DI DESA Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Jakarta, ia menyewa gubuk bambu. Pada sepetak ruang sekitar 15 meter persegi di rumah itulah, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dari pukul enam pagi hingga pukul 12 siang, berkutat merangkum gagasan dan pikirannya.
Kelak buah pikiran itu mewujud dalam sebuah buku termasyhur: Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Tan menulis Madilog sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Selama bermukim di Rawajati, ia kerap menyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen�sekarang Museum Nasional� untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Ke museum yang kini terletak di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki�kadang butuh waktu empat jam.
Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul setengah lima subuh. Tiba di museum sekitar pukul sembilan, ia biasanya tak lebih dari satu jam di perpustakaan. Setelah sebentar mempelajari keadaan di kota, �Sorenya kembali jalan kaki menuju sarang saya di Kalibata,� tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara II.
Sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, mengatakan Madilog merupakan bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya ditulis berdasarkan ingatannya. Selanjutnya, Tan menggunakan rujukan dari perpustakaan di museum yang dikunjunginya. �Tan ingin mengelakkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pikirannya sendiri,� kata Poeze.
Istilah Madilog merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, mengatakan inti Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis. �Tulisan itu merupakan karya orisinal Tan,� ujar Poeze.
Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Karena aktivitasnya inilah, Asisten Wedana Pasar Minggu pernah datang dan menggeledah gubuknya.
Karena tak menemukan sesuatu, Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Sang pejabat tak tahu Tan telah menyembunyikan kertas-kertasnya di kandang ayam.
Tan Malaka membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog juga dibawanya bertualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya.
Ia menulis, �Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya.�
0 Comments:
Posting Komentar