BAGAIMANA MELURUSKAN KEBIJAKAN PEMERINTAH ATAS TERBUKANYA CELAH KRITIK DARI MASYARAKAT
Penulis : Andi Salim
Jika rakyat memperhatikan dengan seksama tentang prestasi pemerintah saat ini, apakah sebagian masyarakat lapisan bawah benar-benar merasakan buah kebijakan untuk mendapatkan kesejahteraan dari masa kekuasaan pemimpin yang telah menduduki jabatannya selama 5 tahun, lalu setelahnya ditambah lagi pada kepesertaan pemimpin tersebut untuk kembali menduduki jabatan yang sama guna mendapati 2 periode masa jabatannya atau menjadi 10 tahun, oleh karena UU dan konstitusi memang memperkenankan hal itu ditempuh seseorang sekalipun sedang menduduki jabatannya saat ini.
Apakah iklim bernegara kita telah mengalami kualitas demokrasi yang baik selama republik ini berdiri atau mendapatkan kemerdekaannya, atau paling tidak selama era reformasi yang dihembuskan selama 24 tahun silam yaitu sejak tahun 1998 silam. Walau lembaga negara kita nyaris menyerupai negara-negara lain di dunia, baik dengan sistem republik yang kita anut, serta adanya majelis rendah dan majelis tinggi, serta lembaga-lembaga tinggi lainnya yang terpisah didalam Trias politica sebagaimana yang difungsikan guna memisahkan kewenangan kekuasaan atas legislatif, eksekutif dan yudikatif di negeri ini.
Bahkan tak kalah hebatnya ketika negara melakukan pemisahan kekuasaan tambahan yaitu dengan dilengkapinya lembaga eksaminatif, dimana fungsi lembaga eksaminatif ini sendiri adalah mengawasi keuangan negara. Adapun lembaga ini merupakan representasi dari Badan Pemeriksaan Keuangan yang menjadikan Indonesia berbeda dengan negara lain didunia ini. kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Di dalamnya menyebutkan bahwa setiap lembaga yang diawasinya harus membuat laporan keuangan sebagai bentuk pelaporan penggunaan keuangan negara.
Setelah laporan tersebut diserahkan, maka pihak BPK akan melakukan pemeriksaan mulai dari tingkat pemerintah pusat, daerah, Bank Indonesia, BUMN, BUMD, hingga lembaga atau badan negara lainnya. Maka, tak heran jika BPK sering mengumumkan laporannya ke publik kedalam 4 jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified Opinion), Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion), Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer Opinion) dan Tidak Wajar (TW/Adverse Opinion). Inilah kelengkapan Lembaga Tinggi Negara selain yang terpisah melalui kewenangan Trias politica dan lembaga eksaminatif yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Banyaknya turunan atas lembaga negara yang tersebar itu, pada akhirnya tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Tak jarang pula ada sebagian rakyat yang menjadi simpang siur dalam memahami struktur kelembagaan yang berjenjang tersebut guna memastikan pelayanan yang terpadu khususnya terkait dengan kebijakan perijinan usaha atau apapun yang memerlukan pengesahan bertingkat dari berbagai lintas kelembagaan, baik yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah mau pun pada kedudukan pemerintahan pusat sekalipun. Hal ini berakibat terjadinya proses permohonan yang terkesan sulit dan memakan waktu yang panjang.
Konsekuensi dari situasi semacam ini tentu saja munculnya efek pelayanan ekstra yang sengaja dilakukan oleh oknum pemerintah manapun, termasuk sulitnya menyampaikan kritik sebagaimana yang dirasakan masyarakat walau dibalik itu, tujuan mereka sebenarnya untuk melakukan koreksi sekaligus mendapatkan pelayanan atas berbagai kebijakan pemerintah guna lebih presisi terhadap persoalan dan kondisi masyarakat pada umumnya. Padahal, jika kita menarik pengalaman dari masa lampau, bahwa apa yang menjadi program pemerintah tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat.
