Selasa, 06 Oktober 2009

Serba Kabur di Akhir Hayat

SUASANA Jakarta mencekam pada hari itu, 2 Oktober 1965. Dua hari sudah lewat setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia dituduh bertanggung jawab dan para aktivisnya segera menjadi target penangkapan.

Njoto, Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia dan salah satu menteri Kabinet Dwikora I baru pulang dari kunjungan dinas. Dia mendampingi Perdana Menteri I Soebandrio dalam turne ke Sumatera Utara. Malam telah tiba ketika ia tiba di rumahnya, Jalan Malang, Menteng Nomor 22, Jakarta Pusat. Tak sempat istirahat, ia segera mengajak istri yang sedang hamil dan enam anaknya meninggalkan rumah.

Keluarga ini mendatangi rumah para kerabat, mencari tempat mengungsi. Tak ada yang berani menampung mereka. Seorang teman di daerah Kebayoran yang justru bersedia memberi mereka tempat tinggal. Njoto hanya menitipkan istrinya, Soetarni, dan enam anaknya. Ia bergegas pergi lagi. "Kami cari tempat sendiri sendiri," kata Soetarni.

Soetarni dan anak anaknya tak lama di satu rumah. Mereka berpindah pindah. Pada suatu ketika, mereka menetap di Asrama Mahasiswa Concentratie Gerakan Mahasiswa Indonesia di daerah Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Soetarni mengingat, pada akhir 1965, dua kali suaminya datang menjenguk. "Sekali tengah malam, sekali siang," ujarnya.

Soetarni mengatakan tidak pernah tahu tempat persembunyian suaminya. Ia menduga, Njoto masih tinggal di rumah mereka di Menteng. Bisa jadi dugaannya benar, paling tidak pada awal awal pelarian Njoto.

Amarzan Ismail Hamid, wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, mengatakan bertemu Njoto pada 6 Oktober pagi di Jalan Menteng. Ketika itu Njoto hendak berangkat ke Sidang Kabinet di Istana Bogor bersama M.H. Lukman, menteri negara yang juga Wakil Ketua I Comite Central Partai Komunis Indonesia.

Njoto dan Lukman sempat berdiskusi sebelum menuju Bogor. "Kalau hasil sidang jelek, kita ke Bandung. Kalau bagus, kita tetap di Jakarta," kata Amarzan menirukan pembicaraan keduanya. Ternyata, setelah sidang, mereka menganggap Soekarno masih menguasai keadaan. Mereka pun kembali ke Jakarta.

Menurut buku Gerakan 30 September/PKI Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, Njoto hadir di sidang atas perintah Ketua Umum D.N. Aidit dari pelariannya di Jawa Tengah. Melalui anggota Biro Khusus, Bono, ia mengirim pesan kepada Sudisman, Sekretaris Comite Central. Isinya, agar anggota Comite Central yang masih di Jakarta segera melakukan upaya penyelamatan partai. Ia juga meminta Njoto mewakilinya dalam Sidang Kabinet di Bogor.

Seorang kerabat M.H. Lukman mengisahkan, pada 5 Oktober malam, Njoto, Lukman, dan sejumlah petinggi PKI minus D.N. Aidit sempat berkumpul di kediaman Joesoef Isak, seorang wartawan yang dekat dengan Njoto, di daerah Kebayoran, Jakarta Selatan. Tapi ia mengaku tak mengetahui materi pembicaraan. "Mungkin koordinasi sebelum ke Bogor," katanya.

Ketika berdiskusi dengan Tempo pada suatu siang sebelum meninggal pada malam harinya akhir Agustus lalu, Joesoef membenarkan adanya pertemuan para petinggi PKI di rumahnya. Tapi ia tak bisa mengingat apakah pertemuan itu berlangsung sebelum atau sesudah 6 Oktober.

Kediaman Joesoef adalah salah satu tempat persembunyian favorit Njoto. Joesoef menuturkan, suatu ketika tentara sempat menggerebek rumahnya. Mereka melihat Njoto tapi membiarkannya dan justru memberi hormat karena tidak ada surat perintah penangkapan. "Sebelum jam malam selesai, Njoto kabur," kata Joesoef.

Seusai sidang kabinet di Bogor, sekelompok tentara membuntuti Njoto dan Lukman. Njoto memutuskan berpindah pindah tempat. Sebagai tokoh PKI, Njoto cukup berani ketika itu. "Dia masih keluyuran. Mungkin karena merasa PKI tidak bersalah," kata Bonnie Triana, peneliti sejarah Universitas Indonesia.

Sarbi Moehadi, 81 tahun, bekas Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat Pekalongan, Jawa Tengah, menyatakan Njoto sempat memimpin rapat konsolidasi di Slawi, Jawa Tengah, beberapa bulan setelah peristiwa 30 September. Menurut dia, Njoto meminta para pemimpin partai dan pegiat Lekra di daerah ini mempertahankan organisasi. Sarbi ditangkap beberapa bulan kemudian dan dipenjara 14 tahun.

Amarzan, kini 68 tahun, meragukan cerita Sarbi. Menurut dia, Jakarta paling aman untuk bersembunyi. Ke luar kota sama dengan mencari mati, katanya. Ia yakin, meski berpindah pindah, Njoto tak pernah lari ke luar Jakarta.

***

Seperti pelariannya, penangkapan Njoto masih menyisakan misteri. Sri Windarti, adik perempuannya, pernah mendapat cerita dari Edi, sopir pribadi Njoto. Menurut dia, sang sopir merasa diikuti seseorang ketika mengantar Njoto ke kantor, yang sekarang menjadi Sekretariat Negara. Edi sempat bertanya kepada Njoto: pulangnya dijemput di kantor atau di Istana Negara. "Si Mas hanya menjawab: sudah, jangan ditengok," kata Windarti.

Menurut cerita seorang pengawal Istana, kata Windarti, mobil Njoto dicegat dalam perjalanan. Tapi ia tak memperoleh cerita detail, termasuk waktu dan tempat, tentang peristiwa itu.

Irina Dayasi, anak kelima Njoto, mengatakan ada banyak versi cerita penangkapan. Versi pertama, ayahnya ditangkap dalam perjalanan pulang dari Sidang Kabinet di Bogor pada 6 Oktober. Ia menganggap versi ini paling tidak logis karena sejumlah orang mengatakan masih bertemu Njoto hingga Desember 1965. Versi kedua, Njoto ditahan setelah menemui Soebandrio. Versi ketiga, ditangkap dalam perjalanan dari kantor Kementerian Negara. Irina memperkirakan, ayahnya ditangkap sekitar Desember.

Menurut Amarzan, Njoto ditangkap dalam perjalanan di Jalan Tosari, Menteng, Jakarta Pusat. "Mobilnya disalip, lalu dicegat. Dia dikeluarkan, dipukul, kacamatanya jatuh. Itu yang saya dengar," katanya.

Sampai sekarang nasib Njoto tak jelas. Kuburannya, jika ia telah meninggal, tak diketahui. "Serba gelap," kata Irina.

Suatu ketika, beberapa tahun setelah peristiwa 30 September, beberapa temannya mendatangi seorang paranormal untuk mengetahui keberadaan Njoto. Sang dukun kerasukan dan "menjelma" menjadi Njoto. Ia menulis nama "Njoto" di papan. "Tulisannya agak miring, persis tulisan tangan Njoto," kata teman Njoto, yang menolak disebut namanya tapi ikut mendatangi dukun. Menjawab pertanyaan para "kliennya" soal keberadaan Njoto, dukun menjawab: "Ada di Jawa Barat."

