Selasa, 09 November 2010

Mitos Amerika di Kaki Lawu

 DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini.

Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.

Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948.

Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika.

Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir.

Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI.

Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins.

Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan Peristiwa Madiun.

Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya.

***


Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi.

Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta," kata Soemarsono.

Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada," katanya.

Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos," ujar Rushdy.

Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus 1948," tulis Swift.

Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda.

Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata.

Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.

Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan, saat berbicara dengan Cochran?setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta.

Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis".

Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno.

Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive Proposal.

Laga Pengalih Sebelum Madiun

BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo. Malam itu, 2 Juli 1948, komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas pulang begitu menerima kabar ibunya sakit keras.

Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang membawanya dari markas, bekas Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut tembakan dari kegelapan. Dor... dor.... Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.

Insiden itu memicu beragam kecurigaan. Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya adalah panglima sebuah kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah Surakarta.

Belakangan muncullah desas-desus. Di lingkungan prajurit Senopati beredar kabar, Sutarto ditembak anggota pasukan Siliwangi, anak buah Letnan Kolonel Sadikin. "Karenanya, anggota pasukan Senopati diperintah mencari tahu," kata Mayor Slamet Rijadi dalam buku biografinya, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS.

Muncul spekulasi baru. Sutarto sengaja ditembak karena dianggap melawan Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara yang digulirkan kabinet Hatta. Sutarto menganggap program ini tak transparan dan mengancam posisi pasukannya.

Front Demokrasi Rakyat/PKI yakin pembunuhan Sutarto adalah teror politik gaya Hatta. "Ini rasionalisasi dalam bentuk lain. Kami yakin Hatta sendiri yang langsung turun tangan karena dia Menteri Pertahanan saat itu," kata Soemarsono, mantan Gubernur Militer Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun.

Spekulasi ini menguat karena insiden penembakan Sutarto terjadi selang 40 hari setelah ia memimpin parade pasukan di Solo, 20 Mei 1948. Di depan Presiden Sukarno dan Panglima Besar Sudirman, Sutarto menggelar lima resimen tempurnya, termasuk enam resimen laskar rakyat, seperti pasukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Tentara Laut Republik Indonesia, yang dikenal kiri.

Belakangan, Divisi IV Panembahan Senopati batal dilikuidasi. Menanggapi aksi penolakan itu, Panglima Sudirman menjadikan pasukan Sutarto sebagai pasukan komando khusus.

Program kabinet Hatta so-al Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara yang ditentang Sutarto menyorongkan konsep penataan postur angkatan perang yang lebih ramping dan efisien. Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah Indonesia yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti dikutip dalam otobiografinya, merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu anggota laskar yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.

Perampingan itu dimulai dengan penataan struktur garis dan wilayah komando. Besaran divisi dan kesatuan komando teritori juga diciutkan. Jawa, misalnya, dari tujuh divisi menjadi empat divisi. "Semuanya disesuaikan dengan fungsi pertahanan menghadapi agresi Belanda," kata Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia.

Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, Program Re-Ra justru bermasalah saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit personel sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks Peta dan eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL naik pangkat dua tingkat.

Menurut Soemarsono, sejatinya FDR/PKI adalah kelompok yang paling dirugikan dengan Re-Ra. Barisan laskar yang dibangun FDR, seperti Pesindo, biro perjuangan, perwira politik, dan TNI Masyarakat, akan dilikuidasi karena dianggap bukan TNI. "Sebenarnya kamilah sasaran tembak utama kabinet Hatta," kata Soemarsono dalam bukunya, Revolusi Agustus.

Soemarsono sendiri dipecat dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Pangkat terakhirnya mayor jenderal. Pada bulan yang sama, dipecat pula Wikana, eks Gubernur Militer Surakarta. Wikana adalah tokoh FDR dan Pesindo. Menyusul kemudian pembubaran TNI Masyarakat yang dirintis Joko Suyono dan Sakirman.

***

Menurut Himawan, FDR berang karena penataan sistem komando TNI bisa menghancurkan upaya FDR membangun kekuatan sejak 1945. Setidaknya 35 persen dari TNI pada masa itu sudah dipengaruhi "kelompok kiri". Beberapa di antaranya bahkan panglima kesatuan tempur. "Wajar kalau penolakan para perwira terhadap Re-Ra kemudian dimanfaatkan tokoh-tokoh kiri," kata Himawan.


Himawan merujuk sikap keras Divisi VI Narotama, Jawa Timur, dan Divisi IV Panembahan Senopati. Sutarto sendiri dicap "kiri " karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Front Demokrasi Rakyat/PKI.

Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong penolakan perwira daerah terhadap Re-Ra, yakni sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta, pasca-Renville, dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Sudirman. Sosok Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawa Sudirman sebagai panutan mereka.

Sebagai kota terbesar kedua di Republik setelah Yogyakarta, Solo pada 1948 sudah padat dengan aneka pendatang dan pengungsi, antara lain Brigade II Siliwangi pimpinan Sadikin. Buat pasukan setempat, kehadiran Siliwangi dianggap sebagai "intruders" atau orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga mereka.

Kontak senjata terbuka antara KPPS dan Siliwangi bisa dicegah berkat langkah bijak Komandan Komando Militer Kota Solo Mayor Achmadi. Belakangan terbukti Sutarto dibunuh Pirono atas suruhan tokoh PKI, Alimin.

Ketegangan makin memuncak ketika perwira ALRI-Gajah Mada yang juga tokoh FDR, Mayor Esmara Sugeng, dan enam perwira KPPS lainnya "dibawa" ke Siliwangi. Para perwira itu dikabarkan ditawan di asrama kompi Siliwangi yang dipimpin Kapten Oking di Srambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan.

Puncaknya pada 13 September 1948. Markas Siliwangi diserbu pasukan Senopati. Pertempuran berlangsung sengit dan jatuh korban. Letkol Soedi, Panglima KPPS, melaporkan insiden penculikan para perwiranya ke Panglima Sudirman. Ia juga mengultimatum agar perwira yang diculik dibebaskan sebelum pukul 12.00 WIB.

Ketegangan itu membuat Sudirman turun tangan. Namun sejumlah perundingan yang digelar tak banyak menyelesaikan masalah. Letnan Kolonel Sadikin tetap emoh melepas para perwira KPPS dengan alasan tidak tahu ada penculikan-meski belakangan akhirnya enam perwira itu diketahui ditahan di penjara Wirogunan, Yogya.

Gencatan senjata yang digariskan Sudirman dalam perundingan di Balai Kota Solo toh tak ditaati. Esok harinya, 16 September, giliran Markas Pesindo di Jalan Singosaren diserbu. Selain pasukan Siliwangi, ikut juga Barisan Banteng dan GRR. Ketegangan menjalar ke seluruh penjuru Solo.

Sudirman akhirnya mengeluarkan keputusan harian yang intinya peristiwa di Surakarta menyinggung kedaulatan Angkatan Perang. Karena itu, komandan kesatuan diminta bertanggung jawab. Sudirman juga menyampaikan, pucuk pimpinan negara telah sepakat akan melakukan tindakan tegas di daerah mana pun yang terancam bahaya.

Presiden Sukarno menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer. Keputusan itu, menurut Nasution, diambil bersama Sudirman. Mereka bertiga akhirnya bertemu dengan Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta sekitar pukul 23.00 WIB.

Di Solo, 18 September 1948, Gubernur Militer Solo Gatot Subroto meminta aksi tembak dihentikan. Gatot juga menyatakan batalion Ahmad Jadau, Soejoto, dan Dahlan dinyatakan liar.

Clash antarkesatuan di Solo ternyata dipantau penuh oleh Belanda. Pusat Dinas Intelijen Militer Belanda, Centrale Militaire Inlichtingen Dienst, pada 23 September 1948, seperti dikutip Himawan, menyebut Solo memang akan dijadikan "Wild West" oleh kelompok Musso sebagai pengalih perhatian dari gerakan yang terjadi di Madiun.

Disebutkan pula, sesungguhnya pertikaian bersenjata itu adalah antara dua pasukan yang sama-sama berhaluan komunis, yaitu Divisi IV Panembahan Senopati-di bawah pengaruh Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin-dan Satuan Divisi Siliwangi di bawah pengaruh pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Dr Muwardi.

Infiltrasi ke Siliwangi, kata dokumen itu, dilakukan sejak 1947 oleh satuan eks Brigade Tjitarum, pasukan Tan Malaka. "Mereka sama-sama mau merebut kekuasaan komunis, tapi beda kiblat," kata sejarawan Rushdy Hussein.

Karena itu, menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, pertempuran ala "koboi" di Solo seperti lingkaran. "Hanya berputar-putar antara Musso dan Tan Malaka. Dua-duanya siap meledak."

Suatu Malam di Proklamasi 56

LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan.

"Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy," katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu.

Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah.

Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia).

Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada 11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk Masyumi.

Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu.

Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta.

Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu.

Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh. "Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang," katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu.

Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. "Kabinet Amir Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville," demikian kata salah satu dari mereka. Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, "Amir pengkhianat."

Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno.

Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta.

Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini," katanya mengutip keluhan Amir.

Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu saja," katanya.

Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan negara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah," katanya.

Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati."

Sebulan Bersama Oude Heer

RAPAT Politbiro Partai Komunis Indonesia, Agustus 1948, adalah panggung pertama bagi Musso setelah 21 tahun menghilang dari Republik. Pada 1927 ia kabur ke Moskow akibat terlibat pemberontakan PKI 1926 yang dapat dipadamkan Belanda. Pada 1935 ia pernah menyusup ke Surabaya untuk menghidupkan kembali PKI. Tapi ia tak berhasil.


Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak menggalang massa buruh dan tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain. Musso menilai cara itu tak efektif.

Dalam gagasan barunya, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia", Musso menganggap PKI tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat disusupkan ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek karena tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI ketika itu lebih banyak berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Didirikan di Solo pada 26 Februari 1948 sebagai akibat jatuhnya kabinet Amir Sjarifoeddin, FDR menampung partai dan ormas sayap kiri. Selain PKI ilegal, anggota front itu adalah Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia. Amir sendiri didapuk menjadi Ketua Front.

