ANTARA MODERASI BERAGAMA DENGAN KEPASTIAN TATA KELOLA RUANG PUBLIK
Penulis : Andi Salim
Pada tahun 2019 lalu, Kementrian Agama telah mengeluarkan buku *Moderasi Beragama* dimana buku ini bisa menjadi sebuah acuan atau rujukan sebagai konsep umat beragama dalam melakukan aktivitas beragama. Istilah moderasi beragama tersebut bertujuan untuk mengurangi sikap kekerasaan, atau menghindari ke-ekstreman dalam praktik beragama, maka moderasi beragama diharapkan menjadi konsep yang akan diimplementasikan oleh seluruh umat beragama di Indonesia demi terciptanya kerukunan antar umat beragama dari semua pemeluk agama masing-masing.
Upaya moderasi beragama sebagai wujud untuk mendapatkan jalan tengah bagi apresiasi keagamaan tentu dirasakan baik dan sepantasnya kita mendukung langkah ini sebagai solusi bagi naiknya intoleransi yang saat ini naik kepermukaan. Namun, tidak dijelaskan apa dan bagaimana langkah-langkah tersebut dapat mendudukkan para pihak yang memandang solusi moderasi itu untuk dapat terlaksana dengan baik, belum lagi kita pun mempertanyakan siapa saja yang menjadi para pihak yang turut serta dalam upaya moderasi tersebut, baik secara internal atau meluas kepada moderasi agama secara keseluruhan.
Dalam pengertian yang sederhana, moderasi dapat diartikan sebagai upaya mendamaikan dengan menghadirkan solusi jalan tengah bagi kebaikan bersama, namun pada konteks lain, tentu ada bagian yang harus cermat melihatnya yaitu apa yang disebut sebagai para pihak yang dianggap berseberangan pula. Lalu motif seperti apa yang dipandang perlu untuk dipegang sebagai solusi beragama agar secara langsung berdampak pada upaya persatuan dan kesatuan bangsa didalam koridor bernegara dari sektor keagamaan yang berazaskan kedudukan perintah dan larangan sebagaimana yang terdapat di masing-.asing agama tersebut.
Fakta lapangan membuktikan, bahwa intoleransi yang hadir saat ini tidak saja terjadi secara internal dalam suatu agama, namun telah pula merambah kepada agama lain, bahkan telah merambah kepada sektor budaya yang saling berhadap-hadapan pula. Belum lagi negara pun hadir menambahi kekisruhan ini dengan memperluas wilayah keagamaan kedalam ruang-ruang publik dimana ruang tersebut merupakan wilayah yang menjadi ruang bersama yang tidak boleh di intervensi oleh agama apapun. Tentu saja kita masih belum melihat kecermatan pemerintah dalam melihat persoalan ini secara serius dan tepat sasarannya.
Sering terjadi bahwa kehadiran pemerintah justru tidak tajam bahkan cenderung menambah runyamnya persoalan ini yang diseret oleh pakar-pakar yang kurang kerjaan, sebab tidak jarang para petani membutuhkan cangkul, lalu dengan gampangnya diwacanakan bahwa kebutuhan petani itu dirubah menjadi pemberian traktor yang semakin membebani para petani tersebut baik secara maintenance, kebutuhan BBM yang tidak tersedia, apalagi semakin kurang efektif oleh karena lahan yang dimiliki petani tersebut relatif kecil. Atau pada kesempatan lain, kita pun sering mendengar bahwa perubahan tersebut memang direncanakan untuk menyelundupkan proses penganggaran dibalik kebutuhan masyarakat tersebut.
Namun demikian, kita pun harus menghormati segala upaya menuju kebaikan yang digagas oleh siapapun demi membangun sikap berbangsa bagi beragamnya kebhinekaan yang kita miliki. Sebab kebhinekaan bangsa Indonesia dapat membuat bangsa ini sebagai bangsa yang besar, serta berpotensi mengandung kekayaan yang melimpah. Namun, tantangan kebhinekaan juga dapat membuat penduduk Indonesia yang berbeda-beda itu menjadi di luar kendali. Akibatnya, bisa tumbuh perasaan atau perspektif yang sempit untuk mengancam integrasi nasional atau persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa ini pun membutuhkan kesepahaman bersama bahwa fungsi-fungsi negara yang hadir tentu dipandang sebagai pihak secara netral dalam posisi keberadaannya, sehingga tarik-menarik kepentingan untuk mendorong sikap, pemikiran, bahasa dan narasi-narasi yang dimunculkan pun menampakkan selarasnya antara pernyataan dan tindakan yang perlu diwujudkannya. Termasuk penerapan segala sesuatu baik ditingkat pusat atau pun daerah, sebab tak jarang dari konteks seperti bahasa justru menimbulkan dampak yang serius bagi ketegangan yang terjadi ditengah masyarakat kita.
Gagasan untuk menjadikan suatu daerah dengan mengambil istilah yang sering diartikan sebagai label dari suatu agama tentu harus dipikirkan ulang, sebut saja penerapan *Kota Halal* atau *Wisata Halal* tentu penerapan semacam ini berakibat pada sikap penolakan diberbagai daerah yang disinyalir merebut ruang-ruang publik, sehingga citra negara dianggap lebih condong kepada salah satu pihak hingga menciptakan ketegangan kawasan diberbagai daerah yang dirasakan menekan pada penerapan sosial yang sebenarnya tidak perlu, bahkan menjadi kontra produktif, baik dari sisi antar beragama, maupun terhadap pelaku budaya yang bercokol diseluruh tanah air.
Kaitan antara pendidikan agama dan budaya di Indonesia sebenarnya memiliki relasi yang kuat, dimana anggapan bahwa budaya merupakan produk nenek moyang bangsa indonesia yang memberikan ruang apresiasi bagi tradisi budaya bangsa ini dengan seluas-luasnya tanpa perlu berbenturan dengan nilai-nilai keagamaan. Akan tetapi, hadirnya era digital semakin mempertajam kebutuhan dari kepastian ruang apresiasi dari masing-masing komponen itu untuk bermain, pada tatanan wilayah mana sesungguhnya mereka dibatasi. Maka disanalah upaya pemerintah itu harus hadir demi menyelesaikan persoalan bangsa ini kedepan.
#jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI #GerakanTI Mari Kita Bertoleransi, silahkan anda share tulisan ini🙏
0 Comments:
Posting Komentar