Pemanfaatan "Reptilian Brain" Manusia Untuk Membentuk Seseorang Menjadi Radikal Dalam Ranah Perang Asimetris
Oleh:
Ruly Rahadian
Sering muncul pertanyaan di benak kita semua. Kenapa orang-orang yang terpapar Radikalisme bisa menjadi beringas, bahkan sadis? Banyak bukti menunjukkan, bahwa kegiatan terorisme yang menyebabkan ketakutan di masyarakat, berawal dari orang-orang yang tidak berpikiran kritis, kemudian mereka dicuci otak dan menjadi orang yang sadis. Secara sikap terjadi perubahan, secara umum bisa dilihat dari rata-rata para pelaku teror itu bermata liar, gerak gerik yang gelisah dan mencurigakan, serta berbicara tidak mau kalah walau tanpa dasar logika samasekali.
Biasanya, orang-orang yang sudah terpapar Radikalisme pernah mengalami proses cuci otak, atau pembentukan Mindset, dimana pola pikirnya dibentuk oleh sebuah pola pikir yang disebut Growth Mindset atau Mindset Berkembang. terbentuknya Mindset ini dibangun dari keyakinan, bahwa nilai-nilai dasar itu bukan sesuatu yang statis tetapi bisa diubah dan dikembangkan dengan nilai-nilai baru.
Atribut Radikalisme
Sedangkan Fixed Mindset atau Mindset Tetap, yang secara keumuman atau kewajaran, terbentuk dari nilai-nilai dasar yang diyakini kebenarannya serta melandasi sikap dan perilakunya. Fixed Mindset inilah yang kemudian dihantam oleh gempuran Growth Mindset yang dilakukan secara gencar dan masif.
Pikiran sadar dan neocortex adalah tempat pengetahuan berproses. Cara menyerap informasi neocortex berbeda dengan limbic. Maka tak heran orang yang telah teradikalisasi sulit diubah dengan untaian kata-kata yang rasional. Mesti diingat, sistem limbic mendukung berbagai fungsi seperti emosi, perilaku, motivasi dan memori jangka panjang.
Proses yang bekerja di pikiran sadar disampaikan dengan kata-kata, baik tulisan maupun lisan dalam bahasa apapun. Pikiran sadar inilah yang kita gunakan dalam mengidentifikasi informasi yang masuk melalui panca indera, membandingkan sesuatu, menilai, menimbang, menganalisa dan mengambil keputusan. Pikiran sadar berhubungan dengan belahan otak sebelah kiri yang bersifat verbal, logis, dan analitis.
Pikiran bawah sadar dan limbic bersangkut paut dengan keyakinan dan iman yang tertanam dalam diri manusia. Di dalamnya berproses perasaan atau emosi seseorang. Dalam limbic, religiositas seseorang bertumbuh. Pikiran bawah sadar terhubung dengan belahan otak sebelah kanan yang bersifat non verbal, gestalt, dan intuitif.
Dalam pikiran bawah sadar inilah tersimpan segala memori, emosi, kebiasaan, keinginan, kepribadian, persepsi, citra diri, nilai, kepercayaan, dan keyakinan kita. Pikiran bawah sadar sangat jujur, polos, tidak ragu, tidak membantah, tidak mempertanyakan dan langsung bisa menerima dan mempercayai apapun yang diberikan kepadanya baik secara sadar maupun tidak.
Proses radikalisasi terjadi pada otak limbic, bahkan menyelusup hingga reptilian brain. Otak limbic tempat emosi berada. Kebencian, kemarahan, ketakutan, dan kepuasan terletak di limbic. Reptilian brain bertanggung jawab atas hal-hal dasar yang mencakup rasa lapar, kontrol suhu, respon atas rasa takut, mempertahankan wilayah, dan menjaga keamanan.
