Senin, 01 Oktober 2007

Rumah Tua Mantri Idit

RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan berjamur. Sebagian atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng. Hanya kerangka utama yang menggunakan kayu ulin yang masih kukuh. Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit-Ketua Umum Partai Komunis Indonesia.

Dibangun pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu terletak di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.

Seperti rumah-rumah lain di Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah depan dan rumah belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8x7 meter. Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23 November 1965.

Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun, seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal seorang diri. "Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya pun susah, biarlah ia cuma-cuma menempatinya," kata Murad aidit, adik D.N. Aidit.

Ditempati oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya sebuah bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur terdapat kalender Partai Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra, bekas ketua umum partai itu.

Rumah Abdullah sempat menjadi asrama pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, sebuah kawasan sekitar 54 kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.

Antara rumah dan Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan beberapa pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas rumah depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman yang kini dipakai untuk lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad Aidit-nama kecil Dipa Nusantara-berlatih tinju, angkat besi, dan senam. Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah ini masih menjadi lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.

Sekitar 20 meter dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di kampung itu. Kepada Abdurrachmanlah dulu Ahmad belajar mengaji Quran. Kini rumah ini dimiliki Efendi, kerabat Siti Azahra.

Anak-anak Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra. Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama teman seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.

Seratus meter dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau itu sudah rata tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Cabang Belitung.

Rosihan, 54 tahun, cucu Siti Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir sebelum tahun 1970 mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah yang pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru ditemukan Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat. Pada hari kematian itu, Marisah tengah pergi ke rumah kerabatnya dan baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal Abdullah, Marisah menempati rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 1974.

Adakah orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. "Buat kami, semua biasa-biasa saja," kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang sudah lewat. Yang tersisa hanya gubuk ringkih beratap sirap-rumah panggung yang tua dan setia.

0 Comments:

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India