Selasa, 17 Agustus 2010

Kekasih Orang Pergerakan

BATU-BATU kali di atas nisan itu telah berlumut, di bawah payungan pohon-pohon menjulang. Ini sebuah kompleks makam keluarga di belakang Masjid Jamik di Kampung Bojong, Malangbong, di Garut, sebuah kota pedalaman di Jawa Barat. Suasana hening dan adem ketika Tempo berziarah ke sana pada Juli lalu. Di sinilah Dewi Siti Kalsum, istri Kartosoewirjo, yang akrab dipanggil Wiwiek, beristirahat untuk selamanya.

Lahir pada 1913, Dewi wafat 12 tahun lalu dalam usia 85 tahun. Bersebelahan dengan makam Dewi adalah kuburan Raden Rubu Asiyah, ibundanya, perempuan menak asal Keraton Sumedang, Jawa Barat. Di pemakaman ini Kartosoewirjo ingin dikuburkan. "Bapak ingin jenazahnya dekat dengan keluarga Malangbong," kata Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo, kepada Tempo.

Tapi pemerintah Soekarno punya kemauan lain. Sampai sekarang tak jelas keberadaan jasad Kartosoewirjo setelah dia dieksekusi mati pada September 1962 di sebuah tempat di Teluk Jakarta. Kartosoewirjo agaknya ingin menunjukkan cintanya kepada Dewi hingga akhir hayat: meminta dirinya dikuburkan di Malangbong -kendati tak kesampaian.

Pada masa gadisnya, Dewi adalah kembang Malangbong. Dia putri Ajengan Ardiwisastra, kiai sekaligus ningrat kaya di Malangbong ketika itu. Dewi sangat dekat dan terkesan dengan sikap hidup ayahnya. Pada usia delapan tahun, ibunya mengajak dia berjalan belasan kilometer ke Tarogong, Garut, untuk menengok ayahnya yang ditahan Belanda. Pengalaman ini amat membekas di hati dia.

Ardiwisastra ditahan Belanda karena bersama sejumlah ajengan memelopori pembangkangan terhadap perintah Belanda, yang mewajibkan penjualan padi hanya kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada 1916, Belanda menembak mati Haji Sanusi, tokoh berpengaruh di Cimareme, Garut. Terjadi pula penangkapan secara besar-besaran terhadap para ajengan, termasuk Ardiwisastra dan santri-santrinya.

Dewi lulusan Hollandsch Inlandsche School (HIS) met de Quran Muhammadiyah Garut. HIS adalah sekolah yang pertama berdiri pada 1914, seiring dengan berlakunya politik etis atau balas budi penjajah Belanda kepada tanah jajahannya. Pendidikan setingkat sekolah dasar ini menggunakan pengantar bahasa Belanda. Ini berbeda dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Umumnya yang bersekolah di HIS anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.

Ketika Dewi sedang mekar mewangi pada 1928, muncullah seorang pemuda di rumahnya. Ia pintar bicara dan penuh daya tarik bagi Dewi, yang juga mulai aktif di dunia pergerakan. Pemuda itu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Ia mampir ke rumah Ardiwisastra untuk mengumpulkan sumbangan warga Sarekat Islam guna mengongkosi Haji Agoes Salim ke Belanda. Agoes Salim ke Negeri Kincir Angin untuk berdiplomasi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ardiwisastra tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia di Garut.

Sekarmadji saat itu sudah terkenal di kalangan Partai Sarekat Islam Indonesia. Dialah sekretaris pribadi singa podium Haji Oemar Said Tjokroaminoto-yang ikut melambungkan nama Kartosoewirjo ke kancah gerakan perlawanan terhadap Belanda. Pada Desember 1927 Karto terpilih sebagai Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Indonesia. Sejak itu, ia banyak melakukan perjalanan ke cabang-cabang Sarekat Islam.

Turne itu pula yang akhirnya membawa dia ke Malangbong menemui Ajengan Ardiwisastra. Setahun setelah pertemuan itu, pada April 1929, Sekarmadji menikahi Dewi di Malangbong. Tentang pernikahan ini, seorang ulama seusia Ardiwisastra mengatakan Sekarmadji diambil menantu semata-mata karena motif kepartaian. "Apakah calon menantunya tampan atau buruk muka tidak penting," kata ulama tadi kepada Pinardi, penulis buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terbitan 1964.

Bagi Sekarmadji, Dewi punya semacam pertalian darah dengan dia, sama-sama keturunan Arya Penangsang. Dalam sejarah Kerajaan Demak abad ke-15, Arya Penangsang adalah penguasa kawasan Jipang yang terbunuh dalam perebutan kekuasaan setelah pamor Demak merosot.

Kepada Ateng Jaelani, tokoh Darul Islam yang lain, Sekarmadji pernah bakal menjadi menantu Haji Agoes Salim. Tapi, karena Agoes Salim kalah berdebat dengan Sekarmadji, akhirnya batal. Penyebab lain, Sarekat Islam pecah. Kartosoewirjo tak sehaluan dengan Agoes Salim yang mau berunding dengan Belanda untuk bicara kemerdekaan. Dan Kartosoewirjo memilih jalan politik nonkooperatif terhadap Belanda.

Ardiwisastra memandang Sekarmadji pemuda ideal. Apalagi dia punya haluan politik serupa. Pada Adiwisastra, Sekarmadji memperdalam keislaman dan kepartaiannya.

Dalam sebagian babak pernikahan mereka, Dewi turut bergerilya. Tapi dia tak mampu menjelaskan alasannya bersusah payah selama 13 tahun keluar-masuk hutan bersama suaminya. "Karena apa ya, saya sendiri tidak tahu," kata Dewi kepada Tempo edisi 5 Maret 1983. Kalau disebut karena cinta, "Bapak itu sebetulnya orangnya (mukanya) kan jelek," kata Dewi.

Yang pasti, pada hari tuanya-tanpa Kartosoewirjo-Dewi hidup tenang dan cenderung dingin. Riwayat hidup yang lebih banyak dilumuri cerita duka bergerilya dengan Kartosoewirjo pernah ia ceritakan kepada Tempo 27 tahun lalu itu tanpa emosi.

Sebagai istri orang pergerakan, Dewi selalu berpindah-pindah ikut suami. Ia mondar-mandir Jakarta-Bandung-Garut-Yogyakarta, menumpang di rumah kenalan atau rumah kontrakan. Belum lagi jika Kartosoewirjo berurusan dengan rumah tahanan. Biasanya, kalau suaminya ditahan, Dewi pulang ke Malangbong. "Saya juga pulang kampung kalau mau melahirkan," kata Dewi.

Dewi melahirkan 12 anak. Lima di antaranya meninggal. Tiga anak terakhir: Ika Kartika, Komalasari, dan Sardjono, lahir di tengah hutan. Anak-anak yang lain lahir di rumah. Mereka: si sulung Tati yang meninggal ketika masih bayi, Tjukup yang tertembak dan meninggal pada 1951 di hutan pada usia 16 tahun, Dodo Muhammad Darda, Rochmat (meninggal pada usia 10 tahun karena sakit), Sholeh yang meninggal ketika bayi, Tahmid, Abdullah (meninggal saat bayi), Tjutju yang lumpuh, dan Danti.

Sebagai perempuan, Dewi mula-mula takut juga hidup di hutan. Apalagi saat itu Dewi menggendong Danti yang baru berusia 40 hari. Dewi sempat berpikir tentang masa depan anak-anaknya dan sering tercenung sedih. Tapi Kartosoewirjo yang ia kagumi selalu menghibur. "Kok, sedih amat sih!" Itu kalimat yang kerap Kartosoewirjo ucapkan jika Dewi sedang bermuram durja. Biasanya, jika suaminya bilang seperti itu, Dewi langsung merasa tenteram.

Sebelum menjalani eksekusi mati, Kartosoewirjo sempat berwasiat di hadapan istri dan anak-anaknya di sebuah rumah tahanan militer di Jakarta. Menurut Dewi, saat itu Kartosoewirjo antara lain berkata tidak akan ada lagi perjuangan seperti ini sampai seribu tahun mendatang. Dewi menitikkan air mata. Karto, yang mencoba tabah, akhirnya meleleh. Perlahan-lahan, dia mengusap kedua matanya.

Akar yang Terserak

AWAL tahun lalu, Bambang Soerjadi, 74 tahun, kaget kedatangan tiga tamu tak dikenal. Mereka berbicara dengan aksen Sunda. Setelah disilakan duduk di kursi tua di ruang tamu rumahnya, salah seorang tamu-yang kurus dan berkumis-memperkenalkan diri sebagai Herman. Ia menantu Dianti, salah seorang anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. "Setelah itu, saya senang sekali," kata Soerjadi. "Seperti sudah kenal lama."

Bersama saudara-saudaranya, Herman datang dari Garut, Jawa Barat, untuk mengumpulkan kembali keluarga besar "Imam" -panggilan Kartosoewirjo- yang terserak. "Selama ini silaturahmi terputus," kata Herman, yang dihubungi terpisah. Ia mengemban tugas wakil keluarga Kartosoewirjo. Pertemuan penuh haru di rumah di Jalan Setiabudi Nomor 20, Rembang, Jawa Tengah, itu diakhiri pelukan emosional.

Soerjadi sendiri tak pernah mengenal sosok Kartosoewirjo. "Bahkan fotonya saja saya ndak punya," katanya. Tapi dia adalah cucu dari kakak Kartosoewirjo, yang bernama Soemarti Ning. Lantaran ayah mereka bekerja sebagai mantri candu, Soemarti kecil mendapat nama panggilan Belanda: Dora. "Saya lebih mengenalnya sebagai Eyang Dora," kata Soerjadi. Belakangan ia baru tahu, Eyang Dora adalah kakak Kartosoewirjo. "Ibu saya selalu menutupi."

Soemarti dan Sekarmadji Maridjan merupakan sepasang anak Kartosoewirjo, pegawai perusahaan kehutanan milik Belanda. Mereka tumbuh dan mengecap pendidikan di sekolah Belanda di Kota Rembang. Selama ini, nama ibu mereka tidak pernah diketahui. "Saya juga tidak tahu," kata Sardjono, anak bungsu Sekarmadji.

Sejak muda, Sekarmadji gemar merantau, dan terakhir mengikuti H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Soemarti terus menetap di Rembang. Soemarti menikah dengan Soero Dipo Menggolo, yang bekerja sebagai mantri guru-semacam kepala sekolah. Mereka memiliki seorang anak perempuan bernama Sri Suryowati. Sedangkan Sekarmadji, sejak menikahi Dewi Siti Kalsum, tinggal di Malangbong, Garut. Keturunan Soemarti berbahasa Jawa, sedangkan keturunan Sekarmadji sehari-hari bercakap dalam bahasa Sunda.

Sri Suryowati menikah tiga kali. Pernikahan pertama dengan Soedarmo, pemuda asal Blora, dikaruniai dua anak, yakni Sri Rahayu Siti Jumilah dan R. Handoyo. Setelah bercerai, Sri menikah dengan Roesman, asal Rembang. Ia melahirkan dua anak, yakni Bambang Soerjadi dan Bambang Soerjono. Setelah bercerai lagi, Sri menikah dengan Soeryanto, asal Kebumen, dan membuahkan dua anak, yaitu Bambang Irawan dan Endang Irowati.

Dari enam anak Sri, hanya Soerjadi dan Bambang Irawan yang masih hidup. "Dia kena stroke dan sulit berkomunikasi," kata Soerjadi tentang saudara tirinya itu. Soerjadi juga tidak mengetahui keberadaan keturunan saudara-saudaranya yang lain.

Dari enam bersaudara itu, Bambang Soerjono merupakan yang paling unik. Dia memeluk agama Kristen, mengikuti agama istrinya, Iswati, asal Semarang. Dari pernikahan itu, lahir tiga anak yang kini menetap di Semarang, yakni Rony, Arianto, dan Fifi. "Saya tidak pernah bertemu mereka dan kehilangan kontak," Soerjadi menerawang.

Belakangan, Soerjono bercerai dan balik ke Rembang. Ia menikah lagi dengan Sasanti, yang juga beragama Kristen. Dari pernikahan itu, lahir dua anak: Emi dan Bagus. Dengan keluarga satu kota ini pun Soerjadi tidak punya kontak. Bahkan, pada saat Lebaran, keponakannya tidak ada yang datang menjenguknya. "Paling cuma papasan bertemu di jalan," ujar Soerjadi. Sepeninggal Soerjono, Sasanti lebih banyak menetap di Jakarta dengan keluarga lainnya.

Soerjadi, yang memiliki lima anak dan sebelas cucu, tinggal bersama anak perempuan dan dua cucunya. Ia pernah datang ke Malangbong, pada 1980-an, untuk menemui Eyang Dora, yang di Malangbong lebih dikenal sebagai Wak Mantri. "Ternyata (waktu itu) sudah meninggal," katanya. Soemarti alias Eyang Dora menetap di Malangbong sejak 1960-an setelah bercerai dari Dipo Menggolo. Soemarti wafat pada 1975 dan dikubur di pemakaman keluarga di Malangbong. "Nisannya tak bernama," kata Herman.

Mampir di Masyumi


MASYUMI lahir pada 7 Agustus 1945, ketika Jepang mulai sibuk bertahan dalam Perang Pasifik. Dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Harry J. Benda melihat: Jepang merestui pendirian organisasi Islam itu dengan harapan kekuatan Islam membantu dalam perang. Padahal para pendiri Masyumi-Kiai Haji Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya-menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam dalam perang kemerdekaan.

