Pancasila Bukan Sekadar Omongan di Hari Libur
Prof. Franz Magnis Suseno
Mengapa Pancasila Semakin Perlu Dibuat Nyata? *)
Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang saya hormati. Diminta menyumbang pikiran pada sarasehan peringatan Kelahiran Pancasila ke-77 merupakan suatu kehormatan dan sekaligus tanggungjawab.
Ibu-ibu dan Bapak-bapak, Pancasila sekarang terancam dari tiga sudut. Yang pertama: Ada penganut ideologi-ideologi eksklusif sempit yang mau menggantikan Pancasila dengan ideologi mereka, sering suatu ideologi agamis. Yang kedua: Pancasila jangan sampai dibajak oleh elit politik untuk melindungi privilese-privilese mereka. Dan yang ketiga: Pancasila dianggap omongan orang-orang di atas saja, tanpa relevansi pada kesejahteraan dan keselamatan orang kecil. Kalau Pancasila mau diselamatkan, tiga ancaman ini harus ditanggapi. Saya mulai dengan yang terakhir.
Pancasila: Dasar Persatuan Bangsa Indonesia
Pancasila bukan sekadar omong pada hari libur. Dengan Pancasila bangsa Indonesia mencapai sesuatu yang bagi banyak bangsa di dunia sampai hari ini mengelak. Indonesia adalah bangsa paling majemuk di dunia. Indonesia terdiri atas ratusan komunitas etnik, budaya dan agama. Bahwa ratusan komunitas itu merasa sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia, adalah buah perjuangan bersama melawan penghisapan, penghinaan, dan ketidakadilan penjajahan. Di Batavia, pada tanggal 28 Oktober 1928, ratusan pemuda dari seluruh Nusantara bersumpah akan bersatu dalam memperjuangkan satu bangsa, satu tanah dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tetapi persatuan kemajemukan Indonesia ini hanya dapat mantap apabila didasarkan pada keyakinan-keyakinan dan cita-cita yang dimiliki bersama. Adalah jasa historis luar biasa Sukarno bahwa ia mengangkat cita-cita yang dimiliki seluruh bangsa dalam lima sila Pancasila, serta bukti visi jernih PPKI yang menempatkan Pancasila dalam bentuk akhir dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.
Dengan Pancasila Indonesia berhasil mencapai sesuatu yang menjadi dasar kemantapan kebangsaannya: Bahwa orang Indonesia dapat bangga bahwa ia orang Indonesia, tanpa merasa terancam dalam identitas etnik, budaya dan religiusnya. Banyak negara, misalnya di Myanmar, gagal dalam mewujudkan identitas nasional. Lalu identitas suku atau agama mayoritas dijadikan identitas bangsa, dan suku-suku dan umat beragama lain merasa tertindas. Tetapi di Indonesia orang Bugis tidak perlu menyingkirkan ke-Bugisannya, orang Minang tetap boleh bangga bahwa ia orang Minang, dan orang Manggarai tetap membawa identitasnya sebagai orang Manggarai – sebagai orang Indonesia. Begitu pula, mengutip alm. Mgr. Albertus Soegijapranata, orang Katolik dapat seratus persen Katolik dan seratus persen Indonesia, dan orang Islam, dengan menjadi orang Indonesia seratus persen, tidak perlu memotong sedikit pun dari identitas Islaminya.
Satu catatan yang bagi saya, lagi lagi, membuktikan jenialitas Bung Karno. Pancasila adalah nilai-nilai dan cita-cita dalam kehidupan bersama masyarakat di Nusantara sejak ratusan tahun. Pancasila bukan filsafat impor, melainkan berakar dalam khazanah etis dan budaya Nusantara. Akan tetapi, dan itu begitu luar biasa. Pancasila sekaligus mengungkapkan dan menjamin empat keyakinan etis paling dasar yang sekarang diakui resmi oleh umat manusia. Sila pertama Pancasila jelas memuat hak asasi paling dasar, yaitu kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sila kedua mengungkapkan harkat kemanusiaan universal yang terungkap dalam jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan dalam penolakan prinsipiil terhadap penyelesaikan suatu konflik dengan cara kekerasan. Sila keempat mengungkapkan keyakinan bahwa segenap kepemimpinan harus dilegitimasi secara demokratis. Sila kelima secara eksplisit mengungkapkan keyakinan bahwa kehidupan bersama harus berdasarkan keadilan sosial. Sedangkan dalam sila ketiga bangsa Indonesia menyatakan bahwa Republik donesia tidak berdasarkan kesukuan, tradisi feodal atau agama, melainkan merupakan suatu nation-state dalam solidaritas kebangsaan.
Pancasila harus menjadi nyata
Ancaman kedua terhadap Pancasila terwujud apabila Pancasila dianggap sekedar kepentingan elit. Omongan itu amat berbahaya dan tidak dapat dilawan dengan omong saja. Rakyat Indonesia harus merasakan bahwa dalam Pancasila “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” merasa “dilindungi” dan maju dalam “kesejahteraan”.