Menurut sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, FDR dibentuk setelah Amir dan Sutan Sjahrir pecah kongsi dalam Partai Sosialis. Amir menghendaki partai memihak Soviet dan menentang kapitalisme pimpinan Amerika Serikat. Sjahrir berpendirian partai harus menempuh politik luar negeri bebas aktif.

Jatuhnya kabinet Amir memperparah perseteruan itu. Sjahrir akhirnya keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia. Adapun Partai Sosialis Amir melebur ke FDR.

Dalam dokumen FDR, "Menginjak Tingkatan Perjuangan Militer Baru", disebutkan bahwa aliansi itu dibentuk untuk menggulingkan kabinet Hatta yang tengah berkuasa. Penggulingan itu akan dilakukan melalui parlemen, bahkan jika perlu membentuk pemerintahan baru melalui pemberontakan.

Amir menyambut gagasan Musso. Dalam rapat Majelis Lengkap FDR, Agustus 1948, ia berujar, "Kedatangan Oude Heer (Pak Tua) Musso bisa mempercepat proses yang selama ini kita jalankan." Dalam bukunya, Madiun dalam Republik ke Republik (2006), mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Himawan Soetanto menyatakan kembalinya Musso membawa haluan baru yang menekankan perlawanan terhadap fasisme secara radikal.

Musso tidak mau menyia-nyiakan waktu. Di panggung rapat Politbiro PKI, ia meminta partai itu bersalin rupa. Menurut mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat DI Yogyakarta Hersri Setiawan, di mata Musso PKI ilegal melakukan beberapa kesalahan, di antaranya partai tidak berani melakukan perjuangan bersenjata dan lebih memilih politik kompromi. Partai juga dianggap tidak mengedepankan ideologi komunis. "Musso menuntut gerakan PKI direvisi," kata Hersri.

Rapat itu akhirnya memutuskan hanya perlu satu partai kiri yang legal untuk menyatukan gerakan buruh dan kaum miskin. Pada rapat FDR, 21 Agustus 1948, Politbiro PKI mengusulkan agar ketiga partai di FDR melebur menjadi satu dan menyandang nama Partai Komunis Indonesia.

Dalam korespondensinya dengan ahli politik Ben Anderson, mantan Ketua Bidang Pertahanan Pesindo Soerjono menyatakan usulan itu ditolak pemimpin Partai Buruh, seperti Asrarudin dan S.K. Trimurti. Mereka meminta Front menggelar kongres sebelum melebur menjadi PKI.

Sejumlah kader partai di FDR memang meragukan kemampuan Musso, tokoh lama yang tiba-tiba ingin mengambil alih kepemimpinan partai kiri. Sejumlah kader Pesindo dan Barisan Tani Indonesia yang semula pro-Sjahrir memilih hengkang. "Kerikil ini menyebabkan PKI baru tidak solid," kata sejarawan Rushdy Hussein.

Namun upaya penyatuan itu tak terhindarkan. Umumnya pemimpin partai kiri mempercayai Musso. Pada Kongres PKI, 27 Agustus 1948, penyatuan itu disahkan. Awal September dibentuklah kepengurusan PKI legal dengan Musso sebagai pemimpin. Kepengurusan itu menandai masuknya PKI ke kancah politik terbuka. Belum genap sebulan muncul ke permukaan, meletuslah pemberontakan Madiun yang dilakukan organ PKI pimpinan Musso. Setelah peristiwa itu, PKI kembali remuk redam.

Proklamasi Dini di Madiun

"Madiun sudah bangkit 
Revolusi sudah dikobarkan 
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik 
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk"

MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.

Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun. "Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak," katanya dalam perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.

Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, "Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu."

Menjelang siang, Madiun bergerak pulih. Seluruh kota telah berada dalam penguasaan pemuda PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. "Semua saling lempar," kata Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di Madiun, sedang ke luar kota dan wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.

Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel Sumantri juga menolak. Dia malah meminta Soemarsono yang mengirimkan laporan ke Yogyakarta. "Saya bukan orang pemerintah," Soemarsono menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo, mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo juga sedang terbaring sakit.

Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup mengirimkan laporan itu. "Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial," katanya, seperti diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telah menyatakan mendukung PKI.

Hari itu juga Supardi mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan Madiun aman terkendali. "Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut." Demikian laporan Supardi, yang menyebut dirinya wakil Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.

Hingga menjelang petang, tak ada balasan dari Yogya. Esoknya, menjelang malam, "jawaban" itu akhirnya datang juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno menyampaikan pidato menanggapi peristiwa di Madiun.

Sukarno mengatakan telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. "Negara kita mau dihancurkan. Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu," Sukarno berseru.

Hanya berselang tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Sukarno. Musso menyatakan Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. "Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu," katanya.

Musso bersama petinggi Front Demokrasi Rakyat mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah Madiun. Para pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang propemerintah, digantikan kader PKI. Musso kemudian melantik Soemarsono sebagai gubernur militer dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan pasukan PKI. Alasannya, pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan kekuatan militer. Adapun Supardi, karena dinilai berani melapor ke pemerintah pusat, diangkat menjadi residen.

FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo, Ngawi, dan Pacitan. Hari itu bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas dengan bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.

Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. "Kemudian mendirikan pemerintahan Soviet," katanya. Sejarawan Harry A. Poeze memberikan penilaian yang sama. "Itu upaya mereka menjadikan Musso sebagai presiden," katanya.

Bertahun-tahun kemudian, para tokoh PKI berkukuh menolak dituding melakukan pemberontakan di Madiun. "Alangkah mencari-carinya orang yang menuduh PKI merobohkan Republik Indonesia," kata D.N. Aidit dalam pembelaannya berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, yang dibacakan di Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 11 Februari 1957. Bantahan serupa datang dari Soemarsono. Menurut dia, kalau memberontak, PKI pasti sudah melakukan penyerangan. "Ini tidak," katanya.

SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas. Pada akhir September 1948, lewat Radio Gelora Pemuda, PKI membantah tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya perdamaian dengan pemerintah Sukarno-Hatta. "Karena pemerintahan lokal di Madiun merupakan bagian dari Republik Indonesia," kata Supardi, seperti dikutip dalam buku Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.

Abdoel Moetholib, yang belakangan menggantikan Supardi, melakukan langkah yang sama. Dia mengumumkan daerah-daerah yang sebelumnya diduduki PKI telah kembali dilepaskan. Agar lebih meyakinkan, Moetholib melakukan penggantian bupati di Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.

Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk mengambil langkah tegas guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara pemerintah menyerbu Madiun. Kota yang dikelilingi pegunungan itu dikepung dari berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28 September, Musso, Amir Sjarifoeddin, dan Soemarsono hengkang meninggalkan Madiun. "Kami terjepit," kata Soemarsono.

Sapu Bersih Pasca-Madiun


KABAR itu tiba di Yogyakarta menjelang petang pada 18 September 1948. Isinya gawat: Partai Komunis Indonesia, dipimpin Musso, melancarkan aksi pemberontakan di Madiun, Jawa Timur. Menjelang magrib, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ali Sastroamidjojo dan Residen Surakarta Sudiro menemui Kepala Staf Operatif Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution di rumahnya. "Presiden memanggil saya," kata Nasution, seperti dalam bukunya Memenuhi Panggilan Tugas.

Nasution kemudian menemui Presiden Sukarno di Gedung Agung-sebutan Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang terletak di pusat kota. Presiden didampingi Menteri Koordinator Keamanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika itu Panglima Besar Jenderal Sudirman masih berada di Magelang. Menurut Nasution, Presiden memintanya membuat konsep tindakan yang akan diberlakukan sebagai keputusan presiden.

Kolonel Nasution kemudian menyodorkan rencana aksi militer kepada Sukarno. "Nasution menyatakan Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan dan harus dilawan," kata Harry A. Poeze, sejarawan asal Belanda, Rabu dua pekan lalu. Nasution sendiri dalam bukunya menyatakan, "Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI."

Isi rancangan keputusan presiden itu adalah perintah kepada Angkatan Perang Republik Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya atau simpatisannya. Nasution cemas, Front Demokrasi Rakyat, sayap oposisi kelompok kiri yang dipimpin Amir Sjarifoeddin dan Musso, melancarkan aksi serupa di Yogyakarta. Apalagi, satu hari sebelumnya, terjadi kontak senjata antara batalion Siliwangi dan pasukan Front Demokrasi di Solo.

Sukarno menyetujui rencana aksi Nasution. Presiden kemudian memerintahkan Jaksa Agung Tirtawinata memperbaiki kalimat dari segi hukum. Tapi Nasution mesti menunggu persetujuan sidang kabinet, yang baru digelar menjelang tengah malam. Sebelum sidang dimulai, Panglima Besar Jenderal Sudirman datang. Nasution menceritakan dalam bukunya, Sekretaris Negara Pringgodigdo membacakan konsep keputusan presiden tersebut. Hanya Menteri Luar Negeri H Agus Salim yang berbicara. "Kalau sudah begini, tentulah jadi tugas tentara," tulis Nasution, mengutip Agus Salim.

Menurut Poeze, semua yang hadir di sidang kabinet sepakat menyimpulkan Peristiwa Madiun sebagai pemberontakan. Tragedi Madiun tercuplik dalam buku Poeze berjudul Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949. Dalam bab De PKI in actie, opstand of affaire?, Poeze melukiskan, sidang kabinet cuma butuh beberapa menit buat merestui rencana Nasution. Sudirman mendapat wewenang melaksanakan keputusan tadi.

Atas dukungan itu, Nasution melaporkan persiapan operasi kepada Sudirman. Panglima Besar menyetujuinya. Ia meminta Nasution dan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade X, melaporkan perkembangan keesokan paginya. Lewat tengah malam, Nasution bergerak. Kekuatan bersenjata Front Demokrasi Rakyat di Yogyakarta dilucuti. Tokoh yang menghadiri konferensi Serikat Buruh Kereta Api ditahan. Hampir 200 simpatisan serta tokoh PKI ditangkap. Di antaranya Alimin, Djoko Sudjono, Abdoelmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.