Waktu itu Kartosoewirjo bukan pendatang baru. Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI), salah satu organisasi cikal bakal Masyumi. Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung-ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang. Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia baru bersama "keluarga Asia Timur Raya."

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif. "Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia)," tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir, dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik. Kartosoewirjo tetap menjabat sekretaris pertama. Programnya menciptakan negara hukum berdasarkan ajaran agama Islam. Kartosoewirjo juga diberi tugas mendirikan pusat Masyumi di daerah Priangan.

Tujuh bulan setelah itu, pada Juni 1946, Masyumi daerah Priangan mengadakan konferensi pemilihan pengurus baru di Garut. Kartosoewirjo menunjuk Kiai Haji Mochtar sebagai ketua umum dan ia sendiri sebagai wakilnya. Nama tokoh politik Islam setempat, seperti Isa Anshari, Sanusi Partawidjaja, KH Toda, dan Kamran, masuk kepengurusan. Dalam pidatonya, Kartosoewirjo meminta pengikutnya memahami ajaran Islam yang hanif, menjaga persatuan, dan menghentikan konflik karena perbedaan ideologi.

"Karena konflik sesama bangsa Indonesia hanya akan menguntungkan Belanda," katanya. Ia mematangkan partai yang diharapkan menjadi wahana organisasi bagi semua kelompok Islam, sambil mempersiapkan tentaranya sendiri, laskar Hizbullah dan Sabilillah di Priangan.

Semua menyaksikan Kartosoewirjo merupakan sosok berpengaruh dan keras hati. Sikap kerasnya pada persetujuan Renville mendorong Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meminta Kartosoewirjo menjabat Menteri Pertahanan. Tapi dia menolak, karena masih merasa terikat dengan Masyumi dan tak menyukai arah politik Amir yang condong ke kiri.

Sebelumnya, dalam sidang Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang, Jawa Timur, Februari-Maret 1947, Kartosoewirjo yang mewakili Masyumi menegaskan menolak persetujuan Linggarjati. Sebab, kesepakatan itu menguntungkan Belanda, yang nyata-nyata ingin kembali menjajah Indonesia. Penolakan itu menimbulkan konflik, Kartosoewirjo diancam gerilyawan sayap kiri, Pesindo. Bung Tomo meminta Kartosoewirjo mencegah pasukan Hizbullah menembaki kelompok Pesindo.

Melihat persetujuan Linggarjati dilanjutkan dengan agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memfokuskan perjuangan bersenjatanya dengan basis Islam. Dalam pertemuan di Cisayong, ia dan kawan-kawan membekukan Masyumi dan semua cabangnya di Jawa Barat. Kartosoewirjo membentuk Majelis Umat Islam. Masyumi tidak mendukung, walaupun tidak ikut menghantam.

Ketika Masyumi memegang pemerintahan, Natsir mengirimkan surat yang mengajaknya turun gunung, kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun Kartosoewirjo membalas surat Natsir dengan pahit, "Barangkali saudara belum menerima proklamasi (Darul Islam) kami." 

Murid Tjokroaminoto di Peneleh

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh, Surabaya, itu baru dikapur ulang. Di bagian depan, pintu kayu jati dan dua jendela kecil yang mengapitnya pun baru dicat warna hijau. Selebihnya, tak ada yang baru dari rumah yang dulu dimiliki Haji Oemar Said Tjokroaminoto ini. �Lantainya saja masih dari semen,� kata Mariyun, ketua rukun tetangga setempat.

Rumah pendiri Sarekat Islam yang punya banyak kamar itu pernah menjadi tempat indekos tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dari berbagai aliran, di antaranya Soekarno dan Semaoen, pendiri Partai Komunis Indonesia. Soekarno pernah tinggal di salah satu kamar berlangit-langit rendah di loteng.

Tjokroaminoto memang membuka pintu rumahnya untuk orang-orang muda yang tertarik pada pemikiran politiknya. Salah satunya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, yang pindah ke Surabaya pada 1923, selulus dari Europeesche Lagere School-sekolah dasar Eropa khusus untuk kalangan Eropa dan yang berdarah Indo-Eropa, dengan pengecualian bagi pribumi berstatus sosial tinggi.

Anak-anak pribumi yang mengenyam pendidikan elite ini diharapkan bisa menjadi tenaga pembantu jika disekolahkan ke lembaga pendidikan dokter, sekolah ahli hukum, atau sekolah pamong praja. Ayah Sekarmadji, Kartosoewirjo, menginginkan anaknya yang saat itu berusia 18 tahun ini menjadi dokter.

Dari Europeesche Lagere School di Bojonegoro, ia dikirim ke Nederlandsch Indische Artsen School atau Sekolah Dokter Hindia Belanda di Surabaya. Namun lulusan sekolah tingkat dasar sepertinya baru bisa mengikuti pelajaran kedokteran setelah lulus kelas persiapan selama tiga tahun.

Saat mengikuti kelas persiapan itulah Kartosoewirjo mulai aktif di politik. Mula-mula ia bergabung ke Jong Java. Organisasi ini pecah karena anggotanya yang lebih radikal memilih mendirikan gerakan yang tak terlalu mengagungkan tradisi Jawa dan pemikiran Barat. Mereka mendirikan Jong Islamieten Bond, yang lebih menyuarakan aspirasi Islam. Kartosoewirjo pun memilih hijrah ke organisasi baru ini.

Menurut peneliti sejarah Islam di Indonesia, Bahtiar Effendy, sikap radikal Kartosoewirjo itu memang sudah �bawaan�. �Kartosoewirjo itu kan orang Cepu,� ujarnya. �Kalau kita bicara Cepu saat itu kan abangan, bahkan kekiri-kirian.� Kartosoewirjo yang dikenal gila membaca ini terpengaruh buku-buku aliran kiri dan antikolonialisme, yang kebanyakan dia peroleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco adalah satu dari enam saudara kandung ayah Kartosoewirjo. Ia memilih profesi wartawan dan menulis di berbagai media ketika itu, bahkan beberapa kali mendirikan penerbitan sendiri. Marco sendiri sempat aktif di Sarekat Islam, tapi belakangan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia.

Bagi pemerintah kolonial, Marco tak ubahnya duri dalam daging. Ia rajin mengkritik secara terbuka, bahkan tak ragu menyindir pejabat pemerintah, di antaranya penasihat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Urusan Bumiputra, D.A. Rinkes.

Buku-buku Marco-lah yang membuat pemerintah Hindia Belanda mencoret nama Kartosoewirjo dari Sekolah Dokter. Ia didepak pada 1927 lantaran kedapatan memiliki bacaan komunis dan antikolonial.

Akibat �menganggur�, Kartosoewirjo malah mendapat banyak waktu luang mendengarkan pidato-pidato Haji Oemar Said Tjokroaminoto. �Saya tertarik pada pidato-pidatonya,� kata Kartosoewirjo kepada Panglima Tentara Islam Indonesia Ateng Jaelani.

Kartosoewirjo tak pernah masuk pesantren. Ia mempelajari agama secara serabutan dari kiai-kiai yang ditemuinya. Saat Sarekat Islam menggelar rapat akbar di Surabaya, Kartosoewirjo ikut serta. Bubar rapat, anggota Sarekat pergi salat, juga Kartosoewirjo. Seusai sembahyang, Kartosoewirjo mendekati Tjokroaminoto untuk menyatakan ingin menjadi murid. Ia diterima.

Kartosoewirjo kemudian mondok di rumah Tjokroaminoto. Sebagai pengganti ongkos pemondokan, Karto �diminta bekerja di surat kabar Fadjar Asia,� kata putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Kartosoewirjo juga sempat menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. �Dia berguru soal Islam dan politik kepada Tjokroaminoto,� kata Bahtiar Effendy.

Tjokroaminoto menggembleng muridnya itu di koran yang banyak menulis tema antikolonial. Awalnya, Kartosoewirjo cuma korektor. Lalu pelan-pelan dia naik pangkat menjadi redaktur, bahkan sampai ke tingkat pemimpin redaksi.

Saat mengasuh koran tersebut, Kartosoewirjo tidak cuma menulis soal kekejaman pemerintah kolonial. Ia juga membahas soal Islam dengan bahasa yang keras. Dalam artikel yang ditulisnya pada 1929, dia menyerukan agar orang Islam bersedia berkorban demi membela agama Islam.

Tak sekadar menulis, Kartosoewirjo bergabung dengan Partai Sarekat Islam, organisasi yang dibentuk Tjokroaminoto. Di partai itu, Kartosoewirjo selalu berada dalam faksi nonkooperatif.

Sampai titik ini, hidup Kartosoewirjo mirip Mas Marco, pamannya. Bedanya: Marco komunis, Kartosoewirjo mengikuti langkah Tjokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.

Pada 1929, �kursus� ilmu politik dan Islam di rumah Tjokroaminoto rampung. Kartosoewirjo ditunjuk menjadi wakil Partai Sarekat Islam Indonesia di Jawa Barat. Ia hijrah dari Surabaya ke Malangbong, Garut. Kota di Jawa Barat itu menjadi basis Kartosoewirjo dalam memimpin Darul Islam.

Santri Abangan dari Hutan Jati

SEKARMADJI Maridjan Kartosoewirjo lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, Jawa Tengah-kota dengan romansa Bengawan Solo dan belukar hutan jati. Sang ayah, Kartosoewirjo, mantri candu pemerintah Belanda, memberinya nama Sekarmadji Maridjan. Kelak nama ayahnya disematkan di belakang nama sang bayi. Kakek si orok adalah Kartodikromo, Lurah Cepu. Rumah sang kakek tempat Sekarmadji lahir, di belakang pasar lama, kini telah musnah.


Yang tersisa adalah rumah di Jalan Raya Cepu 15, milik Kartodimedjo, paman Sekarmadji, yang sempat menjadi pamong praja pemerintah Belanda. Rumah kayu jati berkapur putih yang dibangun pada 1890 itulah tempat berkumpul keluarga besar Kartodikromo. �Ini rumah induk, tempat jujugan keluarga besar kami,� kata Nuk Mudarti, 75 tahun, keponakan Sekarmadji.

Pada usia enam tahun, Sekarmadji masuk Inlandsche School der Tweede Klasse Cepu, sekolah yang biasa disebut sekolah ongko loro (angka dua).

Sebagai anak pegawai pemerintah, Sekarmadji hidup berpindah-pindah mengikuti tugas ayahnya. Selain di Cepu, ayahnya pernah berdinas di Pamotan, Rembang, Jawa Tengah. Di kota ini, Sekarmadji melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School. Ketika pindah ke Padangan, Bojonegoro, Jawa Timur, pada 1919, ia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus anak Belanda. Hanya pribumi cerdas yang boleh masuk. Di kala libur, Sekarmadji kerap bermalam di rumah Jalan Raya Cepu 15.

Pada 1923, Sekarmadji meneruskan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School, sekolah kedokteran Belanda di Surabaya. Saat itu Sekarmadji sudah hafal Al-Quran berikut tafsirnya. Kemampuan ini dikembangkan ketika dia kuliah di Surabaya dan mempertemukannya dengan tokoh Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Masa kecil Sekarmadji dihabiskan di lingkungan abdi dalem pemerintah Belanda. �Kami keturunan birokrat,� kata Nuk. Ronodikromo, kakek buyut Sekarmadji, adalah Lurah Merak, Panolan, Cepu. Soal keyakinan beragama, �Keluarga Kartodikromo cenderung abangan,� kata Nuk. �Kami priayi feodal.�

Meski priayi feodal, keluarga Kartodikromo demokratis. Perbedaan prinsip, pandangan politik, dan ideologi dihargai. Anak-anak diajari berpendirian teguh. �Itulah mengapa Mas Marco dan Sekarmadji teguh mempertahankan prinsip.�

Mas Marco, satu dari tujuh anak Kartodikromo, meninggal di pengasingan Digul karena menentang pemerintah Belanda. Marco dikenal sebagai aktivis kiri di era kolonial. Sekarmadji memimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Keislaman Sekarmadji banyak dipengaruhi ajaran Notodihardjo, pemuka Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) di Padangan, Bojonegoro. Pikiran kritis Sekarmadji terus bertumbuh ketika dia kuliah di Surabaya.

Suatu malam pada 1948, Sekarmadji datang ke rumah nomor 15. Nuk Mudarti masih mengingatnya. Kehadiran pamannya ini mencemaskan orang serumah. Jika Sekarmadji datang, polisi dan intelijen mengitari rumah. �Menakutkan,� kata Nuk. �Saya masih kecil, tak tahu mengapa intel menguntitnya.� Sejak 1940-an, Sekarmadji tak pernah lagi singgah di rumah induk. �Hingga kami mendengar dia merantau ke Malangbong,� kata Nuk. Hubungannya dengan Cepu putus.

Soemarti alias Dora, saudara kandung Sekarmadji, turut hijrah ke Malangbong, Garut, Jawa Barat. Dia pernah mengajak keluarga Cepu berkunjung ke Malangbong. Oleh-oleh hasil bumi sudah disiapkan. Tapi kunjungan itu tak pernah terwujud.

Saat meletus peristiwa pemberontakan DI/TII, keluarga Cepu menutup diri. Ketertutupan berlanjut sampai zaman Orde Baru. Keluarga besar Cepu, yang rata-rata pegawai pemerintahan, khawatir disangkutpautkan dengan gerakan Sekarmadji.