Bila mengena sampai limbic, orang menjadi mudah ditakut-takuti, diiming-imingi sehingga menjadi kehilangan akal sehat dalam pengambilan keputusan, dan dipenuhi rasa kebencian. Saat mengenai reptilian brain maka orang akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan wilayah keyakinannya dan melawan serta menyerang apapun yang dianggap sebagai ancaman. Itulah yang dilakukan oleh satwa yang tergolong Reptilia.
Banyak kaum radikal menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan ini dalam merekrut pengikutnya, karena cara ini dirasa cukup efektif dan efisien, serta dilakukan dalam waktu pencapaian yang relatif cepat. Aspek emosi merekalah yang dibangun, untuk membentuk ambisi dalam mempertahankan kebenaran versi mereka, dan berani bersikap apapun juga demi hal tersebut.
Ketika emosi dan ambisi tidak stabil kemudian menjadi tidak terkendali, Reptilian Brain pada otak yang telah mendominasi cara berpikir, bertindak dan berperilaku, dapat mengahasilkan keluaran berupa tindakan Jahat, sadis, buas, kejam, begal, kanibal, sangar, menakutkan, rakus, dan masih banyak lagi karakter negatif yang dimiliki oleh binatang dari kelompok reptil (buaya, ular, komodo, biawak, dll).
Struktur Pola PIkir Manusia di dalam Otak
Selain itu, mereka yang sudah terpapar Radikalisme itu juga tidak memiliki rasa malu layaknya sifat hewan pada umumnya, yang tidak memiliki akal. Kita bisa melihat sikap para pembuat dan pelaku teror yang tertangkap. Sebagian besar mereka tidak malu atau menutupi wajahnya dari sorotan kamera televisi maupun jilatan lampu kilat kamera foto. Bahkan ada kecenderungan menantang.
Jika kita perhatikan, secara umum para pelaku teror masuk ke dalam kategori usia mulai dari 17-24 tahun. Mereka ini menjadi sasaran utama kelompok teroris dalam menyebarkan paham tersebut. Sarana yang paling banyak digunakan sebagai penghantaranya adalah media sosial. Hal ini disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme, khususnya bagi generasi muda. Dan berdasarkan survei BNPT, ternyata ada sekitar 80 persen generasi muda rentan terpapar radikalisme, karena cenderung tidak berpikir kritis.
Hal Ini harus menjadi fokus perhatian, bahwa secara umum, generasi milenial lebih cenderung menelan mentah, serta tidak melakukan cek-ricek untuk setiap infomasi yang diterimanya. Kita tidak bisa menyalahkan dulu mereka, karena mereka lahir di era instan. Berbagai pengetahuan bisa mereka serap dengan cepat dalam waktu singkat melalui internet, tanpa bekal literasi yang optimal.
Sikap intoleran inipun biasanya muncul kepada generasi yang tidak kritis di dalam berpikir, sehingga cepat sekali menerima informasi yang masih mentah tanpa diolah menjadi suatu kebenaran, yang kemudian meningkat menjadi suatu keyakinan.
Setelah meyakini sesuatu pemahaman melalui aspek emosional, kebiasaan, keinginan, kepribadian, persepsi, citra diri, nilai, kepercayaan, dan keyakinan, maka hal yang menjadi keumuman atau kewajaran yang berlaku di masyarakat baik secara moral kemanusiaan maupun agama dengan mudahnya dilibas oleh virus Minset Growth yang sudah menjalar ke otak masyarakat yang telah menganggap kebenaran yang telah diyakininya.
Akibatnya, begitu datang orang-orang yang menyelusupkan ajaran atau keyakinan lain pada limbic, bahkan reptilian brain kedalam kondisi orang-orang sedang menghadapi persoalan pribadi, misalnya broken home, sakit berat, atau ditinggalkan oleh orang yang dikasihi, maka keyakinan dan kepercayaannya yang berbentuk Fixed Mindset itu akan segera berubah secara total melalui serangan Growth Mindset.