Semua pers yang berafiliasi ke Front Demokrasi Rakyat, seperti Buruh, Revolusioner, Suara Ibu Kota, Patriot, dan Bintang Merah, dilarang terbit. Percetakannya disegel. Wartawannya ditangkap. Poster dan spanduk Front Demokrasi dibersihkan. Sebagai gantinya, ditempel plakat yang berbunyi: "Kita hanya mengakui pemerintah Sukarno-Hatta." Menjelang fajar, operasi itu kelar.

Nasution melaporkan hasilnya kepada Sudirman. Keesokan harinya digelar sidang Dewan Siasat Militer. Panglima Besar Sudirman lalu mengambil keputusan. Dia mengangkat Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II Siliwangi, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun. Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus. Malam harinya, keputusan itu disiarkan Sudirman lewat Radio Republik Indonesia di Yogyakarta.

Di mata Poeze, penangkapan itu bukti bahwa gerakan di Madiun tidak dipersiapkan dengan matang. "Tidak ada petunjuk agar tokoh PKI di Yogyakarta pergi meninggalkan kota itu," katanya. Para tokoh yang ditangkap itu juga mengaku tidak tahu-menahu ihwal aksi di Madiun. "Saya tidak tahu apa yang dituduhkan kepada kami," kata Gondopratomo, sekretaris pertama Serikat Buruh Kereta Api, seperti dikutip dalam makalahnya berjudul "Kejadian-kejadian Penting Menjelang Peristiwa Madiun dan Jatuhnya Republik Indonesia ke Dalam Jebakan Neokolim".

Makalah tadi disampaikan Gondo dalam sarasehan Peristiwa Madiun 1948 di Amsterdam, Belanda, delapan tahun lalu. Gondo mengaku ditangkap pada 18 September pagi, sebelum sidang kabinet digelar. "Pukul dua pagi kami ditangkap, lalu dibawa ke Benteng Vredenburg," katanya. Paginya, ia dibawa ke gedung Normaal School. Dua hari kemudian, ia baru tahu bahwa ia dikenai tuduhan hendak mendirikan Negara Soviet di Madiun.

Tuduhan itu dinilai Gondo tidak masuk akal. "Kalau akan diadakan pemberontakan, kenapa pengurus Serikat Buruh Kereta Api Madiun datang ke Yogyakarta?" katanya. Di kota itu, Serikat Buruh Kereta Api tengah menyelenggarakan konferensi membahas "Jalan Baru untuk Republik Indonesia". Delegasi Serikat Buruh dari berbagai daerah datang ke sana.

Menurut Gondo, penangkapan itu cuma akal-akalan pemerintahan Hatta, yang ketika itu menempati posisi wakil presiden, perdana menteri, sekaligus menteri pertahanan. "Mereka sudah lama mempersiapkan penangkapan," katanya. Kelompok kiri menuduh penangkapan dilakukan buat merebut simpati Amerika Serikat, agar negara itu menekan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Meniti Jalan Radikal

DISKUSI tiga tokoh komunis itu berlangsung alot. Hari itu, pada suatu siang Maret 1948, Paul de Groot, Musso, dan Soeripno bertemu di Praha, Cekoslovakia. De Groot merupakan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda. Adapun dua nama terakhir tokoh komunis Indonesia.


Pertemuan itu dilakukan untuk merumuskan strategi baru gerakan komunis Indonesia. De Groot, dalam pertemuan itu, menghendaki Indonesia tetap menganut garis front rakyat yang lebih kooperatif. Adapun lawan diskusinya tak sependapat. Musso ingin komunis Indonesia memakai garis perjuangan radikal. Ia menolak gagasan rekannya dari Belanda itu, yang dinilai terlalu "lembek".

Diskusi juga melebar ke soal status hubungan Indonesia-Belanda. De Groot ingin hubungan dua negeri ini dalam kerangka persemakmuran, sedangkan Musso menginginkan kemerdekaan sepenuhnya. Jalan tengah akhirnya dicapai. Disepakati Belanda akan diberi keleluasaan di bidang ekonomi dan kebudayaan.

Pertemuan ini akhirnya merumuskan garis besar arah pergerakan kaum komunis Indonesia. Ditandatangani wakil Indonesia, Belanda, dan Cekoslovakia, dokumen itu lantas dikirim ke Moskow untuk mendapat persetujuan. Haluan baru inilah yang kemudian dibawa Musso dan Soeripno, yang saat itu menjabat Duta Besar RI di Cekoslovakia, ke Tanah Air pada Agustus 1948. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata RI, dalam bukunya Rebut Kembali Madiun, haluan ini dipengaruhi "garis Zhdanov".

Musso menyempurnakan rumusan ini dalam perjalanan dari Praha ke Indonesia, yang memakan waktu seminggu. Rumusan itu ia sebut "Jalan Baru untuk Republik Indonesia". Jalan Baru inilah yang kelak mengubah politik komunis di Indonesia. "Saya harap kawan-kawan di Indonesia akan mengerti dan bersedia mengikuti," demikian tulis Musso seperti dikutip sejarawan Belanda, Harry Poeze, dari tulisan Soeripno.

Musso menyebut "Jalan Baru" karena gagasannya itu berbeda dengan haluan komunis sebelumnya. Sejak 1935, komunis Indonesia, kata Himawan, menganut garis Dimitrov. Georgi Dimitrov adalah Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dimitrov menganjurkan komunis bekerja sama dengan kaum liberal kapitalis demi menghadang ancaman fasisme dan Naziisme. Garis Dimitrov bersifat lunak dan kooperatif.

Komunis Indonesia pun kemudian menempuh garis lunak: berunding dan berkompromi dengan Belanda, yang pemerintahannya dikuasai partai kiri. Demikian pula saat menghadapi penjajahan Jepang yang fasis. Meski bergerak di bawah tanah, kaum komunis masih bekerja sama dengan Belanda.

Namun, setelah Amerika mulai membendung laju komunis Eropa lewat Marshall Plan, Uni Soviet mengubah kebijakannya: bergeser ke garis keras. Garis ini mengadopsi pemikiran Andrei Alexandrovich Zhdanov, petinggi Partai Komunis Soviet yang dekat dengan Joseph Stalin. Perubahan haluan ini dideklarasikan oleh Communist Information Bureau (Cominform) pada September 1947, dan tahun berikutnya disampaikan dalam Konferensi Pemuda se-Asia Tenggara di Calcutta, India.

Haluan ini menegaskan, dunia telah terbelah dalam dua blok: kapitalis imperialis yang dimotori Amerika Serikat dan blok anti-imperialisme yang dimotori Uni Soviet. Inti doktrin Zhdanov, menurut Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, kerja sama dengan kaum imperialis tidak perlu dilanjutkan dan partai-partai komunis harus mengambil garis keras. Musso dalam rumusan "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" menyatakan, "Karena perjuangan Indonesia anti-imperialis, Indonesia satu garis dengan Rusia."

***

Pulang ke Indonesia, Musso, yang saat itu memakai nama samaran Soeparto untuk mengelabui Belanda, menghubungi dua koleganya, Maroeto Daroesman dan Setiadjid, untuk bertukar pikiran. Saat itu dua tokoh komunis ini juga baru kembali dari Belanda bersama rombongan Menteri Kehakiman Mr Soewandi, yang baru berunding dengan Belanda.

Musso pertama kali menjabarkan gagasan Jalan Barunya pada pertemuan Politbiro, 13-14 Agustus 1948, di Yogyakarta. Dalam pertemuan itu, Musso mengkritik sejumlah kelemahan dan kesalahan perjalanan organisasi komunis di Indonesia setelah kepergiannya ke Moskow. "Menurut Musso, revolusi di Indonesia bukan revolusi proletariat, melainkan revolusi borjuis, sehingga harus ada front yang dipimpin orang-orang proletariat," ujar Hersri Setiawan, penulis Negara Madiun: Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan.

Melalui surat kabar, Musso juga mengkritik keras kesalahan-kesalahan mendasar revolusi nasional yang digelorakan Sukarno. Ia mempersoalkan antara lain tidak adanya wakil kelas buruh dalam pemerintah, sehingga pemerintah tidak bisa menjalankan politik revolusioner. Demikian juga kekuatan bersenjata. Menurut dia, angkatan bersenjata seharusnya adalah tentara rakyat yang benar-benar dibangun dari dan untuk rakyat.

Menakhodai strategi Jalan Baru, langkah pertama yang dilakukan Musso adalah mengambil alih pimpinan Front Demokrasi Rakyat dan melebur Partai Komunis, Partai Buruh, dan Partai Sosialis serta Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi partai tunggal, Partai Komunis Indonesia. Semua pemimpin organisasi tersebut oleh Musso diminta bersumpah menentang politik pemerintah.

Sesuai dengan doktrin organisasi, Musso meminta para pemimpin organisasi melakukan otokritik. Salah satu buah otokritik itu, belakangan, adalah terungkapnya pengakuan Amir Sjarifoeddin yang menerima 25 ribu gulden dari Van der Plas, petinggi Belanda yang juga Gubernur Jawa Timur di era Republik Indonesia Serikat. Musso juga mengkritik tindakan Amir yang membubarkan kabinetnya. Menurut Musso, melepaskan sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar.

Kebijakan komunis yang juga dipersalahkan Musso adalah perkembangan partai komunis ilegal yang dibentuknya pada 1935 untuk melawan fasisme Jepang. Setelah Proklamasi, di mata Musso, partai ini tidak segera mengubah diri mengikuti perkembangan politik yang terjadi.

Menurut Musso, adanya tiga partai yang sama-sama berorientasi pada buruh, yakni "PKI legal", Partai Buruh Indonesia (PBI), serta Partai Sosialis yang dikendalikan oleh PKI ilegal, dan sama-sama berdasarkan Leninisme dan Marxisme, telah membuat keruwetan organisasi. Ini justru menghalangi perkembangan organisasi kelas buruh. Lantaran banyak kelemahan itulah Politbiro memutuskan melakukan perubahan radikal. Tujuannya: mengembalikan secepatnya PKI sebagai pelopor kelas buruh.

Seakan untuk memamerkan pengaruhnya, pada 22 Agustus 1948 di Yogyakarta, Musso menggelar rapat raksasa. Dalam rapat yang dihadiri sekitar 50 ribu orang itu, dia meneriakkan pentingnya mengganti kabinet presidensial menjadi kabinet front nasional. Musso juga menyerukan perlunya menggalang kerja sama internasional untuk meratifikasi hubungan diplomatik secepat mungkin, terutama dengan Uni Soviet. Hubungan dengan negara itu, menurut dia, bisa mematahkan blokade Belanda.

