DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan bara. Di kampung berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.
Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. "Saya hanya meneruskan perjuangan Bapak," kata Sensen.
Keberadaan NII di kampung itu memang tak lepas dari peran ayah Sensen, Bakar Misbah. Dialah Bupati NII Garut di masa NII pertama diproklamasikan.
Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, adalah basis pergerakan Darul Islam. Sekitar 500 meter dari sana, terdapat pesantren Darussalam yang didirikan KH Yusuf Tauziri, saudara Bakar Misbah. Pendiri pesantren itu pernah menjadi teman seperjuangan Kartosoewirjo, lalu pecah kongsi dan melawan Darul Islam.
Setelah Kartosoewirjo menyerah pada Batalion Kujang, Juni 1962, pengikut Darul Islam kocar-kacir. Mereka bersembunyi karena diburu tentara Indonesia. Setelah situasi aman, mereka yang selamat keluar dari persembunyian, termasuk Bakar Misbah. Ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan bersama kelima anaknya. Bakar meninggal pada 1993.
Sepeninggal sang ayah, Sen-sen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain. Mereka menghidupkan kembali NII di kampung para petani itu. Sensen, anak kedua Bakar, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15. Rumahnya dijadikan pusat komando. Berukuran 11 x 11 meter, berdinding bambu, dan berlantai papan, rumah itu menjadi pusat pemerintahan atau istana negara NII.
Saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu, tidak tampak simbol kenegaraan di sana. Tak ada simbol NII, apalagi simbol RI seperti gambar presiden dan burung Garuda. Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto. "Semua simbol negara kami dirampas pemerintah Indonesia," kata Sensen.
Dalam menjalankan pemerintahan, Sensen dibantu para menteri. Ada menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri pertahanan, dan menteri pendidikan. Bersama para pembantunya, lulusan Institut Agama Islam Negeri Bandung, Jawa Barat, ini menggelar rapat kabinet di rumahnya. "Sama seperti istana presiden di Indonesia," katanya.
NII, Sensen mengaku, memiliki alat pertahanan yang kuat. "Kami punya pesawat tempur tipe F-16 dan Sukhoi," katanya. Namun ia tak mau memberitahukan keberadaan pesawat eksklusif itu-rahasia negara. Sensen dan warganya memiliki usaha ternak ayam potong. Ini usaha bersama yang keuntungannya digunakan untuk operasional dan buat menopang ekonomi negara. "Rakyat NII," Sensen berujar, "tak dibebani pajak seperti di negara lain."
Akses transportasi dan jaringan telepon yang dimiliki NII, menurut Sensen, digunakan untuk meluaskan jangkauan. Sensen menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42 kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. Saat ini jumlahnya 3.000-an orang. "Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan Darul Islam," kata Sensen.
Darsun Sudrajat, 48 tahun, warga NII dari Kampung Papandak, Desa Sukamenak, Kecamatan Wanarja, berkomentar tentang hidup sebagai warga NII. "Hidup di sini lebih damai karena saling mendidik, berbeda dengan di Indonesia," katanya.
Awalnya, aktivitas NII di Babakan tertutup. Barulah pada 17 Januari 2008, masyarakat tahu apa yang terjadi. Saat itu, Sensen dan dua menterinya mengibarkan bendera NII, merah-putih bergambar bulan-bintang, di depan rumahnya.
Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008.
Kendati ada yang masuk penjara, gerakan mereka tak kendur. Mei lalu, pemimpin NII di Desa Purbayani, Wowo Wahyudin, berkirim surat ke pejabat desa setempat. Mereka meminta warga NII tidak dimasukkan ke daftar pemilu presiden. "Kami sudah punya imam," kata Wowo. Mereka pun menolak sensus penduduk beberapa bulan lalu.
Gesekan pun terjadi. Masyarakat setempat bereaksi. Puncaknya terjadi pada 4 September 2009. Kepolisian Resor Garut mengamankan 16 warga NII dari amuk massa saat menggelar musyawarah di Kantor Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng.
Amuk massa itu buah kejengkelan warga melihat aktivitas ibadah NII. Di Kampung Situ Bodol pada 4 September 2009, misalnya, warga NII melakukan salat Jumat dengan membelakangi arah kiblat. Mereka juga mengubah kata "Muhammad" dengan "Sensen Komara" dalam kalimat syahadat dan azan.
Akibatnya, tiga pentolan NII di Purbayani, termasuk Wowo, divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Garut. Setelah rentetan kejadian itu, warga NII mulai tiarap karena diawasi ketat kepolisian. Arah kiblat pun kembali seperti sedia kala. "Supaya tidak rame lagi," kata Sensen. Tapi syahadat dan lafal azan masih tetap versi NII.
Kendati dianggap menyimpang dari ajaran yang lazim, masyarakat sekitar tak terlalu hirau. Salaf Sholeh, sesepuh pesantren Darussalam, menilai ajaran NII tak perlu dihiraukan. "Karena imamnya gila," katanya.
Paham kenegaraan Sensen juga unik, lebih tepatnya pragmatis. Kendati menolak eksistensi Negara Indonesia, warga NII tetap mengurus kartu tanda penduduk serta menerima bantuan langsung tunai, pembagian beras untuk orang miskin, bahkan pembagian jatah kompor gas gratis.
Mereka juga tak malu menagih kepada pamong setempat jika tak kebagian jatah gratisan. "Masak, pemberian ditolak," ujar Sensen.
0 Comments:
Posting Komentar