Seluruh informasi dan pengetahuan yang didapatkan melalui otak neocortex menjadi pudar dan tergantikan dengan kepercayaan dan keyakinan yang baru berupa Growth Mindset dari limbic dan reptilian brain. Maka tidak heran jika terjadi pada orang yang berpindah agama, banyak yang menjadi lebih fanatik, dan tak sedikit dari mereka yang justru malah berbalik dan menyerang atau menjelek-jelekkan agama yang dianut sebelumnya.
Biasanya, materi yang dibangun untuk merusak Fixed Mindset ini menggunakan konsep propaganda yang umumnya menggunakan sejumlah yang menggunakan narasi ketidakadilan. Dalam kasus ekstremisme bermotif jihad, biasanya itu dibawa dalam narasi kezaliman, pemerintah thoghut dan lain-lain. Thogut yang mempunyai berhala, digiring menjadi istilah yang biasa digunakan gerakan ekstrem bermotif jihad untuk menyebut pemerintah yang jahat. Pemerintahan Thogut.
Persepsi dan pola pikir adalah yang menyentuh emosi dan mengaktifkan rasa terancam serta terzalimi. Hal inilah yang dapat mengaktifkan otak reptil (reptilian brain), dan menghentikan cara berpikir logis (neoncortex) yang biasa dilakukan oleh orang berpikiran sehat, normal dan waras.
Kemudian konsep narasi ini diperkuat oleh pola yang kedua yakni Narasi Teologis dan Narasi Historis. Dalam narasi teologis, gerakan ekstrem bermotif jihad biasanya menggunakan potongan ayat-ayat dalam Quran dan Hadist tanpa dibahas secara menyeluruh. Penggalan-penggalan inilah yang dibuat menjadi sebuah pemahaman yang sifatnya mutlak dan menjadi sebuah prinsip kaku dalam menjalankan kehidupannya. Begitu juga dengan Narasi Historis yang kerap mencomot episode-episode sejarah Kerasulan yang menjustifikasi kekerasan. Sangat berbahaya.
Langkah berikutnya yang juga merupakan finalisasi strategi aktornya adalah ajakan aksi, berupa qital atau perang jihad, dan lain-lain. Tanpa critical thinking atau pemikiran kritis yang kuat, sehingga semua propaganda itu terlihat sebagai suatu kebenaran dan meyakinkan.
Upaya untuk mengembalikan orang yang telah terpengaruh limbic dan reptilian brain-nya dengan memberi penjelasan rasional akan menjadi upaya sia-sia karena pola pikir mereka sudah tidak nyambung. Bahasa limbic dan reptilian brain bukanlah bersifat verbal, logis, dan analitis. Limbic dan reptilian brain berhubungan dengan emosi dan menyerap serta percaya apapun informasi yang diterima.
Di satu sisi masih ada Pikiran supra sadar yaitu tempat” Bersemi Cahaya Kebajikan Tuhan”. Supra Sadar inilah yang menghubungkan kesadaran seseorang yang langsung kepada Tuhan. Dalam pikiran supra sadar inilah nilai-nilai spiritualitas seseorang bertumbuh, mampu menjadi landasan pembangunan karakter dalam dirinya. Hal ini sangat logis, karena untuk menjadi manusia yang ideal, harus mengenal sifat-sifat KeTuhanan yang tentunya tidak hanya dijadikan referensi, melainkan menjadi refleksi dalam diri agar mampu mencegah hal-hal yang buruk dan destruktif, dan tentunya akan menjadikan manusia kontraproduktif di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mengantisipasi itu semua, kita wajib membangun benteng keimanan yang kokoh dan Ilmu Pengetahuan yang memadai, untuk menjadi landasan yang penting dalam kematangan berpikir seseorang yang mampu mengendalikan dirinya. Matang secara emosional, dan bijak dalam berpikir, sehingga menghasilkan manusia Indonesia yang santun, beradab, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan memiliki sikap yang toleran dan tenggang rasa yang tinggi.
•Penulis adalah pemerhati Perang Asimetris
Source : https://sigranews.com/?p=3344
https://youtu.be/v4SGiBr03as