Besan Soetarni, bernama Sugeng, adalah pensiunan polisi militer. Kepada Soetarni, Sugeng mengatakan pernah melihat Njoto di tahanan markas militer Guntur, Jakarta Pusat, ketika piket jaga pada suatu malam. Esoknya Njoto tidak ada lagi di tahanan itu.

Menurut Iramani, adik perempuan terkecil Njoto, ada cerita Njoto ditembak di daerah Tanjung Priok. Ia juga memperoleh versi lain, Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke daerah Bekasi, Jawa Barat, dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965. "Mana yang betul, saya tidak tahu," katanya.

Joesoef Isak mendapat informasi bahwa Njoto sempat ditahan selama dua hari di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Cerita itu didapatnya dari seorang tentara yang tinggal di mes rumah tahanan, yang bercerita bahwa Njoto ada di situ. "Saya tanya dia: emang kamu tahu Njoto? Dia bilang pake kaca mata kan, gaya gaya Cina," kata Joesoef.

Menurut Joesoef, ciri ciri yang disebutkan tentara itu memang punya Njoto. Tapi Njoto hanya dua malam di sana. Setelah itu ia dibawa dua orang tentara entah ke mana. "Itu informasi pertama yang saya terima langsung," kata Joesoef.

Menurut Bonnie Triana, setelah diambil dari rumah tahanan militer, Njoto dihabisi di suatu tempat di Jakarta. Ia menambahkan, "Mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung."

Merahnya HR, Merahnya Lekra

SUNGGUHPUN Harian Rakjat (HR) lekat dengan nama Njoto, ia bukan pendiri corong resmi Partai Komunis Indonesia tersebut.

Pendirinya Siauw Giok Tjhan (1914-1981), wartawan majalah Liberty dan Pemuda. Ia anggota Konstituante, pendiri Baperki, organisasi massa warga keturunan Tionghoa yang kemudian dilarang pasca-G30S.

Pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat, Harian Rakjat memiliki jargon nyaring: "Untuk rakjat hanja ada satu harian, Harian Rakjat." Giok Tjhan memimpin Harian Rakjat dua tahun pertama, kemudian digantikan Njoto hingga akhir hayat.

Di tangan Njoto, yang kemudian diangkat sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda, HR dengan oplah yang diklaim sebesar 60 ribu eksemplar adalah pendukung kebijakan partai. Harian Rakjat tak ubahnya pamflet; tak ada edisi yang muncul tanpa kata "rakjat" dan dukungan pada Manifesto Politik Soekarno. Bahasa yang digunakan, seperti dibahas penulis Lekra, Busjari Latif, dalam artikelnya di Harian Rakjat, adalah bahasa yang "hemat, lintjah, dan terus terang sesuai kerangka Marxisme/Leninisme."

Dalam buku kecil Pers dan Massa, kumpulan pidato Njoto saat ulang tahun Harian Rakjat 1956-1958, Njoto membandingkan surat kabar itu dengan Pravda, koran partai komunis Uni Soviet. Harian Rakjat disebutnya memiliki keunggulan utama, yakni para "korespondennja jang lahir dari tengah-tengah massa". Artinya, setiap buruh, setiap pelajar, dan setiap orang bisa jadi koresponden.

Dalam periode 1950-an itu Harian Rakjat memberikan ruang luas bagi karya seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang didirikan Njoto dan dua petinggi PKI D.N. Aidit dan A.S. Dharta serta seorang tokoh Murba, M.S. Ashar. Lekra lahir pada tahun yang sama dengan Harian Rakjat, ketika dirasakan gemuruh semangat revolusi mulai mengendur. "Bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat," begitu tertulis dalam Mukadimah Lekra.

Njoto, yang biasa menulis esai dan puisi, berdansa waltz dan foxtrot, serta meniup saksofon, sangat piawai memainkan peran utama di dua entitas kiri itu. Di Harian Rakjat, salah satu tugasnya sebagai pemimpin redaksi adalah menulis editorial koran. Menurut Martin Aleida, wartawan Harian Rakjat yang selamat dari pembantaian dan pemenjaraan, kadang ia menulis di kantor, meski sering menitipkannya lewat kurir. Njoto juga sering membantu merumuskan sudut pandang (angle) bagi artikel Harian Rakjat.

Sedangkan di Lekra, menurut Sabar Anantaguna, teman sekolah Njoto di Jember yang kemudian menjadi pengurus Lekra pusat, Njoto tahu bagaimana melayani seniman yang tak mau diatur dan dikomando. Dia sering hadir dalam rapat Lekra, meski tak banyak bicara. Kalau setuju, kata Anantaguna, Njoto diam. Kalau kurang setuju, Njoto baru angkat bicara dan selalu bilang, "Apa itu sudah yakin? Coba dipikir lagi," Anantaguna menirukan Njoto.

Njoto pun hati-hati menjaga keseimbangan ideologis di kalangan seniman. Meski ia pendukung Manifestasi Politik sejati Njoto melahirkan prinsip "politik sebagai panglima" dan giat memobilisasi perlawanan terhadap para seniman non komunis pendukung humanisme universal Njoto tak setuju dengan upaya memerahkan Lekra sepenuhnya, seperti yang diinginkan rekan-rekannya di Politbiro. Anggota Lekra tidak semuanya komunis, dan ia ingin mempertahankannya begitu.

"Manikebu (akronim ejekan untuk Manifesto Kebudayaan) adalah sebuah konsep pemikiran. Konsep tidak bisa ditiadakan oleh tanda tangan di atas kertas," kata Joesoef Isak, menirukan Njoto, sahabatnya. Ketika kemudian Soekarno melarang Manifesto Kebudayaan, Njoto tidak bersorak seperti kebanyakan pendukung komunis yang mengucap syukur.

Dalam ingatan Martin, Njoto pula yang menghapus nama Ernest Hemingway yang ia kenal personal dan film The Old Man and The Sea dari daftar film Amerika yang haram ditonton. Demikian kuat karisma Njoto hingga ada lelucon sendiri. Di kalangan penghuni Jalan Cidurian 19, rumah Oey Hay Djoen, kantor pusat Lekra, bila Njoto datang, para penghuni berdiri. "Kalau Aidit yang datang, mereka tak mau melakukannya," kata Martin.

Iwan Simatupang, sastrawan antikomunis asal Sibolga, pernah mencemaskan pengaruh Njoto yang dianggapnya lebih berbahaya daripada Lukman atau Aidit-karena kuatnya inteligensi orang yang disebutnya "sok intelek dan sok filosofis" itu. Menurut dia, seniman besar seperti Rivai Apin, Basuki Resobowo, dan Henk Ngantung menjadi simpatisan komunis karena pengaruh Njoto.

***

Masa-masa keemasan Njoto sebagai pemimpin agitasi dan propaganda melemah ketika konflik ideologis antara Njoto dan Aidit memuncak. Saat itu PKI sudah mengklaim punya anggota lebih dari tiga juta. Setelah MPRS menabalkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, Njoto didaulat sebagai menteri. Kedekatannya dengan Soekarno Njoto adalah penulis pidatonya-mengancam posisinya di partai (baca "Njoto dan Soekarnoisme" Red). Puncaknya pada 1964, seperti keterangan Joesoef Isak, ketika Njoto diskors dari seluruh jabatannya di partai, termasuk posisi Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda. Penggantinya, Oloan Hutapea, loyalis Aidit.

