Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai kapal yang sedikit lebih tinggi. Tak ada kursi di perahu yang kini melaju ke utara itu. "Ini pertama kalinya saya ke sana." Sardjono mengenakan baju hangat lengan panjang berwarna cokelat bergaris kuning serta celana hitam dan sepatu karet sewarna. Ia membawa tas berisi baju koko dan kopiah putih.
Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari tepi utara daratan Kota Jakarta. Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan ada di Marina Ancol dan Muara Angke.
Onrust dalam bahasa Belanda berarti tanpa istirahat (sibuk). Pada pertengahan abad ke-16, di pulau ini terdapat galangan kapal yang lumayan besar. Ia melayani ratusan kapal, terutama milik kongsi dagang Belanda (VOC) Saat itu, Onrust dikuasai Pangeran Jayakarta, kemudian dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu kepada VOC.
Pulau ini dilengkapi gudang-gudang untuk menyimpan muatan kapal yang sedang diperbaiki. Belakangan, pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda membangun tak kurang dari 35 barak haji bagi penduduk yang hendak berangkat ke Mekah. Pulau ini lantas menjadi tempat karantina jemaah yang kembali sebelum pulang ke rumah.
Ketika itu, Onrust masih seluas sekitar 12 hektare dan penuh dengan pepohonan besar. Kayunya banyak digunakan untuk pembuatan kapal. Sebuah benteng segi lima sempat dibangun Belanda di sini sebagai pertahanan menghadapi Inggris. Juga sebuah penjara. Westerling, perwira Belanda yang dikenal karena pembunuhan puluhan ribu warga Sulawesi, sempat ngendon di sini sebelum melarikan diri.
Beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia juga sempat dipenjarakan di sini. Nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tertoreh di salah satu sudut gedung museum yang belakangan dibangun pemerintah Indonesia. Gedung itu tadinya rumah dokter dan perawat yang bertugas mengurusi kesehatan jemaah haji. "Namanya tertulis di dalam semacam pigura," kata Muhammad Giri, cucu Kartosoewirjo, yang pernah datang sekitar tahun 2000.
PERAHU melamban mendekati dermaga kecil Pulau Onrust. Dadang, pemilik kapal yang merangkap nakhoda, meminta dua adiknya yang menjadi anak buah kapal menstabilkan perahu dengan berpegangan pada perahu lain yang sedang ditambat.
Tak ada petugas yang berjaga di pulau yang hampir tidak berpenghuni ini. Hanya ada dua warung mi instan dan sebuah bangunan semipermanen dari kayu di sisi timur, yang ditempati para nelayan yang sedang beristirahat. Sebuah tugu hitam berbentuk batu besar menyambut setiap orang yang datang. Di permukaannya tertulis ringkasan sejarah pulau.
Sardjono berjalan perlahan menapaki konblok. Seseorang yang baru saja kelar memancing memberitahukan arah menuju makam. "Di depan bangunan itu, lalu belok kiri," katanya. "Butuh waktu sekitar 20 menit untuk mencapai makam."
Melewati pemakaman Belanda, Sardjono sempat berhenti sebentar. Di bawah pohon besar di tengah makam, ia lalu mengeluarkan baju koko dan melepaskan baju hangatnya. Setelah bersalin, ia kembali berjalan mengikuti petunjuk arah tadi.
Di sisi barat pemakaman ini terdapat pemakaman pribumi, yang melintang dari utara ke selatan. Ini berbeda dengan pemakaman Belanda, yang memanjang dari timur ke barat. Di sisi paling barat kompleks pemakaman pribumi ini, ada bangunan dari bambu beratap asbes. Bangunan tua itu miring dan bambunya sudah menghitam.
Di sisi kiri pintu masuk terdapat plang berwarna biru bertuliskan informasi bahwa ada tokoh Darul Islam yang dimakamkan di dalam. Pada sisi kanan bangunan, botol-botol kosong air bunga mawar tergeletak. Pohon-pohon pinus tumbuh menaungi makam ini. Di bagian dalam pondok bambu ini terdapat dua makam, yang permukaannya telah dilapisi porselen biru.
