Senin, 11 Agustus 2008

Wawancara Setelah Mati

Tan Malaka bak selebritas. Kisah hidupnya dicuplik untuk kisah roman, sosoknya dipalsu dan diburu.
-----------------------
NOVEMBER 1945. Tan Malaka sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Di dalam mobil yang ditumpanginya, dia membawa serta bahan buku Madilog. Belum sampai di tempat tujuan, terbetik kabar sudah ada �Tan Malaka� di Surabaya. Dia berorasi di hadapan para pejuang kemerdekaan. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal.
Begitu tiba di Surabaya, ia ditahan sejumlah aktivis, begitu juga Tan yang sudah berpidato. Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang di Surabaya, membawa keduanya ke sebuah rumah. Menurut Harry A. Poeze, pengarang buku tentang Tan Malaka, kedok Tan palsu terbongkar lantaran penjelasannya tidak masuk akal. �Gara-gara kasus itu, hampir saja bahan Madilog hilang,� kata Tan dalam pengantar bukunya tersebut.
Kisah Tan gadungan tak cuma sekali. Pada 1949, nama Tan muncul dalam sebuah wawancara di koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Yang menggelikan, pemuatannya terjadi setelah Tan meninggal. Menurut Poeze, jawaban-jawaban dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka.
Peniruan atas Ibrahim Datuk Tan Malaka menurut Poeze, didorong kepentingan pribadi, seperti keuntungan finansial dan ketenaran, serta penjajah. Pemerintah kolonial Jepang berkepentingan menciptakan duplikat Tan Malaka. �Tujuannya, memancing orang-orang radikal keluar,� kata Poeze. Siasat ini cukup berhasil. Sejumlah orang gerakan bawah tanah ditangkap dengan pancingan itu. Namun tak ada satu pun teman dekat Tan yang masuk perangkap.
Tan Malaka pun tahu bahwa dia �terkenal� pada masa itu. Ketika Tan ke Medan pada awal 1942, seorang pedagang buku loakan mengatakan kepadanya bahwa �Tan Malaka� berada di Padang dan sedang berpidato sebagai tentara Nippon berpangkat kolonel. �Saya maklum, Jepang melakukan taktik ini untuk menipu rakyat,� kata Tan dalam biografinya, Dari Penjara ke Penjara.
Pencarian terhadap dirinya dimulai saat ia aktif di partai. Pada 1921, ia memimpin Partai Komunis Indonesia, menggantikan Semaun yang pergi ke Moskow. Sejak itu, sepak terjangnya selalu diawasi penjajah Belanda. Bahkan jaringan polisi internasional pun memburunya.
Tan juga pernah �dipalsu� dalam roman-roman berbumbu cerita spionase. Hasbullah Parindurie adalah orang pertama yang menulis kisahnya. Bahan utamanya dari Tan sendiri, berupa lima surat yang dikirim ke Adinegoro, pemimpin Pewarta Deli. Awalnya, surat-surat itu ditampilkan sebagai cerita bersambung di surat kabar itu pada Juli-September 1934 dengan judul �Spionnage-dients�. Empat tahun kemudian, Hasbullah menerbitkannya menjadi buku roman berjudul Patjar Merah Indonesia dan ia memakai nama samaran Matu Mona.
Buku ini berlatar kehidupan Tan di Thailand, Singapura, Kamboja, dan Hong Kong dalam kurun 1930-1932. Selain berbicara tentang politik, ada kisah cinta Tan yang dalam cerita itu bernama Vichitra atau Patjar Merah dengan Ninon Phao, seorang putri Thailand. Menurut Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Sumatera Utara, roman semacam Patjar Merah kala itu diburu pembaca. �Itu membuatnya menjadi sosok yang dimitoskan,� kata Ichwan.
Setelah itu, masih ada beberapa roman tentang Tan Malaka. Salah satunya Tan Malaka di Kota Medan karangan Muchtar Nasution, yang bernama pena Emnast. Roman yang pertama kali diterbitkan pada 1941 itu, menurut Ichwan, juga diburu pembaca. Ini berlangsung hingga awal kemerdekaan. Dengan gaya hidup Tan yang selalu menyamar, tak mengherankan jika dia menjadi legenda, sekaligus sosok misterius pada masanya.

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India