan yang merdu namun nikmat untuk didengar.
Kenyataan inilah yang menghiasi instrumen penilaian dari kita semua, bahwa perbedaan memang harus dihormati, namun cara memandangnya sedapat mungkin melalui kerangka persepsi yang sama. Demikian pula hukum dan sistem Konstitusi negara yang berlaku saat ini, bahwa hukum harus memiliki penafsiran tunggal yang tidak boleh terdapat penafsiran yang berbeda / Multi tafsir. Sebab dari celah semacam ini tentu saja bisa menimbulkan adanya penilaian yang berbeda terhadap objek hukum yang sama. Termasuk fakta Dissenting Opinion atas keputusan MK dari sidang sengketa pilpres baru-baru ini.
Bangsa ini memang masih harus terus diuji oleh berbagai faktor, khususnya kesadaran akan peringkat nilai dan sisi kemuliaan yang semestinya bisa diwujudkan. Kesadaran bahwa pemerintah masih belum mampu menemukan bentuk pijakannya dalam hal-hal kedudukannya yang netral, hingga tak jarang menggunakan mekanisme yang dianggap sebagai kecurangan dari strategi kemenangan politik yang terjadi belakangan ini. Hal itu tentu menciderai tujuan demokrasi rakyat sebagaimana yang di harapkan. Sebenarnya kita kurang elok jika mengatakan adanya pihak yang curang oleh karena semuanya pun melakukan hal yang sama, walau pada praktek kecurangan yang dilakukan memiliki derajat yang hampir serupa.
Hanya volume dan intensitas kecurangan mereka saja yang tidak sama, namun sesungguhnya semua peserta pun melakukan kecurangan dalam setiap andil politik sejak pasca pemilihan langsung ini terjadi. Maka, ketika pihak lawan lebih mampu mengolah kecurangan itu secara TSM, tentu saja pihak lain tidak bisa menerima hingga melampiaskan kemarahannya yang tidak lagi mau melihat realitas yang terjadi. Bagaimana pun perbuatan curang tetaplah kecurangan, sehingga kurang elok bagi kita menilai cara-cara negatif semacam itu dengan membandingkan peringkat kecurangannya demi memperoleh pembenaran atas kondisi ini. Apalagi, semakin banyak pula pihak yang memperdebatkan bobot kecurangan itu untuk dipersoalkan.
Keadaan ini sebenarnya merugikan kita semua, betapa kecurangan demi kecurangan itu semakin terlihat lazim dan dianggap wajar. Bahkan pelakunya semakin dikagumi sebagai pihak yang mampu mengambil kesempatan sekaligus membuktikan keberhasilannya untuk mendudukkan jabatan guna memperkuat partainya. Hingga demokrasi rakyat melalui pemilu yang seharusnya Luber dan Jurdil sehingga nampak menjauhi harapan rakyat untuk diwujudkan. Bahkan tak sedikit pula yang secara terang-terangan berani mengaku jika dalam proses kampanye atas kepesertaan pemilunya, telah mengeluarkan begitu banyak uang, padahal fakta itu membuktikan jika dirinya merupakan pelaku money politik tentunya.
Bagaimana merubah keadaan ini, tentu saja masyarakat yang harus sadar diri untuk membersihkan hal itu agar tidak lagi bersedia dijadikan sarana penyelia politik guna melangsungkan cara-cara kotor agar tidak terus menerus berlangsung. Cara semacam ini sedikitnya membantu membersihkan sistem demokrasi bangsa ini ke arah perbaikan dimasa depan. Sebab hanya cara ini yang dibenarkan untuk mendapatkan hasil pemilu yang baik, Inilah pentingnya kesadaran dan kecerdasan politik yang memiliki kualitas sebagaimana yang diharapkan.
Turbulensi demokrasi yang kita rasakan terhempas, bagaikan siklus engine pesawat yang mengalami perubahan pada kecepatannya. Dimana kejadian semacam ini sering dianggap sangat wajar terjadi pada setiap penerbangan di dunia. Sengaja penulis mengutip istilah turbulensi ini sebagai patron yang ideal dari kelangsungan politik yang kini terjadi. Bahwa keberadaan rakyat sesungguhnya tidak lagi menjadi pelapis akhir dari kekuatan bangsa yang menjadi cadangan bila Indonesia mengalami guncangan atau Turbulensi baik secara ekonomi, politik mau pun budaya. Pemerintahan seolah-olah mampu mengeksekusi berbagai kebijakannya.
