_*Fiat voluntas tua : Catatan tiga tahun peziarahan Laudato Si' Indonesia*_
_*Gurun di luar, gurun di dalam*_
_"Gurun di luar di dunia semakin bertambah, karena gurun di dalam menjadi begitu luas,"_ Demikian Bapa Suci Benediktus XVI pada homili pertamanya 24 April 2005, _"Oleh karena itu, kekayaan bumi tidak lagi berfungsi untuk membangun taman Tuhan untuk ditinggali semua orang, namun telah dibuat untuk digunakan oleh kekuatan eksploitasi dan penghancuran."_
Demikianlah, melalui Ensiklik Laudato Si' Paus Fransiskus sejatinya bukan hanya ingin mengajak kita merawat bumi dan segenap ciptaan, melainkan juga memastikan bahwa gurun di sisi dalam diri kita tidak meluas dan dapat kembali tersuburkan. Laudato Si' bukan hanya laku fisik dan laku intelektual bagi integritas ekologi, melainkan laku rohani untuk memulihkan jiwa kita. Memulihkan jiwa kita laras serasi dengan kehendak kasih Allah sendiri.
_*Sekerat apel di taman Tuhan*_
Sejak buah apel pertama kali dimakan pasangan kekasih Adam dan Hawa, lewat intelektualitas dan rasionalitasnya manusia jatuh pada pemujaan nalar dan alam pikirnya sendiri, terlepas dari Rencana Agung Penciptaan Allah yang menjadikan dunia satu sebagai satu keluarga ciptaan dalam satu rumah bersama kehidupan. Manusia terjatuh ke dalam subyektivitasnya sendiri dan merasa diri berada berada di atas realitas, bahkan menjadi tuhan atas seluruh kenyataan. Manusia merasa bahwa rencana Allah bisa disiasati dengan teknologi, ekonomi, dan strategi.
Dalam deklarasi Dignitatis Infinita, martabat manusia adalah lestari, dan lestarinya martabat manusia ada dalam kesediaan kemanusiaan menyatukan diri dengan kasih Allah sendiri. Martabat manusia (dan martabat segenap ciptaan yang dijajah kuasa manusia) itu hancur ketika ia memisahkan diri dari Allah. Tanpa _caritas_, ketidakterbatasan martabat kehidupan itu lumpuh tanpa daya. Hidup meluruh, alam porak-poranda, manusia jatuh. Layu, kering, dan mati. Pedih. Sunyi. Hampa.
_*Perjalanan ke dalam*_
Di dunia yang melayu itulah kita memulai langkah kita. Tanpa terasa tiga tahun sudah kita berziarah bersama. Sebuah sekoci kecil bernama Laudato Si' Indonesia dimulai 10 April 2021. Pelatihan Animator Laudato Si' pertama diluncurkan, setelah beberapa bulan proses diskusi, konsultasi, dan menakar diri. Tiga tahun, belum cukup jauh kaki melangkah, belum cukup wawasan untuk bekerja. Sebagai bocah, kita hanya tahu, bahwa kita mencintai ibu bumi, alam semesta. Apakah kita punya daya ? Barangkali sebatas kenekadan dan kegigihan kita. Tetapi seperti kanak-kanak yang pertama kali merengkuh dunia, tatapan itu jauh, penuh keingintahuan, dan rindu petualangan. Demikian pula kita dalam kemudaan usia kita. Kita bergerak, kita melangkah, kita berlari secepat-cepatnya, karena kedukaan dan kecemasan kita atas nasib masa depan.
Ada satu titik ketika kita semua merasa melakukan banyak hal. Namun di titik lain, kita seakan terlumpuhkan karena seperti detak hitungan mundur sebuah bom, kematian bumi itu datang tanpa bisa kita cegah waktunya.
Di saat lain mungkin kita bisa mengklaim kemenangan dengan angka-angka, kegiatan, webinar, dan jejaring. Pengalaman bersama LSI telah mengantar kami ke tempat-tempat yang kami tidak pernah duga sebelumnya : menyusuri jalanan di Lampung Selatan, merayapi malam menuju kota Batu, menaiki gunung dan lembah menuju Kapencar, hingga mencecap bumi Cibarusah. Lebih jauh lagi, LSI telah menyatukan kita, mulai dari Medan hingga Merauke, bahkan Ho Chi Minh dan Timor Leste. Penerbitan buku doa dan kalender kita lakukan, jangan lupa juga dengan musibah digital yang menyebabkan kanal Youtube kita terhapus dan harus dirintis kembali dari awal mula.