Barangkali yang paling perlu harus dapat dirasakan adalah pewujudan keadilan sosial. Perpecahan bangsa yang paling berbahaya adalah perpecahan vertikal. Kalau 50 persen bangsa yang belum betul-betul sejahtera, dan kita harus ingat, 10 persen bangsa masih hidup dalam kemiskinan absolut, kalau mereka mendapat kesan bahwa Keindonesiaan, pembangunan, kemajuan hanyalah demi kepentingan “mereka yang di atas”, Indonesia berada in deep troubles. Sebaliknya, kalau orang kecil, ya 50 persen bangsa dengan pendapatan paling bawah, mendapat harapan bahwa dalam Indonesia ber-Pancasila ber-demokrasi-pasca-Reformasi anak-anak mereka mempunyai harapan akan masa depan lebih baik, kita tidak perlu khawatir bahwa mereka akan tergoda oleh suatu ideologi anti-Pancasila.
Jadi, Ibu-ibu dan Bapak-bapak, adalah amat penting bahwa penghapusan kemiskinan dan jaminan kesejahtaraan orang kecil menjadi prioritas segala pembangunan. Apakah itu petani kecil, orang yang bekerja di hutan, para nelayan, orang yang jauh dari Jakarta dan dari pulau Jawa: Keterjaminan, keselamatan, kesejahteraan, kemantapan kehidupan, termasuk pendidikan dan kesehatan, harus, saya ulangi harus, menjadi prioritas perpolitikan kita, perpolitikan Anda. Kalau mereka sampai merasa bahwa Indonesia itu milik orang-orang di atas, kita jangan heran apabila mereka membuka diri terhadap ideologi-ideologi yang sangat berbeda dari Pancasila. Maka kalau Pancasila mau kita selamatkan, orang kecil harus dapat merasakan bahwa dalam negara ber-Pancasila mereka dapat hidup secara terhormat, sejahtera dan adil.
Zero Tolerance terhadap
Intolerance
Ancaman paling serius terhadap Pancasila adalah ancaman pertama: Ancaman dari ideologi-ideologi eksklusif agamis yang mau menggantikan Pancasila. Ibu-ibu dan Bapak-bapak, menggantikan Pancasila dengan ideologi-ideologi baik agamis maupun bukan agamis, sama dengan menghancurkan kebangsaan Indonesia. Bangsa Indonesia merasa kokoh bersatu sebagai bangsa karena semua bersedia saling menghormati dalam perbedaan. Itulah inti Pancasila. Segenap keagamaan yang benar mengakui bahwa seluruh alam raya oleh Tuhan: Manusia sebagai laki-laki dan perempuan, sebagai makhluk berkeluarga, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk berbangsa dan bernegara. Karena itu keagamaan yang benar secara hakiki bersifat moderat. Artinya, agama tidak mau menyingkirkan nilai-nilai budaya dan kebangsaan, melainkansebal;iknya melindungi dan mendukungnya. Karena keagamaan yang sejati sadar bahwa manusia dengan segala dimensi kehidupannya diciptakan oleh Tuhan.
Sebaliknya, para ideolog agamis-ekstremis tidak menjunjung tinggi keagamaan, melainkan membajak agama. Yang mendorong mereka bukan hormat terhadap Tuhan yang menciptak nmanusia dalam kemajemukannya, napsu hati mereka yang penuh kebencian, iri hati, bahkan napsu membunuh. Tanda bahwa agama telah dibajak adalah bahwa para pembajak itu membawa diri secara biadab.
Karena itu begitu penting Indonesia sebagai negara ber-Pancasila menjunjung tinggi toleransi beragama. Kita jangan memberi ruang pada intoleransi. Zero Tolerance terhadap Intolerance! Intoleransi adalah suatu kelemahan manusia. Perlu Indonesia mewujudkan toleransi secara tegas dan konsisten. Sisa-sisa struktur intoleransi jangan kita biarkan. Setiap kemenangan intoleransi adalah suatu kekalahan bagi Indonesia karena merupakan pelecehan terhadap Pancasila. Siapa pun yang bersedia mendasarkan diri pada Pancasila harus dapat merasa aman di antara kita.
Ibu-ibu dan Bapak-bapak. Perkenankan saya suatu kata terakhir. Di hari-hari terakhir kita membaca tentang rob di pantai Utara Jawa, bahwa India mengalami suhu sampai 50 derajat. Sudah amat mendesak kita mengambil tindakan-tindakan keras untuk mencegah malapetaka kehancuran alam kita. Kemanusiaan yang beradab menuntut agar kita juga bersikap beradab terhadap alam. Kalau kita lalai terus, kita segera akan merasakan akibat-akibatnya.
Terimakasih.
*Makalah disampaikan dalam Sarasehan Pancasila bertajuk “Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara dan Relevansinya dalam Kehidupan Bersama” di Gedung Nusantara IV, Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6/2022).
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT
Prof. Franz Magnis Suseno
Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
0 Comments:
Posting Komentar