"Kita sama tua dengan revolusi. Kita anak kandung revolusi! Di manakah Harian Rakjat dan golongannja pada petjahnja Revolusi 45 dan waktu berhadapan dengan kolonialisme Belanda?"...
PERNYATAAN gagah dan tudingan panas yang dimuat surat kabar Merdeka pada "Djumat, 3 Djuli 1964" itu mengarah ke Harian Rakjat. Ketika itu, silat kata di kedua surat kabar tersebut sudah hampir berlangsung satu bulan. Nyaris menggapai klimaks.
Sehari sebelumnya, Harian Rakjat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, koran corong Partai Komunis Indonesia ini menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya sebagai "kaum rebelli" alias pembangkang.
Sebutan pembangkang itu bersumber dari tindakan Barisan Tani Indonesia, sayap Partai Komunis Indonesia, yang gencar mengkampanyekan "aksi sepihak" di berbagai daerah. Yang disebut aksi sepihak ini adalah merebut tanah dari tuan tanah atau petani kaya dan membagikannya ke petani miskin.
Dalam pembelaannya, Harian Rakjat yang dipimpin Njoto, Naibaho, dan Soepeno, membalas: "Kalau djiwa kita sudah tidak boleh lagi "djiwa rebelli", dan kalau menuntut pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dengan segala djalan djuga tidak boleh, maka kita harus bertanja kepada harian itu-Apakah menurut Merdeka revolusi sudah selesai?
SILANG sengketa Merdeka yang condong ke Partai Nasional Indonesia dengan Harian Rakjat milik Partai Komunis memang telah berurat berakar. Saling balas kata keduanya tentu tidak bisa dipisahkan dari persaingan politik kedua partai haluan mereka.
Bagi Partai Nasional, gerak-gerik Partai Komunis ini memang semakin mengkhawatirkan. Padahal, semula diperkirakan kekuatan partai ini sudah tertumpas habis setelah pemberontakan Madiun 1948. Namun dalam pemilihan umum September 1955, Partai Komunis tampil mencengangkan.
Partai yang dipimpin D.N. Aidit ini menjadi partai terbesar keempat dengan 16,4 persen suara. Suara mereka memang di bawah Partai Nasional Indonesia, yang meraup 22,3 persen. Tapi posisi Partai Komunis ini jauh lebih bagus ketimbang Partai Sosialis Indonesia yang dianggap berpengaruh di elite pemerintahan tapi hanya kebagian 2 persen suara.
Menurut M.C. Ricklefs, sejarawan dari Universitas Monash, Australia, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, penampilan Partai Komunis ini mengejutkan banyak elite politik di Jakarta dan membuat Partai Nasional mulai cemas. Perebutan pengaruh antara Partai Nasional, Masyumi, Partai Komunis, Nahdlatul Ulama, dan juga militer, semakin sengit. Hal itulah yang membuat sistem parlementer ketika itu sulit bertahan. Kabinet muncul dan jatuh bergantian.
Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Sistem parlementer tutup buku, dan pengaruh politik Soekarno kembali menguat.
Pidato-pidato Presiden Soekarno yang penuh jargon menjadi kebijakan negara. Orasi 17 Agustus 1959 yang bertajuk "Penemuan Kembali Revolusi Kita", misalnya, kemudian ditetapkan menjadi garis besar haluan negara. Pidato itulah yang kemudian disebut Manifesto Politik.
Kata Soekarno, "... Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita-sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun-kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi...."
Dalam menggelorakan revolusi itu, Partai Komunis menjadi sekutu terdekat Presiden Soekarno. Di mata Herbert Feith, dalam artikelnya Dinamika Demokrasi Terpimpin, langkah Soekarno merangkul Partai Komunis ini juga untuk mengimbangi pengaruh militer yang terus menguat. Di sisi lain, Partai Komunis memanfaatkan lengan kekuasaan Soekarno untuk menangkis "serangan" angkatan darat dan seteru-seteru politiknya. Antara Soekarno dan PKI terciptalah simbiosis yang nyaris sempurna.
Partai Nasional, kekuatan politik yang pernah sedemikian dekat dengan Soekarno, agak diabaikannya. Menurut pengamat politik Nazaruddin Sjamsudin, Bung Karno menganggap partai ini tidak memiliki semangat revolusioner. Partai Nasional juga tidak punya alasan cukup kuat untuk berseteru dengan militer.
