AKHIR musim panas 1929. Seorang pemuda berkulit cokelat menginjakkan kaki di Amsterdam. Baru datang dari Hindia Belanda, Sutan Sjahrir, pemuda itu, segera terpikat oleh suasana masyarakat Belanda yang begitu hidup, seakan tak pernah beristirahat. "Tak ada yang melebihi keheranan saya ketika tiba di Belanda," tulisnya dalam Renungan Indonesia. "Bulan-bulan pertama selalu terkenang."
Dia pun mereguk sepuas hati kebebasan di negeri itu. Di sana, garis pemisah antara warga negeri penjajah dan penduduk wilayah jajahannya tak terlihat sama sekali. Sjahrir tak hanya berteman dengan sesama mahasiswa asal Indonesia. Pada bulan-bulan pertama di Belanda, dia menulis surat kepada Salomon Tas, Ketua Amsterdam Sociaal Democratische Studenten Club. Perkumpulan mahasiswa sosial demokrat Amsterdam itu berafiliasi dengan Partai Sosialis Demokrat Belanda (SDAP). Sjahrir ingin mengenal perkumpulan itu lebih dalam.
"Begitu menerima surat itu saya langsung melompat ke atas sepeda, pergi mengunjungi Sjahrir," tulis Salomon Tas dalam Souvenirs of Sjahrir. Rumah Tas tak jauh dari flat keluarga Nuning Djoehana di Amsterdam Selatan-tempat Sjahrir menumpang. Kedua pemuda itu cepat bersahabat. Sjahrir bergabung dengan perkumpulan yang dipimpin pemuda keturunan Yahudi itu.
Bersama Tas, istrinya Maria Duchateau, Judith, teman Maria, dan Jos Riekerk, Sjahrir kerap berdiskusi soal politik dan mengupas pemikiran para filsuf sosialis. Dia tekun melahap tulisan Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Otto Bauer, Hendrik de Man, dan tentu saja Marx dan Engels.
Di saat lain, mereka menonton film dan teater, atau sekadar bercengkerama di bar dan kafe. Ada pula acara piknik yang disebut "Akhir Pekan Kaum Sosialis", yang diselenggarakan jurnal De Socialist. Anak muda dari berbagai ras pergi berwisata ke Amersfoort, Arnhem, Assen, atau Kijkduin di tepi laut.
Pergaulan Sjahrir pun berputar kian cepat. Tas mengaku sempat kehilangan kontak beberapa lama. Belakangan, setelah berjumpa kembali, Sjahrir bercerita kepada Tas, dalam pencarian akan perkawanan radikal, dia bergaul dengan kaum anarkis kiri. Mereka menjaga diri untuk terbebas dari sistem kapitalisme dengan menghindar dari pekerjaan yang mencari untung. "Mereka bertahan hidup dengan berbagi apa pun, termasuk alat kontrasepsi, tapi tidak termasuk sikat gigi," tulis Tas.
Namun Sjahrir tak lama bergaul dengan kelompok itu. Dia melepaskan diri tanpa kekurangan suatu apa pun. Setelah keluarga Nuning Djoehana pulang ke Indonesia, Sjahrir tinggal di rumah keluarga Tas. Kiriman uang dari ayahnya telah berhenti. Maka Sjahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transpor Internasional. Dia bisa mendapat uang saku dan bisa mengenal kehidupan kaum buruh lebih dekat.
Apa yang dilakukan Sjahrir, menurut Tas, melebihi kebanyakan mahasiswa Indonesia di Belanda. "Paling-paling mereka membaca buku tentang organisasi, tapi tak seorang pun pernah hidup di dalamnya seperti Sjahrir," ujarnya.
Kesibukan berdiskusi dan berorganisasi tak ayal membuat kuliahnya terbengkalai. Konon, karena soal itu pula, Hatta mendorongnya pulang ke Tanah Air pada 1931. "Memang ada spekulasi, selain untuk memimpin PNI Pendidikan, Hatta menyuruh Sjahrir pulang karena khawatir melihat pergaulannya yang tak teratur," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Muhammad Akbar Djoehana, akrab dipanggil Aki Djoehana, membantah spekulasi itu. Dia putra Nuning Djoehana, kini berusia 84 tahun, dan menetap di Mouvaux, Lille, Prancis. Menurut Aki, Hatta meminta Sjahrir kembali ke Tanah Air karena kuliahnya sendiri belum selesai. "Sjahrir setuju pulang untuk sementara," ujar Muhammad Akbar. "Setelah Hatta menyelesaikan studi, Sjahrir akan kembali ke Belanda untuk menyelesaikan kuliahnya," dia menambahkan.
Sejarah mencatat, Sjahrir tak pernah kembali ke Belanda. Berbagai sebab membuatnya senantiasa tertahan di Indonesia. Betapapun, tulis Tas, "Kepribadian Sjahrir telah berkembang dalam iklim Barat."
0 Comments:
Posting Komentar