MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir, Jakarta Pusat, 14 Agustus 1962. Hari itu, sidang pertama Imam Besar Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah pengadilan khusus dibentuk. Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Wartawan dilarang masuk.
Seperti laiknya persidangan militer, TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai majelis hakim: Letnan Kolonel Ckh Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua anggota, Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota tim pembela Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara: empat orang pengacara dipimpin Wibowo, SH.
Tentara hanya butuh dua bulan untuk mempersiapkan sidang besar ini. Kartosoewirjo ditangkap pada awal Juni 1962 dan langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan persidangan. Sardjono, putra bungsunya, mengaku keluarganya sama sekali tidak diberi tahu. "Kami ditahan di Bandung, tidak bisa ke mana-mana," katanya, dua pekan lalu. "Kami baru tahu vonis Bapak setelah sidang selesai."
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang disusun Pinardi pada 1964, disebutkan bahwa bahan-bahan persidangan disiapkan oleh Komando Daerah Militer Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Buku ini bisa dibilang sumber sahih informasi dari tentara soal persidangan Kartosoewirjo. Kepala Staf Angkatan Bersenjata ketika itu, Jenderal Abdul Haris Nasution, menulis sambutan dalam buku tersebut.
Karena sidang dinyatakan tertutup, sulit memperoleh gambaran mengenai jalannya sidang dari media massa ataupun sumber tak berpihak lain. Sumber resmi tentara-yang banyak dikutip koran-koran-menyebutkan bahwa pada sidang perdana, Kartosoewirjo ditanyai soal kejelasan identitas dan perkara yang dia hadapi. "Jangan sampai yang dihadirkan di sidang ini adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin gerombolan," kata salah satu pengacara, pembela terdakwa.
Jaksa menuntut Kartosoewirjo-yang saat disidangkan berusia 55 tahun-dengan pasal berlapis. Dia dituduh hendak menggulingkan pemerintah yang sah, memberontak melawan Negara Republik Indonesia, dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno. Untuk menguatkan dakwaannya, jaksa Sutarjono menghadirkan enam saksi-semuanya anak buah Kartosoewirjo di Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.
Mereka adalah Djaja Sudjadi alias Widjaja (Menteri Keuangan Negara Islam Indonesia), Mardjuki (Bupati Tasikmalaya NII), Asbar (Komandan Resimen Tentara Islam Indonesia), Agus Abdullah (perwira berpangkat brigadir jenderal di TII), Sanusi Fikrap, dan Kamil Ali. Dua yang disebut terakhir adalah tersangka yang tersangkut insiden percobaan pembunuhan Presiden Soekarno saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada 14 Mei 1962.
Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Kartosoewirjo. Mereka mengakui peran sang Imam dalam mengatur dan mengendalikan operasi perlawanan NII di hutan-hutan Jawa Barat. Sejumlah peristiwa diangkat khusus, misalnya penyerangan di Garut pada Juli 1961 dan bentrok di Sumedang pada November 1961. Pada dua insiden penyerangan tentara Kartosoewirjo ke desa-desa di sekitar wilayah gerilya mereka itu, TNI mengklaim ada ratusan warga yang menjadi korban.
Jaksa juga menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah satu saksi, Asbar, mengaku mendapat perintah langsung dari Kartosoewirjo, yang dikuatkan dengan sebuah gigi junjungannya itu. "Gigi itu dianggap sebagai jimat dan tanda kepercayaan Kartosoewirjo untuk melaksanakan perintah itu," kata jaksa, sebagaimana terungkap dalam risalah sidang yang dimuat media. Asbar kemudian meneruskan perintah itu kepada Mardjuki, Bupati Tasikmalaya dalam struktur NII. Dalam sidang, Mardjuki membenarkan adanya perintah itu.
Selain oleh tiga peristiwa itu, dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan kerugian dan korban jiwa selama pemberontakan DI/TII. Jaksa menyebutkan, pada periode 1953-1960 saja, ada 22.895 orang yang tewas serta 115.822 rumah yang musnah, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta.