Dalam situasi seperti itulah polemik Merdeka melawan Harian Rakjat lahir. Masing-masing berusaha meraih hati Bung Karno dan mengklaim sebagai Manipolis (Manifesto Politik) sejati. "Pada mulanya kita Manipol, hingga akhir Manipol.... Dus kita adalah Manipolis sejati," Merdeka menulis.
Tak hanya mengklaim sebagai Manipolis sejati, Merdeka juga menuding Harian Rakjat dan Partai Komunis menyembunyikan tujuan sebenarnya. Merdeka meragukan kesetiaan Partai Komunis terhadap Manifesto Politik. Sebab partai berlambang palu arit itu sudah mempunyai ideologi, yakni Marxisme-Leninisme.
Klaim Merdeka itu diledek Harian Rakjat. Menurut Njoto dan kawan-kawannya, pernyataan Merdeka itu justru kontradiktif. "Bung Karno sendiri bilang Manipol itu suatu proses yang panjang," tulis Njoto. "Dus, tidak mungkin sejak lahir sudah menjadi Manipolis."
Valina Singka Subekti, pengamat politik Universitas Indonesia, dalam artikelnya Sukarno dan Marhaenisme, sepakat dengan penilaian Merdeka. Menurut Valina, Partai Komunis sebenarnya tidak mendukung Soekarno. Bahkan, kendati Harian Rakjat royal mengumbar puja-puji setinggi langit kepada Bung Karno, Aidit dan barisannya diam-diam berniat mengganti ideologi negara dan suatu ketika akan melengserkan Si Bung.
Rabu, 8 Juli 1964. Polemik Merdeka lawan Harian Rakjat dipaksa tutup. Sehari sebelumnya, penanggung jawab redaksi kedua koran, Hiswara Darmaputera di kubu Merdeka dan Dahono mewakili Harian Rakjat, dipanggil Kejaksaan Agung.
Jaksa Busono, yang mewakili Jaksa Agung, meminta kedua surat kabar mengakhiri silat kata. Menurut dia, polemik itu dapat membahayakan "persatuan tenaga-tenaga revolusioner", yang sangat dibutuhkan dalam kampanye pengganyangan Malaysia. Kata jaksa Busono, "Itu bisa menyebabkan rakyat tidak bersatu pikiran mengenai revolusi."
(74) Polemik Manifesto Politik Publikasi: Harian Rakjat dan Merdeka (3-8 Juli, 1964)
PERNYATAAN gagah dan tudingan panas yang dimuat surat kabar Merdeka pada "Djumat, 3 Djuli 1964" itu mengarah ke Harian Rakjat. Ketika itu, silat kata di kedua surat kabar tersebut sudah hampir berlangsung satu bulan. Nyaris menggapai klimaks.
Sehari sebelumnya, Harian Rakjat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, koran corong Partai Komunis Indonesia ini menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya sebagai "kaum rebelli" alias pembangkang.
Sebutan pembangkang itu bersumber dari tindakan Barisan Tani Indonesia, sayap Partai Komunis Indonesia, yang gencar mengkampanyekan "aksi sepihak" di berbagai daerah. Yang disebut aksi sepihak ini adalah merebut tanah dari tuan tanah atau petani kaya dan membagikannya ke petani miskin.
Dalam pembelaannya, Harian Rakjat yang dipimpin Njoto, Naibaho, dan Soepeno, membalas: "Kalau djiwa kita sudah tidak boleh lagi "djiwa rebelli", dan kalau menuntut pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dengan segala djalan djuga tidak boleh, maka kita harus bertanja kepada harian itu-Apakah menurut Merdeka revolusi sudah selesai?
***
Bagi Partai Nasional, gerak-gerik Partai Komunis ini memang semakin mengkhawatirkan. Padahal, semula diperkirakan kekuatan partai ini sudah tertumpas habis setelah pemberontakan Madiun 1948. Namun dalam pemilihan umum September 1955, Partai Komunis tampil mencengangkan.
Partai yang dipimpin D.N. Aidit ini menjadi partai terbesar keempat dengan 16,4 persen suara. Suara mereka memang di bawah Partai Nasional Indonesia, yang meraup 22,3 persen. Tapi posisi Partai Komunis ini jauh lebih bagus ketimbang Partai Sosialis Indonesia yang dianggap berpengaruh di elite pemerintahan tapi hanya kebagian 2 persen suara.