Tanpa memandang perlunya eksistensi masyarakat guna menghalau kelompok yang cenderung memperlambat laju penerapan fungsi-fungsi pelaksanaan program dan kebijakan dari dan oleh lembaga manapun demi tujuan kejayaan negara untuk menambatkan tujuan kesejahteraan rakyatnya, hingga mencapai target destinasi sesuai kehendak masyarakat sebagaimana ketentuan yang terdapat pada tujuan Konstitusi serta amanat UUD45 yang berlaku, tentu akan menjadi persoalan tersendiri bagi dominasi penguasa. Artinya walau pemerintah telah merasa memiliki dominasi kekuatan dalam menjaga kedaulatan negara serta mampu memberdayakan aparaturnya sendiri dari kepungan politik saat ini, namun kenyataan yang dihadapinya tidaklah sesederhana itu.
Pemerintah bisa saja mendapatkan legalisasi perolehan kekuasaannya melalui keputusan MK terhadap sengketa pemilu saat ini. Namun catatan demi catatan akan menghiasi legitimasi kekuasaannya untuk tetap dipertanyakan oleh pihak manapun. Kritik yang tetap berjalan melalui logika berpikir menjadi modal utama untuk mendapatkan persepsi keadilan dasar yang sepatutnya didorong, diangkat dan diperjuangkan sebagai ruang-ruang lama yang perlu direbut publik kembali demi mengevakuasi sekaligus mendominasi kanal-kanal kebebasan dan kebahagiaan masyarakat pada umumnya.
Bagaimanapun logika adalah satu-satunya cara berpikir yang berpotensi untuk mendatangkan kekuatan argumentasi terhadap nilai kebenaran meskipun tanpa didasari oleh fakta dan data. Inilah celah baru dari peran investigasi masyarakat guna memanfaatkan sisi juristic / dugaan untuk mendapatkan relasi penilaian terhadap suatu fakta. Termasuk menggunakan hipotesis serta data-data empiris berdasarkan pengalaman terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan oleh seseorang dengan memaksimalkan kemampuan berpikirnya. Hal mana kesadaran itu demi mendapatkan kemuliaan pada derajat kebenaran yang semestinya bernilai agung.
Bagaimana pun kebenaran itu harus terus dibicarakan guna membuka kesempatan bagi upaya meluruskan suatu persoalan. Oleh karenanya, siapa saja yang berani menyembunyikan, menghalangi munculnya Kebenaran itu, maka sesungguhnya dialah musuh kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Walau sementara waktu, apa-apa yang terdapat didalam ilmu filsafat tentang kebenaran belum sepenuhnya mampu diserap kedalam aspek hukum, sehingga kualitas kebenaran yang sering diadopsi dalam tatanan dan aturan serta perundang-undangan yang berlaku masih dalam nilai-nilai etika yang rendah. Akan tetapi secara lambat laun, reformasi hukum akan mengkoreksi muatannya terhadap eksistensi hukum untuk membuktikan bahwa kebenaran itu memiliki dasar-dasar yang substansial dan berkualitas tinggi tentunya.
Kesimpulannya, kita memerlukan alat ukur dan parameter untuk menyandingkan antara apa yang menjadi fakta demokrasi versus apa yang diterapkan pemerintah melalui perilaku politiknya saat ini. Entah berdasarkan adanya data dan informasi sebagai alat pembanding, atau dengan logika berpikir guna menjangkau kredibilitas dalam mencapai kualitas kebenaran yang lebih tinggi, hal itu semata-mata demi menjelaskan duduk perkara dari situasi yang belakangan ini berkembang. Persidangan sengketa pemilu hanya urusan formalitas guna mengambil kesimpulan, walau dalam memutuskan perkaranya hanya mengandalkan pada etika hukum yang dangkal, Namun kriteria kebenaran semestinya merupakan ukuran atau dasar penilaian terhadap sesuatu yang terdapat dalam pikiran yang tertuang dalam kenyataan hingga seseorang mampu menemukan cara menilai ukuran kebenaran itu sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏
0 Comments:
Posting Komentar