SEBUAH "kebetulan" mengantar Kees Snoek mendapatkan "harta karun" berupa surat-surat Sjahrir kepada Maria Duchteau -istri pertamanya yang orang Belanda. Snoek sedang menulis biografi tentang penyair Belanda Charles Edgar Du Perron. Tak dinyana, sang penyair merupakan sahabat Sjahrir dan Maria.
Sjahrir menulis di atas kertas biru tipis. Surat yang dilayangkan pada 1931-1940 itu berjumlah 287 buah dengan panjang bervariasi antara 4 dan 7 halaman. "Tulisan tangan Sjahrir kecil-kecil dan sukar dibaca," ujar Snoek. "Sepertinya dia menulis secara terburu-buru". November mendatang ia akan menerbitkan surat-surat bersejarah itu.
Berikut ini wawancara koresponden Tempo di Belanda, Asmayani Kusrini, dengan Snoek.
Anda mengetahui hubungan Sjahrir-Maria Duchteau saat melakukan riset tentang Du Perron?
Untuk menulis biografi Du Perron yang bersahabat pena dengan Sjahrir, saya menghubungi Maria Duchteau pada 1993. Saya dan Maria saling bertulis surat karena saya masih tinggal di Selandia Baru, Januari 1994, ketika kembali ke Eropa, saya bertemu dengan Maria.
Jadi sebetulnya Anda tidak tertarik dengan Sjahrir?
Bukannya tidak tertarik, tapi sejarah Indonesia bukan bidang yang saya dalami. Saya tahu bahwa Maria adalah istri Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Dari hasil ngobrol dengan Maria, saya tahu bahwa Marialah yang menyusun buku Renungan Indonesia (diterjemahkan menjadi Out of Exile), semacam diari fiktif seorang pejuang Indonesia yang sebetulnya kumpulan dan kutipan dari ratusan surat-surat Sjahrir kepada Maria. Dia menyusun buku itu tentu dengan menghilangkan kalimat-kalimat pribadi, jadi buku itu terlihat seperti murni pemikiran seorang pejuang yang sedang memikirkan ide memerdekakan bangsanya.
Surat-surat itu ditulis tangan?
Maria menunjukkan surat-surat asli yang umumnya ditulis tangan di atas kertas tipis biru yang rapuh. Dia terpikir membakar surat-surat itu sebelum meninggal, karena menurut dia surat itu cuma surat cinta biasa. Saya bilang jangan, apalagi surat itu punya nilai sejarah walaupun konteksnya surat pribadi. Meski surat cinta, di dalamnya banyak cerita tentang perkembangan negeri, sastra, budaya, dan lain-lain. Dari surat-surat itu kita bisa tahu gambaran karakter yang menulisnya. Maria setuju.
Bagaimana Anda akhirnya memperoleh surat-surat itu?
Ketika Maria meninggal, saya terus berkorespondensi dengan suami keempatnya, Mr. Stall. Dari dialah saya mendapatkan surat-surat Sjahrir tersebut. Saya kemudian membacanya dan baru menyadari betapa surat-surat itu adalah surat berharga yang akan menjadi kerugian sejarah jika tidak diapa-apakan. Dari situlah saya berniat membuat buku.
Berapa banyak surat itu?
Semua surat ditulis pada 1931-1940, berjumlah 287 surat yang ditulis di atas 952 lembar kertas. Panjang surat bervariasi antara 4 dan 7 lembar, dengan tulisan tangan yang kecil-kecil serta sukar dibaca. Terlihat sekali surat-surat itu ditulis dengan cepat dan tergesa-gesa sehingga susah dipahami. Kadang saya menemui kesulitan untuk memahami tulisan maupun bahasa Belandanya. Jadi, untuk mengerti seluruh kalimat dari sebuah kata yang tidak terbaca, saya sesuaikan dengan konteksnya. Semua surat itu lengkap, mungkin ada satu-dua yang hilang tapi yang jelas tidak ada yang dibakar.
Dari mana saja Sjahrir menulis surat itu?
Surat awal masih ditulis di Eropa, selanjutnya ditulis dari berbagai tempat di Indonesia, misalnya Semarang, Medan, Jakarta, Bandung, Solo, Ambarawa, Cipinang, lalu Boven Digul.
Kapan surat itu akan Anda terbitkan sebagai buku?
Buku itu barangkali terbit pada November. Ini akan menjadi edisi terbatas dari KITLV Press karena mahal dan khusus untuk para spesialis dan kalangan akademisi. Tapi saya kira menarik juga untuk sejarawan Indonesia karena dalam buku-buku sejarah atau biografinya tidak pernah ada yang menceritakan perkembangan batin Sjahrir dalam masa perjuangan. Pada umumnya buku sejarah menulis hal yang sudah diedit, untuk kepentingan negara, jadi semua pahlawan Indonesia ditampilkan seideal mungkin. Tapi banyak yang lupa mereka juga manusia biasa dengan banyak kelebihan dan kekurangannya.
0 Comments:
Posting Komentar