Konflik Njoto dan Aidit merembet sampai ke Harian Rakjat. Martin ingat, bulan-bulan terakhir menjelang G30S, Njoto sudah tak aktif lagi memimpin. Tapi konflik internal Harian Rakjat memanas. Mereka yang dari Sumatera dimusuhi awak redaksi yang berlatar belakang Pemuda Rakyat karena dianggap anak emas Njoto. "Padahal karena kami lebih biasa berbahasa Melayu. Selain itu, Pemuda Rakyat tak begitu senang kepada seniman Lekra yang tak bisa diatur. Pemuda Rakyat lebih militan," katanya.

Tapi demikian lekatnya Harian Rakjat dengan sosok Njoto, Aidit tak berupaya mencopotnya. Partai membuat harian umum baru, Kebudajaan Baru. Menurut Martin, koran baru ini muncul hanya 1-2 bulan menjelang G30S, sehingga tak banyak petinggi partai yang mengetahui. Pemimpin redaksinya Muslimin Jasin, anggota Comite Central asal Nusa Tenggara.

Seorang pemimpin PKI di daerah yang diwawancarai Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia-mengaku jadi bagian dewan redaksi Kebudajaan Baru, yang dibuat untuk menandingi Harian Rakjat. "Malam sebelum kup kami mengadakan rapat redaksi. Aidit datang dan mengatakan, "Sekarang saya akan memulai sesuatu yang banyak kawan kita mungkin tidak suka. Tapi ini merupakan jalan pintas cita-cita kita," katanya.

Sejarah mencatat, "jalan pintas" Aiditlah yang mengubur dalam-dalam bukan cuma partai, tapi juga Lekra dan Harian Rakjat sekaligus. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965, dan Harian Rakjat Minggu (HRM) melakukannya sehari kemudian. Nomor buncit lembar seni-budaya itu memuat nama Banda Harahap sebagai pimpinan dewan redaksi, dengan penanggung jawab M. Naibaho dan beranggotakan sastrawan Zubir A.A, Amarzan Ismail Hamid, dan Bambang Sokawati Dewantara-putra bungsu Ki Hajar Dewantara. Seperti dikutip Taufiq Ismail dalam buku Prahara Budaya, ada sejumlah petunjuk di edisi itu akan situasi genting pasca-G30S, namun yang paling menarik adalah puisi "Wong Tjilik" (yang menurut salah satu redaktur HRM, adalah karya Njoto) di pojok Tjabe Rawit, halaman tiga:

Makan tak enak, tidur tak nyenyak
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri
Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri
Bukan salah bunda mengandung, salah anak buruk pinta
Sudahlah nasib akan digantung, jadi si laknat setan kota....

Soekarnoisme dan Perempuan Rusia

DI Istana Tampaksiring, Bali, Presiden Soekarno tampak gelisah. Njoto, menteri negara yang menjadi penulis pidato Presiden, tak ketahuan berada di mana. Padahal upacara kenegaraan 17 Agustus 1965 tinggal sepekan.

Njoto, yang juga Wakil Ketua II Comite Central Partai Komunis Indonesia, adalah penulis andalan si Bung untuk pidato-pidatonya yang membakar itu. Dua penulis lain-Soebandrio dan Ruslan Abdoelgani sejak 1960 mulai jarang dipakai.

"Bung Karno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto," kata Joesoef Isak, sahabat Njoto sekaligus teman dekat Bung Karno, sehari sebelum wafat, pertengahan Agustus lalu. Wakil Perdana Menteri Soebandrio kemudian memberi tahu Bung Karno, Njoto sedang di Amsterdam, Belanda, bersama Joesoef, menegosiasi pembelian pesawat terbang Fokker.

Setelah berkeliling Afrika, karena Konferensi Asia Afrika ke-2 batal di Aljazair akibat kudeta di negeri itu, Njoto ngelencer ke Belanda, lalu ke Rusia, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis. Njoto segera pulang begitu menerima kawat bahwa Presiden mencarinya. Padahal di Moskow ia sedang melawat bersama Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit.

Menjelang akhir kekuasaannya itu, hubungan Soekarno dan Njoto memang terbilang rapat dan unik. Bung Karno adalah pendiri Partai Nasional Indonesia yang pamornya sedang meredup, sementara PKI sedang berjaya di seluruh negeri. Dan Njoto, 38 tahun, adalah tokohnya yang paling mencorong.

Menurut Joesoef, keduanya saling mengagumi, saling menyukai. Bung Karno menyukai Njoto karena ia satu-satunya pentolan PKI yang "liberal", pragmatis, dan tak dogmatis. Selain selalu tampil rapi dan dandy, menteri negara ini menyukai musik klasik, jazz, bisa memainkan hampir semua alat musik, menulis, serta menyukai puisi dan seni rupa.

Kedekatan itu tak hanya dalam urusan kerja, tapi menyangkut hal-hal pribadi. Menurut kolega Njoto di Harian Rakjat, Bung Karno memanggil laki-laki yang terpaut usia 26 tahun itu dengan sebutan "Dik". "Ini panggilan tak lazim di kalangan pejabat dan aktivis politik waktu itu," katanya. "Umumnya sesama pejabat memanggil 'Bung'."

Njoto sering terlihat dalam pesta lenso yang digelar di Istana Negara. Sehabis upacara-upacara resmi, Bung Karno biasanya menggelar pesta dengan mengundang penyanyi top Ibu Kota macam Titiek Puspa, Rima Melati, atau Suzanna.

Setelah tamu negara pulang, pasukan Cakrabirawa dengan sigap menyiapkan "panggung hiburan". Para pejabat negara, wartawan, atau siapa pun yang hadir bergiliran menyanyi dan menari. Njoto tak pernah ketinggalan menyumbang suara.

Suatu ketika, menurut sumber Tempo, "Dik Njoto" naik panggung dan siap menyumbangkan suara, Bung Karno menghampiri lalu merapikan kerah jas Njoto yang terlipat. "Seperti itulah hubungan mereka, dekat sekali."

Selain sama-sama doyan pesta, Njoto orator ulung seperti Bung Karno. Sabar Anantaguna, teman SMP Njoto di Solo, Jawa Tengah, bersaksi bahwa sejak remaja laki-laki berkacamata ini jagoan podium. "Kalau berpidato, dia seperti dalang, semua orang terpukau," katanya.

Sama seperti Soekarno, Njoto juga menguasai beberapa bahasa asing dan puluhan bahasa daerah. Ia juga penerjemah Marxisme yang mumpuni. Bung Karno pernah menjuluki Njoto "Marhaenis sejati" merujuk pada ideologi kerakyatan yang dicetuskan Soekarno.

Sebaliknya, Njoto adalah orang pertama yang menelurkan istilah "Soekarnoisme". Istilah yang dilontarkannya dalam sebuah pidato di Palembang pada April 1964 itu kemudian dipakai oleh kawan sekaligus musuh Bung Karno. Kelompok anti-PKI malah mendirikan Badan Pendukung Soekarnoisme pada September 1964.