�Kami jadi kepaten obor, kehilangan jejak,� kata Kusparyono, 55 tahun, keponakan Sekarmadji di Cepu. Sardjono, putra bungsu Sekarmadji, membenarkan soal putusnya hubungan keluarga ini. �Sejak Ayah hijrah ke Malangbong, tak pernah lagi ke Cepu,� katanya.

Zaman berganti. Kini perjalanan hidup Sekarmadji justru membuat keluarga Cepu bangga. �Kami rindu bertemu anak-cucu Sekarmadji,� kata Nuk. Sardjono merasakan hal yang sama. �Kami tak punya bayangan bagaimana Cepu itu,� ujarnya.

l l l

RUMAH tua di Jalan Dr Soetomo, Pengkok, Padangan, Bojonegoro, itu kosong, tak terurus. Bangunan besar berwarna merah dengan lis abu-abu itu milik Mashudi (almarhum), pengusaha transportasi, anggota PSII pada 1940-an. �Ini rumah bersejarah,� kata Yunani, 58 tahun, putra Mashudi.

Sebelum masa pendudukan Jepang, rumah ini ditempati Notodihardjo alias Abdurrahman, aktivis PSII yang bergabung dengan Muhammadiyah. Saban bulan, Noto mengadakan pengajian sambil mengumpulkan bantuan untuk kaum fakir. Warga Bojonegoro, Ngawi, Blora, dan Cepu datang menghadiri pengajian. �Mbah Noto ini guru ngaji Sekarmadji,� kata Yunani. �Beliau punya mesin tik.�

Murid Noto lainnya adalah Suroatmodjo, juga anggota PSII. Putranya, Slamet, 67 tahun, berkisah tentang sang guru ngaji berdasarkan penuturan ayahnya. Noto berasal dari Surakarta. Istrinya dari Montong, Tuban. Tutur katanya halus, dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop. �Katanya, Noto keturunan Keraton Mangkunegaran,� ujar Slamet.

Dalam perenungan guru-murid menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana.

Rumah ayah Slamet, Suroatmodjo, di Dusun Sale, Sumembramum, Ngraho, sekitar 45 kilometer di barat Bojonegoro. Rumah ini kerap digunakan sebagai tempat rapat tokoh PSII. �Kami menyebutnya pertemuan rahasia, sering dihadiri orang tak dikenal,� kata Slamet.

Pada 1950-an, sebulan penuh Noto diperiksa polisi Ngawi. Polisi tidak menemukan bukti keterlibatannya dalam pemberontakan DI/TII. Hubungan Noto dan Sekarmadji dianggap hanya bersifat keagamaan. Pensiunan sinder kehutanan itu pun bebas dari tuduhan.

Tak jelas benar kapan persisnya Sekarmadji berguru pada Noto. Mungkin ketika Sekarmadji masih tinggal bersama ayahnya, atau ketika dia kuliah di Surabaya. �Kami tak tahu,� kata Nuk Mudarti.

Haji Damamini, 81 tahun, tokoh Masyumi dan Muhammadiyah di Ngraho, bercerita tentang sosok Noto. Menurut dia, Noto tersohor di seantero Cepu dan kota-kota di sekitarnya. �Dia punya indra keenam,� kata Damamini. Kemampuan itulah yang menerbitkan simpati dan hormat banyak orang kepada Noto.

Hubungan Noto-Sekarmadji banyak diwarnai kisah yang susah ditelusuri kebenarannya. Ahmad, 60 tahun, salah satu santri Noto, pernah mendengar kisah pertemuan Noto-Sekarmadji di tepi Bengawan Solo pada 1948. Ketika itu, sang murid hendak mengambil keputusan penting: hijrah ke Malangbong.

Dalam perenungan guru-murid, menurut kisah yang didengar Ahmad, muncul dua sosok. Noto menaiki macan putih, yang diartikan sebagai pandita. Adapun sosok Sekarmadji muncul dengan menaiki kuda putih, simbol pengelana. Noto meminta muridnya memperdalam agama dulu. Namun Sekarmadji nekat dan memilih pergi ke Malangbong. �Mereka lalu berpisah,� kata Ahmad.

Noto terus mengajar ngaji hingga wafat, pada 1971. Dia dimakamkan di Padangan. Jejak Sekarmadji pun semakin kabur sepeninggal sang guru. Ahmad mengenang, �Hanya Mbah Noto yang tahu hati Sekarmadji.�

Imam Pemberontak dari Malangbong

Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan darul islam. hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

DI Teluk Jakarta, sang �Imam� mengembuskan napas terakhir setelah tubuhnya diterjang peluru regu tembak. Toh, hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo masih terus mengilhami berbagai kelompok di negeri ini yang ingin menegakkan sebuah �Negara Islam�-baik dengan jalan damai maupun kekerasan.

Kendati dikenal sebagai pemimpin Islam, pria kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1907, itu sesungguhnya sosok yang tak terlalu �islami�. Ayahnya, Kartosoewirjo, adalah seorang mantri candu-pangkat yang cukup tinggi untuk seorang �inlander� di masa kolonial. Candu dan Islam jelas bukan pasangan yang padan.

Keluarga Kartosoewirjo memang tergolong priayi feodal, dan bukan pemeluk Islam yang taat. �Keluarga kami cenderung abangan,� kata salah seorang anggota keluarga di Cepu. Masa kecil Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pun tak karib dengan pendidikan agama. Dia terus-menerus menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

Setelah menamatkan Inlandsche School der Tweede Klasse, yang dikenal sebagai �Sekolah Ongko Loro�, Karto kecil melanjutkan sekolah ke Hollands Inlandsche School di Rembang, Jawa Tengah. Setelah itu, dia meneruskan pendidikan ke Europeesche Lagere School, sekolah elite khusus untuk anak Belanda, di Bojonegoro, Jawa Timur.

Hanya anak pribumi cerdas dan berasal dari keluarga amtenar yang boleh masuk sekolah itu. Kemudian dia melanjutkan lagi pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School-biasa disebut Sekolah Dokter Jawa-di Surabaya.

Di masa remaja, Kartosoewirjo yang mulai tertarik pada dunia pergerakan justru akrab dengan pemikiran kebangsaan-bahkan �kiri�. Dia diketahui banyak membaca buku sosialisme yang diperoleh dari pamannya, Mas Marco Kartodikromo.

Marco dikenal sebagai wartawan dan aktivis Sarekat Islam beraliran merah. Terpengaruh bacaan itu, Kartosoewirjo terjun ke politik dengan bergabung di Jong Java dan kemudian Jong Islamieten Bond.

Pengetahuan agama Islam praktis digalinya secara otodidak, lewat literatur berbahasa Belanda dan persentuhan dengan sejumlah kiai. Guru mengajinya yang pertama adalah Notodihardjo, aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia sekaligus Muhammadiyah di Bojonegoro. Penampilan Notodihardjo tipikal Islam-Jawa: tutur katanya halus dan dia selalu mengenakan blangkon, beskap, dan selop.

Adapun gurunya di dunia pergerakan, sekaligus guru agamanya terbesar, tak pelak lagi adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto-tokoh yang disebut Belanda �Raja Jawa tanpa Mahkota�. Terpesona oleh pidato �singa podium� itu, Karto melamar menjadi murid dan mulai mondok di rumah Ketua Sarekat Islam itu di Surabaya.

Untuk membayar uang pondokan, Karto bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokroaminoto. Ketekunan dan kecerdasan membawa Kartosoewirjo menjadi sekretaris pribadi mertua pertama Soekarno itu.

Patut dicatat, Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru bagi Semaoen yang beraliran komunis dan Soekarno yang beraliran nasionalis. Kesamaan tujuan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda membuat mereka bersatu dan mengesampingkan perbedaan.

l l l

KETIKA tinggal di Malangbong, Garut, Kartosoewirjo kembali mempelajari Islam dari sejumlah ajengan, alias kiai lokal, seperti Ardiwisastra dari Malangbong, Kiai Mustafa Kamil dari Tasikmalaya, dan Kiai Yusuf Tauziri dari Wanareja. Ardiwisastra belakangan menjadi mertua dan sekutu dekatnya dalam perjuangan menegakkan Negara Islam.

Sebaliknya, Yusuf Tauziri menjadi lawan tangguh dalam arti sesungguhnya bagi Kartosoewirjo. Beberapa kali anak buah Yusuf yang menolak proklamasi Darul Islam terlibat baku tembak dengan pasukan Kartosoewirjo di medan tempur.

Dengan latar belakang Islam-Jawa seperti itu, bukan hal ajaib jika muncul cerita Kartosoewirjo pernah melakukan tapa geni tidak makan dan tidak minum selama 40 hari di Gua Walet, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dia meyakinkan pengikutnya bahwa bertapa juga dilakukan Rasulullah ketika memperoleh wahyu pertama di Gua Hira.

Dalam buku Pedoman Dharma Bhakti Negara Islam Indonesia jilid ketiga, Kartosoewirjo disebut dengan banyak julukan: Ratu Adil, Imam Mahdi, Sultan Heru Tjokro, dan Satrija Sakti. Julukan itu sesuai dengan ramalan Joyoboyo, raja sekaligus pujangga Jawa yang menubuatkan akan munculnya seorang pemimpin umat manusia.

Konon ada pula kepercayaan mistis di kalangan masyarakat Jawa Barat bahwa Kartosoewirjo akan bisa menjadi Ratu Adil dan selalu menang perang jika bisa menyatukan dua senjata pusaka: keris Ki Dongkol dan pedang Ki Rompang. Kedua pusaka itu memang selalu dibawanya ketika bergerilya di hutan.

Menyimak profil Kartosoewirjo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bahtiar-dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville, yang dianggapnya merugikan kepentingan umat Islam, untuk memberontak dari �pemerintahan kafir� Soekarno.

Toh, pemberontakan Kartosoewirjo di Jawa Barat bersama Daud Beureueh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan telah ikut mewarnai sejarah pembentukan Republik yang masih berusia muda. Puluhan tahun setelah ketiga tokoh itu wafat, semangat mendirikan Negara Islam terbukti tak kunjung padam di kalangan sebagian umat Islam. Kaderisasi di antara mereka pun sepertinya tak pernah terputus.

Pengusung cita-cita Negara Islam itu boleh saja terpecah-belah karena alasan ideologi atau kepentingan pribadi pemimpinnya. Ada yang memilih mengembangkan pendidikan, berjuang dengan program advokasi, ada pula yang tetap menghalalkan jalan kekerasan. Kelompok lain diyakini menjadi cikal bakal Jamaah Islamiah. Namun semuanya tetap mengaku penerus cita-cita Kartosoewirjo.

l l l

UNTUK mengumpulkan bahan penulisan edisi khusus Kartosoewirjo ini, kami mengundang beberapa ilmuwan, peneliti, dan saksi sejarah dalam beberapa sesi diskusi di kantor redaksi Tempo. Ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, dan Solahudin, seorang peneliti Darul Islam, memberikan banyak perspektif tentang tokoh karismatis ini. Mereka juga memberikan rujukan sejumlah literatur mengenai Kartosoewirjo dan gerakan Darul Islam, dari karya klasik sampai kontemporer.

Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, menceritakan pergulatan keluarganya yang dianggap sebagai gembong pemberontak. Memang, setelah ayahnya dieksekusi, giliran dua kakak kandungnya, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki, tampil menjadi tokoh baru Darul Islam.

Riwayat Sardjono sendiri cukup unik. Dia lahir di hutan, di medan gerilya ayah dan ibunya. Usianya baru lima tahun ketika Kartosoewirjo tertangkap dan seluruh keluarganya memutuskan menyerah dan keluar dari hutan. Dengan ingatan kanak-kanak yang terbatas, dia membantu merekonstruksi apa yang terjadi di hutan, di saat-saat terakhir perlawanan sang Imam dan pengikutnya.

Kami juga mengundang Sofwan, bekas juru warta Ma�had Al-Zaytun, yang dikenal sebagai pesantren milik bekas pengikut Negara Islam Indonesia. Mantan tangan kanan Abdussalam Toto alias Panji Gumilang ini mengaku sudah keluar �secara baik-baik� dari Al-Zaytun. Diskusi yang berlangsung seru dan kadang diselingi gelak tawa itu selalu diawali makan siang atau makan malam ala Tempo.

Melengkapi tulisan, kami melakukan napak tilas ke sejumlah tempat bersejarah. Sardjono menemani dan menunjukkan lokasi-lokasi tempat Kartosoewirjo dan anak buahnya pernah bergerilya selama 13 tahun di hutan dan gunung sekitar Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Bersama Sardjono pula kami pergi ke Pulau Onrust di Teluk Jakarta. Di sana ada sebuah makam yang diyakininya sebagai kubur ayahnya. Selama ini sejumlah literatur dan saksi sejarah hanya bercerita bahwa Kartosoewirjo dieksekusi dengan ditembak mati di sekitar Teluk Jakarta. Namun tak diketahui di mana jenazah sang Imam dikebumikan.