Sardjono lalu melangkah masuk ke tengah makam dan menghadap ke makam sebelah kanan. Makam ini tidak memiliki batu nisan. Hanya ada batu apung yang dibungkus kain putih. Sedangkan pada kuburan di sebelahnya terdapat papan nisan bertulisan "H"-Hasan. Ia lalu berjongkok memegang batu nisan dengan tangan kiri dan mulai berdoa.
Sekitar 15 menit kemudian, ia usai berdoa. "Setelah 45 tahun terpisah," katanya tenang. "Ini anugerah yang tidak ternilai bagi saya." Sardjono terpisah dengan ayahnya saat ia masih berusia sekitar lima tahun. Ketika itu, Kartosoewirjo tertangkap pasukan Siliwangi saat bergerilya di hutan perbukitan.
PADA suatu hari 1-2 tahun setelah kabar eksekusi Kartosoewirjo diterima keluarga, datang seorang lelaki membawa sepucuk surat. Surat berkops tentara itu merupakan laporan tentara kepada Presiden Soekarno mengenai lokasi eksekusi Kartosoewirjo, yaitu di Pulau Ubi. "Saat itu Umar Wirahadikusumah menjadi Pangdam Jaya," kata Sardjono meyakini surat itu.
Keluarga kemudian berembuk untuk mendatangi pulau yang terletak dua-tiga kilometer di sebelah utara Pulau Onrust itu. Meski mereka meyakininya, niat ini akhirnya diurungkan. Alasan utamanya adalah keluarga masih khawatir bahwa surat itu merupakan jebakan aparat untuk mengetahui seberapa besar sebenarnya kekuatan para pengikut sang Imam.
Ini adalah satu informasi dari sekian banyak informasi yang diterima keluarga mengenai keberadaan Kartosoewirjo setelah ditangkap militer. Ada orang yang mengaku melihat sang Imam di Jawa Tengah atau Jawa Timur. "Ada yang mengaku bertemu beliau di Banten." Namun informasi tentang makam di Pulau Ubi dan belakangan berubah menjadi Pulau Onrustlah yang diyakini keluarga.
Menurut Muhammad Giri, sang cucu, informasi mengenai keberadaan makam tidak pernah dibicarakan secara terbuka di dalam keluarga. "Saya juga hanya mendengar kalau orang tua bicara," katanya. Ia pun mencari informasi di Internet. "Saya baca adanya di Pulau Onrust," kata Giri, yang sempat datang bersama 20-an temannya sambil bertamasya.
Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pulau Onrust Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Husnison Nizar, informasi mengenai makam ini memang disampaikan di dalam museum di pulau itu. Namun ia juga mengakui bahwa hingga saat ini belum ada penelitian ataupun dokumen resmi yang mendukung hal itu. "Baru sebatas keyakinan masyarakat," katanya.
Menurut wartawan senior Alwi Shahab, makam Kartosoewirjo memang terletak di Pulau Onrust. Informasi ini ia peroleh dari Solichin Salam, penulis buku Bung Karno Putra Fajar, yang terbit pada 1966. Menurut Alwi, Solichin sempat menanyakan hal ini langsung kepada Bung Karno.
Makam itu, menurut Alwi, adalah salah satu dari dua makam yang dinaungi pondok bambu tersebut. "Belum tahu yang kiri atau yang kanan," katanya. Makam itu ada dua untuk menghindari penyembahan atau sesajen yang terkadang dibawa masyarakat. Sesajen merupakan hal terlarang dalam ajaran Islam. "Jadi makamnya disamarkan," ujarnya.
Sardjono berharap pemerintah memperhatikan kejelasan makam ini karena menyangkut rangkaian sejarah bangsa. "Lebih baik jika ada tes genetik," katanya. Jika hasil tes menunjukkan positif bahwa itu makam sang ayah, Sardjono ingin melakukan satu bakti terakhir. "Pesan beliau agar dimakamkan di makam keluarga."
Di salah satu sisi pulau, sehabis berziarah, Sardjono membaca puisi yang dipersembahkan untuk sang ayah, Kematian Adalah Sebuah Misteri. Di bawah rintik hujan, ia berteriak:
Kuburmu dicari
Jejakmu diselusuri
Ajaranmu dikaji
Mujahid tidak pernah mati.
0 Comments:
Posting Komentar