Untuk menyebarkan gagasan revolusi Jalan Barunya, bersama pimpinan PKI, pada September 1948, Musso melakukan safari ke sejumlah daerah, antara lain Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.

Di tengah safarinya itulah, pada 18 September, meletus peristiwa Madiun yang kemudian dikenal sebagai Madiun Affair. Dipimpin Soemarsono, pasukan Brigade 29, yang didominasi Pesindo, melakukan aksi sepihak. Mereka melucuti pasukan Brimob dan menyerang pasukan Divisi Siliwangi. Setelah menguasai Madiun, mereka mendeklarasikan pemerintahan Front Nasional sesuai dengan anjuran "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" Musso.


Kembalinya Sang Komunis Tua

PESAWAT amfibi Catalina itu mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, pada 10 Agustus 1948. Pada masa itu, rawa-rawa luas di dekat bendungan Niyama itu memang sering menjadi titik pendaratan pesawat yang membawa tamu-tamu rahasia untuk Republik.


Dua pria beriringan keluar dari pesawat. Seorang pria belia berperawakan tinggi ramping ditemani seorang pria setengah baya bertubuh gempal dengan wajah keras. Yang lebih muda bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Adapun pria di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris pribadi Soeripno.

Di tepi rawa-rawa, sebuah mobil menanti. Menurut sejarawan Belanda, Harry Poeze, mobil penjemput hari itu adalah milik pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo. Seperti dikutip dari buku Poeze, Verguisd en Vergeten, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949, mobil itu dipilih karena kondisi keempat bannya yang masih baik.

Tak lama berbasa-basi, rombongan segera melaju pergi. Mereka mengarah ke Solo, Jawa Tengah. Di sana, Gubernur Militer Wikana-seorang tokoh Partai Komunis Indonesia terpandang-sudah bersiap menyambut dua tamu dari jauh itu.

Tak banyak yang sadar bahwa kedatangan dua orang dari Praha ini akan membawa konsekuensi politik yang amat besar untuk perjalanan sejarah Republik Indonesia muda, beberapa pekan berikutnya.

Pria setengah baya yang mengaku sebagai "sekretaris" itu sebenarnya adalah Musso, 50 tahun, tokoh legendaris PKI yang ikut mencetuskan pemberontakan para buruh pada 1926. Setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia, pada medio 1948 itu dia memutuskan sudah saatnya kembali ke Indonesia.

***

MOSKOW, Januari 1948, delapan bulan sebelum kepulangan Musso. Perjanjian Renville baru saja ditandatangani di Indonesia. Pemimpin Partai Komunis Uni Soviet bergegas meminta sebuah laporan dibuat mengenai kondisi terakhir gerakan komunis di Nusantara.

Analisis itu dinilai penting karena, setahun sebelumnya, Moskow baru merilis garis perjuangan baru yang lazim dikenal sebagai doktrin Andrei Zhdanov. Berdasarkan teori ini, kaum komunis dianjurkan "mulai mengambil jarak dari kubu imperialis yang dimotori Amerika Serikat". Tindakan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin-pemimpin koalisi sayap kiri di kabinet Indonesia, yang menandatangani pakta Renville di atas kapal Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok-menimbulkan tanda tanya di Moskow.

Musso segera menyusun laporan. Namun minimnya informasi tangan pertama membuat analisisnya tidak akurat. Kepada pemimpin Partai Komunis Uni Soviet, Musso membela tindakan Amir dan kameradnya di Indonesia. Dia menyebutnya sebagai "taktik saja, untuk tidak menarik perhatian kaum antikomunis". Musso bahkan menjamin posisi kelompok kiri dalam militer Indonesia masih cukup kuat.

Dalam hitungan hari, analisis Musso terbantah habis. Pada 23 Januari 1948, sepekan setelah Renville ditandatangani, Amir Sjarifoeddin dipaksa mundur dari kursi perdana menteri. Posisi politik dua rival blok kiri, Masyumi dan Partai Nasional Indonesia, juga menguat.

Kesalahan laporan Musso segera dikritik hebat. Sejarawan Rusia, Larissa Efimova, mengutip laporan dua analis Rusia, Kogan dan Luhlov, menuding Musso "berkhayal" dan "membenarkan sebuah strategi yang membawa malapetaka".

***

Kepala Divisi Asia Tenggara di Departemen Kebijakan Luar Negeri Komisi Sentral Partai Komunis di Uni Soviet, Plishevsky, mengirim surat ke Politbiro dan menegaskan bahwa "taktik keliru PKI telah menyebabkan berpindahnya kekuasaan di Indonesia kepada partai-partai kanan".


Meski tak pernah ada dokumen yang menegaskan adanya tugas resmi dari Moskow kepada Musso, dalam bukunya, Dari Moskow ke Madiun?, Larissa menyebut Musso "merenungkan cukup lama kritik Partai Komunis Uni Soviet atas taktik lama PKI" sebelum akhirnya menetapkan diri untuk mengambil peran sentral meluruskan garis perjuangan partainya.

Pada April 1948, Musso meninggalkan Moskow, menuju Praha, Cekoslovakia. Di sana, dia mengaku bernama Musin Makar Ivanovich, dan menyamar menjadi sekretaris pribadi Soeripno, pejabat Indonesia setingkat duta besar yang ditempatkan Menteri Luar Negeri Agus Salim di sana sejak medio 1947.

Pada pekan ketiga Mei 1948, Soeripno berhasil membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet. Keberhasilan Soeripno ini disambut pro-kontra-sebagian menilai hubungan diplomatik resmi dengan Soviet bisa mendorong Republik jauh ke kiri. Tak sampai sepekan kemudian, sebuah kawat resmi dikirim ke Praha: Soeripno dipanggil pulang ke Yogyakarta. Sekretaris pribadinya, Musin Ivanovich alias Musso, ikut pulang ke Indonesia.

Selama enam minggu di perjalanan-dari Praha, lewat Kairo, New Delhi, berhenti sebentar di Bangkok lalu Bukittinggi-Musso terus merahasiakan identitasnya. Menurut catatan Harry Poeze, dia bahkan berkeras tidak mau difoto. "Setiap kali ada kamera mengarah kepadanya, Musso selalu memalingkan muka, atau menyembunyikan wajah di balik koran atau buku."

Namun di Solo, kedatangan tokoh sekaliber Musso tak bisa lagi disembunyikan. Sambutan Wikana yang demikian hangat kepada "Soeparto" membangkitkan kecurigaan.

Pada 12 Agustus, dua hari setelah kedatangannya, berita pertama soal kepulangan Musso muncul di harian Merdeka, Solo. Pada berita berjudul "Soeparto al Musso" dijelaskan bahwa "ada kemungkinan, tokoh kawakan Musso yang sangat terkenal itu telah kembali".

Berita kecil itu segera disusul kabar-kabar selanjutnya di media lain. Dua media prokomunis, Suara Ibukota dan majalah Revolusioner-keduanya terbit di Yogyakarta-bahkan mempublikasikan wawancara panjang dengan Musso, selama tiga hari berturut-turut. Salah satu redaktur koran Suara Ibukota adalah Wikana.

Dalam artikel itu, Musso dengan panjang-lebar menjelaskan pentingnya pembentukan sebuah pemerintahan front nasional. "Tujuan tunggal dari mobilisasi seluruh potensi kekuatan kita dalam sebuah front nasional adalah memerangi pemerintah kolonial Belanda," kata Musso, seperti dikutip jurnalis harian Rakjat, Soerjono, dalam catatannya untuk sejarawan Amerika, Ben Anderson.

Sehari kemudian, Musso menemui Presiden Sukarno di gedung Agung, Yogyakarta. Mereka berpelukan lama. "Lho, kok masih awet muda?" tanya Bung Karno sambil tersenyum lebar. Musso menjawab tangkas, "Oh ya, ini semangat Moskow. Semangat Moskow selamanya muda."

Setelah bercakap-cakap panjang, di akhir pertemuan, Sukarno mengajak Musso membantu meredakan pertikaian antarkelompok dalam tubuh Republik. Seperti dicatat wartawan Revolusioner, Soepeno, Presiden berujar takzim, "Saya harap Pak Musso, setelah kembali ke Tanah Air, bisa membantu menciptakan rust en orde." Musso menjawab dalam bahasa Belanda, "Ik kom hier om orde te scheppen (Saya memang datang ke sini untuk menciptakan ketertiban)."

Selasa, 17 Agustus 2010

Kartosoewirjo

Oleh: Bahtiar Effendy 

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo adalah tokoh menarik. Dari segi nama, penilaian subyektif saya mengatakan figur ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Demikian pula jika dilihat dari sisi penampilan. Potret dirinya, seperti tampak dalam buku Cornelis van Dijk yang berjudul Darul Islam, tidak mengesankan sebagai santri dalam perspektif Clifford Geertz. Foto itu bahkan lebih tampak berkarakter abangan.

Kesan �nonsantri� ini diperkuat dengan asal-usul sosialnya yang berspektrum priayi-abangan. Ayahnya adalah, menurut Van Dijk, �mantri penjual candu, seorang perantara dalam jaringan distribusi candu siap pakai yang dikontrol dan diusahakan pemerintah�. Dan sekolahnya pun sekuler: Inlandsche School der Tweede Klasse, HIS, ELS, dan kemudian NIAS-sekolah dokter Jawa.

Menariknya, warna nonsantri itu tidak muncul dalam pembicaraan mengenai Kartosoewirjo. Sebaliknya, figur ini justru dikenal sebagai bagian penting dari pergerakan Islam, khususnya dalam kaitannya dengan gagasan dan eksperimen negara Islam.

Di Indonesia, wacana dan karya kesarjanaan tentang negara Islam sering dikaitkan dengan aspirasi ideologis dan politis �golongan agama�-yang kemudian bermetamorfosis menjadi partai Islam. Ini karena mereka, sebagaimana tecermin dalam perdebatan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (1945) dan Sidang Konstituante (1956-1957), ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Meski demikian, Kartosoewirjolah yang berasal-usul sosial nonsantri itu, yang menyatakan sikap politiknya secara lebih tegas: memaklumkan berdirinya Negara Islam Indonesia melalui gerakan Darul Islam. Sementara golongan agama atau partai Islam �hanya� berani mengusulkan Islam sebagai dasar negara, Kartosoewirjo tanpa ragu memilih mendeklarasikan negara Islam.