Tim Edisi Khusus Kartosoewirjo :
Penanggung Jawab: Nugroho Dewanto Kepala Proyek: Bagja Hidayat Penyunting: Nugroho Dewanto, Bina Bektiati, Mardiyah Chamim, Idrus F. Shahab, Purwanto Setiadi, Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Muhammad Taufiqurohman, L.R. Baskoro, Seno Joko Suyono, Hermien Y. Kleden, Amarzan Loebis Penulis: Nugroho Dewanto, Bagja Hidayat, Sunudyantoro, Harun Mahbub Billah, Dwidjo Utomo Maksum, Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Yophiandi Kurniawan, Anne L. Handayani, Nurkhoiri, Fery Firmansyah, Angelus Tito Sianipar, Yuliawati, Ramidi, Erwin Dariyanto, Ahmad Taufik, Oktamandjaya Wiguna, Sapto Pradityo, Nurdin Kalim, Retno Sulistyowati, Suryani Ika Sari Penyumbang Bahan: Widiarsi Agustina, Cheta Nilawaty (Jakarta), Gilang Mustika Ramdani, Ahmad Fikri, Angga Wijaya (Bandung), Sigit Zulmunir (Garut), Jayadi Supriyadin (Tasikmalaya), Deden abdul Aziz (Sukabumi) Sudjatmiko (Rembang, Cepu, Bojonegoro), Sohirin (Semarang), Erwin Dariyanto (Brebes), Kukuh S. Wibowo (Surabaya) Bahasa: Uu Suhardi, Dewi Kartika Teguh W., Sapto Nugroho Foto: Aryus P. Soekarno (Koordinator), Bismo Agung, Dwi Narwoko, Aditya Herlambang Desain: Gilang Rahadian, Eko Punto Pambudi, Hendy Prakasa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri Watno Widodo

Selasa, 06 Oktober 2009

Politbiro PKI, Njoto, dan G30S

Oleh: John Roosa

SELAMA 32 tahun berkuasa, rezim Soeharto menggunakan segala macam propaganda untuk mengindoktrinasi rakyat bahwa PKI lah yang bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa G30S. Sampai hari ini, buku-buku pelajaran dilarang dan dibakar karena menuliskan G30S, bukan G30S/PKI. Tapi apa artinya mengatakan PKI yang bertanggung jawab?

Apakah itu berarti bahwa tiga juta anggota partai itu bertanggung jawab semua? Jelas tidak. G30S itu merupakan aksi konspirasi; ia diorganisasi secara rahasia. Ia berhasil menculik dan membunuh enam orang jenderal karena ia berhasil mencapai unsur kejutan. Orang tidak bisa membayangkan tiga juta orang Indonesia diberi tahu sebelumnya mengenai rencana itu, lalu bisa menjaga kerahasiaannya.

Namun entah bagaimana juga Soeharto menyalahkan mereka. Tentara memimpin penangkapan massal sekitar 1,5 juta orang dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Sebuah penerbitan Lemhannas pada 1969 yang dipakai dalam kursus yang diselenggarakan lembaga itu bagi para pejabat negara memuat pertanyaan: "Apakah setiap anggota PKI tentu terlibat dalam G30S/PKI?" Jawabannya, sudah pasti, ya: "Setiap orang berkewajiban melaporkan pada penguasa bila ia mengetahui bahwa suatu kejahatan akan dilakukan."

Demikianlah, setiap anggota PKI bertanggung jawab karena mereka tahu sebelumnya mengenai bakal dilakukannya tindakan kejahatan itu, tapi tidak memberitahukannya kepada aparat pemerintah. Argumentasi semacam ini tidak masuk akal mengingat bahwa Soehartolah yang telah diberi tahu sebelumnya mengenai bakal terjadinya tindakan itu, bukan tiga juta anggota partai itu.

Patut dicatat bahwa buku putih mengenai G30S yang diterbitkan rezim Soeharto tidak mengklaim bahwa semua anggota partai diberi tahu sebelumnya mengenai aksi yang akan dilakukan itu. Laporan resmi yang diterbitkan pada 1994 itu mengklaim bahwa Politbiro PKI memutuskan dilancarkannya G30S dan kemudian menggunakan jaringan rahasia partai di dalam tubuh militer, Biro Khusus, untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Versi peristiwa seperti ini setidak-tidaknya tampak masuk akal, berbeda dengan klaim yang menyatakan bahwa setiap anggota partai ikut serta. Tapi ada beberapa masalah dengan versi semacam ini. Buku putih itu tidak konsisten. Judul bagian yang membahas persoalan ini berbunyi: "Keputusan CC [Comite Central] PKI untuk Melancarkan Gerakan Perebutan Kekuasaan." Namun isinya cuma mengatakan keputusan itu dibuat oleh Politbiro (yang beranggotakan sekitar 12 orang). Comite Central itu seluruhnya beranggotakan 85 orang. Sulit mempercayai suatu badan dengan anggota sebanyak itu bisa membahas rencana G30S itu atau bahkan diberi tahu mengenai rencana itu sendiri. Mayjen Parman, kepala intelijen angkatan darat yang dibunuh G30S, mempunyai mata-mata di markas PKI. Jika setiap anggota CC tahu mengenai G30S, Parman juga pasti tahu-dan dapat mencegahnya.

Masalah lainnya dengan buku putih itu adalah ia tidak mengutip sumber dari informasi yang diperolehnya. Pembaca tidak diberi tahu di mana penulis memperoleh informasi mengenai pengambilan keputusan internal tingkat tinggi partai itu. Pada akhir 1965, tentara diam-diam telah menangkap dan mengeksekusi banyak pemimpin PKI yang duduk dalam Politbiro: Aidit, Lukman, Njoto, dan Sakirman. Tentara membunuh seorang lagi pada 1968: Oloan Hutapea. Anggota Politbiro yang selamat dan sempat berbicara atau menulis (Sudisman, Njono, Munir, Peris Pardede, dan lain-lain) memberikan keterangan yang berbeda-beda mengenai apa yang telah terjadi. Sebagian besar tidak berbicara apa-apa mengenai keputusan Politbiro. Keterangan dalam buku putih mengenai Politbiro itu tidak bisa dipercaya karena tidak memberikan evaluasi yang kritis mengenai sumber-sumber informasinya.

Pernyataan yang paling dapat dipercaya dari seorang anggota Politbiro yang berhasil menyelamatkan diri adalah pidato "Uraian Tanggung Jawab" yang disampaikan Sudisman di depan mahkamah yang mengadilinya pada 1967. Dengan "yang dapat dipercaya", saya tidak mengartikannya sebagai "benar"; saya mengartikannya sebagai "mungkin benar". Pernyataan yang dibuat Sudisman itu tidak dibuat di bawah tekanan. Ia tahu bahwa ia bakal dihukum mati dan ia menghadapi kematian itu dengan gagah berani.

Berbeda dengan beberapa pemimpin PKI lainnya, ia tidak berupaya memberikan keterangan yang menyenangkan tentara dengan harapan supaya diperlakukan dengan baik. Bukannya melakukan pembelaan diri dan membantah tuduhan atas dirinya serta memohon ampunan dari pengadilan, ia menulis suatu pesan yang ditujukan kepada para pendukung partai. Sebagai satu-satunya pemimpin senior partai yang berhasil menyelamatkan diri, ia ingin memikul tanggung jawab atas tindakan yang dilakukan "oknum-oknum partai" yang sebenarnya terlibat dalam G30S.

Sudisman mengakui ia memang terlibat dalam G30S sebagai individu pemimpin, tapi partai secara keseluruhan sama sekali tidak pernah diberi tahu sebelumnya mengenai aksi yang akan dilakukan: "Tokoh-tokoh PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam G30S, tetapi PKI sebagai partai tidak terlibat dalam G30S."

Ia mengatakan bahwa anggota PKI bersikap pasif setelah terjadinya G30S justru karena mereka sama sekali tidak diberi tahu mengenai aksi yang akan dilakukan itu. Karena mereka tidak melawan pembersihan yang dilakukan tentara, mereka "menjadi korban pembunuhan massal". Semua ini tidak bakal terjadi "jika PKI mempersiapkan dan disiapkan untuk G30. "Ia memprotes praktek penangkapan yang dilakukan tentara terhadap keluarga-keluarga PKI yang bahkan tidak terlibat dalam urusan partai, apalagi dalam G30S: "Apakah dosa Nyonya Njoto bersama anak-anaknya... sampai dijebloskan di tahanan sel Kodim Budi Kemulyaan?"

Sudisman tidak memberikan keterangan yang terperinci mengenai pengambilan keputusan yang dilakukan Politbiro. Ia hanya menyebutkan Aidit mengatakan kepada Politbiro bahwa beberapa "perwira maju" sedang mempersiapkan aksi untuk mencegah kup oleh Dewan Jenderal. Implikasinya adalah Politbiro memberikan wewenang kepada beberapa di antara para anggotanya, seperti Aidit, Njono, dan Sudisman, untuk membantu aksi yang akan dilakukan perwira-perwira militer itu. Tokoh-tokoh PKI ini tidak memimpin aksi itu, demikian menurut Sudisman. Mereka cuma memainkan peran pendukung.

Keterangan paling terperinci mengenai pengambilan keputusan Politbiro ini ditulis oleh Iskandar Subekti, yang saat itu menjabat panitera dalam Politbiro. Ketika menjalani hukuman dalam penjara Cipinang pada akhir 1980-an, Subekti menulis apa yang diketahuinya mengenai diskusi yang diadakan Politbiro mengenai rencana G30S. Subekti menulis dokumen ini untuk pimpinan partai yang berhasil menyelamatkan diri dan yang tidak mengetahui apa yang telah dilakukan Politbiro. Adanya dokumen ini merupakan bukti Politbiro tidak memberi tahu pemimpin-pemimpin partai lainnya mengenai diskusi yang berlangsung dalam Politbiro tentang rencana G30S.

Subekti menulis-tangan teks dokumen itu pada halaman-halaman sebuah notebook kecil dan kemudian menyelundupkannya ke luar penjara. Satu salinan lengkap dari halaman-halaman itu dikirim kepada Jusuf Adjitorop di Beijing. Ia adalah anggota Politbiro yang kebetulan berada di Cina pada 1965. Ia selamat dan hidup dalam pengasingan. Pengarang yang terkenal dan prolifik, Hersri Setiawan, ketika melakukan penelitian mengenai sejarah mereka yang hidup dalam pengasingan ini, membuat fotokopi teks itu pada 1990-an dan menitipkannya pada International Institute for Social History di Amsterdam, tempat dokumen itu sekarang bisa didapat oleh para peneliti.

Subekti, seperti Sudisman, mengatakan beberapa pemimpin PKI sebagai individu memang terlibat dalam G30S tapi partai sebagai lembaga tidak terlibat. Berbeda dengan Sudisman, ia melukiskan bagaimana kerja internal partai. Ia mengatakan Aidit telah membentuk suatu kelompok kecil untuk membahas bantuan yang dapat diberikan partai kepada aksi yang akan dilakukan militer itu. Pada Agustus 1965, Aidit memberikan briefing di muka Politbiro dan "rapat Politbiro diperluas" (artinya anggota CC yang kebetulan di Jakarta diizinkan turut hadir). Tapi ia cuma menyampaikan briefing kepada para anggota Politbiro itu mengenai kemungkinan bakal terjadinya aksi militer. Ia tidak meminta mereka membuat keputusan mengenai hal itu.

Untuk membantunya membuat keputusan-keputusan yang sensitif mengenai G30S, Aidit memilih cuma anggota Politbiro yang paling dipercayanya. Menurut Subekti, tim inti yang membahas rencana G30S terdiri atas Lukman, Sudisman, Oloan Hutapea, Rewang, dan Subekti (sebagai "tukang catat"). Anggota Politbiro lainnya tidak diizinkan ikut hadir dalam pembicaraan. "Kawan Njoto sama sekali tidak mengetahui. Ia lama sekali tidak diajak Aidit dalam diskusi-diskusi mengenai gerakan ini serta perencanaan dan pelaksanaannya." Njoto tidak dipercaya Aidit karena "berdasarkan pengalaman, lebih dianggap Soekarnois daripada komunis".

Dokumen yang ditulis Subekti ini menunjukkan betapa rahasianya perencanaan aksi G30S. Sebagian besar anggota Politbiro tidak diikutsertakan dalam perencanaan. Mereka telah sepakat dalam rapat terakhir Politbiro pada akhir Agustus bahwa partai harus memberikan dukungan politik kepada suatu gerakan yang merupakan urusan internal militer di bawah pimpinan "perwira-perwira progresif". Setelah itu, Aidit tidak lagi mengadakan rapat Politbiro. Ia sibuk dengan perencanaan gerakan militer itu. Tim inti mengadakan rapat beberapa kali pada September.

Kepala Biro Khusus, Sjam, hadir dalam rapat-rapat itu. Ia berhasil meyakinkan Aidit bahwa perwira-perwira militer yang akan mengadakan aksi terhadap Dewan Jenderal itu memiliki dukungan pasukan yang besar di belakang mereka dan mampu menarik lebih banyak lagi pasukan setelah dimulainya aksi. Ia dengan ngawur melebih-lebihkan kekuatan Untung, Latief, dan lainnya. Aidit, yang sudah menutup diri terhadap pendapat dari orang-orang seperti Njoto, akhirnya terlalu percaya dengan penilaian yang diberikan Sjam.

Justru kerahasiaan yang ekstrem sekitar G30S inilah yang turut menyebabkan gagalnya gerakan ini. Bahkan segelintir anggota partai yang diminta membantu aksi militer (seperti mereka yang tergabung dalam sukarelawan di Jakarta) tidak diberi cukup informasi sehingga tidak mengerti tugas apa sebenarnya yang harus mereka lakukan. Para pemimpin partai cuma diminta mendengarkan radio dan menunggu instruksi. Tapi pesan-pesan radio yang disampaikan G30S begitu membingungkan sehingga tidak ada gunanya sama sekali. Maka partai secara keseluruhan, termasuk Njoto, tetap pasif, sementara propaganda tentara secara tidak masuk akal menggambarkan mereka sebagai gerombolan barbar yang buas, yang bertekad membunuh dengan sadistis jutaan orang non-komunis.

