GUBUK kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi orang dewasa. Tapi di dalamnya ada makanan yang jarang ditemui Sersan Ara Suhara di rumah orang biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan susu.
Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di samping makanan mewah itu, Ara, prajurit Batalion Infanteri 328/Kujang Siliwangi, langsung berpikir kakek itu pasti orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang ia buru selama ini? Ara pun bertanya, memastikan: "Pak Karto?"
Si kakek merangkul Ara. "Iya, Nak," katanya mengakui.
Jawaban Kartosoewirjo itu tak hanya mengakhiri perburuan Ara selama berhari-hari untuk menemukan Kartosoewirjo sekaligus menunjukkan keberhasilan strategi perang wilayah tentara Indonesia.
Dengan taktik itu, tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan, sehingga Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini bernama Brata Yuda, tapi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis. Digelar mulai April 1962, operasi ditargetkan kelar setengah tahun, tapi baru tiga bulan dilangsungkan Ara sudah menangkap Kartosoewirjo.
Salah satu kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga kepungan terhadap DI/TII sangat rapat dan bisa dikatakan tak tertembus. Keterlibatan rakyat ini yang membuat operasi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis.
Dalam operasi, militer meminta para pemuda dan pamong desa di sekitar wilayah operasi bersiaga. "Mereka yang berangkat diinstruksikan untuk membawa bekal logistik sendiri secukupnya," kata Abdul Mahmud Latif, warga Desa Cilampung Hilir, Leuwisari, Tasikmalaya, yang saat operasi digelar berusia 25 tahun.
Sebagai pemuda, ia ikut menjadi pagar betis. "Tiga hari saya di sana," katanya. Di lokasi yang ditentukan, Mahmud, para tetangganya, dan tentara membuat sejumlah tenda mengelilingi hutan di sekitar Galunggung.
Toto Toriah, nenek yang saat masih muda menemani suaminya yang menjadi pengikut Kartosoewirjo, Adang, saat ini 82 tahun, mengungkapkan masalah pagar betis ini bagi pasukan Kartosoewirjo. "Sulit sekali makanan masuk," kata Toto, yang sekarang tinggal di Desa Linggarsari, Sariwangi, Tasikmalaya. Sebelumnya, warga yang bersimpati kepada mereka terkadang mengirim beras, jagung, gula, atau garam.
Di luar makanan itu, pasukan Kartosoewirjo juga belajar hidup dengan memanfaatkan apa saja yang ada di hutan. Pasukan Kartosoewirjo mengandalkan makanan bongborosan, seperti pisang, honje, kapulaga, jahe, atau lengkuas sebagai bahan makanan setiap hari. "Singkong rebus tambah gula merah ataupun garam mungkin menjadi menu favoritnya," kata suami Toto, Adang.
Mereka juga berburu burung, kancil, atau ikan untuk lauk. Sayuran kegemaran lain adalah daun reundeu. "Daun ini bisa langsung dimakan bila keadaan perut prajurit sudah tidak kuat menahan lapar," kata Adang.
Para tentara DI/TII juga gemar merokok. Favorit mereka adalah Escort, merek rokok nonkretek populer di Indonesia sejak zaman Belanda hingga 1970-an. Jika sudah kehabisan rokok, tutur Dudung, 85 tahun, rekan Adah Djaelani, ia tidak segan-segan meminta kepada Raden Oni Syahroni, kepala Resimen I DI/TII yang terkenal. "Beliau terkadang hanya memberi kami Rp 5," kata Adah. "Itu sudah cukup bagi kami untuk membeli rokok."
Tapi Operasi Pagar Betis menghentikan hubungan mereka dengan dunia luar. Pemerintah Jakarta pun menawarkan amnesti bagi pasukan DI/TII yang menyerah pada 1961. Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan keluar yang bagus, yakni amnesti, kekuatan DI/TII mulai berkurang.
Para pejabat kelompok pemberontak ini mulai satu per satu menyerahkan diri. Yang terakhir, Mei 1962, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang komandan wilayah, juga menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung Cibitung. Praktis sejak saat itu Kartosoewirjo tinggal ditemani segelintir pengikut setianya.
Operasi ini juga memaksa istri dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya. Salah satunya Sardjono, anak Kartosoewirjo yang saat itu baru lima tahun dan diasuh Musti'ah.
Sardjono menuturkan ia beserta rombongan perempuan dan anak-anak itu hanya makan daun-daunan seadanya di hutan. "Kami sudah tidak makan seminggu, di gunung buahnya pahit semua," katanya mengenang.
Selain itu, pasukan pengawal mereka merasa bahwa mereka malah menjadi beban. Akhirnya diputuskan para perempuan itu turun gunung alias menyerah. Si komandan dan pasukannya akan mencoba membuat kontak dengan induk pasukan.
Selain pagar betis yang dijaga warga sebagai benteng pasif, tentara juga aktif memburu pasukan Kartosoewirjo seperti yang dilakukan Ara dan Kompi C yang dipimpin Letnan Dua Anda Suhanda-tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari desa ke desa dan hutan ke hutan. Saat beristirahat dan menginap di Joglo, Majalaya, setelah tiga hari berpatroli dengan berjalan kaki, mereka mendengar ada penggarongan. Aksi itu terjadi di Desa Pangauban, beberapa kilometer sebelah barat Joglo.
Mereka mengikuti jejak penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak. Saat pertama mengejar, mereka memulai dari Pangauban di barat Rakutak. Tapi hari berikutnya mereka sampai Sungai Ciharus, tempat mereka kehilangan jejak.
Ara meminta izin atasannya, Suhanda, untuk menyeberang sungai dan mencari sendiri jejaknya. Setelah berapa lama, ia menemukan jejak itu. Ia segera menjadi pelacak hingga sampai ke lembah Geber di sekitar Gunung Rakutak, tempat ia menemukan sepasukan anak buah Kartosoewirjo.
Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju. Ia sempat menembak salah satu penjaga pos pengintai. Ia sempat berhadapan dengan Aceng Kurnia, dan salah satu tangan kanan Kartosoewirjo itu kemudian angkat tangan. Tidak terjadi banyak perlawanan karena kelompok Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi.
Agak jauh, sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di depan gubuk itu ada pemuda yang ternyata, tiada lain, adalah Dodo Muhammad Darda, salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk Ara menemukan makanan mewah dan Kartosoewirjo yang tergeletak sakit.
Ara-meninggal pada Juni silam tapi sudah menuliskan ceritanya dalam satu buku yang disimpan keluarganya-menuturkan bahwa Kartosoewirjo mengaku sudah tahu Ara bakal datang. Kartosoewirjo bahkan mengatakan tahu istri Ara sedang mengandung dan akan punya anak laki-laki.
Ara tidak pernah melupakan kejadian pada 4 Juni itu. Anak yang tengah dikandung istrinya itu kemudian lahir dan, seperti "ramalan" Kartosoewirjo, laki-laki. Ara memberi nama anak itu Asep Sekar Ibrahim. Ibrahim dari nama Panglima Kodam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie. Sekar? Ara mengambil dari nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
0 Comments:
Posting Komentar