Terlepas dari soal nama, penampilan, dan asal-usul keluarga yang �bukan santri�, kehidupan Kartosoewirjo tidak kosong dari warna Islam. Setidaknya dia pernah dekat dengan H.O.S. Tjokroaminoto-bapak penggerak nasionalisme Indonesia melalui Sarekat Islam. Berbeda dengan Soekarno atau Semaoen-Darsono yang juga menjadikan Tjokroaminoto sebagai mentor, Kartosoewirjo bahkan pernah bergabung dengan PSII dan Masyumi. Dia juga melatih pemuda-pemuda dalam lembaga Suffah yang dibangunnya.

Atas dasar itu dapatlah dikatakan bahwa Islamic credential yang disandang Kartosoewirjo lebih bersifat institusional daripada substansial. Kartosoewirjo barangkali memang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam sedalam Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, atau Isa Anshari. Lagi-lagi menurut Van Dijk, substansi Islam diperolehnya secara otodidak melalui buku-buku berbahasa Belanda, yang dia dapatkan dari kiai-kiai Malangbong, seperti Yusuf Tauziri dan Ardiwisastra-mertuanya.

Barangkali sadar akan hal ini, yaitu keterbatasan mengenai keluasan dan kedalaman Islam, Kartosoewirjo tidak bersedia membuang waktu untuk menggali dasar-dasar teologi tentang perlunya negara Islam. Dan memang, Negara Islam Indonesia yang dia proklamasikan pada 7 Agustus 1949 lebih merupakan reaksi politis daripada agama atas situasi yang berkembang waktu itu.

Deliar Noer, misalnya, percaya bahwa gerakan Darul Islam muncul karena Kartosoewirjo-yang ketika itu �memimpin sebagian kekuatan bersenjata umat di daerah Jawa Barat�-tidak setuju dengan Persetujuan Renville. Inti persetujuan itu adalah ditariknya kekuatan bersenjata Indonesia, termasuk Hizbullah dan Sabilillah, dari daerah yang dianggap dikuasai Belanda.

Tapi sebenarnya, di luar Persetujuan Renville, ada faktor lain yang menyebabkan kelahiran Negara Islam Indonesia, seperti berdirinya Negara Pasundan ciptaan Belanda pada Maret 1948 dan-ini barangkali yang paling menentukan-jatuhnya pemerintahan RI di Yogyakarta pada Desember 1948 karena aksi polisional Belanda.

Dalam konteks seperti itu, kental warna kebencian terhadap kolonialisme Belanda dalam kaitannya dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Bahwa kemudian Kartosoewirjo memberi makna jihad dalam reaksinya terhadap perkembangan keadaan, hal itu merupakan sesuatu yang lumrah.

Gagasan mengenai jihad memberikan dimensi lain, nilai tambah, dalam perang melawan Belanda-walaupun harus pula disadari, dalam tradisi masyarakat agraris yang masih sangat tradisional, belum tentu pemahaman tentang jihad memiliki kedalaman makna teologis. Bisa saja jihad dimengerti dalam konteks mesianistik-menghadirkan juru selamat yang diridhoi Tuhan. Bukankah, sekali lagi menurut Van Dijk, Kartosoewirjo juga dilukiskan sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan mistik, lengkap dengan keris dan pedangnya-Ki Dongkol dan Ki Rompang?

Tentu, kualitas yang dimiliki Kartosoewirjo tidak unik, tidak hanya ada pada dirinya sendiri. Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang, pejuang negara Islam tidak selalu berasal dari kalangan muslim yang-dalam kerangka antropologis masyarakat Indonesia-disebut santri. Di belahan dunia lain, pejuang negara Islam itu ada yang berasal-usul seperti Kartosoewirjo, setidaknya jebolan perguruan tinggi sekuler, bukan madrasah.

Ini artinya, seperti tampak dalam sejarah pergerakan Darul Islam di Indonesia, gagasan mengenai negara Islam tidak mesti muncul karena kesadaran keagamaan. Ide itu bisa juga lahir sebagai respons atas perkembangan keadaan.

Bahtiar Effendy Dekan Fakultas Imu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta

Relevansi Darul Islam untuk Masa Kini

Oleh: Sidney Jones

BANYAK yang bisa kita pelajari dari sejarah Darul Islam yang ada relevansinya untuk Indonesia sekarang ini -dan bukan saja tentang bagaimana suatu gerakan radikal bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan melahirkan suatu generasi baru. Ada pelajaran juga tentang akibat buruk saat ketidakpuasan di daerah diabaikan oleh pusat; bahayanya memanfaatkan kelompok Islam garis keras untuk kepentingan politik; bagaimana pentingnya ikatan lintas generasi sehingga masa depan anak-anak anggota kelompok ekstrem harus diperhatikan; dan bagaimana harapan untuk daulah islamiyah tetap hidup.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Daud Beureueh di Aceh menjadi pahlawan untuk daerah mereka masing-masing. Setiap tokoh memimpin suatu pemberontakan melawan Republik atas nama DI, setiap orang membayar mahal atas perannya masing-masing, dan setiap orang menjadi sumber ilham untuk gerakan baru-pengaruh ketiganya masih terasa sampai hari ini:

Kartosoewirjo, yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949, ditangkap pada 1962 dan kemudian dieksekusi oleh regu tembak; banyak di antara ajudannya yang top diberi amnesti dan dana untuk kembali hidup seperti warga biasa dalam semacam program �deradikalisasi� zaman dulu. Sampai hari ini, dia menjadi inspirasi untuk semua kelompok, baik yang memilih jalan kekerasan maupun tidak, yang ingin mendirikan negara Islam, termasuk Jamaah Islamiyah (JI), Ring Banten, dan banyak kelompok sempalan lain.

Kahar Muzakkar tewas tertembak oleh tentara pada 1965; beberapa pengikutnya lari ke Sabah, sebagian lainnya lari ke Maluku. Kekacauan dan pengungsian yang terjadi sebagai dampak pemberontakannya ada bekasnya di Sulawesi sampai sekarang. Warisan yang tidak langsung termasuk jaringan Pesantren Hidayatullah, yang didirikan oleh salah satu pengagum Kahar, dan Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam di Makassar, yang ingin melanjutkan perjuangan dia melalui upaya advokasi.

Pemberontakan Daud Beureueh di Aceh berakhir pada 1962. Setelah kesepakatan perdamaian ditandatangani dengan pemerintah pada 1963, Beureueh ditarik kembali sebagai imam gerakan Darul Islam untuk seluruh Indonesia pada 1973. Tapi, empat tahun kemudian, dia ditangkap lagi dan menjadi tahanan rumah sampai wafatnya pada 1987. Gerakan Aceh Merdeka mewarisi nasionalisme Aceh dari DI Aceh, dan banyak pejuang pertama Gerakan Aceh Merdeka adalah anak para pejuang gerakan Daud Beureueh.Setiap versi DI dimulai sebagai balasan terhadap keluhan-keluhan setempat-misalnya kegagalan Jakarta memenuhi janji kepada Aceh tentang status istimewa. Pemunculan mereka menggarisbawahi bahwa salah satu pelajaran kunci untuk Negara Indonesia, yang masih relevan dengan kondisi Papua hari ini, adalah ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap keresahan di daerah yang bisa menjadi motor radikalisasi.

Kartosoewirjo secara khusus mengembangkan semacam ideologi dan justifikasi untuk jihad terhadap negara kafir (awalnya Belanda, kemudian Republik Indonesia), yang banyak aspeknya mirip dengan yang disebut salafi-jihadisme. Sebuah buku yang ditulis Solahudin, wartawan Aliansi Jurnalis Independen, yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, menunjukkan salah satu alasan kenapa ideologi yang dikaitkan dengan Al-Qaidah menemukan tanah yang begitu subur di Indonesia, yakni sudah ada landasan yang ditanam oleh pendiri DI.

Pada akhir 1950-an, tiga pemimpin DI itu sudah saling menghubungi dan bersepakat memperjuangkan suatu federasi Islam, meski konsep tersebut tidak pernah berhasil-antara lain karena tujuan setempat jauh lebih penting untuk rekrutmen dan mobilisasi daripada tujuan bersama. Empat puluh tahun kemudian, dalam konteks politik yang jauh berbeda, mujahidin Indonesia mendapat pelajaran yang mirip: entah betapa kuatnya kemarahan rakyat Indonesia terhadap kebijakan Amerika di Timur Tengah, tetap lebih gampang merekrut orang lewat diskusi soal Ambon dan Poso daripada tentang Palestina dan Irak.

Tidak lama setelah tentara Indonesia mengalahkan pemberontakan DI di Jawa Barat, pada 1965 terjadi peristiwa Gestapu. Prioritas utama dari tentara dan Jenderal Soeharto, yang pada 1966 mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, adalah membasmi Partai Komunis Indonesia. Dengan tujuan ini, prinsip �musuh dari musuh adalah teman� berlaku. Beberapa mantan pemimpin DI, yang melihat komunisme sebagai ancaman terhadap Islam, diangkat sebagai mitra TNI dalam operasi melawan PKI, sampai disebarkan senjata.

Pada 1971, ketika Soeharto sedang merencanakan pemilu pertama Orde Baru, anggota DI dilihat sebagai alat rahasia untuk memenangkan Golkar di Jawa Barat dan daerah lain. Mereka dikasih uang oleh Badan Koordinasi Intelijen Negara untuk menyelenggarakan �reuni� selama tiga hari, yang katanya dihadiri oleh lebih dari 3.000 orang eks anggota DI.

Dus, dana dan fasilitas pemerintahlah yang memungkinkan gerakan setengah mati ini hidup kembali-yang dengan cepat menggigit tangan yang memberinya makan. Dengan diradikalisasi, baik oleh kebijakan Soeharto yang dilihat anti-Islam, seperti asas tunggal, maupun oleh tulisan cendekiawan militan dari Timur Tengah yang diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia, anggota DI dengan cepat memulai kegiatan klandestin untuk melawan negara.