*) Penulis adalah dosen sejarah di University of British Columbia (Vancouver, Kanada) anggota Institut Sejarah Sosial Indonesia, dan penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (2008),

Seorang Istri Empat Dasawarsa Kemudian

PEREMPUAN berambut putih dengan kulit keriput itu terdiam. Matanya menerawang. Ini hari raya Idul Fitri 2009 Lebaran ke-81 yang telah ia lalui. Tanpa suami, ia berkumpul beserta tujuh anak dan 12 cucu.

Sudah lebih dari empat dasawarsa, Soetarni, 81 tahun, tak lagi bertemu Njoto, suaminya. Tokoh Partai Komunis Indonesia itu lumat bersama prahara 1965.

Soetarni sendiri ditahan. Di bui ia sempat membawa putri sulungnya yang belum lagi remaja. Kini ibu dan anak cucu itu berkumpul kembali: menghayati masa kini, melupakan masa lalu yang kelam....

Kalau Sayang, Aturan Dilangkahi

SIDANG otokritik di kantor Harian Rakjat itu masih lekat di ingatan Amarzan Ismail Hamid. Kala itu dia harus menghadapi seluruh jajaran redaksi lantaran menyalahi aturan kantor karena melampaui batas cuti untuk pulang ke Medan pada September 1964. Cuti yang diajukan dua minggu diterabasnya hingga dua bulan. "Saya harus mengakui kesalahan," kata mantan wartawan Harian Rakjat itu kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Toh, Pemimpin Redaksi Njoto tak peduli terhadap sidang yang baru dijalani Amarzan. Dia malah mengirim Amarzan ke Tiongkok untuk memenuhi undangan liputan Perayaan 15 Tahun Republik Rakyat Cina. "Kalau dia (Njoto) sudah sayang, aturan bisa dilangkahi," kata Amarzan.

Padahal delegasi yang dikirim ke Tiongkok bukanlah delegasi biasa karena inilah delegasi pertama dan terakhir dari Harian Rakjat. Mereka yang berangkat menghadiri perayaan itu merupakan orang-orang terpilih, seperti Wakil Ketua Harian Rakjat M. Naibaho, Redaktur Luar Negeri Juliarso, Redaktur Dalam Negeri Samtiar, dan Redaktur Olahraga Baroto. "Dia memang orang yang pilih kasih," kata Amarzan.

Ketika digelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo)-ajang olahraga tandingan Olimpiade ciptaan Presiden Soekarno-redaksi membentuk tim untuk meliputnya. Ternyata yang meliput harus mengenakan dasi dan jas. Tak ada yang punya dasi. Walhasil, redaksi meminta Njoto meminjamkan dasinya. Tak berapa lama datanglah Hardono, pengawal Njoto, yang menyerahkan beberapa dasi kepada tim redaksi. Tiba-tiba Hardono memanggil Amarzan dan memberinya satu ikat dasi. "Untuk Bung," kata Ardono, "khusus dipilih Bung Njoto." Dasi itu buatan Italia, sedangkan yang lain bermerek Shanghai. "Yang seperti saputangan," kata Amarzan tertawa.

Perlakuan istimewa juga pernah dirasakan Umar Said. Ketika menjadi wartawan Harian Rakjat, dia pernah ditawari Njoto untuk memimpin sebuah surat kabar di Padang, Sumatera Barat, pada 1956. Ketika itu sedang terjadi ketegangan politik menentang berbagai kebijakan pemerintah pusat hingga memunculkan suara-suara anti-Bung Karno dan anti-Partai Komunis Indonesia. "Padahal pengalaman saya menjadi wartawan baru lima tahun," kata Umar, yang saat itu berusia 26 tahun dan belum menikah.

Menurut mantan Pemimpin Harian Ekonomi Nasional ini, tak mudah "memasuki" daerah Minangkabau, karena sebelumnya dia bekerja di Harian Rakjat, organ sentral PKI. Ditambah lagi dia berasal dari Jawa Timur, yang merupakan "orang luar" bagi masyarakat Minang. Rupanya Njoto sudah mengantisipasi kekhawatiran Umar. Dia menyarankan Umar bertemu dengan Bachtarudin, anggota Comite Central PKI yang terkenal di Sumatera Barat karena perjuangannya di zaman revolusi 1945. Karena nasihat itu, Umar dapat memimpin Harian Penerangan sampai 1960.

Sikap pilih kasih, menurut Amarzan, menjadi salah satu kelemahan Njoto. "Ini menimbulkan iri hati," katanya. "Tapi saya tidak tahu adakah orang yang dia benci," katanya. Namun, menurut Jane Luyke, tidak ada masalah dengan sikap Njoto yang pilih kasih ini. "Kalau soal pilih-pilih teman, bukan Njoto saja," ujar istri Oey Hay Djoen ini. "Kita juga begitu (pilih-pilih teman)."

Bagi Jane, mengenal Njoto menimbulkan sebuah kekaguman tersendiri. "Dia itu serbabisa dan serba-mengetahui," katanya. Senada dengan Jane, orang-orang yang pernah dekat dengan Njoto, seperti Amarzan, Umar Said, Joesoef Isak, dan Oey Hay Djoen, juga menangkap kesan yang sama. Buat mereka, Njoto ahli di berbagai bidang, mulai urusan politik, seni, olahraga, hingga tempat-tempat yang menyajikan makanan lezat.

Nama Njoto, menurut Amarzan, tidak mencerminkan penampilannya. Mulanya, Amarzan tak percaya bahwa Njoto adalah orang yang pintar. "Soalnya, ini nama Jawa yang paling jelek," katanya. Foto Njoto ketika itu, menurut dia, juga tak menggambarkan orang yang camera face. Ternyata, setelah bertemu langsung dengan Njoto pada 1962 dalam Konferensi Nasional Lekra di Bali, barulah Amarzan mengaguminya. "Ternyata orangnya tahu banyak hal," katanya. "Dan lebih ganteng dari fotonya."

Tak hanya berpengetahuan luas, bagi Joesoef Isak, prestasi Njoto pun sangat mengagumkan. Kepiawaiannya di bidang politik sudah tecermin sejak muda. Misalnya, ketika masih berusia 16 tahun, Njoto sudah bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat. Di usia itu pula dia didapuk menjadi Ketua Fraksi PKI di parlemen. Padahal syarat menjadi ketua fraksi minimal berusia 18 tahun. "Dia itu jenius," ujar pendiri penerbit Hasta Mitra itu.

Joesoef menyayangkan cerita tentang Njoto yang simpang-siur pasca-1965. "Jangan gambarkan Njoto itu PKI yang keras kepala dan doktriner," ujar Joesoef. "Dia sangat manusiawi sekali."

Joesoef mencontohkan, sebelum 1965, semua orang berebut kuota naik haji karena ketika itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekkah, walau punya uang. Teman Joesoef, Tom Anwar, wartawan Bintang Timur, mengatakan ibunya yang berusia 60 tahun ingin naik haji tapi tak juga dapat. Tanpa sengaja Tom menyampaikan keluh-kesahnya kepada Njoto. Njoto kemudian mengusahakan satu jatah untuk ibu Tom. Berkat upaya Njoto, ibunda Tom bisa naik haji.

Hal senada juga dikatakan Amarzan. Menurut dia, Njoto seperti bukan orang PKI. "Karena hidupnya borjuis," ujarnya. Sedangkan anggota PKI kebanyakan adalah puritan, misalnya tidak minum Bir dan tidak pacaran. "Dia merepresentasikan PKI yang sama sekali berbeda," katanya.

Pada saat tulisan Joesoef tentang Mozart mendapat pujian Njoto, Joesoef kemudian berniat mengetes pengetahuan Njoto tentang musik. Ketika mereka bertemu dalam sebuah resepsi di Kedutaan Ceko, Joesoef banyak bertanya kepada Njoto tentang Mozart. "Dia menjelaskan kepada saya jauh dari pengetahuan saya," kata Joesoef kagum. "Dia betul-betul mengerti soal musik."

Bukan saja mengetahui banyak hal tentang syair dan komponis, Njoto piawai pula memainkan alat musik. Joesoef mengatakan, ketika mereka masuk ke sebuah toko musik di Amsterdam, Belanda, ada penemuan baru berupa saksofon pada 1965. Njoto kemudian meminjam ritme kepada seorang penjaga toko dan memainkan saksofon itu. Di tempat yang sama, Njoto memainkan lagu keroncong dengan gitar listrik. "Penjaga dan pengunjung toko terdiam melihat dia main," kata Joesoef.

Menurut Joesoef, Njoto orang yang suka humor. Misalnya, ketika mampir di sebuah toko buku di Amsterdam, Njoto memilih membeli tiga buku lelucon miring yang setengah porno. Kemudian dia membagikan buku itu, "Ini satu untuk Bung, satu untuk saya, dan satu untuk Bung Karno."

Perbedaan sikap Njoto dengan anggota PKI lainnya diakui Jane. Sementara aktivis partai yang lain sibuk rapat dan meninggalkan istri serta anaknya di rumah, Njoto malah sering membawa istri dan anaknya ke mana-mana, misalnya ketika Njoto mengikuti diskusi atau melihat latihan drama di pusat kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat di Jalan Cidurian, Cikini, Jakarta Pusat. "Supaya setengah rekreasi," kata Jane menirukan ucapan Njoto.

Setiap Ahad, Njoto sering mengajak keluarganya rekreasi ke Puncak, Jawa Barat. "Sepulang dari jalan-jalan, dia bawa oleh-oleh sayur-sayuran," kata Jane mengenang. Saking seringnya berekreasi, menurut dia, Njoto dijuluki Orang Kaya Baru. "Tapi apakah orang PKI tidak boleh jalan-jalan ke Puncak?" Jane balik bertanya.

Jasa Njoto juga sangat terasa bagi suami Jane, Oey Hay Djoen. "Aku dipungut lagi oleh Njoto," kata Oey dalam video essay Mengenang Oey Hay Djoen, Juli 2008. Pada saat itu Oey kehilangan arah karena ditinggalkan teman-temannya lantaran baru dibebaskan dari penjara Lowok Waru, Malang, 1947. Dia ditahan Belanda karena dianggap ekstremis. "Njotolah yang membesarkan Oey," kata Jane. Njoto mengajak Oey menjadi pengurus Lekra dan anggota parlemen. "Njoto memberikan tempat bagi Oey untuk berkarya," ujar Jane.

Selain piawai di bidang politik, seni, dan olahraga, Njoto paham betul soal makanan. Tak hanya rasa, dia tahu di mana dan kapan tepatnya menyantap makanan tertentu. Njoto sering mengajak teman-temannya makan ayam goreng di Jalan Blora, bubur ayam di Senen, nasi gulai kambing di Jalan Gondangdia Lama, dan bakmi di Jalan Krekot, Jakarta Pusat. Adapun tempat makan yang dipilih Njoto untuk tamu resmi, yakni Restoran Red Table di kawasan Glodok, Jakarta Barat.

Pernah satu kali Amarzan makan bersama Njoto di sebuah restoran di Jalan Pintu Besi, Jakarta Pusat. Di situ, mereka memesan menu merpati goreng. Sambil menunggu pesanan, Njoto menjawil Amarzan dan mengatakan bahwa makan merpati itu paling enak di Shanghai. "Saya tidak tahu, saya tidak pernah ke Shanghai," jawab Amarzan. Mendengar itu, dengan enteng Njoto berkata, "Kalau begitu, besok kau pergi ke Shanghai." Adapun menu sup burung merpati, menurut Njoto, tidak cocok disantap pada siang hari. "Sup itu cocok untuk makan malam, sebelum hidangan pokok," kata Njoto.

Puisi Pamflet Sang Ideolog

JARAK Yogyakarta-Solo dilipat oleh Njoto dengan surat-surat panjang, lengkap dengan berbaris-baris puisi cintanya. Surat itu sering dikirimnya ke Soetarni, perempuan keturunan ningrat Keraton Surakarta, yang bermukim di Solo, pada 1950-an.

"Itu surat atau koran?" kata ayah Soetarni kala itu. Surat Njoto panjang-panjang, bahkan menurut Soetarni, kini 81 tahun, sampai puluhan halaman. Dari lembar-lembar itu lahirlah rasa tertarik yang pada akhirnya membuat dia menerima pinangan pemuda yang kemudian menjadi satu dari tiga serangkai tokoh Partai Komunis Indonesia itu. Sayang, surat-surat cinta itu turut musnah bersamaan dengan pecahnya peristiwa 30 September 1965 dan kocar-kacirnya keluarga Njoto.

Njoto dikenal sebagai politikus yang memiliki minat besar terhadap kesenian, sastra, dan musik. "Dalam hal seni dan budaya, Njoto sangat kental. Setiap terbit buku baru, dia pasti mencarinya. Dan, dia tidak pernah tidak membaca majalah kebudayaan yang baru terbit," kata Trikoyo, alumnus sekolah perwira angkatan darat Jepang yang turut membantu Njoto dan Dipa Nusantara Aidit menerbitkan Harian Rakjat dan Bintang Merah.

