Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenang-senang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....
Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.
Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort
(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yang dikirimkan Tan Malaka kepada Dick J.L. van Wijngaarden)
----------------------------
KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum, usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang terkenal sebagai pantai nudis�karena sering dikunjungi kelompok yang jarang berpakaian.
Ini hanya salah satu dari sekian banyak kartu pos yang dikirimkan Ibrahim Datuk Tan Malaka kepada sahabat karibnya selama di Belanda, Dick J.L. van Wijngaarden. Dia adalah teman curhat Ibrahim dalam segala hal. Mereka pernah satu kelas dan sempat tinggal di pemondokan yang sama di Bussum sampai Van Wijngaarden harus masuk militer.
Kedekatan Ipie atau Ieb�panggilan akrab Tan Malaka�dengan Dick tergambar dalam surat-menyurat yang cukup teratur dikirimkan hampir setiap bulan, sejak Tan Malaka pindah ke Bussum pada 1916 hingga 1921 ketika sudah kembali ke Tanah Air. Isi surat Tan selalu tentang apa yang dilakukannya sehari-hari. Nyaris tidak pernah menyentuh soal-soal politik. Tan juga sering mengadu soal betapa sulitnya ujian untuk mendapatkan izin mengajar sebagai guru. Sebaliknya, surat Dick van Wijngaarden kepada Tan lebih sering berisi kata-kata pemberi semangat agar mereka berdua sama-sama tak menyerah di zaman yang sulit itu.
Van Wijngaarden menyimpan dengan rapi semua surat Tan Malaka. Sayangnya, surat-surat Van Wijngaarden untuk Tan Malaka tak satu pun yang tersisa. Hingga suatu hari datanglah surat dari Harry Poeze, peneliti dari Universitas Amsterdam, yang mengabarkan soal penelitian terhadap tokoh komunis Indonesia itu.
Van Wijngaarden langsung mewariskan semua surat Tan Malaka kepada Poeze yang sudah melakukan penelitian sejak 1970-an. �Dick bilang, siapa lagi yang bisa menyimpan dan memanfaatkan surat-surat ini kalau bukan saya,� kata Poeze kepada Tempo.
Beruntung Poeze menemukan Dick yang masih hidup dan menyimpan sebagian bukti tertulis Tan Malaka. �Van Wijngaarden yang paling banyak menyimpan surat dan kartu pos dari Tan Malaka,� ujarnya.
Sahabat Tan Malaka yang lain adalah Arie de Waard, kawan sekelasnya di sekolah guru di Haarlem. Keakraban itu terjalin ketika De Waard ditugasi direktur sekolah membantu Ibrahim memahami pelajaran sekolah. �Karena saya senang padanya, saya tak keberatan. Ibrahim diperintahkan selalu memperhatikan nasihat-nasihat saya,� demikian tutur De Waard dalam suratnya kepada Poeze.
Dengan De Waard inilah Tan banyak mendiskusikan pikiran politiknya. De Waard pun menjadi paham kenapa nilai-nilai pelajaran Tan Malaka menurun. Rupanya, Tan sedang kecanduan membaca buku-buku politik. �Mulanya susah payah saya mengajaknya untuk belajar kembali... sekarang saya tahu mengapa angka-angka rapornya menurun,� tulis De Waard.
Tapi, menurut De Waard, kebiasaan Tan mengemukakan pendapatnya tentang revolusi menghasilkan nilai positif lain. �Dia telah belajar menyatakan pikirannya dengan baik sekali.�
Selama enam tahun pertama di Belanda antara 1913 dan 1919, Tan tak hanya akrab dengan Dick dan De Waard. Sepucuk surat lain untuk Poeze dari C. Wilkeshuis menegaskan hal ini. �Ia segera diterima dalam masyarakat kelas kami. Tak ada sama sekali apa yang disebut �diskriminasi bangsa�. Kami menganggapnya sebagai orang Hindia Timur yang menarik perhatian,� tulis Wilkeshuis.
Tapi tentu saja yang paling berjasa bagi kehidupan Tan Malaka adalah G.H. Horensma, warga Belanda di Bukittinggi yang mensponsori pendidikan guru Ibrahim. Berkat dialah, Ibrahim tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang diterima di sekolah guru Haarlem.
0 Comments:
Posting Komentar