IA memejamkan matanya. Rautnya seperti menahan kesakitan. Gips cetakan wajah Sjahrir itu seperti sebuah kepala. Kita seperti melihat kepala Sjahrir diawetkan. Sjahrir tertidur. Ia tampak lelah sekali.
Gips wajah Sjahrir itu disimpan dalam sebuah kotak kayu tebal cokelat dengan dua gembok kecil. Kayu persegi panjang itu dibuat seperti kotak plakat yang biasa dipakai sebagai kotak hadiah yang berisi kenang-kenangan untuk tamu. Bila penutup kotak plakat dibuka, biasanya isinya adalah hiasan atau cendera mata. Tapi kotak ini bila dibuka akan muncul wajah Sjahrir dengan ekspresi seperti tengah menghadapi sakratulmaut.
Gips cetakan paras Sjahrir yang betul-betul mirip kepala manusia itu tampak berat. Warna gips itu tadinya putih, tapi kini berubah kecokelatan. Namun, lantaran perubahan warna itulah, warna kepala makin menyerupai warna kulit wajah sesungguhnya. Bila kita amati seluruh wajah itu, sama sekali tidak ada retakan, menandakan gips itu demikian kuat.
Ketika Tempo menyentuh gips itu, terasa keras seperti terbuat dari semen. Betapapun terbuat dari materi bahan yang keras, tekstur wajah Sjahrir sangat detail tercetak. Kita sampai dapat melihat adanya kerutan di sekitar pelipis Sjahrir. Gurat-gurat di sekitar alis matanya. Dan bekas-bekas kumis serta jerawat di atas mulutnya. Demikian detailnya, seolah-olah lapisan jangat masih terus tumbuh di kepala itu.
�Sudah delapan tahun kotak itu tidak saya buka,� kata Upik. Ia tak tahu apakah gips itu dicetak pas tatkala Sjahrir berpulang pada 9 April 1966 atau ketika Sjahrir masih terbaring sakit di Zurich, Swiss. Semula bahkan Upik tak tahu-menahu ada patung wajah Sjahrir yang disimpan ibunya. Saat masih kanak-kanak, Upik tak paham mengapa ibunya selalu berurai air mata setiap kali menatap sesuatu yang diambil dari lemarinya. Rahasia itu baru terbuka ketika Upik beranjak remaja.
�Saya mungkin sudah SMA,� Upik, 48 tahun, mengingat-ingat. Waktu itu dia sedang membongkar lemari ibunya, Siti Wahjunah �Poppy� Sjahrir. Upik menemukan cetakan wajah itu. �Ini apa, Ma?� Upik kecil bertanya ke ibunya. �Itu topeng Papa dari rumah sakit,� Poppy menjawab singkat. Sifat Poppy, kata Upik, memang agak tertutup.
Upik kecil pun tak bertanya lebih lanjut. Tapi dia tahu, cetakan itu kenangan terakhir dari ayahnya, Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama di negeri ini. Hingga ibunya berpulang pada 8 Maret 1999, Upik tak pernah lagi membahas soal cetakan gips tersebut. Upik juga tak pernah membicarakan soal topeng Sjahrir itu dengan kakaknya, Kriya Arsjah �Buyung� Sjahrir.
�Saya tidak tahu, siapa yang membuat dan atas permintaan siapa topeng itu dibuat,� kata Upik. Menurut dia, selain ibunya dan kakaknya, hanya Dunia Pantiadi, pengasuhnya sejak kecil, yang mengetahui kisah di balik cetakan gips itu. Tapi Bu Dun, demikian Upik dan Buyung biasa memanggil, juga sudah meninggal.
Jelas, wajah itu oleh Poppy disimpan karena ia demikian menyayangi suaminya.
0 Comments:
Posting Komentar