Trikoyo adalah putra Kiai Anom Dardiri Suromidjoyo, pemimpin Pondok Pesantren Naqsabandiyah di Kutoarjo, Jawa Tengah, yang dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul, Papua, pada 1926. Trikoyo, kini berusia 84 tahun, pernah 10 tahun mendekam di kamp tahanan Pulau Buru di masa Orde Baru.

Penulis cerita pendek ini sering mengobrol dengan Njoto, meski ia sudah tak ingat apa saja yang dibicarakannya. Ia cuma tak bisa melupakan minat sastra Njoto yang terbentang luas: dari buku karya pengarang Rusia seperti Nikolai Gogol dan Dostoevsky, hingga penulis yang ideologinya berseberangan. "Dia juga suka karya H.B. Jassin. Dia juga tidak meremehkan dan selalu memuji tulisan Hamka," katanya.

Svetlana Dayani, anak tertua Njoto, bercerita bahwa susunan koleksi buku ayahnya sampai ke langit-langit ruang kerjanya. Di rumah mereka di Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat, ia sering melihat sang ayah menggunakan tangga untuk mencapai buku di rak tertinggi. "Bahkan dia suka langsung membacanya di tangga itu," kata Svetlana, yang baru berusia sembilan tahun ketika kerusuhan politik pecah pada 1965.

Njoto banyak membaca, rajin menulis. Kalau mendapat ide, kata Trikoyo, ia biasanya langsung menuangkannya lewat mesin ketik, dengan "jurus 11 jari" alias hanya dengan telunjuk kiri dan kanan. Bila dalam perjalanan menulis itu muncul ide lain, dia akan mencabut kertas itu dan menggantinya dengan yang baru. "Tulisan sebelumnya tidak dia buang, tapi nanti dia lanjutkan," katanya.

Njoto suka menggunakan nama pena Iramani dalam tulisannya. Iramani adalah adik bungsu Njoto. Sejumlah puisi karya Njoto muncul dengan nama Iramani di Harian Rakjat, media resmi Partai Komunis Indonesia yang berkantor di Pintu Besar 93, Jakarta. Koran itu dipimpin Mula Naibaho, Njoto, dan Supeno. Itulah koran politik terbesar dengan oplah mencapai 23 ribu eksemplar pada 1950-1965.

September tahun lalu, sembilan puisi Njoto yang pernah muncul di harian itu diterbitkan kembali dalam sebuah buku. Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakyat 1950-1965, buku puisi yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan itu, berisi puisi Njoto berjudul "Tahun Baru", "Catatan Peking", "Jangtoe", "Shanghai", "Merah Kesumba", "Variasi Haiku", "Variasi Cak", dan "Pertemuan di Paris". Lima dari puisi itu mengangkat soal Cina dan ditulis dari negeri itu. Puisi "Jangtoe" di bawah ini, misalnya, ditulis di Cungking-Wunan pada 14 Oktober 1959:

Jangse mengalir
Kepalku menghilir
Dari Cangking ke Wuhan
Kujelajahi haridepan
Kujelajahi haridepan

Itulah jenis puisi yang, menurut Amarzan Ismail Hamid, redaktur Harian Rakjat Minggu saat itu, lahir dari kekaguman. Kala itu orang Indonesia sulit sekali pergi ke luar negeri, tapi orang-orang PKI agak gampang karena sering diundang pemerintah Cina atau Rusia. Harian Rakjat Minggu diasuh oleh Amarzan, Njoto, Banda Harahap, Basuki Resobowo, Zubir A.A., dan Bambang Sukawati Dewantara. Nama yang terakhir adalah putra bungsu Ki Hajar Dewantara.

Meski Njoto adalah pemimpin redaksi harian itu, dia tampaknya sangat sibuk mengurusi politik, sehingga jarang muncul di kantor redaksi. Salah seorang redaktur pernah berkata, selama dua tahun dia bekerja di sana, Njoto hanya muncul sepuluh kali. Meski begitu, menurut Svetlana dan Iramani, Njoto sering mengajak mereka ke kantor Harian Rakjat untuk melihat proses pencetakan medianya. "Kalau malam, pukul 9 sampai pukul 11 berada di kantor Harian Rakjat," kata Iramani.

Njoto suka berbicara tentang sastra tapi tak terlalu serius. "Misalnya ada cerita pendek Rusia yang baru terbit, dia ngomong sebentar, tidak sampai mendalam," kata Amarzan, yang baru berusia 22 tahun ketika bergabung di media itu pada Juni 1963.

Harian Rakjat edisi Minggu itu secara rutin memuat sebuah cerita pendek dan beberapa puisi, hasil seleksi kiriman para pengarang kiri dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dalam seminggu rata-rata ada lima pengirim cerita pendek dan 40 pengirim puisi. Setiap orang biasanya mengirim tiga puisi atau lebih, meski sesekali ada yang bahkan mengirim 20 puisi.

Pada masa itu puisi tumbuh subur di Jakarta. Penyair papan atas kala itu termasuk Banda Harahap, Sitor Situmorang, dan Agam Wispi dari kelompok kiri. Di luar itu ada pula Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Arifin C. Noer, Hartoyo Andangjaya, dan Budiman S. Hartoyo. Amarzan sendiri, dalam buku Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts, disebut sebagai penyair Lekra yang paling penting.

Para penyair kiri umumnya mengirim puisi ke Harian Rakjat Minggu, meski bila dimuat mereka tak mendapat honor. Koran setebal empat halaman itu seakan menjadi standar dalam sastra. Puisi yang dimuat biasanya memenuhi dua aspek-istilah mereka, dua tinggi-yaitu tinggi ideologinya dan tinggi estetikanya. Di antara karya penyair Lekra, puisi Njoto tidak bisa dibilang bagus, meski bukan puisi yang buruk. Kualitasnya rata-rata.

Sebagian besar puisi karya penyair Lekra itu berupa propaganda, slogan, atau yang disebut sajak poster. Kebanyakan, aspek ideologi dalam sajak mereka, kata Amarzan, masih mentah, asal menyerang tuan tanah, kapitalis birokrat, atau Amerika. "Sajak-sajak Njoto itu tinggi ideologi, tapi tidak berkibar-kibar. Kalau dibuat pemeringkatan di Lekra, dia pasti tidak masuk peringkat satu. Saya kira paling tinggi peringkat dua," katanya.

Namun puisi Njoto lebih baik daripada sajak Aidit. "Sajak Aidit itu jelek benar, sajak-sajak maksa," kata sosok yang pernah membuat marah Aidit karena menolak memuat puisi karya pimpinan tertinggi PKI itu.

Asahan Aidit, adik bungsu D.N. Aidit, menilai Njoto benar-benar menguasai bidang yang digelutinya, termasuk sastra, terutama esai. "Hal itu bukan otomatis begitu saja, tapi Njoto adalah juga seorang otodidak besar yang punya banyak perhatian dan banyak studi, termasuk di bidang sastra. Dia menguasai karena dia juga banyak studi, banyak membaca, dan dia mempunyai otak yang cerdas serta apresiasi sastra yang tinggi," katanya melalui surat elektronik.

Aroma pamflet memang terasa dalam puisi seperti "Catatan Peking" ini:

Alangkah hebat
di hati alangkah dekat!
kaum tani mengolah besi
kaum buruh di sawah berpeluh
bajak dan baja tukar-bertukar
mahasiswa pada pekerja
kaum pekerja menjadi siswa
berjuta milisia angkut senjata
siapa berani serang Sosialisme?

Njoto adalah orang yang menyusun piagam Lekra dan memperkenalkan slogan "politik sebagai panglima". "Tanpa politik sebagai panglima, perkembangan kebudayaan pada umumnya dan sastra pada khususnya tidak bakal tahu tugas dan garis yang harus ditempuh, bisa terjadi demam kegiatan, tapi kenyataannya akan merupakan gerakan tanpa kemajuan," kata dia di hadapan peserta Kongres Nasional Lekra pada 1951.

Namun, seperti kata Asahan, estetika Njoto tidak berhenti pada estetika pamflet atau pernyataan. Dia telah melampaui batas-batas yang dikurung oleh Lekra sendiri. "Njoto adalah Lekra modern yang lebih universil di bidang kebudayaan, termasuk sastra. Sastra Njoto lebih demokratis dan lebih estetis serta lebih universil," katanya. Hal ini tampak dalam sikap Njoto dalam tuduhan plagiarisme terhadap Tenggelamnya Kapal Van der Wijk karya Hamka. Njoto adalah orang yang menyarankan agar Lekra tidak "menghancurkan" Hamka.

Karena Janji Setia

CINCIN emas itu masih melingkar di jari manisnya yang telah keriput. Di sisi dalam lingkaran terukir nama sang pemilik, Soetarni, dalam huruf italik. Inilah satu-satunya tanda cinta Njoto yang tetap menemaninya lebih dari setengah abad.

Njoto memberikan cincin tiga gram itu kepada Soetarni sebagai maskawin dalam perhelatan di Solo pada Mei 1955. "Selain cincin, tak ada lagi yang tersisa," kata Soetarni di Jakarta tiga pekan lalu. Di usianya yang senja, ningrat Mangkunegaran itu masih cukup jernih menuturkan masa lalunya.

Soetarni mengenal salah satu pemimpin Partai Komunis Indonesia itu sepuluh tahun sebelum perkawinannya. Ketika itu ia siswa Sekolah Susteran, semacam sekolah kepandaian putri setingkat SMP di Mangkunegaran, Solo. Di antara teman seangkatannya ada Sri Windarti, adik Njoto.

Satu hari, Windarti dan Njoto yang tinggal di Kemlayan, tak jauh dari Keraton Mangkunegaran, bersepeda ke Desa Palur, sekitar 10 kilometer di timur Solo. Ayah mereka menyuruh mengantar surat ke rekan bisnisnya, Nyai Nami Kesuma Darmojo. Setelah menjalankan tugas, kakak-adik itu mampir ke rumah Widna Harjono, seorang kerabat di Palur.

Pada waktu bersamaan, Soetarni dan adiknya, Soetarti, juga bertandang ke kediaman Widna. Mereka akhirnya kumpul bareng di gubuk belakang rumah. Disuguhi rujak dan hamparan sawah nan luas, obrolan mengalir renyah. Widna sempat meledek bahwa Soetarnilah jodoh Njoto. "Eh, beneran," kata Soetarni.

Pertemuan Palur berlanjut. Bila ada waktu senggang, Windarti bertamu ke rumah Soetarni di depan Stasiun Solo Balapan. Pun sebaliknya. Bila main ke Kemalayan, perempuan kelahiran 10 Juni 1928 itu kerap mendapati Njoto tengah bermain musik. Ia bisa memainkan gitar, juga drum.

Walau jarang bertemu, kata Soetarni, Njoto sering bersikap sok akrab. Kadang usilnya keluar, sebuah cubitan kerap mendarat di kulit Soetarni. "Biar dikejar," katanya dengan tawa berderai. Bila tak sempat tatap muka, pemuda itu sesekali berkirim surat, tanda hati rindu berat.

Saat-saat berbunga itu tak lama. Ketika pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta pada awal 1946, Njoto juga hijrah ke kota pendidikan itu setelah masuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Sejak itu, tak ada surat ataupun selentingan kabar tentang Njoto.

Kisah dua sejoli ini berjalan sendiri-sendiri. Selain sekolah, Soetarni aktif di tim olahraga Solo. Ia mewakili kota batik itu dalam pekan olahraga nasional untuk cabang bola keranjang, olahraga semacam basket. Raden ajeng itu sempat beralih menjadi atlet anggar. Keterampilan ini ia peroleh dari ayahnya, Raden Mas Sumo Sutargio.

Dalam periode itu, Soetarni sempat dekat dengan seorang tentara. Namun hubungan itu tak sempat beranjak ke pelaminan.

Menurut Soetarni, Njoto yang sudah aktif di PKI sempat menjalin asmara dengan beberapa gadis. Setelah tragedi Madiun 1948, Njoto pindah ke Jakarta. Di sana ia tinggal bersama keluarga Cina. Njoto jadi anak kesayangan dan mendapat nama fam keluarga itu. Anak gadisnya juga jatuh hati. Sekali dua mereka nonton film bareng.

Di Jember, Jawa Timur, Njoto juga punya tambatan hati. Namun, karena lama tak ada kejelasan, ibu si gadis meminta hubungan keduanya disudahi. Ia memberikan ultimatum, bila dalam satu bulan Njoto tak juga mengajukan pinangan, anaknya akan dikawinkan dengan pria lain. Kekasih Jembernya itu menemui Njoto di Yogyakarta, dan ia dipersilakan mengikuti kehendak ibunya.

Berbarengan dengan itu, Njoto terus bergelut di partai, bergerak dari Jakarta ke Yogyakarta atau kota yang lain. Pada awal 1955, ia meninggalkan Batavia menuju Jember menggunakan kereta api untuk menengok kakeknya yang sakit. Dia menyempatkan diri singgah di Solo barang seharmal.

Sepucuk surat ia berikan kepada Iramani. Adik bungsunya itu mendapat tugas menyampaikannya ke Soetarni. Di pekarang rumah, ia mendapati Soetarni sedang menyapu halaman. Wajahnya merona begitu membaca surat yang berlembar-lembar itu.

Melalui surat yang panjang tadi, Njoto meminang Soetarni. Gadis itu tak kuasa menolak permintaan mantan kekasihnya. Deretan kata-kata dalam lembaran kertas tersebut membuatnya takluk. Di antaranya ada janji setia sehidup semati. "Juga, janji menjadi suami yang baik," kata Soetarni.