Sebagai satu-satunya kelompok di Indonesia dengan sejarah berperang untuk negara Islam, makin banyak pemuda dan mahasiswa yang bisa direkrut-apalagi setelah represi Orde Baru meningkat. Di antara mereka ada Abdullah Sungkar, pendiri JI, dan sesama ustad dan temannya, Abu Bakar Ba�asyir. Salah satu pelajaran yang seharusnya diangkat, tapi ternyata tidak, adalah kooptasi atau kerja sama dengan Islam garis keras untuk tujuan politik lain tidak akan berhasil, dan mudaratnya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Pukulan keras terhadap DI/NII dilaksanakan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pada akhir 1970-an dan 1980-an, dengan akibat bahwa hampir semua tokoh penting dalam DI ditangkap. Salah satu aspek dari penangkapan ini menonjol: banyak narapidana dan tahanan politik ini punya anak laki-laki yang 20 tahun kemudian muncul sebagai pemimpin JI dan/atau pelaku terorisme.

Sebut saja empat pemimpin DI yang ditangkap pada waktu itu: Haji Faleh dan Achmad Hussein dari Kudus; Muhammad Zainuri dari Madiun; dan Bukhori dari Magetan. Anak Haji Faleh, Thoriquddin alias Abu Rusdan, menjadi amir sementara JI setelah Abu Bakar Ba�asyir ditangkap. Salah satu putra Achmad Hussein, Taufik Ahmad alias Abu Arina, menjadi tokoh JI Jawa Tengah. Anak Zainuri, Fathurrahman al-Ghozi, tewas tertembak di Mindanao pada 2003; dia terlibat dalam pengeboman di Jakarta dan Manila. Adik Al-Ghozi, Ahmad Rofiq Ridho alias Ali Zein, ditangkap karena menolong Noor Din M. Top, dan sekarang bebas. Anak Bukhori, Lutfi Haedaroh alias Ubeid, baru ditangkap untuk kedua kalinya karena ikut kamp militer di Aceh. Ubeid dan Umar Burhanuddin bekerja sama dengan Noor Din sebelum pengeboman Kedutaan Australia pada 2004. Putri-putri tahanan DI juga muncul sebagai istri orang JI pada 1990-an.

Kalau Indonesia bisa belajar dari masa lalu, seharusnya program kontra-radikalisasi ditargetkan kepada adik dan anak para tahanan radikal dan kepada sekolah yang mereka ikuti. Kartosoewirjo, lebih dari Daud Beureueh atau Kahar Muzakkar, mengerti bahwa indoktrinasi dan regenerasi harus dilaksanakan bersama. Lembaga Suffah yang dia dirikan di Jawa Barat, yang menggabungkan kajian agama dan politik dengan latihan militer, mungkin merupakan sumber teladan dan inspirasi bagi sekolah JI yang terkenal, seperti Al-Mukmin di Ngruki atau Lukmanul Hakiem di Johor, Malaysia.

Walaupun JI untuk sementara rupanya tidak tertarik melakukan amaliyat (operasi pengeboman dan lain-lain), pesantren-pesantren dalam jaringannya di Jawa, Lampung, Lombok, dan daerah lain adalah kunci kelangsungan hidup, karena di situlah anak-anak pemimpin JI dididik. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme seharusnya memprioritaskan program pengawasan secara ketat terhadap sekolah-sekolah ini-sekarang lebih dari 50-dan menarik anak-anak di dalamnya ikut dalam kegiatan di luar, supaya jaringan sosial mereka bisa diperluas.

Sejarah Darul Islam memberikan pelajaran lain yang seharusnya dipetik oleh Indonesia: pada saat para pemimpin gerakan radikal mulai dilihat terlalu pasif oleh pengikutnya, sayap lebih militan sering muncul, dengan semangat perjuangan lebih tinggi. Perpecahan ini tidak selalu menjadi indikasi bahwa organisasi mau mati. Setelah DI dihidupkan kembali pada 1970-an sampai sekarang, perpecahan ideologi serta kebijakan dan pribadi baru sering muncul. Yang paling terkenal adalah perpecahan JI dari DI pada 1992/1993, tapi ada faksi lain yang keluar karena tidak puas dengan keterlambatan DI merespons setelah konflik Ambon meledak pada 1999. Noor Din M. Top melepaskan diri dari JI pada 2003/2004 dengan membawa pengikutnya ke arah lebih militan. Baru-baru ini, aliansi lintas tanzim yang mendirikan kamp latihan di Aceh terdiri atas unsur-unsur sakit hati atau kurang puas dari sekitar sembilan kelompok berbeda-dan semuanya sangat kritis terhadap JI, yang dilihat tidak mau lagi berjihad.

Darul Islam jelas bukan suatu obyek kuno untuk museum. Setelah 50 tahun, ia masih tetap berkembang dan sempalannya masih tetap menjadi inti gerakan Islam radikal di Indonesia-bagaimanapun, ide negara Islam masih tetap bergema untuk generasi baru. Kalau ada yang masih ragu tentang kedigdayaan DI untuk mendorong anak muda berjihad, baca saja tulisan Iqbal alias Arnasan, salah satu pengebom bunuh diri di Bali pada Oktober 2002. Dia menulis kepada keluarga dan teman di Malingping, Banten, bekas basis DI:

�Ingat wahai Mujahidin yang di Malingping. Imam kita S.M. Kartosoewirjo dulu waktu membangun dan menegakkan sekaligus memproklamasikan kemerdekaan NII dengan darah dan nyawa para syuhada bukan dengan berleha-leha, santai-santai saja seperti kita sekarang. Kalau kalian benar-benar ingin membangun kembali kejayaan NII yang hari ini terkubur, siramlah dengan darah-darah antum agar antum tidak malu di hadapan Allah. Padahal kalian mengaku sebagai anak DII/NII.�

 Sidney Jones Penasihat Senior International Crisis Group

Dua Tahap Revolusi


TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia pada 1930-an.

Karena itu, meski ada tujuh buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama. Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan nada rendah.

Ada memang ia menyelipkan info terbaru seperti penemuan planet Pluto pada 1930 ketika membahas perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsa ke Sidratulmuntaha. Menurut Kartosoewirjo, tujuh lapis langit tujuh lapis bumi yang disebut Quran tak lain dari susunan planet di antariksa yang berjumlah tujuh buah. Informasi itu ia peroleh karena mendengarkan siaran radio di seluruh dunia dari radio Zenit yang memakai 52 baterai kering, yang ia bawa ke mana pun pergi.

Dalam buku Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut dia, dibutuhkan dua tahap revolusi.

Tahap pertama adalah revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia. Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni "revolusi sosial". Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.

Ia menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum 1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain. Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di semua lini: politik, sosial, ekonomi.

Caranya dengan jihad fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain, satu-satunya jalan adalah berperang. "Perang menghadapi negara Pancasila menjadi wajib hukumnya," tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra' dan Mi'raj Rasoeloellah (1953).

Tapi, sebelum bisa berjihad dan hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo menyebut periode ini sebagai periode "revolusi individu". Para cerdik cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah-iman, jihad, hijrah-yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai Negara Islam Indonesia dan ia sebagai imamnya.

Maka ia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.

Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan "perang suci" menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17 Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949.

Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya "sama-sama di luar dugaan dan perhitungan manusia". Dalam Sikap Hidjrah (1936), Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik. Keyakinan yang terbukti keliru.

Surat Perpisahan dari Johor Bahru

TIBA-TIBA ia balik badan. Ajengan Masduki di depannya ia tinggalkan. Hadi Surya lari, menghidupkan motor bebek, lalu memacunya ke luar desa. Surat dalam amplop putih yang sedianya hendak disampaikan kepada Imam Darul Islam itu masih ia bawa. "Enggak tega saya setelah melihat dia," ujar Hadi, kini 47 tahun, saat ditemui di rumahnya di Bandung tiga pekan lalu.


Hadi masih ingat, pada Februari 1995, ia diutus Abdurohim Toyib, pemimpin Darul Islam Jawa Tengah, menyampaikan surat untuk Ajengan Masduki. Ketika itu, Hadi komandan Darul Islam Wilayah Semarang. Mengendarai sepeda motor dari Solo, ia menuju Desa Beji, Purwokerto, Jawa Tengah, tempat tinggal Ajengan setelah lari dari asalnya di Cianjur, Jawa Barat.

Ia bertemu dengan sang Imam di rerimbunan tanaman singkong dan ubi jalar. Di sekelilingnya empang lele seluas 600 meter persegi. Ajengan Masduki alias Damhuri, ketika itu 63 tahun, sedang santai di empangnya. Menyambut Hadi, Damhuri melepas caping, mengangguk, tersenyum, dan menghampiri.

Hadi Surya bukan orang asing bagi Ajengan. Sejak 1980-an, Hadi sering datang mengaji ke tempatnya. Pada saat yang sama, Hadi juga mengaji ke Abdullah Sungkar di Solo. Sang guru yang lari dari kejaran rezim Orde Baru ke Malaysia itu telah banyak bergaul dengan aktivis dari Afganistan, Yaman, dan Arab Saudi. Dia menekuni ajaran salafi jihadi dan kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah. Kepada murid-muridnya, Sungkar menyatakan sejumlah ajaran Ajengan Masduki menyimpang dari Islam.

Kepada Tempo, Hadi mencontohkan, Ajengan mengajarkan kisah Raja Zulkarnaen yang bertanduk. Juga cerita lembah di Pandeglang, Rangkas Bitung, yang menjadi tempat bertemunya roh Sembilan Wali. "Kalau berdoa di sana, niscaya dikabulkan," kata Hadi.

Surat yang dikirim Abdurohim Toyib berisi pernyataan pemisahan diri Abdullah Sungkar dari Darul Islam. Tapi hati "sang kurir" menjadi luluh demi melihat Ajengan. Di ujung jalan, Hadi tertegun: "Ke mana surat itu mesti saya kasih?" Dia pun menuju rumah orang kepercayaan Ajengan, Kholid Sarbini. Surat diterima Abdul Gofar anaknya. "Saya wanti-wanti agar surat itu disampaikan ke Ajengan," kata Hadi.