Mereka khawatir panglima tertinggi itu makin jatuh ke pelukan PKI, apalagi Bung Karno sudah mencetuskan poros Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom), sebagai asas front persatuan nasional. Sebaliknya, kubu PKI terutama D.N. Aidit-menyangka Njoto telah dipakai Soekarno untuk menggembosi PKI.

Njoto dianggap berkhianat dengan membuat istilah baru dalam wacana ideologi. Sebab, bagaimanapun, asas PKI adalah Marxisme-Leninisme. Soekarnoisme dianggap lema baru yang bisa merongrong komunisme.

Dan Njoto memang serius dengan istilah barunya itu. Menurut sumber Tempo, pemimpin umum koran PKI itu menganggap Marxisme terlalu asing bagi petani dan borjuis kecil yang ingin digarap PKI menjadi basis massa ideologinya. "Sedangkan Soekarnoisme itu lebih jelas, dan orangnya juga masih hidup."

Sikap Njoto inilah, antara lain, yang membuat para pemimpin PKI hilang kepercayaan kepadanya. Aidit sampai menerbitkan harian Kebudajaan Baru sebagai "pesaing" Harian Rakjat, sebab memecat Njoto sebagai pemimpin Harian Rakjat akan membuat konflik menjadi terbuka dan sama sekali tak akan menguntungkan PKI.

Aidit akhirnya melepaskan Njoto dari jabatan Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda PKI. Tapi, menurut Joesoef Isak, alasan utama skorsing itu adalah urusan perempuan. Waktu itu Njoto dituding terlibat hubungan gelap dengan seorang perempuan Rusia. Aidit memaksa Njoto memutuskan cinta terlarang itu.

PKI memang tegas dalam soal ini. Aidit, yang antipoligami, mengeluarkan aturan menerapkan skorsing bagi siapa saja yang ketahuan berselingkuh. Menurut almarhum Oey Hay Djoen, anggota DPR dari PKI, waktu itu banyak anggota yang kena skorsing akibat ketahuan menjalin affair dengan perempuan bersuami.

Menurut sumber Tempo, "skorsing" inilah yang mendorong Bung Karno meminta Njoto mendirikan partai baru, dengan nama sementara "Partai Rakyat Indonesia" dengan asas Soekarnoisme. Bung Karno menganggap Soekarnoisme adalah penyempurnaan Marhaenisme. Tapi ide itu tak pernah kesampaian karena polemik kedua kubu keburu pecah.

Badan Pendukung Soekarnoisme menyerang sikap Njoto dan PKI di Harian Merdeka milik B.M. Diah. Njoto menangkisnya di Harian Rakjat. Berhari-hari polemik itu ramai, meruncing hampir berujung bentrokan. Bung Karno akhirnya turun tangan dengan melarang pemakaian istilah Soekarnoisme dalam polemik.

Tapi hubungan Soekarno Njoto tetap ketat hingga senja kala kekuasaan "Pemimpin Besar Revolusi" itu. Puncaknya adalah malam 30 September 1965, ketika Tanah Air menyaksikan perubahan nasib dan arah sejarah zaman yang bergolak.

Jalan Curam Skandal Asmara

JOESOEF Isak mengetahui rahasia sahabatnya, Njoto, dari sumber tak terduga. Ketika itu, pada 1968, mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu ditahan di Blok R Rumah Tahanan Salemba, Jakarta. Suatu hari, tahanan politik di blok sebelah melemparkan buku kecil ke selnya.

Tetangga sebelah itu, Sugi, adalah mantan anggota Comite Central Partai Komunis Indonesia. Rupanya Sugi dengan tekun menjahit kertas rokok menjadi buku kecil. Di buku itu dia menuliskan kisah "pengadilan" Njoto oleh pimpinan kolektif PKI, pada 1964.

Sebagai anggota CC, Sugi turut mengadili Njoto. Di sidang itu, Njoto, yang menjabat Wakil Ketua II CC PKI, diputuskan bersalah dan dijatuhi sanksi skorsing. Semua jabatannya di partai dilucuti.

Sugi, saat itu 70 tahun, memaksakan diri memanjat pohon ceri supaya bisa memberikan buku itu kepada Joesoef. "Saya tanya, 'Kenapa Pak Sugi menyampaikan ini pada saya?'," Joesoef bercerita. "Dia bilang, ini harus ditulis, dan dia memilih saya karena saya wartawan."

Karena itulah Joesoef yakin, Njoto tak mengetahui pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September. Sebetulnya, Njoto bisa lepas tangan dari Gerakan lantaran tak lagi menjabat posisi strategis di partai. "Tapi dia memikul semua, seolah olah ikut serta," ujar Joesoef.

Ketika diwawancarai Risuke Hayashi dan Takehiko Tadokoro, koresponden harian Jepang, Asahi Shimbun, di Jakarta, dua pekan sebelum hilang, Njoto masih gigih membela partainya. Menurut Njoto, pimpinan Partai Komunis sama sekali tak mengetahui soal Gerakan 30 September. Dia mengatakan, di mata partainya, Gerakan itu merupakan masalah internal tentara.

Bahkan, kata Njoto, ketika peristiwa pembunuhan para petinggi TNI Angkatan Darat itu terjadi, dia sedang bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan sejumlah petinggi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian berkeliling Sumatera. Mereka baru tahu soal Gerakan itu ketika berada di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. "Kami sama sama terenyak," katanya kepada Asahi Shimbun.

***

DI antara empat tokoh kunci PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, dan Sudisman Njoto paling muda. Pada usia 19 tahun, dia sudah mewakili PKI Banyuwangi di Komite Nasional Indonesia Pusat. Tak terang benar, sejak kapan sebenarnya Njoto bergabung dengan Partai Komunis, dan siapa yang mempengaruhinya. "Dia belajar diam diam," kata Sri Windarti, adik Njoto.

Tokoh tokoh muda di Partai Komunis ketika itu berhasil menggusur pemimpin sepuh, seperti Tan Ling Djie, Alimin, Wikana, dan Ngadiman Hardjosubroto, serta mengambil alih kepemimpinan partai. Aidit menjabat Ketua, Lukman menduduki posisi Wakil Ketua I, Njoto sebagai Wakil Ketua II, dan Sudisman mengisi kursi Sekretaris Jenderal.

Sebagai Wakil Ketua II, Njoto bertanggung jawab atas Departemen Agitasi dan Propaganda. Lewat Harian Rakjat dan majalah teori Bintang Merah, Njoto "menghajar" lawan lawan politiknya. Sebaliknya, lewat kolom "Catatan Seorang Publisis" di Harian Rakjat, Iramani nama pena Njoto tampil lebih lembut dan "sastrawi".

Salah satu polemik paling keras terjadi antara Harian Rakjat melawan Merdeka pada Juni hingga Juli 1964. Harian Rakjat, misalnya, memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tanah". Lewat tulisannya itu, Harian Rakjat menangkis tudingan Merdeka yang menganggapnya "kaum rebelli". Silat pena itu baru berakhir setelah Jaksa Agung Soeprapto turun tangan.

***

PEREMPUAN itu bernama Rita. Anak Rusia ini penerjemah untuk tokoh tokoh PKI yang sedang melawat ke Negeri Beruang Merah tersebut. Sedemikian serius kisah asmara Njoto dengan Rita, hingga hampir berujung ke ranjang pengantin. Padahal, ketika itu Njoto sudah beristrikan Soetarni.