Hasrat berumah tangga itu diutarakan Njoto ke Windarti seusai Kongres Partai Komunis di Solo. Dalam santap malam yang ditemani Mula Naibaho, kawannya di Harian Rakjat, Njoto mengatakan akan melamar seorang raden ajeng. "Tak mengira sama teman saya," kata Windarti.

Tak berselang lama, datanglah keluarga Jember. Di antaranya ada Masalmah, ibu Njoto, serta kakeknya. Rombongan itu menginap di rumah Soetarminah, kakak Soetarni, yang juga tak jauh dari Stasiun Solo Balapan. "Acaranya malam," kata Iramani.

Sebulan kemudian, pesta digelar. Hampir semua kerabat Mangkunegaran hadir. Raden Mas Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti, orang tua Siti Hartinah Soeharto, menjadi pendamping kedua mempelai dalam resepsi adat Jawa itu. Menurut Iramani, kendurian itu menjadi spesial lantaran tamu undangan dihibur band teman-teman Njoto.

Pesta syukuran kembali digelar di Jember. Setelah itu, keduanya berbulan madu ke Surabaya, Bondowoso, lalu Bali. Sebulan lebih bertamasya, mereka kemudian tinggal di Jakarta.

Rumah di Jalan Bluntas, Jakarta Pusat-belakang Rumah Sakit St. Carolus-menjadi kediaman pertama. Dua anaknya lahir di sini. Setelah Njoto menjabat menteri negara dan Wakil Ketua Comite Central PKI, mereka pindah ke Jalan Malang 22, Menteng. Di sini mereka kembali dikarunai lima anak.

Soetarni merasa janji Njoto menjadi suami yang baik terpenuhi. Walau sibuk mengurus partai dan pemerintahan, perhatian Njoto tak berkurang. Kadang, pekerjaan dibawa pulang agar berkumpul dengan keluarga. Bila capai, ada saja idenya. Ia sering mengajak jalan-jalan sekadar mencari rujak atau jajanan lain. Jika sopir kedapatan sedang istirahat, mereka naik becak. "Bapak tak bisa nyopir," kata Svetlana Dayani, anak pertama Njoto.

Gaya supel nan rame Njotolah yang membuat istrinya nyaman. Sebagai seniman, sikap romantis suaminya pun kerap muncul, yang membuat Soetarni serasa terbang. "Wah, manis sekali memakai baju ini," kata Iramani mengingat puji-puji kakaknya. Bila tidak cocok, Njoto mengatakan dengan pilihan kata yang tetap indah.

Njoto juga tak segan mengajak istrinya menghadiri kegiatan kenegaraan atau acara informal lain, seperti melihat pertunjukan wayang atau ludruk. Sesekali mereka ke Senayan menyaksikan pertandingan sepak bola.

Soetarni juga bebas beraktivitas. Dia masih kerap bermain anggar. Sesekali ikut menceburkan diri ke kolam sembari menemani anak-anaknya kursus renang. Namun, status sebagai atlet ia tinggalkan. Ia memilih membesarkan buah hatinya.

Menurut Soetarni, suaminya juga pendongeng unggul. Kancil menjadi cerita favorit pengantar tidur anak-anaknya. "Tapi sering ngawur, cerita mencong-mencong, bikin sendiri," katanya. Bila turut ketiduran, Njoto suka mengigau. Kadang sampai tepuk tangan. "Kalau saya ceritakan, dia tak percaya."

Namun semua kebahagiaan itu direnggut setelah 30 September 1965. Sebagai petinggi PKI, Njoto diburu tentara. Sebelum menghilang, Njoto mengungsikan keluarganya ke daerah Kebayoran Baru. Nyatanya, Soetarni dan anak-anaknya juga dijebloskan ke penjara.

Selama sebelas tahun Soetarni berada di balik jeruji. Ia dipindah berkali-kali, dari penjara Wonogiri dan Plantungan di Jawa Tengah, hingga Bukit Duri, Jakarta. Di sel-sel itu, sipir selalu menanyakan Njoto. "Justru saya yang mau tanya di mana suami saya," jawab Soetarni. Ia baru bebas pada 1979.

Walau sebagian hidupnya habis di balik jeruji penjara, Soetarni tak pernah menyesal menjadi istri Njoto. Ia tak menyalahkan suaminya karena masuk PKI. Penjara tak melunturkan cintanya. Hanya, selain cincin emas itu, kini tak ada lagi barang kenangan Njoto. Satu per satu hilang atau sengaja dilenyapkan untuk menghindari pengejaran tentara.

Secuil Asmara Khong Guan Biscuit

Pertengahan 1963. Di rumahnya di Jalan Malang, Jakarta, Soetarni, ibu lima anak yang ketika itu berusia 35 tahun, gundah. Njoto, sang suami, baru saja tiba dari Moskow, Uni Soviet, sehari sebelumnya. Selintas, Njoto bercerita tentang penerjemah perempuan bernama Rita yang menemaninya selama di sana. "Saya tidak tahu politik, tapi naluri saya mengatakan sesuatu sedang tumbuh di hati Bapak," kata perempuan yang kini berusia 81 tahun itu.

Njoto, kata Soetarni, memang menceritakan banyak hal tentang Rita kepadanya. "Kata Bapak, Rita cantik, ramah, dan pintar." Gadis Rusia itu mahasiswi sastra Indonesia di sebuah universitas di Moskow. Setiap kali Njoto ke sana, Ritalah yang menemaninya. Sebagai Ketua II Comite Central PKI, Njoto memang sering ditugasi berkomunikasi dengan partai komunis internasional di Uni Soviet. Soetarni hanya heran, mengapa penerjemahnya harus perempuan.

Kegundahan Tarni membuncah ketika pada akhir 1964 terbetik kabar suaminya akan menikahi Rita. Namun dia tak pernah menanyakannya langsung ke Njoto. Dia cuma membatin, "Apakah Rita hamil? Atau jangan-jangan Bapak dijebak, dipasangi perempuan itu untuk tujuan politik. Saat itu PKI sedang krisis," kata Tarni. Meski hanya dipendam dalam hati, Tarni sudah bertekad, jika benar-benar menikahi Rita, ia akan mengusir Njoto dari rumah.

Apalagi saat itu dia sedang hamil anak keenam, yang kelak diberi nama Fidelia Dayatun. "Apa dia tega meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil?" kata Tarni. Fidelia, yang diilhami nama pemimpin Kuba Fidel Castro, lahir sebelum pecah peristiwa 30 September 1965. Pada akhirnya kabar itu memang tak menjadi kenyataan. Njoto tetap menjadi suami Soetarni.

Setelah peristiwa itu, Tarni masih melahirkan putri ketu-juhnya di dalam penjara. Si bungsu dengan nama panggilan Butet itu langsung diadopsi adik Njoto, Sri Windarti. Hal itu dilakukan karena Soetarni dan anak-anaknya dipenjara rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Fidelia dan Butet tak pernah melihat wajah ayahnya.

***

Siapa sejatinya Rita? Joesoef Isak, wartawan yang dekat dengan Njoto, mengisahkan peristiwa yang dia pendam puluhan tahun itu. "Bung Njoto manusia biasa, bisa mencintai Bu Tarni sekaligus jatuh cinta pada Rita," kata Joesoef di kantor Tempo, di hadapan istri Njoto, 14 Agustus 2009, sehari sebelum Joesoef wafat. Berkali-kali Joesoef mohon maaf kepada Tarni, selama ini ia memendam kisah itu. "Saya mohon Njoto dilihat sebagai manusia biasa. Jangan kaitkan dengan PKI, entah agamanya apa," tutur Joesoef, bercucuran air mata.

Menurut Joesoef, hubungan asmara Njoto-Rita bisa menjelaskan salah kaprah keterlibatan Njoto dalam peristiwa 30 September 1965. Juga bisa meluruskan kabar tentang kerasnya konflik Aidit dan Njoto. "Aidit dibilang komunis pro-Peking, Njoto pro-Moskow," kata Joesoef. "Itu omong kosong. Njoto mengagumi Aidit dan Aidit mencintai Njoto sampai saat terakhir."

Namun kedekatan kedua elite PKI itu toh tak bisa menghalangi pencopotan semua jabatan Njoto dalam sidang Politbiro 1964. Njoto dianggap bersalah menjalin asmara dengan Rita dan hendak menceraikan istrinya. Aidit berniat menuntaskan skandal Rita ke Moskow. Sayang, niat belum kesampaian, peristiwa 30 September 1965 pecah. "Atas izin Bu Tarni, saya berikan kesaksian ini," kata Joesoef.

Joesoef, yang mengenal Rita, mengatakan, "Pandangan subyektif saya, Bu Tarni lebih cantik. Tapi Rita wanita intelek bagi Njoto." Joesoef menggambarkan Rita sebagai gadis jinak-jinak merpati. Enak diajak ngobrol, juga tak menampik diajak ke tempat tidur. Belakangan ketahuan, Rita bukan hanya melayani Njoto. Perempuan berambut pirang itu kerap tidur dengan banyak mahasiswa asal Indonesia lainnya. "Perilaku binal Rita itu tak diketahui Njoto."

Rita sendiri tak pernah sekali pun ke Jakarta. Tapi ia fasih berbahasa Indonesia, bahkan dengan menggunakan logat Betawi. Kadang mendadak berbahasa Jawa. "Pertemuan Njoto-Rita selalu dilakukan di Moskow," kata Joesoef.

Kebinalan Rita itulah yang membuat hubungan Njoto dan gadis itu terendus petinggi Politbiro PKI di Jakarta. Para mahasiswa Indonesia bebas keluar-masuk kamar Rita. Mereka sesukanya membuka laci, hingga menemukan surat-surat cinta Njoto. "Surat-surat itu lalu dikirim ke Indonesia, diperbincangkan berbagai kalangan," kata Joesoef.

Sumber Tempo yang sempat dibuang ke Pulau Buru oleh rezim Soeharto yakin, Rita agen "Khong Guan Biscuit", kata sandi untuk menyebut KGB, dinas rahasia Uni Soviet. Di negerinya, Rita ke mana-mana suka pakai baju batik dengan rok. "Kerap tak pakai celana dalam." Di mata para mahasiswa Indonesia, Rita sangat menarik meskipun tak begitu cantik. "Saat itu jarang orang Indonesia pacaran dengan bule. Tentu saja Rita menjadi idola."

Rita menjadi penerjemah pejabat Indonesia dan mahasiswa yang berkunjung ke Uni Soviet sejak awal 1960-an. "Pertautan cinta Njoto-Rita terjadi pada awal 1963, berlanjut melalui surat-menyurat," kata sang sumber. Keyakinan Rita agen KGB juga dari analisis situasi saat itu. Siapa pun yang berkunjung ke negeri komunis, pasti didampingi intelijen. "Kalau ke Uni Soviet, pasti didampingi KGB," katanya.

Dia menduga, surat cinta Njoto sengaja disebarkan Rita kepada para mahasiswa Indonesia agar sampai ke tangan Aidit. "Saya termasuk yang ditawari membaca surat cinta Njoto yang sudah digandakan dan disebarluaskan, tapi saya tolak karena itu privasi orang."

Terpuruknya Njoto diyakini akibat hubungan asmaranya dengan Rita. Tapi situasi partai komunis di berbagai negara saat itu sedang krisis. Sikap PKI dianggap tak jelas, ikut poros Peking atau Moskow. Juga konflik antara PKI dan Angkatan Darat, konflik PKI dan komunis internasional, serta konflik Presiden Soekarno-Angkatan Darat. "Kondisinya sangat gawat. Skandal Njoto-Rita turut memperparah," kata dia.

Iramani, adik Njoto, membenarkan keributan skandal itu. Tapi dia baru tahu belakangan dari koran terbitan tahun 1965-1966. "Disebutkan, Bung Njoto punya gendak (perempuan simpanan)," kata Iramani. "Katanya mahasiswi sastra Indonesia, penerjemah tamu Indonesia di Uni Soviet."

Namun, bagi Tarni, kesetiaan Njoto telah teruji. Apa pun kata orang tentang elegi cinta Njoto-Rita, baginya itu hanyalah dongeng. Pada masa kelam, tatkala dia dipenjara selama 11 tahun, tercerai-berai, berpisah dengan suami dan anak-anak yang tak tentu rimbanya, dia yakin Njoto adalah kekasihnya yang dulu. Njoto tetaplah lelaki pemujanya, yang mengiriminya berlaksa-laksa surat hingga mereka menikah dan dikaruniai tujuh anak.

Tarni mengenang, dalam su-ratnya ketika mereka berpacaran, Njoto berjanji akan menjadi suami dan bapak yang baik. "Janji itu telah ditepatinya hingga dia diambil paksa kekuasaan, yang tak tahu kasih sayang bapak kepada anaknya dan cinta suami kepada istrinya."

Kenangan di Jalan Malang

DERING telepon terdengar di tengah pesta ulang tahun Umila, 1 Oktober 1965. Tari, sang ibu, bergegas menyambar telepon itu. "Soetarni ada?" suara di seberang telepon bertanya. "Ada," Tari menjawab. "Lekas suruh pulang," suara di seberang. Itu adalah suara Harto, ipar Tari, yang berpangkat kolonel, memberi perintah.