Tak begitu dijelaskan bagaimana angka-angka itu diperoleh. Namun, dalam risalah persidangan, dinyatakan bahwa pemberontakan Kartosoewirjo mengganggu upaya pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: pemenuhan sandang-pangan, penjagaan keamanan, dan operasi perebutan Irian Barat. "Biaya yang seharusnya digunakan untuk operasi Irian Barat jadi digunakan untuk memulihkan keamanan akibat pemberontakan gerombolan ini," kata hakim dalam putusannya.
Tak tercatat ada saksi meringankan dalam persidangan ini. Namun, ketika diminta membela diri, Kartosoewirjo dilaporkan menyangkal tuduhan bahwa ia melawan Negara Republik Indonesia dan merencanakan pembunuhan Soekarno. Dia hanya menerima tuduhan pertama: menyerang pemerintah yang sah. "Dari Ibu, saya diberi tahu bahwa jaksa memang mengejar tuntutan ketiga: terlibat pembunuhan presiden, karena ancaman hukumannya mati," kata Sardjono mengenang.
Pembelaan dan penyangkalan Kartosoewirjo diabaikan majelis hakim. Dalam sidang tertutup, didampingi tim pembela yang tidak dia pilih sendiri, Kartosoewirjo memang terpojok. "Alat bukti dan keterangan saksi cukup untuk mengabaikan penyangkalan terdakwa," kata ketua majelis hakim Letnan Kolonel Sukana.
Saking tertutupnya, berita mengenai persidangan Kartosoewirjo sama sekali tak ada di halaman-halaman koran. Baru pada Sabtu, 19 Agustus 1962, dua hari setelah vonis dibacakan, Harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis hukuman mati untuk Kartosoewirjo.
Diletakkan di bagian bawah halaman pertama, koran yang terbit di Bandung, Jawa Barat, itu juga memasang foto kecil Kartosoewirjo dengan rambut awut-awutan. Keterangan foto yang bertulisan "Pendam VI" alias Penerangan Kodam VI Siliwangi menandakan sumber informasi utama berita itu hanya berasal dari tentara.
Dalam berita itu, Kartosoewirjo dilaporkan menghadapi sidang pembacaan vonis dengan tenang. Dengan kemeja putih lengan panjang, celana biru, dan sepatu hitam, dia tampak klimis. "Rambutnya, yang panjang saat ditangkap, sudah dipotong," tulis koran itu. Sejumlah pejabat tinggi hadir dalam sidang tersebut. Ada Menteri Kehakiman Sahardjo, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro, dan Jaksa Agung Kadarusman.
Setelah palu hakim diketuk, barulah Kartosoewirjo bereaksi. Wajahnya pucat pasi dan tangannya gemetar. "Dua polisi militer sampai harus memapahnya ke luar sidang," tulis Pikiran Rakjat. Pengacaranya, Wibowo, sempat berujar akan meminta grasi sebelum sidang kilat itu ditutup.
Tapi Sardjono punya cerita lain soal akhir sidang ayahnya. Menurut dia, Kartosoewirjo sempat ditanya apa wasiat atau permintaannya yang terakhir. "Dia minta bertemu perwira terdekatnya, namun ditolak hakim," katanya. Lalu Kartosoewirjo mencoba meminta jenazahnya nanti dikuburkan di makam keluarganya di Malangbong, Garut. Ini juga ditampik. "Akhirnya, terakhir, Bapak cuma minta bertemu keluarga," ujar Sardjono. Ini pun tak dikabulkan.
Setelah eksekusi, keluarga Kartosoewirjo hanya mendapat kiriman barang-barang pribadinya. Ada piyama bermotif kotak-kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker, tempat rokok cap Kuda, dan gigi palsu.
Dalam buku biografinya yang ditulis Cindy Adams, Soekarno berujar tentang hukuman mati Kartosoewirjo, "Menandatangani hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan kepadaku. Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku yang baik. Di tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama," katanya. Namun putusan harus diambil. "Seorang pemimpin harus bertindak, tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang ditempuh," ujar Soekarno.
Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo dieksekusi di depan regu tembak, setelah permohonan ampunnya ditolak. Dia ditembak bersama lima anak buahnya, yang dituduh terlibat percobaan pembunuhan presiden. Sebagian dari mereka yang dieksekusi hari itu bersaksi memberatkan Kartosoewirjo dalam persidangan sebulan sebelumnya.
0 Comments:
Posting Komentar