Niat Njoto meninggalkan Soetarni tentulah membuat Partai gerah. Comite Central PKI, menurut Semaun, sebenarnya sudah berkali kali memperingatkan Njoto, supaya memutuskan hubungan dengan Rita. "Hubungan mereka bisa mencemarkan citra Partai," ujar Semaun.

Selain soal citra, mantan anggota Comite Central PKI, Rewang, mengatakan pimpinan PKI curiga Rita merupakan agen Partai Komunis Uni Soviet, sehingga hubungan itu bisa membahayakan partai. Sidang partai akhirnya digelar untuk membahas masalah tersebut.

Njoto dicecar dari berbagai penjuru. "Suasana sidang itu panas sekali," kata Joesoef Isak. Dia mendapatkan cerita dari Sugi, anggota Comite Central yang hadir dalam rapat itu. "Tapi Njoto sangat terbuka. Semua pertanyaan dia jawab." D.N. Aidit akhirnya turun tangan, meminta waktu berbicara empat mata dengan Njoto

Hampir dua jam mereka berbicara dan membiarkan peserta sidang menunggu. Njoto, yang semula ngotot, akhirnya bersedia mengubur niatnya. Aidit dan Njoto berpelukan. Namun keputusan sidang soal disiplin partai tetap tak bisa ditawar. Njoto dijatuhi skorsing dan sementara melepaskan berbagai jabatannya di partai. Sanksi ini rencananya akan disahkan dalam Kongres Partai pada 1965.

"Tapi hubungan Njoto dengan Aidit sama sekali tidak berubah," kata Rewang. Njoto tetap aktif mengikuti pertemuan partai, termasuk rapat rapat menjelang September 1965. Bahkan Njoto pulalah yang membawa surat Aidit dan membacakannya di sidang kabinet beberapa hari setelah peristiwa pembunuhan enam jenderal.

Menjelang tumbangnya PKI, memang santer beredar kabar perbedaan jalan di antara pucuk pimpinan PKI, yakni D.N. Aidit, Njoto, dan Sudisman. Haluan politik Aidit semakin dekat dengan Partai Komunis Cina ketimbang ke Uni Soviet.

Dalam pleidoi di depan Mahkamah Militer Luar Biasa, dan juga otokritiknya terhadap partai (keduanya ditulis setelah Gerakan 30 September), Sudisman menilai Aidit sudah menyeret partai pada petualangan atau avonturisme. Dukungan pemimpin partai terhadap Gerakan 30 September, menurut Sudisman, tidak didasari kesadaran dan keyakinan massa.

Njoto dianggap sudah kelewat dekat dengan Soekarno. Ketika berpidato di Palembang, pada 1964, isi pidatonya dianggap lebih Soekarnois ketimbang Marxis. "Itu titik awal Njoto dianggap punya jalan sendiri," ujar seorang mantan wartawan Harian Rakjat.

Rewang, mantan anggota Comite Central PKI, mengakui perbedaan sikap antara Aidit, Njoto, dan Sudisman. Namun Semaun Utomo, mantan Ketua Lembaga Sejarah Comite Central PKI, meragukan kabar tersebut. Pimpinan partai, kata Semaun, hanya berbeda pendapat, tapi tidak sampai pecah. "Kabar itu omong kosong," kata Joesoef Isak. "Njoto mengagumi Aidit, dan Aidit mencintai Njoto hingga saat-saat terakhir."

Yang Tersisih dari Riak Samudra

BOGOR, 6 Oktober 1965.

Hampir sepekan setelah peristiwa penculikan enam jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menggegerkan Jakarta. Presiden Soekarno memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar rapat mendadak di Istana Bogor.

Sekitar empat puluh menteri hadir ketika itu. Hampir semuanya berpakaian putih putih seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka amat ketat, sebagian datang dengan dikawal panser tentara.

Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang belakangan dipenjara karena dituduh terlibat Gerakan 30 September tampak hadir. Adapun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution tak ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang lolos sepekan sebelumnya. Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di antara peserta rapat. Sedangkan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru muncul. Suasana tegang. Setiap orang tampak waswas dan curiga satu sama lain.

Soekarno lalu membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta Menteri Negara dan Wakil Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara. "Saudara Njoto, kamu punya statement untuk disampaikan? Silakan," kata Soekarno, seperti dikutip Menteri Transmigrasi Mochamad Achadi kepada Tempo pada 2003. Ia adalah salah satu peserta rapat.

Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai bicara. "PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa G30S," katanya tegas. "Kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat." Pernyataannya singkat saja.

Soekarno lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30 September itu adalah hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa. "Selalu ada peruncingan peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan kanan, PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri," kata Soekarno.

Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam perjalanan revolusi Indonesia. "een rimpeltje in de oceaan...," katanya. Hanya sebuah riak di tengah samudra.

***

PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite Central PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng, Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya, "Apa sebetulnya yang terjadi?" Lukman menggeleng, "Saya juga tak tahu."

Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam hari sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Hal pertama yang dia lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota adalah mengungsikan keluarganya keluar dari rumah dinas di Menteng.

Gerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya, Dalih Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian Rakjat itu sudah lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di dalam Politbiro PKI.

Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar Subekti. "Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis," ia mencatat. Aidit, menurut Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois ketimbang komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang merapat pada poros Peking.

Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2 Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika Gerakan 30 September. "Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan adanya suatu coup d'etat?" katanya.

Tidak hanya Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak tahu Gerakan 30 September. Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan pada 1972, Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat Politbiro PKI pada Agustus 1965 hanya memutuskan akan memberikan "dukungan politis" kepada sebuah aksi militer yang dirancang "sejumlah perwira progresif". Pada akhir Agustus, keputusan Politbiro itu disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit memimpin sendiri rapat itu. "Tidak ada diskusi," kata Subekti.

Dalam pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan dukungan fisik atas Gerakan 30 September. Partai hanya akan membela perjuangan itu melalui pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah. "Itu sikap politik yang wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI saat itu," tulisnya.

Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat, edisi Sabtu, 2 Oktober 1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari setelah Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha-dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala berita Harian Rakjat dicetak besar besar, "Letkol Untung, Komandan Bataljon Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan Djendral". Di bawahnya, ada subjudul: "Gerakan 30 September Semata mata Gerakan dalam AD".

Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru mengambil jarak dengan Gerakan 30 September. "Kita rakyat memahami betul apa yang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang patriotik itu," tulis editorial harian itu. "Tapi bagaimanapun juga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD."

Meski terkesan hati hati, pernyataan itu terasa menantang karena dirilis pada saat tentara sudah melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat itu pasukan TNI AD sudah mengepung Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan pasukan pendukung Gerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi Harian Rakjat tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada perkembangan politik yang amat drastis pada hari hari pertama setelah Gerakan 30 September.

Ada satu hal lagi yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat Gerakan 30 September. Dalam sebuah diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Joesoef Isak, membeberkan fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua jabatan fungsional di partainya. "Dia diam saja, semua dia pikul, seakan akan dia ikut (Gerakan 30 September)," kata Joesoef.

***

Rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang, semua menteri bergegas pulang. Jurnalis Harian Rakjat, Amarzan Ismail Hamid, yang hadir saat itu, mengaku melihat Presiden Soekarno berbincang sebentar dengan Njoto, sebelum masuk ke Istana. "Itulah terakhir kali saya melihat Bung Njoto," katanya pekan lalu.