Namun fakta-fakta semacam ini tidak pernah dijadikan pelajaran untuk mendapatkan ending proses sebagai pola keberlanjutan program penguasa rezim lama agar melakukan estafet kekuasaannya berikut program multi years yang masih belum selesai itu kepada rezim yang baru. Bahkan tak jarang hadirnya penguasa baru itu, justru menghilangkan alur kebijakan yang lama dengan melakukan replacement yang serba berbeda pula. Jika skema perubahan kebijakan pemerintah semacam ini terus menerus terjadi, dimana terlihat jelas bahwa perintah tidak memiliki standarisasi siklus kebijakan 5 tahunan yang fokus pada penuntasan persoalan rakyat khususnya bagi naiknya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Kualitas demokrasi kita pun terkesan jalan ditempat. Betapa tidak, hingga saat ini kita masih belum melihat adanya debat kusir baik antara Pemerintah dengan DPR, maupun antara pemerintah dengan masyarakat melalui organisasi-organisasi yang ada guna menghadirkan terobosan baru demi mendatangkan harapan atas pengentasan kemiskinan rakyat, termasuk kebijkan-kebijakan yang menjerat mereka dari akses permodalan terhadap usaha yang mereka miliki. Artinya kita masih harus melihat lebih dalam lagi terhadap hal ini agar mengurai sumber persoalan semacam ini, sekaligus mengembalikan fokus kesejahteraan tersebut kepada rakyat itu sendiri.
Persoalan yang paling nyata tentang hal ini dapat dilihat dari pengeluaran KUR yang telah lama berlaku. Seharusnya bank komersial tidak melayani kredit atas produk internal mereka sendiri dalam jumlah nominal yang ditangani oleh pemerintah melalui KUR dari kredit-kredit yang dimohonkan masyarakat serta pelaku UMKM sehingga batasan kredit komersial hanya berlaku diatas kredit KUR yang tersedia. Namun nyatanya penyaluran kredit ini justru menjadi tumpang tindih hingga membingungkan rakyat kecil. Kebijakan Program semacam ini semestinya direncanakan secara komprehensif agar KUR tidak dijadikan sumber kerugian pemerintah akibat nasabahnya yang lemah.
Inisiatif yang baik dari pemerintah jika tidak di imbangi dengan penguasaan permasalahan dasar dari tujuan permodalan rakyat pada gilirannya hanya mendatangkan struggle baru. Sekalipun program ini terlihat baik, namun kejahatan korupsi yang begitu bebas tak terkendali belakangan ini tentu akan berhasil mengoyak keuangan negara kembali pada gilirannya. Sekalipun pemerintah melakukan upaya kepedulian terhadap masyarakat dan terus menerus melakukan pendekatan melalui berbagai kebijakannya, namun perlakuan itu tetap saja tidak menghentikan tangan-tangan kejahatan dari pihak-pihak yang ingin menghancurkannya. Inilah fakta yang acapkali kurang direspon oleh penegak hukum sesungguhnya.
Tata kelola pemerintah pun hanya terkondisikan dari mereka yang mengalami keruntuhan moral melalui kenaikan angka korupsi sebagaimana yang kita saksikan. Bahkan jargon pemerintah berikutnya tak kalah sengit guna menghalau kritik masyarakat dari tagar mereka berupa "jogetin aja" sekiranya rakyat dianggapnya terlalu "Nyinyir" dalam merespon kebijakan pemerintah ke depan. Tak kalah dengan itu, masyarakat pun menimpalinya dengan memunculkan tagar sindiran mereka yaitu "Ketawain aja", agar situasi ini terlihat berbalas pantun. Tentu ini akan menyebabkan hubungan yang tidak harmonisan rakyat dengan pemimpin yang diharapkannya.
Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏
0 Comments:
Posting Komentar