Surat perpisahan itu diketik dan ditandatangani Abdul Halim alias Abdullah Sungkar dan Abu Somad alias Abu Bakar Ba'asyir. Sekitar 20 tahun bergabung di Darul Islam, keduanya keluar dan membentuk Jamaah Islamiyah pada Januari 1995. Abdul Halim menjadi amir dan Abu Somad menjadi wakilnya.

Menurut Solahudin, peneliti Darul Islam, Sungkar dan Ba'asyir masuk Darul Islam pada 1975-1976, setelah direkrut Haji Ismail Pranoto. Setahun sebelumnya, Darul Islam melakukan konsolidasi dan merekrut banyak aktivis muda Islam. Sungkar dan Ba'asyir lari ke Malaysia pada 1985. Di Johor Bahru, mereka mendirikan Pesantren Lukmanul Hakiem. Pengikutnya kebanyakan anggota Darul Jawa Tengah dan Indonesia Timur, tempat Sungkar menjadi komandan.

Hubungan Sungkar dan Ba'asyir di Malaysia semakin luas. Akses ke Timur Tengah pun terbuka. Sejak 1987, Sungkar aktif dalam pengiriman anggota Darul Islam untuk berperang melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan. Kegiatan ini melancarkan akses ke aktivis Islam internasional. Sejak 1990, Sungkar menjadi komandan tertinggi Darul Islam dan orang kedua di bawah Ajengan Masduki.

Meski beberapa literatur menyebutkan Jamaah Islamiyah dibentuk pada 1993, menurut Hadi, ketika itu masih berupa gagasan Sungkar dan Ba'asyir. Setahun kemudian, Sungkar mengubah organisasinya menjadi Ring Darul Islam. "Masih dalam keluarga Darul Islam atau Negara Islam Indonesia, tapi sudah berbeda ajaran," katanya.

Ba'asyir berulang kali menyangkal keterlibatannya dengan Jamaah Islamiyah. Dia hanya mengakui berbeda pandangan dengan Ajengan Masduki. "Kami berpendapat Negara Islam itu sudah tak ada, namanya tak perlu disebut-sebut lagi," ujarnya dua pekan lalu usai berceramah di Masjid Iqwanul Qorib, Bandung.

Kendati begitu, Ba'asyir mengakui memiliki hubungan dengan orang-orang Darul Islam dan Negara Islam Indonesia karena kesatuan paham. "Kami kadang-kadang ziarah ke sana. Mereka orang-orang yang perjuangannya lurus," ujarnya.

Pengikut Darul Islam yang bergabung ke Jamaah Islamiyah dibaiat lagi. Sungkar memformalkan struktur organisasi seperti markaziah, mantiqiah, wakalah, dan katibah. Organisasi baru ini dibagi menjadi dua mantiqiah: satu untuk urusan luar negeri, dipimpin Hambali, dan lainnya urusan dalam negeri, dipimpin Anshori alias Ibnu Thoyib atau Abu Fatih.

Mukhlas atau Ali Ghufron, kader yang cemerlang dan baru pulang dari Afganistan, bergabung dengan Hambali. Begitu juga Amrozi, adik Mukhlas. Ketika itu, 2.000 lebih kader telah dikirim ke Afganistan. Sebagian besar dari Jawa Tengah. Hambali pun jadi orang penting. Ia berhubungan dan mendapatkan dana dari Al-Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin.

Sebelum Jamaah Islamiyah terbentuk, Darul Islam sudah pecah menjadi tiga. Satu faksi dipimpin Ajengan, satu dipimpin Abdul Fatah Wiranagapati, dan lainnya KW-9 yang dipimpin Abi Karim. Layaknya partai politik, perpecahan dipantik masalah jabatan.

Awalnya pada 1974, ketika Darul Islam memutuskan kembali ke gerakan bersenjata. Daud Beureueh diangkat menjadi imam pertama. Tapi, tahun berikutnya, ia ditangkap dan dibui. Adah Djaelani tampil menggantikan Daud Beureueh.

Pada 1980, Adah juga dijebloskan ke penjara. Ia dianggap terlibat sepak terjang Warman, pemimpin pasukan khusus Darul Islam, yang mencari modal dengan melakukan fai-alias merampok-di berbagai tempat di Jawa Barat. Warman juga membunuh Djaja Sudjadi, pentolan Darul Islam masa Kartosoewirjo yang menolak bergabung dengan gerakan fisabilillah pimpinan Beureueh. Masduki pun mengambil alih pimpinan.

Adah menolak bergabung dengan Ajengan. Ia menganggap pengangkatan imam baru itu tak sesuai dengan prosedur karena tak melalui mekanisme dewan syura. Beberapa pengikut Adah, terutama Abi Karim, yang menguasai KW-9-Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Banten-ikut menolak Ajengan.

Begitu juga Abdul Fatah Wiranagapati, yang mengklaim pengikut paling murni Kartosoewirjo. Ia menganggap mereka yang mengklaim diri sebagai pentolan tak berhak lagi menjadi anggota Darul Islam. "Alasannya, para pentolan itu menandatangani perjanjian 1962 yang menyatakan Darul Islam batal," kata Solahudin.

Hingga 2000, ada tujuh kelompok Darul Islam yang masih memegang prinsip fisabilillah, dengan konsep amal, hijrah, dan jihad yang diajarkan Kartosoewirjo. Salah satunya dipimpin Tahmid Rahmat Basuki, putra Kartosoewirjo. Tahmid awalnya bergabung dengan Adah Djaelani. Dia dan pengikutnya marah ketika Adah menggantinya dengan Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai kepala staf umum.

Tahmid kemudian menjadi imam hasil pemilihan dewan syura di Cisarua, Jawa Barat. Langkah ini tak memuaskan Gaos Taufik, pentolan Darul Islam Sumatera, yang menganggap lebih pantas menjadi pemimpin. "Gaos merasa lebih senior," kata Solahudin.

Darul Islam pimpinan Tahmid juga tak mulus. Pengikutnya, Akdam alias Jaja, tak puas dengan keputusan Tahmid menyetop pengiriman kader Darul ke Mindanao, Filipina Selatan. Pengiriman kader ini dianggap penting setelah kamp pelatihan Afganistan tak beroperasi lagi.

Pada 1999, setahun setelah Sungkar dan Ba'asyir kembali ke Indonesia, pecah konflik Ambon. Inilah momentum kader Jamaah Islamiyah diterjunkan. Dipimpin Zulkarnaen alias Arif Sunarso, sebagian besar yang dikirim ke Ambon berasal dari Mantiqi Satu. Mantiqi Tiga yang berbasis di Sulawesi pun dibentuk.

Yang berangkat ke Ambon, selain anggota Jamaah Islamiyah, juga anggota Darul Islam yang tadinya masih mengakui kepemimpinan Ajengan. Menurut Solahudin, penolakan terlibat di Ambon membuat DI Ajengan pecah lagi. Yang ingin berjihad disebut DI Akram-diambil dari nama tokohnya. Di Ambon, DI Akram bersatu dengan Jamaah Islamiyah. Dan dalam kamp pelatihan di Mindanao pada 1993-1999, semua kader Darul yang terpecah-pecah bersatu kembali. Mereka seperti melupakan klaim "pengikut Kartosoewirjo paling murni".

Pasang-Surut Pesantren Darul Islam

RENCANANYA, menara Masjid Rahmatan Lil Alamin di kompleks Pesantren Al-Zaytun akan tegak 145 meter. Tapi hingga kini tingginya baru setengahnya. Marmer Cina dan Spanyol untuk pelapis tembok menara sampai saat ini belum tersedia.


Pembangunan pondok pesantren di Desa Mekarjaya, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, ini sebenarnya sudah dimulai pada 1996 oleh pendirinya, Syekh Abdussalam Panji Gumilang. Tiga tahun kemudian, pesantren ini diresmikan Presiden B.J. Habibie. Tapi proyek di atas lahan 1.200 hektare itu belum berhenti. Cuma, prosesnya tersendat-sendat lantaran biaya mulai menipis. "Uangnya sudah seret karena pengikutnya tak sebanyak dulu," tutur Sofwan, bekas juru warta di media milik Ma'had Al-Zaytun.

Al-Zaytun didirikan dengan obsesi menjadi pesantren terbesar di Asia Tenggara. Muridnya pernah tercatat 5.300 orang, dari dalam dan luar negeri. Pesantren ini menggelar pendidikan mulai taman kanak-kanak hingga universitas. Untuk masuk ke sana, calon murid harus lulus serangkaian tes: hafalan Juz Amma, tes kesehatan, tes psikologi, dan wawancara. Para siswa tak cuma belajar bahasa Inggris dan Arab, tapi juga bahasa Rusia, Cina, dan Prancis. Ratusan unit komputer dan notebook melengkapi fasilitas belajar.

Untuk ongkos belajar selama enam tahun, Al-Zaytun menarik US$ 3.500 atau sekitar Rp 31,5 juta. Orang tua santri juga diminta menyumbangkan bibit pohon jati. Dalam waktu enam tahun, International Accreditation and Recognition Council, yang berkedudukan di Australia, memberi Al-Zaytun sertifikat bintang empat, sebuah penghargaan internasional di bidang pendidikan.

Al-Zaytun adalah pesantren modern yang lengkap. Semua ruangannya berpenyejuk udara, dapur komplet dengan peralatan masak listrik, serta ada binatu, supermarket, dan saluran telepon internasional.

Seribu hektare lahan dikhususkan untuk pengembangan pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan, juga pabrik garmen. Kebutuhan sandang-pangan sekitar 10 ribu penghuninya terpenuhi secara swasembada.

Untuk urusan kesehatan, tersedia tenaga dokter dan paramedis, psikiater, serta tim konseling. Pesantren juga dilengkapi dengan aneka sarana olahraga: lapangan sepak bola, atletik, hoki, voli, basket, dan tenis, juga kolam renang, plus stadion berkualitas Olimpiade internasional.

Sukses Al-Zaytun tak lepas dari tangan dingin Syekh Abdussalam Panji Gumilang, 64 tahun. Lelaki kelahiran Gresik, Jawa Timur, ini adalah tokoh Negara Islam Indonesia. Dia aktivis Gerakan Pemuda Islam, juga pengikut Lembaga Kerasulan pimpinan Karim Hasan-lembaga yang berafiliasi kepada NII.