Tetapi kita tahu itu semua tak bermakna apa-apa, ketika peziarahan itu gagal mengubah sisi dalam diri kita. Ya, peziarahan tiga tahun telah mengantar kita, setidak-tidaknya kami di Tim Kerja Nasional LSI, pada kesadaran bahwa gerak Laudato Si' pada akhirnya adalah gerak menjawab hati kami, gerak tarian kami dengan jiwa kami masing-masing, dan semoga menjadi gerak yang menyuburkan jiwa kami. Dalam proses sharing panjang di tepi sungai besar di Dhawuhan, Wanayasa, Wonosobo yang luar biasa sejuk dan permai, tempat kami melakukan pertemuan nasional pertama di tahun 2022 lalu, kami menyadari bahwa pergulatan bersama sebagai Laudato Si' Indonesia pertama-tama adalah sekolah rohani bagi jiwa kami. Ya. Laudato Si' Indonesia adalah sekolah bagi hati kami.
Bagaimana dengan dinamika teman-teman semua di paroki, di keuskupan, di komunitas ? Apakah perjalanan bersama merawat ibu bumi, akhirnya juga perjalanan merawat jiwa dan persahabatan di tengah teman-teman semua ? Jika ya, seperti halnya proses pembuatan ecoenzyme atau pupuk organik, kita harus juga makin cermat mengukur takaran-takaran dalam kerja kita : berapa liter sumber daya kita harus tuangkan, berapa kilogram wawasan yang harus kita bubuhkan, berapa kuat wadah organisasi untuk bisa menampung mimpi kita, berapa banyak tangan dan hati yang harus kita gandeng, dan yang terpenting, seberapa banyak doa dan cinta yang kita tuangkan ke dalamnya…
_*Sicut in caelo et in terra*_
Angin masih terus bertiup di padang gurun peradaban. Debu-debunya terus menghantam wajah tubuh kita. Di siang hari, badai debu menutup mata kita, di tengah malam kita berjalan tanpa bintang. Kegagalan COP 28 di Dubai mengisyaratkan pada kita, perjuangan masih sangat panjang.
Di tengah-tengah dunia yang menempatkan pemujaan diri manusia sebagai puncak keberadaban, kita tahu jalan yang kita pilih bukanlah jalan yang cukup digemari orang. Manusia menolak dikasihi Allah. Manusia menolak menjadi bagian dari jejaring cintakasih yang menghubungkan segenap ciptaan di seluruh muka bumi. Ya, dan bukankah tak ada yang lebih pedih dari hidup yang menolak pengalaman kasih, pengalaman dikasihi, pengalaman mengasihi ?
Dan lorong tanpa cintakasih adalah lorong gelap yang panjang. Seperti pohon yang tercerabut dari akarnya, kita menolak air kehidupan dan tanah keselamatan. Seperti pohon yang tercerabut dari akarnya, kita merindukan pendamaian dengan segenap ciptaan.
Ah sudahlah, jiwaku. Hentikan dukamu. bukankah di hari-hari Paskah kita semua sudah belajar, bahwa seburuk apapun dosamu, sehitam apapun nodamu, Allah tak pernah berhenti mencintamu ? Bahwa sebagaimana martabat manusia yang tanpa batas, kasih Tuhan juga memeluk kita tanpa batas ?
Buah apel itu memang sudah dicecap Adam, dicecap Hawa. Tetapi bukankah kita masih bisa mengumpulkan biji-bijinya yang jatuh dan menanamnya di bumi ? Sembari kita memohon agar rahmat Allah memeluknya dengan penuh cinta dan menumbuhkannya. Karena dalam keajaiban Paskah kita percaya, bahwa lewat Kristus, bumi manusia telah ditebus dan diangkat ke surga, menjadi bagian dari Taman EdenNya yang tercinta.
_Fiat voluntas tua,_ jadilah kehendakMu Bapa, supaya di atas bumi seperti di dalam surga.
_The King of love my shepherd is,_
_whose goodness faileth never._
_I nothing lack if I am his,_
_and he is mine forever._
_Where streams of living water flow,_
_my ransomed soul he leadeth;_
_and where the verdant pastures grow,_
_with food celestial feedeth._
_Perverse and foolish, oft I strayed,_
_but yet in love he sought me;_
_and on his shoulder gently laid,_
_and home, rejoicing, brought me_
(_The King of Love My Shepherd Is_ karya klasik Henry Williams Baker, 1868 berdasar Mazmur 23 dan karya Edmund Prys)
Salam bumi, salam lestari !
Yogyakarta 10 April 2024
Cyprianus Lilik KP
0 Comments:
Posting Komentar