Soetarni, istri Njoto, kala itu tengah berada di rumah Tari di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Tari, adik Soetarni, tengah menggelar pesta ulang tahun anak kelimanya, Umila. Soetarni datang bersama keenam anaknya. Njoto saat itu tengah berada di Medan.

Begitu menerima pesan Tari, Soetarni bergegas membawa anak-anaknya pulang ke rumah mereka di Jalan Malang Nomor 22, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sepanjang jalan yang mereka lalui suasana tampak lengang tak seperti biasa. Kunli, sopir Soetarni, membisiki majikannya, ada peristiwa penculikan jenderal-jenderal yang disebut-sebut didalangi Partai Komunis Indonesia.

Esok malamnya, begitu pulang dari Medan, Njoto langsung mengungsikan keluarganya ke sebuah tempat persembunyian. Dua adiknya, Iramani dan Sri Windarti, yang tinggal bersama mereka selama ini, dipulangkan ke kampung mereka, Surabaya. Sejak malam 2 Oktober itulah keluarga ini tak pernah lagi menginjakkan kaki mereka di rumah di Jalan Malang itu.

Soetarni mengenang rumah mereka di Jalan Malang itu sebagai rumah yang penuh kebahagiaan. Bersama Njoto ia tinggal di sana selama sembilan tahun. Empat anaknya juga lahir di rumah itu. "Rumah itu punya arti penting bagi kami," kata Soetarni, kini 81 tahun, kepada Tempo.

Kini, rumah seluas 800 meter persegi itu menjadi wisma para pastor Gereja Santo Ignatius. Sebelumnya, sepeninggal Njoto, rumah itu sempat ditempati penghuni liar, sebelum kemudian diambil alih tentara. Pada 1968, seorang pendeta Belanda dari Gereja Santo Ignatius, Pastor Groos, membeli bangunan tersebut. Sejak itulah rumah tersebut mengalami berkali-kali renovasi hingga "wajah" aslinya hilang. "Saat dibeli, kondisinya tidak layak ditempati," kata Subagyo, mantan pengurus wisma itu.

Soetarni sendiri tidak tahu pemilik rumah tersebut sebelumnya. "Saya tidak pernah tanya, bagaimana suami dapat rumah itu," katanya. Keluarga Njoto pindah ke sana pada 1956. Saat itu Njoto baru punya dua anak, Indah Svetlana Dayani, 3 tahun, dan Ilham Dayawan, 1 tahun.

Saat Njoto masuk ke rumah tersebut, rumah itu masih ditempati seorang guru balet Belanda, Ludwieg Willner. Willner tinggal bersama istri dan dua anaknya. Selama setahun, keluarga Njoto hidup serumah dengan orang Belanda itu. Masing-masing keluarga menempati satu kamar besar. "Kami hidup akur," kata Soetarni.

Kendati serumah dengan guru balet, Svetlana, puri sulung Njoto, tak sempat belajar menari balet. Guru Belanda itu keburu pindah ke Selandia Baru. Sepeninggal keluarga Belanda itu, Njoto lalu merombak ruang dalamnya. Ia menyekat ruang tengah dengan tripleks dan menjadikannya ruang kerja. Di sana ia menyimpan semua buku dan alat musiknya, seperti akordeon, piano, saksofon, dan klarinet. Inilah ruang favorit Njoto. Di sini ia kerap menghabiskan waktunya dengan membaca atau bermain musik. "Bapak membuang bosannya di sana," kata Svet.

Njoto di mata Svet adalah ayah yang baik. Tak pernah marah, apalagi memukul anak-anaknya. Menurut Svet, kadang ia dan adik-adiknya bermain kuda-kudaan dengan ayahnya. Di waktu senggang, Njoto kerap mengajak keluarganya berlibur naik trem. Akhir pekan, kadang keluarga ini berpakansi ke pantai.

Svet mengingat, jika tidak sibuk membaca, biasanya ayahnya memainkan alat-alat musik yang ada di ruang kerjanya. Beragam alat musik itu bisa dimainkan Njoto. Teman-teman sehobinya dalam soal musik kala itu, antara lain Jack Lesmana, salah satu musisi terkenal di republik ini.

Di rumah, saat tak menerima tamu, Njoto biasanya hanya memakai celana pendek, berkaus singlet, atau bersarung. Ia hobi makan camilan tempe goreng. Makanan ini pula, dengan segelas teh hangat, yang kerap menemaninya jika berada di ruang kerjanya. Iramani, adik Njoto, mengingat, ia kerap mendapati kakaknya membaca buku-buku "kiri". "Bukunya banyak," kata Iramani.

Rumah ini kerap disambangi dua pemimpin PKI lainnya, D.N. Aidit dan M.H. Lukman. Menurut Soetarni, dua orang ini tiga kali sepekan biasanya datang ke rumahnya. Bersama dua tamunya itu, Njoto berdiskusi masalah politik.

Suatu ketika, Njoto dan istrinya jatuh sakit. Keduanya tergolek di tempat tidur. Kemudian datanglah Aidit dan Lukman menjenguk. "Tapi tetap saja mereka bicara politik di kamar tidur," kata Soetarni.

Rahasia Tiga Dasawarsa

ILHAM Dayawan masih mengingat belasan tentara yang membawa ibunya, Soetarni, empat puluh tahun silam. "Pinjam ibumu sebentar, ya," kata seorang tentara kepadanya, yang ketika itu bocah 11 tahun. Azan magrib masih terdengar pada hari itu, satu Ahad di bulan Juni.

Ilham, anak kedua pasangan Njoto dan Soetarni, tinggal bersama ibu dan enam adiknya di rumah di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Kakaknya, Svetlana Dayani, tinggal di rumah kerabat mereka di Solo. Ayah mereka dulu menjabat Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia.

Tentara datang ke rumah itu pada Ahad siang. Adik adik Ilham sedang bermain ketika beberapa jip tentara menderu masuk halaman. Para prajurit yang ditemani pejabat kabupaten menyerbu masuk. Mereka menggeledah seluruh rumah yang sebenarnya punya kakak Soetarni. Semua perabotan dikeluarkan. Tempat tidur, kursi, meja, lemari, kasur, dan barang pecah belah dilempar ke halaman. Menjelang azan magrib, mereka baru berhenti.

Soetarni diangkut ke kantor Balai Kota Solo. Di sana ia diinterogasi dan kemudian dijebloskan ke Rumah Tahanan Perempuan Bulu di Semarang. Ia dituduh mengikuti rapat politik. Padahal ia mengatakan hanya menghadiri pesta pernikahan kerabat di Solo, beberapa hari sebelum aparat mendatangi rumah kediamannya.

Ini penahanan Soetarni yang kedua. Kurang dari dua tahun sebelumnya, ia dibebaskan setelah delapan bulan mendekam di Rumah Tahanan Budi Kemuliaan, Jakarta. Tujuh anaknya, termasuk bayi yang baru lahir, ikut ditahan sejak pertengahan 1966. Seorang anaknya lolos karena ketika tentara datang, sedang diajak pamannya ke luar rumah. Adapun Njoto ditangkap aparat pada Desember, tiga bulan setelah Gerakan 30 September.

Keluar dari Budi Kemuliaan, Soetarni dan anak anaknya tinggal di Baturetno. Kedatangan aparat yang membawa kembali Soetarni membuat kerabat kerabatnya panik. Seorang kakak kandungnya yang tinggal di Solo lalu menemui Nyonya Tien Soeharto, meminta pembebasannya. Keluarga ini memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Tien Soeharto. Ibu Soetarni keturunan trah Mangkunegaran, sepupu orang tua Tien.

"Lobi" itu tak mempan. Soetarni tetap dihukum. "Tapi saya tak pernah sekali pun dipukul, apalagi disiksa," kata Soetarni kepada Tempo pada pertengahan September lalu. Kini, usianya 81 tahun.

***

Begitu PKI dianggap bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, 30 September 1965, Soetarni segera meninggalkan rumah di Jalan Malang Nomor 22, Jakarta Pusat. Berbekal koper pakaian, ia mengungsi bersama tujuh anaknya-semuanya berusia di bawah 10 tahun.

Soetarni terakhir bertemu dengan Njoto ketika mengungsi di Asrama Central Gerakan Mahasiswa Indonesia, Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, pada akhir 1965. Setelah itu tak ada lagi kabar dari sang suami. Perempuan kelahiran Solo, 10 Juni 1928, ini berpindah pindah, ditemani sopir bernama Kunli. Kadang ia tinggal di rumah kawan, lain kali di kediaman kerabat. "Kami menginap paling lama tiga hari karena risikonya sangat besar," kata Ilham.

Kawan dan kerabat keluarga Njoto selalu memberi bantuan. Jane Luyke, istri Oey Hay Djoen, meminjamkan sedan putihnya. Kawan lain turut meminjami mobil. Menurut Jane, mobil yang digunakan Soetarni berganti ganti untuk menutupi jejak. Pada saat penangkapan di masa pelarian 1966 di Gunung Sahari, Soetarni dan anak anak sedang meminjam mobil milik Jane. Mobil ini pun disita tentara.

Setelah ditangkap kedua kalinya, Soetarni ditahan di Penjara Komando Distrik Militer, lalu Penjara Bulu (Semarang), Bukit Duri (Jakarta). Terakhir, dia dipindahkan ke Plantungan (Jawa Tengah). Total masa penahanannya 11 tahun.

Selama Soetarni dipenjara, jarang sekali anak anaknya bisa menjenguk. Mereka tinggal di rumah saudara saudara kandung Soetarni. Hanya anak bungsunya, Esti Dayati, diasuh dalam penjara hingga usia empat tahun. Tujuh anak itu tinggal bersama adik perempuan Soetarni di Solo selama dua tahun. Suami adik perempuan Soetarni seorang arsitek dan pemborong bangunan sehingga kondisi ekonominya bagus. Tapi begitu ia meninggal, anak anak Soetarni harus hidup berpisah pisah, dibagi ke kerabat lain.

Anak pertama dan keempat, yakni Svetlana Dayani dan Risalina Dayana, tinggal bersama kakak lelaki Soetarni di Jakarta. Anak kedua dan kelima, Ilham Dayawan dan Irina Dayasi, diboyong ke Palembang oleh kakak perempuan Soetarni. Anak ketiga dan keenam tinggal di Medan.

Njoto memberi nama belakang tujuh anaknya "daya". Ini diambil dari nama lain Njoto, Kusumo Dikdoyo. Dikdoyo dalam bahasa Jawa berarti daya. Untuk anak pertamanya, Njoto memberi nama berbahasa Rusia, yakni Svetlana yang berarti cahaya. Sejak prahara 1965, Svetlana tak lagi menggunakan namanya. Dia hanya menggunakan nama belakangnya, Dayani. Nama yang berbau Rusia dengan mudah dicap sebagai PKI ketika itu. "Saya baru kembali memasang nama itu pada 1987. Saya lelah berbohong dan bersembunyi," katanya.

Sebelum reformasi 1998, anak anak Njoto tak berani membeberkan latar belakang keluarga mereka. Tak sekali pun mereka menggunakan nama bapaknya dalam urusan administrasi kependudukan. Mereka memakai nama paman atau bibi yang menanggung mereka.

Irina mengaku masa masa berpisah dengan keluarga adalah masa sulit dalam hidupnya. Ia mengingat di masa kecil mesti membantu keluarga pamannya mengurus kebutuhan anak kos. "Hampir tak punya kawan karena hidup antara rumah dan sekolah," katanya.

Lulus sekolah menengah atas, Irina kembali ke Jakarta. Awalnya ia bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar swasta. Bekerja hampir tiga tahun, ia dipecat. "Tanpa alasan jelas. Ada kemungkinan karena mereka mengetahui rahasia keluarga kami," katanya.

Irina diajak bergabung dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat di bidang penegakan hak asasi manusia. Dia bekerja berpindah pindah organisasi demi memupuk pengalaman. Namun teman temannya selalu melarang dia turun ke jalan saat demonstrasi di masa Orde Baru. "Mereka takut jika pemerintah mengetahui latar belakang saya, organisasi mereka terancam," ujarnya.

Soetarni keluar dari penjara pada 1979. Keluarga yang nyaris tak pernah berhubungan kembali bersatu oleh kehadiran sang ibu. Svetlana yang sudah bekerja mengajak ibunya tinggal di rumah kontrakan di Jati Pisang, Jakarta Timur. Anak anaknya yang lain dan telah menyebar memutuskan tinggal di dekat ibunya di sekitar Jakarta bersama keluarga masing masing.

Ia tak pernah menceritakan sejarah Njoto kepada anak anaknya. Ia baru bercerita setelah masa reformasi. Namun Irina bisa memahami latar belakang keluarganya berbekal ingatan masa kecil dan pelajaran sejarah.

Fidelia dan Esti, adik Irina, bahkan baru mengetahui orang tua mereka yang sebenarnya ketika keduanya duduk di SMA. Esti awalnya mengira sang tante yang merawatnya di Yogyakarta adalah ibunya. Begitu mengetahui latar belakang keluarganya, Fidelia tak berani mendaftar menjadi pegawai negeri sipil. Lulus dari sekolah keperawatan, ia batal masuk Departemen Kesehatan.

Soetarni masih terlihat tegar dalam usianya kini, 81 tahun. Rambutnya sebahu, sudah seputih asap. Wajahnya yang ramah tak menunjukkan kepedihan. Dia bahkan tak pernah menangis. Ilham mengingat, "Kami hanya sekali saja melihatnya menangis: saat kehilangan bapaknya. Itu sebelum peristiwa 1965."
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India