Senin, 16 Agustus 2010

Asimilasi Setelah Eksekusi


PAGI masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono berjalan terseok-seok menuruni lereng. Ditemani Musti'ah, sang pengasuh, tiga anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata. Masih terngiang ucapan pengawal yang sebelumnya mengiringi mereka. "Kalian turun, serahkan diri ke pagar betis."

Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah berjaga di sebuah lahan terbuka. Keempatnya ditangkap dan dibawa ke markas Batalion 328 Siliwangi di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah diberi pertolongan, mereka menjalani serangkaian interogasi. Awalnya Musti'ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu. Menjelang malam baru penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana. "Tentara gembira setelah mengetahui siapa kami ini," kata Sardjono Kartosoewirjo, yang saat itu baru berusia lima tahun.

Penyerahan diri Sardjono, kini 53 tahun, dan dua saudarinya berjarak sebulan dari Maklumat Kartosoewirjo pada 6 Juni 1962. Dalam pengumuman yang dikeluarkan dua hari setelah Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten Bandung itu, sang Imam memerintahkan pengikutnya menghentikan tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. "Kami turun selain menaati maklumat juga lantaran logistik menipis," ujar Sardjono, bungsu dari 12 bersaudara buah pernikahan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti Kalsum.

Peristiwa itu pula yang mengawali babak baru kehidupan keluarga Kartosoewirjo setelah bertahun-tahun hidup di tengah rimba. Sardjono ingat, selepas masa penyidikan, mereka mulai merasakan hidup di kawasan urban: Bandung.

Ketiga anak Karto dan Musti'ah ditempatkan di Wisma Siliwangi, Jalan Ciumbuleuit 134. Di tempat itu mereka mendapat perlakuan baik, makanan layak, dan pelayanan medis. Mereka juga dibekali sejumlah uang. Namun mereka tak bebas penuh. "Kami jadi semacam tahanan rumah. Penginapan dijaga ketat dan pergaulan dibatasi," kata Sardjono.

Di tempat itu pula Sardjono dan kedua kakaknya bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka setelah terpencar sekian lama. Belakangan diketahui, "penahanan" di Wisma Siliwangi terkait dengan pengadilan Kartosoewirjo di Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang. Pada akhir persidangan, Kartosoewirjo divonis melakukan makar dan berencana membunuh Presiden. Ia dihukum mati, 5 September 1962.

Sepeninggal Kartosoewirjo, pemerintah bersikap lunak kepada Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Setelah beberapa bulan tinggal di Ciumbuleuit, mereka pun dipindahkan ke sebuah rumah di Jalan Banda 21, tak jauh dari Gedung Sate. Di sinilah keluarga gerilya ini mulai membaur dengan masyarakat. Sardjono menuturkan, ketika itu tempat tinggal mereka tak lagi dijaga ketat. Fasilitas yang diberikan lumayan banyak, di antaranya mobil dan sopir. Anak-anak bebas ke luar rumah untuk bergaul dengan warga sekitar. "Saya sering bermain bola dengan anak-anak sekitar situ," ujar Sardjono.

Para tetangga bersikap baik. Sekalipun mengetahui Sardjono dan kedua kakaknya anak pemimpin gerakan yang dicap gerombolan pemberontak, warga tak pernah mempersoalkannya. Rupanya, penempatan keluarga Kartosoewirjo di tengah kota ialah cara Kodam Siliwangi mengetahui sejauh mana reaksi masyarakat. "Belakangan saya tahu dari tentara, ini persiapan kami untuk bebas," ujar Sardjono.

Namun segala kenyamanan ini tak menghilangkan keresahan Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Proses asimilasi terasa tak sempurna. Silaturahmi dengan sanak famili terdekat malah tak terjalin. Sewaktu Dewi memilih pulang ke kampung halamannya di Malangbong, Garut, tak satu pun kerabat mau menjemput lantaran takut. Sialnya lagi, tanah warisan ayahnya, Kiai Ardiwisastra, tersisa kurang dari separuhnya. Sebagian dikuasai saudara, selebihnya diserobot tentara.

Setelah lama menunggu, datanglah Titi Aisyah, sepupu Dewi. "Bibi saya itu berani datang lantaran suaminya perwira TNI," ujar Sardjono. Titi, menurut Sardjono, tak lain dari ibunda penyanyi Raden Terry Tantri Wulansari alias Mulan Jameela. Di Malangbong, perlahan-lahan mereka menata kehidupan.

Jejak Kartosoewirjo dan keluarganya di Bandung kini lenyap tak berbekas. Wisma Siliwangi di Ciumbuleuit yang sempat mereka tempati telah dihancurkan sejak 1999. Di lahan 500 meter persegi yang ditutupi pagar seng itu tak lagi ada sisa bangunan. Sedangkan rumah di Jalan Banda kini dijadikan tempat kursus bahasa Inggris.

Kisah itu makin pudar lantaran juga tak ada catatan di Kodam Siliwangi. Kepada Tempo, Mayor Paiman, Kepala Badan Pelaksana Sejarah Dinas Pembinaan Mental, mengatakan catatan yang ada hanya seputar penumpasan pemberontakan DI/TII. "Hanya ada sejarah yang umum," katanya.

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India