Menurut M.C. Ricklefs, sejarawan dari Universitas Monash, Australia, dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern, penampilan Partai Komunis ini mengejutkan banyak elite politik di Jakarta dan membuat Partai Nasional mulai cemas. Perebutan pengaruh antara Partai Nasional, Masyumi, Partai Komunis, Nahdlatul Ulama, dan juga militer, semakin sengit. Hal itulah yang membuat sistem parlementer ketika itu sulit bertahan. Kabinet muncul dan jatuh bergantian.
Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Sistem parlementer tutup buku, dan pengaruh politik Soekarno kembali menguat.
Pidato-pidato Presiden Soekarno yang penuh jargon menjadi kebijakan negara. Orasi 17 Agustus 1959 yang bertajuk "Penemuan Kembali Revolusi Kita", misalnya, kemudian ditetapkan menjadi garis besar haluan negara. Pidato itulah yang kemudian disebut Manifesto Politik.
Kata Soekarno, "... Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita-sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun-kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi...."
Dalam menggelorakan revolusi itu, Partai Komunis menjadi sekutu terdekat Presiden Soekarno. Di mata Herbert Feith, dalam artikelnya Dinamika Demokrasi Terpimpin, langkah Soekarno merangkul Partai Komunis ini juga untuk mengimbangi pengaruh militer yang terus menguat. Di sisi lain, Partai Komunis memanfaatkan lengan kekuasaan Soekarno untuk menangkis "serangan" angkatan darat dan seteru-seteru politiknya. Antara Soekarno dan PKI terciptalah simbiosis yang nyaris sempurna.
Partai Nasional, kekuatan politik yang pernah sedemikian dekat dengan Soekarno, agak diabaikannya. Menurut pengamat politik Nazaruddin Sjamsudin, Bung Karno menganggap partai ini tidak memiliki semangat revolusioner. Partai Nasional juga tidak punya alasan cukup kuat untuk berseteru dengan militer.
Dalam situasi seperti itulah polemik Merdeka melawan Harian Rakjat lahir. Masing-masing berusaha meraih hati Bung Karno dan mengklaim sebagai Manipolis (Manifesto Politik) sejati. "Pada mulanya kita Manipol, hingga akhir Manipol.... Dus kita adalah Manipolis sejati," Merdeka menulis.
Tak hanya mengklaim sebagai Manipolis sejati, Merdeka juga menuding Harian Rakjat dan Partai Komunis menyembunyikan tujuan sebenarnya. Merdeka meragukan kesetiaan Partai Komunis terhadap Manifesto Politik. Sebab partai berlambang palu arit itu sudah mempunyai ideologi, yakni Marxisme-Leninisme.
Klaim Merdeka itu diledek Harian Rakjat. Menurut Njoto dan kawan-kawannya, pernyataan Merdeka itu justru kontradiktif. "Bung Karno sendiri bilang Manipol itu suatu proses yang panjang," tulis Njoto. "Dus, tidak mungkin sejak lahir sudah menjadi Manipolis."
Valina Singka Subekti, pengamat politik Universitas Indonesia, dalam artikelnya Sukarno dan Marhaenisme, sepakat dengan penilaian Merdeka. Menurut Valina, Partai Komunis sebenarnya tidak mendukung Soekarno. Bahkan, kendati Harian Rakjat royal mengumbar puja-puji setinggi langit kepada Bung Karno, Aidit dan barisannya diam-diam berniat mengganti ideologi negara dan suatu ketika akan melengserkan Si Bung.
Rabu, 8 Juli 1964. Polemik Merdeka lawan Harian Rakjat dipaksa tutup. Sehari sebelumnya, penanggung jawab redaksi kedua koran, Hiswara Darmaputera di kubu Merdeka dan Dahono mewakili Harian Rakjat, dipanggil Kejaksaan Agung.
Jaksa Busono, yang mewakili Jaksa Agung, meminta kedua surat kabar mengakhiri silat kata. Menurut dia, polemik itu dapat membahayakan "persatuan tenaga-tenaga revolusioner", yang sangat dibutuhkan dalam kampanye pengganyangan Malaysia. Kata jaksa Busono, "Itu bisa menyebabkan rakyat tidak bersatu pikiran mengenai revolusi."
(74) Polemik Manifesto Politik Publikasi: Harian Rakjat dan Merdeka (3-8 Juli, 1964)