Sebelum Al-Zaytun berdiri, Panji Gumilang dikenal dengan nama Abdussalam Toto atau Abu Toto. Pada 1996, ia menerima mandat dari Adah Djaelani, sesepuh NII, untuk memimpin NII Komandemen Wilayah 9 (NII KW-9).

Penunjukan Abu Toto ditentang keras kalangan internal NII, yang berujung pada pembatalan Adah sebagai Imam NII. Tapi Abu Toto maju terus dan mengembangkan Harakat Qurban-program penggalangan besar-besaran dana umat untuk gerakan. Wilayah KW-9 meluas dengan pola rekrutmen yang "seperti multi-level marketing," kata Sofwan, yang ikut gerakan itu ketika baru kuliah semester pertama di Institut Teknologi Indonesia. Syarat masuk NII KW-9 adalah ikut pengajian, mengakui gagasan negara Islam, mengingkari Negara Republik Indonesia, dan bersedia dibaiat.

Menurut Sofwan, NII KW-9 Abu Toto bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka, misalnya, menggelar pengajian tertutup serta tidak mewajibkan jemaahnya melakukan salat lima waktu dan menutup aurat. Jemaah juga diwajibkan menyetor uang kepada kelompok sebagai biaya hijrah dari situasi kafir menjadi Islam.

Kebijakan Abu Toto itu ditentang bekas aktivis NII lainnya. "Itu Darul Islam gadungan yang mencemarkan NII," ujar Kastolani, bekas komandan kompi Tentara Islam Indonesia di Brebes, Jawa Tengah. Kartosoewirjo pun tak mengajarkan bahwa orang di luar kelompoknya adalah orang kafir. "Kalau pemerintahannya kafir, iya, tapi bukan orangnya," ucap Kastolani.

Ketika perekrutan dan penggalangan dana mulai menggelisahkan di awal dekade 2000, gelombang anti-Zaytun pun bermunculan. Ratusan orang mengadu sebagai korban ke Forum Ulama Umat yang dibentuk ulama Jawa Barat. Forum mengeluarkan fatwa sesat terhadap gerakan NII KW-9 Panji Gumilang.

Tim Investigasi Aliran Sesat (TIAS) dan Solidaritas Umat Islam untuk Korban NII KW-9, Al-Zaytun, dan Abu Toto (SIKAT) dibentuk masyarakat. Tak ada yang tahu persis berapa total anggota jemaah NII KW-9. SIKAT pernah memperkirakan jumlahnya sekitar 100 ribu. Tak jelas pula berapa nilai duit yang sudah dikumpulkan kelompok ini.

Investigasi majalah Tempo pada 2002 menemukan bahwa ada setoran Rp 7 miliar per bulan hanya dari satu wilayah. Di seluruh Indonesia ada 28 wilayah kerja NII. Jurnal Van Zorge menyebutkan pendapatan tahunan Al-Zaytun adalah Rp 162 miliar. Perhitungan tim investigasi Tempo menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi: sekitar Rp 770 miliar.

"Berapa persisnya, ya, cuma Syekh dan Tuhan yang tahu," ucap Sofwan. Uang umat yang dia duga hingga triliunan itu, menurut Sofwan, disimpan di sembilan rekening Bank CIC-kini menjadi Bank Century.

Panji Gumilang menolak permintaan wawancara Tempo. Pengurus Al-Zaytun juga melarang Tempo mengunjungi pesantren besar itu. "Kami tidak memperbolehkan siapa pun masuk tanpa izin pimpinan," kata seorang anggota staf humas Al-Zaytun. Tapi pada 2002, kepada Tempo, Panji Gumilang mengatakan sumber dana Al-Zaytun adalah "sedekah" umat Islam di Indonesia dan luar negeri.

Negara Setengah Hati

DIKEPUNG hamparan lahan persawahan yang sejuk sepi, Babakan Cipari menyimpan bara. Di kampung berjarak 20 kilometer dari Kota Garut, Jawa Barat, itu hidup sekelompok orang yang tak mengakui Republik Indonesia.


Sensen Komara, 46 tahun, pemimpinnya. Dia imam atau panglima tertinggi bagi kelompok-tak lebih dari 20 orang-yang mengklaim menghidupkan kembali Negara Islam Indonesia (NII), yang pernah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 atau 12 Syawal 1368 Hijriah. "Saya hanya meneruskan perjuangan Bapak," kata Sensen.

Keberadaan NII di kampung itu memang tak lepas dari peran ayah Sensen, Bakar Misbah. Dialah Bupati NII Garut di masa NII pertama diproklamasikan.

Kampung Babakan Cipari, Desa Sukarasa, Kecamatan Pangatikan, adalah basis pergerakan Darul Islam. Sekitar 500 meter dari sana, terdapat pesantren Darussalam yang didirikan KH Yusuf Tauziri, saudara Bakar Misbah. Pendiri pesantren itu pernah menjadi teman seperjuangan Kartosoewirjo, lalu pecah kongsi dan melawan Darul Islam.

Setelah Kartosoewirjo menyerah pada Batalion Kujang, Juni 1962, pengikut Darul Islam kocar-kacir. Mereka bersembunyi karena diburu tentara Indonesia. Setelah situasi aman, mereka yang selamat keluar dari persembunyian, termasuk Bakar Misbah. Ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan bersama kelima anaknya. Bakar meninggal pada 1993.

Sepeninggal sang ayah, Sen-sen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain. Mereka menghidupkan kembali NII di kampung para petani itu. Sensen, anak kedua Bakar, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15. Rumahnya dijadikan pusat komando. Berukuran 11 x 11 meter, berdinding bambu, dan berlantai papan, rumah itu menjadi pusat pemerintahan atau istana negara NII.

Saat Tempo mengunjungi rumah itu dua pekan lalu, tidak tampak simbol kenegaraan di sana. Tak ada simbol NII, apalagi simbol RI seperti gambar presiden dan burung Garuda. Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto. "Semua simbol negara kami dirampas pemerintah Indonesia," kata Sensen.

Dalam menjalankan pemerintahan, Sensen dibantu para menteri. Ada menteri luar negeri, menteri keuangan, menteri pertahanan, dan menteri pendidikan. Bersama para pembantunya, lulusan Institut Agama Islam Negeri Bandung, Jawa Barat, ini menggelar rapat kabinet di rumahnya. "Sama seperti istana presiden di Indonesia," katanya.

NII, Sensen mengaku, memiliki alat pertahanan yang kuat. "Kami punya pesawat tempur tipe F-16 dan Sukhoi," katanya. Namun ia tak mau memberitahukan keberadaan pesawat eksklusif itu-rahasia negara. Sensen dan warganya memiliki usaha ternak ayam potong. Ini usaha bersama yang keuntungannya digunakan untuk operasional dan buat menopang ekonomi negara. "Rakyat NII," Sensen berujar, "tak dibebani pajak seperti di negara lain."

Akses transportasi dan jaringan telepon yang dimiliki NII, menurut Sensen, digunakan untuk meluaskan jangkauan. Sensen menghimpun keturunan pengikut Darul Islam di 42 kecamatan di seantero Garut untuk menjadi warga NII. Saat ini jumlahnya 3.000-an orang. "Mereka mau bergabung karena wasiat orang tua untuk meneruskan perjuangan Darul Islam," kata Sensen.

Darsun Sudrajat, 48 tahun, warga NII dari Kampung Papandak, Desa Sukamenak, Kecamatan Wanarja, berkomentar tentang hidup sebagai warga NII. "Hidup di sini lebih damai karena saling mendidik, berbeda dengan di Indonesia," katanya.

Awalnya, aktivitas NII di Babakan tertutup. Barulah pada 17 Januari 2008, masyarakat tahu apa yang terjadi. Saat itu, Sensen dan dua menterinya mengibarkan bendera NII, merah-putih bergambar bulan-bintang, di depan rumahnya.

Akibat insiden pengibaran bendera itu, ketiganya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008.

Kendati ada yang masuk penjara, gerakan mereka tak kendur. Mei lalu, pemimpin NII di Desa Purbayani, Wowo Wahyudin, berkirim surat ke pejabat desa setempat. Mereka meminta warga NII tidak dimasukkan ke daftar pemilu presiden. "Kami sudah punya imam," kata Wowo. Mereka pun menolak sensus penduduk beberapa bulan lalu.

Gesekan pun terjadi. Masyarakat setempat bereaksi. Puncaknya terjadi pada 4 September 2009. Kepolisian Resor Garut mengamankan 16 warga NII dari amuk massa saat menggelar musyawarah di Kantor Desa Tegal Gede, Kecamatan Pakenjeng.

Amuk massa itu buah kejengkelan warga melihat aktivitas ibadah NII. Di Kampung Situ Bodol pada 4 September 2009, misalnya, warga NII melakukan salat Jumat dengan membelakangi arah kiblat. Mereka juga mengubah kata "Muhammad" dengan "Sensen Komara" dalam kalimat syahadat dan azan.

Akibatnya, tiga pentolan NII di Purbayani, termasuk Wowo, divonis tiga tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Garut. Setelah rentetan kejadian itu, warga NII mulai tiarap karena diawasi ketat kepolisian. Arah kiblat pun kembali seperti sedia kala. "Supaya tidak rame lagi," kata Sensen. Tapi syahadat dan lafal azan masih tetap versi NII.

Kendati dianggap menyimpang dari ajaran yang lazim, masyarakat sekitar tak terlalu hirau. Salaf Sholeh, sesepuh pesantren Darussalam, menilai ajaran NII tak perlu dihiraukan. "Karena imamnya gila," katanya.

Paham kenegaraan Sensen juga unik, lebih tepatnya pragmatis. Kendati menolak eksistensi Negara Indonesia, warga NII tetap mengurus kartu tanda penduduk serta menerima bantuan langsung tunai, pembagian beras untuk orang miskin, bahkan pembagian jatah kompor gas gratis.

Mereka juga tak malu menagih kepada pamong setempat jika tak kebagian jatah gratisan. "Masak, pemberian ditolak," ujar Sensen.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India