Di halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno, sempat mengajak Njoto pulang bersama ke Jakarta, dikawal panser. "Ikut rombongan saya saja," kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak.

Revolusi Tiga Serangkai

KARL Marx, Stalin, Lenin. Nama nama itu akrab sejak Njoto belia. Buku buku karya tokoh revolusioner itu menjadi santapan sehari hari. Padahal ia masih duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di Solo, Jawa Tengah. Buku koleksinya ada yang setebal telapak tangan.

"Buku buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang mengarahkan," kata Sri Windarti, adik kandung Njoto, awal September lalu. Buku buku tokoh kiri itu dibaca Njoto sehabis belajar.

Budaya membaca kuat tertanam di keluarga itu. Ayahnya, Raden Sosro Hartono, membiasakan anak anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa saja, asalkan urusan belajar dan sekolah tidak terbengkalai. Njoto bahkan punya kebiasaan membaca di mana mana, meski tengah kumpul bersama keluarga. Selalu saja ada buku atau koran yang ia pegang.

Ketertarikan Njoto akan buku ideologi pergerakan bisa jadi mekar jauh sebelum itu. Sebelum Njoto meneruskan sekolah ke Solo, toko milik Raden Sosro Hartono di Bondowoso, Jawa Timur, kerap kedatangan tamu eks Digulis aktivis gerakan politik yang dibuang Belanda ke Boven Digul, Papua. Raden Sosro sering mengadakan rapat dengan mereka di situ. "Om om bekas tahanan Digul itu suka menengok saya dan Njoto, lalu mengajak ngobrol," kata Windarti, kini 80 tahun.

Namun, baik kepada Windarti maupun teman temannya, Njoto tertutup dalam urusan politik. Menurut dia, Njoto belajar politik secara sembunyi sembunyi. Pada masa itu Jepang melarang masyarakat bicara tentang politik. Alhasil, Njoto tidak pernah terlihat seperti aktivis. "Dia tidak pernah mendiskusikan gerakan politik," kata Sabar Anantaguna, teman sekelasnya di Solo, yang di sekolah duduk persis di belakang Njoto.

Sabar masih ingat, Njoto tiba tiba menghilang pada saat naik kelas dua. Kepada Windarti, ia pamit pulang ke rumah orang tua di Jember, Jawa Timur. Tapi tidak pernah kembali ke Solo. Usut punya usut, dia malah pergi ke Surabaya, tatkala api revolusi perjuangan tengah membara. "Mungkin ketika itu ia merasa kemampuan berpolitiknya sudah cukup," ujar Windarti. Njoto terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.

Hingga kemudian menyembul sepucuk berita: Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakil PKI Banyuwangi. Usianya 16 tahun, tapi ia mencatut umur lebih tua dua tahun. "Saya dengar sendiri, saat itu ia masih di bawah umur," kata almarhum Joesoef Isak, sahabat Njoto, ketika diskusi di kantor Tempo, Agustus lalu.

Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro, bersama sejumlah menteri. Kantor Komite Nasional letaknya tak jauh dari situ. Kabinet Sjahrir baru saja dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Dari Solo, Windarti sempat menemuinya di Yogya. Njoto kerap mengajaknya makan siang.

Di kota ini satu tahun kemudian Njoto bertemu Aidit dan M.H. Lukman.

Saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit, berkat bimbingan Alimin, yang baru pulang dari Uni Soviet, menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI Januari 1947. Aidit dan Lukman-keduanya sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31, sarang pemuda aktivis kemerdekaan-kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah.

Sejak itu Aidit, Njoto, Lukman menjadi akrab. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP.

Foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Sabar terperanjat. "Saya baru sadar bahwa ia seorang pemimpin," kata Sabar, yang belakangan bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pria 82 tahun itu lantas teringat cerita Sudarnanto, kawan sekolah di Solo, yang pernah menyaksikan bahwa di kamar Njoto terpampang foto tokoh komunis. Darah aktivis pemuda berkacamata tebal itu, kata Sabar, menetes dari ayahnya. "Karakter Njoto kebetulan sama seperti Ayah," Windarti menambahkan.

Njoto bersama Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI pada awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis, karya Karl Marx dan Frederich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama sama jadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus bidang agraria, Lukman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun, 19 September 1948.

Partai limbung, tercerai berai. Aidit, Njoto, Lukman bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat partai lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI.

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan bahwa ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. Njoto dan Lukman kemudian menyusul ke Jakarta. Papan nama PKI dari kayu jati mereka boyong dari Yogya ke Jakarta.

Di Jakarta trio Aidit, Lukman, Njoto menyantap asam garam pergerakan. Mereka menggodok orientasi partai. Terbunuhnya banyak kader dalam peristiwa Madiun membuat mereka mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata almarhum Murad Aidit, dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.

Tiga serangkai diam diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di komite sentral. Situasinya sulit karena hampir setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai sampai trio Aidit Lukman Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai lain di Indonesia, bahkan setengah usia daripada pemimpin partai komunis negara lain. Bambang Sindhu dalam Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, keadaanlah yang menghendaki tenaga tenaga muda yang militan tampil ke permukaan. "Orang orang tua, pemimpin tua, biarlah di samping saja," tulis Bambang. "Bila perlu, malah ditinggal di belakang...."

Sebagai ketua, Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda diemban Njoto. Tak cuma organisasi, untuk meluaskan jaringan mereka juga mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Dalam Pemilihan Umum 1955, Partai Komunis menduduki urutan keempat.

Persahabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Jalan Malang, Menteng, Jakarta. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu. "Kadang ngobrol di ruang tamu, kadang masuk ke kamar kerja liat liat koleksi buku," kata Windarti. Tempe goreng dan nasi rawon adalah hidangan yang biasa disajikan Soetarni, istri Njoto.

Tiga serangkai itu juga pergi bersama sama bila ada pameran lukisan. Lukman selalu lebih dulu menjemput Njoto. "Saya hanya ikut, tidak mengerti mereka ngomong apa," ujar Windarti.

Aidit dan Njoto, kata Windarti, tipikal sosok yang serius, terutama dalam urusan pekerjaan. Sedangkan Lukman lebih supel dan suka guyon. Lukman, kata Iramani-adik bungsu Njoto-bahkan suka menawarinya pisang goreng.

Pedagang Batik Pembela Republik

DALAM bayangan anak-anaknya, pria itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan kerap memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola. Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan.

Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua tahun lebih tua daripada Windarti dan 18 tahun lebih tua daripada Iramani.


Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun, dengan tutur kata halus. "Tapi Bapak tak pernah main pukul," kata Windarti.

Setelah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono, artinya membuat pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon.

Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang, termasuk yang pernah dibuang ke Digul. "Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok saya serta Njoto," ujar Windarti.

Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita-cita kepada Njoto dan Windarti. Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto sama-sama hobi bermain bola. "Ayah itu senangnya bisnis," kata Iramani. "Bisnis adalah bisnis, keluarga adalah keluarga."

Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah mengarahkan anaknya membaca buku komunis. "Ayah saya pembela Republik," kata Iramani.

Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak-anak sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.

Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti tiba-tiba diberi tahu bahwa ayahnya ditangkap Belanda. Tapi tak ada penjelasan mengenai sebab-musababnya. Windarti kemudian mencari pamannya, Maskan, yang kemudian mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.

Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru mendapat penjelasan lebih lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.

Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, tapi kemudian dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa mendapat udara segar.

Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo karena seorang penumpang memecahkan kaca kecil di gerbong. Tapi kondisinya lemah. Ia dipulangkan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak-anaknya. "Kami tahu satu bulan setelah Bapak meninggal," kata Windarti.

Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal. Tapi begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata. "Njoto nangis macam anak kecil," ujar Windarti.

Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama.

Saat Lek Njot Bersepatu Roda

TUJUH puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. "Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda," kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya. Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu.

Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi mengayuh sepeda saja belum cukup. Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.

Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan sepatu roda.

Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.

Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. "Dalam sehari saja ia sudah bisa," kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.

***

Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.

Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini karena Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.

Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan malam.

Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.

Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.

Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.

Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0menjadi tempat membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, dan blangkon.

Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. "Dia pakai celana panjang," kata Sabar, "sedangkan saya pakai celana pendek karena miskin." Di sini ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.

Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.

Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa karena batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.

Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. "Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi," kata Windarti.

Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto. Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.

***
Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang perempuan yang membuka pintu mengatakan, "Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini." Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.

Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. "Dia bersekolah di sini," kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun.

Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu, Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.

Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu telah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. "Saya tidak tahu dulu sekolah apa pada zaman Belanda," kata Nanik Setiawati, salah satu guru.

Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. "Itu dulu rumah ayah Lek Njot," kata dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada di depan rumah. "Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu," kata Titut, penjual pecel.

Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi. "Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit," kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.

Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang asal mula nama kampung. "Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut Tempean," katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.

Peniup Saksofon di Tengah Prahara

IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu �pro-rakyat� dan menggelorakan �semangat perjuangan�. Ia menghapus The Old Man and the Sea�film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway�dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang �kapitalis� harus selalu dimusuhi.

Ia adalah Njoto�yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno.

Tapi sejarah �resmi� 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang �setengah berdosa� dan �berdosa penuh�. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak.

Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.

Njoto salah satunya.

=========================================================
TIM TEMPO EDISI KHUSUS NJOTO
Penanggung Jawab: Arif Zulkifli
Koordinator: Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Dwidjo U. Maksum, Agus Supriyanto
Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, M. Taufiqurohman, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Wicaksono
Penulis: Budi Riza, Yandhrie Arvian, Agus Supriyanto, Anton Aprianto, Bagja Hidayat, Dwidjo U. Maksum, Iwan Kurniawan, Kurie Suditomo, M. Nafi, Rini Kustiani, Sapto Pradityo, Wahyu Dhyatmika, Yandi M. Rofiyandi, Yuliawati, Arif Zulkifli, Bismo Agung
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Edi Faisol (Tegal), Mahbub Djunaidy (Jember), Rofiuddin (Semarang), Sutana Monang Hasibuan (Medan), Ukky Primartantyo (Solo)
Penyunting Bahasa: Dewi Kartika, Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Fotografer: Mazmur A. Sembiring (Koordinator), Arnold Simanjuntak
Desain Visual: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto, Danendro, Hendy Prakarsa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri W. Widodo

Selasa, 10 Maret 2009

Sutan Sjahrir: Sebuah Kekecualian Zaman

Oleh: MUHAMMAD CHATIB BASRI

SUTAN Sjahrir seperti sebuah kekecualian bagi zamannya. Mungkin ia terlalu di depan bagi masanya. Ketika nasionalisme adalah tungku yang memanggang anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir justru datang dengan sesuatu yang mendinginkan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan nasional tidak final. Tujuan akhir dari perjuangan politiknya adalah terbukanya ruang bagi rakyat untuk merealisasi dirinya, untuk memunculkan bakatnya dalam kebebasan. Tanpa halangan. Bagi Sjahrir, kemerdekaan adalah sebuah jalan menuju cita-cita itu. Itu sebabnya Sjahrir menganggap nasionalisme harus tunduk kepada kepentingan demokrasi.

Saya sulit membayangkan, di satu masa ketika nasionalisme begitu berapi-api, ketika kemerdekaan seperti menjadi obsesi dan tujuan akhir bangsa, Sjahrir justru berbicara tentang sesuatu yang lebih jauh dari itu. Di masa ketika nasionalisme seperti menjadi pegangan garis perjuangan, Sjahrir mengingatkan: tanpa demokrasi, nasionalisme bisa bersekutu dengan feodalisme.

Persekutuan tak suci ini memiliki potensi menimbulkan totalitarianisme. Sebagai seseorang yang mendambakan kebebasan individu dan menentang totalitarianisme, Sjahrir begitu kritis terhadap totalitarianisme kanan, yaitu fasisme, dan juga terhadap totalitarianisme kiri, yaitu komunisme. Nasionalisme juga punya bakat untuk mendorong totalitarianisme.

Sjahrir benar, sejarah dunia sudah membuktikan ini. Itu sebabnya, dalam skala global, menurut dia, nasionalisme harus tunduk kepada humanisme. Bahkan, di zaman ini, ketika batas-batas negara mulai dipertanyakan, Sjahrir barangkali masih dianggap terlalu di depan. Sutan Sjahrir, yang menjadi perdana menteri pada usia 36 tahun, memang sebuah kekecualian untuk zamannya.

Bagi orang yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kebebasan ini, dari mana pun asalnya, totalitarianisme akan menindas kebebasan individu. Itu sebabnya ia menentang diktator proletariat. Namun amat salah jika orang kemudian menyimpulkan bahwa kebebasan yang dijunjung tinggi olehnya akan sejalan dengan pandangan kaum borjuis demokratik Revolusi Prancis. Dalam Perdjoeangan Kita, Sjahrir menulis, ��ialah pelopor yang membersihkan jalan untuk dunia kapitalisme dan imperialisme, sedangkan revolusi kita harus dianggap sebagai salah satu revolusi yang menyumbang kesudahannya.�

Ada sebuah debat filosofis yang menarik di sini. Di satu sisi Sjahrir memuja kebebasan individu, tapi di sisi lain ia mengatakan revolusi yang diinginkannya bukan pelopor jalan kapitalisme. Sebagai seorang sosialis, Sjahrir jelas membayangkan sebuah negara yang dapat menjadi representasi sosial. Ia jelas tak percaya kepada mekanisme pasar. Ia melihat pentingnya peran negara dalam menjaga kaum miskin. Ia menginginkan sebuah kebijakan yang merepresentasikan preferensi sosial dan menjaga kebebasan individu. Di sini soalnya.

Pemenang Nobel Ekonomi, Kenneth Arrow, pernah menunjukkan: tidak mungkin ditemukan sebuah bentuk keinginan atau preferensi sosial yang konsisten dengan preferensi individu. Kehendak mayoritas memang kerap dianggap sebagai metode paling umum untuk pengambilan keputusan sosial dalam demokrasi. Namun harus disadari: cara pengambilan keputusan seperti ini memungkinkan adanya represi mayoritas terhadap minoritas. Sebagai contoh, jika ada tiga orang dengan tiga alternatif pilihan, apel, jeruk, dan mangga, orang pertama memiliki preferensi untuk memilih apel dibanding jeruk, dan jeruk dibanding mangga. Sedangkan orang kedua lebih memilih jeruk ketimbang mangga, serta mangga dibanding apel; orang ketiga lebih memilih mangga dibanding apel, dan apel dibanding jeruk.

Di sini kita akan melihat bahwa metode pengambilan keputusan berdasarkan mayoritas akan berujung pada suatu kondisi inkonsistensi. Dalam kasus di atas, kita bisa melihat bahwa secara mayoritas apel lebih disukai ketimbang jeruk, yang juga memiliki mayoritas atas mangga. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa mayoritas memilih mangga atas apel. Di sini prinsip transitivity telah dilanggar.

Temuan Arrow yang dikenal sebagai the impossibility theorem kemudian menunjukkan tidak ada satu cara pengambilan keputusan sosial yang konsisten, kecuali jika kita menerima sistem diktatorial di mana preferensi seseorang (misalnya preferensi orang pertama) dianggap merepresentasikan preferensi sosial. Dengan kata lain, kebebasan individu tidak bisa direpresentasikan oleh preferensi sosial, kecuali jika kita menerima sebuah sistem diktatorial. Jelas ini sebuah sistem yang ditentang oleh Sutan Sjahrir. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya teringat Amartya Sen. Sutan Sjahrir pasti tak membaca Sen, karena ia hidup beberapa dekade sebelum pemikiran Sen dikenal. Sen mencoba menjawab argumen Arrow dengan memasukkan unsur informasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam pemikirannya, Sen juga menempatkan peran yang amat besar bagi kebebasan dan persamaan (equality). Dalam bukunya, Inequality Reexamined (1992), ia menunjukkan bahwa persamaan memegang peran yang amat penting dalam semua filsafat politik. Bagi Sen sendiri, persamaan harus dipahami dalam konteks bagaimana ia mampu meningkatkan kapabilitas untuk memperoleh hidup yang layak (well being).

Di sini elemen kebebasan menjadi sangat penting karena�seperti yang dijelaskan dengan sangat teknis oleh Sen�kapabilitas harus merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Sen memberikan contoh: melek huruf, misalnya, memungkinkan orang membaca.

Kapabilitas dengan kata lain adalah sebuah bentuk kebebasan untuk mencapai berbagai alternatif functionings atau pilihan atas variasi hidup. Seseorang yang berpuasa, misalnya, mungkin memiliki functionings yang sama dalam hal jumlah makanan atau gizi seperti mereka yang miskin dan terpaksa lapar, tapi mereka yang berpuasa dan tidak miskin memiliki capability set (kumpulan kapabilitas) yang lebih besar dibanding mereka yang miskin (yang pertama sebenarnya dapat memilih untuk makan atau tak makan, sedangkan yang kedua tidak).

Itu sebabnya kemiskinan harus dipandang dalam konsep ini. Dengan kata lain, orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, melainkan karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting.

Terus terang saya begitu terkesima bahwa Sutan Sjahrir sudah membicarakan debat yang dibahas Sen ini jauh beberapa dekade sebelumnya�tentu tidak dalam format matematika yang rumit atau rumusan akademik yang kaku. Buku Sen, Development as Freedom, juga mengingatkan saya kepada pemikiran Soedjatmoko, yang berada satu garis dengan Sutan Sjahrir. Pemimpin Partai Sosialis Indonesia�yang kerap diidentikkan dengan gudang intelektual langka massa�ini memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

Satu bagian dari Perdjoeangan Kita yang juga menarik dikaji adalah sikap Sjahrir yang bagi banyak kaum revolusioner�atau yang merasa dirinya radikal�dianggap lemah dan mungkin sebuah kekalahan. Sjahrir tak berteriak keras kepada asing. Ia menulis: �. Selama dunia tempat kita hidup dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin�selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita. Begitu pula dengan masuknya orang asing ke negara kita.

Sjahrir seperti mengisyaratkan bahwa tak perlu pembedaan antara modal asing dan pribumi, dan kerja sama dengan kapitalisme tak terhindarkan selama itu membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Mengejutkan, suara ini terdengar seperti suara yang membuka diri bagi globalisasi. Ia tak berbicara soal batas negara, ia berbicara mengenai kesejahteraan masyarakat. Bagaimana menjelaskan kontradiksi ini?

Saya kira Sutan Sjahrir bisa sampai pada argumen ini karena pada dasarnya ia seorang humanis yang menjunjung tinggi kebebasan. Ada sesuatu yang lebih tinggi ketimbang batas geografis, dan itu adalah kesejahteraan manusia. Ia tak terkekang oleh nasionalisme. Sesuatu yang mungkin bagi orang sezamannya �bahkan bagi banyak orang saat ini�dianggap melampaui zamannya. Sutan Sjahrir memang sebuah kekecualian bagi zamannya.

MUHAMMAD CHATIB BASRI
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia

Mencari Ahli Waris Ideologis Sjahrir

Oleh: VEDI R. HADIZ

DALAM sejarah Indonesia, Sutan Sjahrir adalah eksponen utama garis ideologis yang dapat disebut perpaduan antara tradisi sosial demokrasi dan liberalisme. Sebagai sosial demokrat, ia merupakan tokoh gerakan buruh yang andal pada 1930-an, dan menaruh perhatian amat besar terhadap masalah pendidikan rakyat. Liberalismenya terlihat antara lain dalam perhatiannya yang besar pula terhadap masalah perlindungan hak-hak individu dari tirani negara. Tak mengherankan bila ia menjadi musuh besar fasisme, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri.

Tidaklah mengejutkan bahwa ideologi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir mengalami rintangan pada masa Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru yang otoriter. Tetapi, Indonesia sekarang adalah negara demokrasi, bahkan negara demokrasi yang paling tegak di seluruh Asia Tenggara mengingat beberapa perkembangan anti-demokratis di Filipina, dan terutama Thailand, belakangan ini. Sebagai negara demokrasi, barangkali kita berharap menemukan para ahli waris garis ideologi yang diperjuangkan oleh Sutan Sjahrir di antara berbagai kekuatan politik yang sekarang bersaing secara bebas dan terbuka untuk memimpin Indonesia.

Tetapi, dalam kenyataannya, sangat sulit mengidentifikasi adanya ahli waris langsung tradisi ideologis Sutan Sjahrir di antara sekian banyak tokoh dan partai politik yang sedang menyiapkan diri untuk bertarung dalam pemilu 2009. Yang terlintas dalam benak hanya sebuah partai kecil yang dirintis oleh ekonom (almarhum) Dr Sjahrir, yang tidak bisa diharapkan secara realistis menjadi salah satu petarung utama dalam ajang pemilu.

Sebenarnya hal ini merupakan cerminan suatu fenomena sosiologi dan politik yang agak aneh. Memang, Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sutan Sjahrir diketahui meraih prestasi yang amat buruk dalam Pemilu 1955: hanya mampu memperoleh lima kursi di parlemen dan dua persen suara. Tetapi hasil ini dapat dijelaskan secara sosiologis dengan menunjuk kepada struktur sosial Indonesia pada waktu itu. Basis kemasyarakatan PSI boleh dikatakan agak terbatas dengan ketidakhadiran suatu kelas menengah yang berarti, yang diharapkan akan peduli dengan soal-soal hak dan kebebasan individu. Kelas buruh Indonesia juga masih amat terbatas, apalagi banyak anggotanya dapat diperkirakan justru menjadi sumber dukungan berarti bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berseberangan dengan Sutan Sjahrir. Struktur sosial semacam ini adalah konsekuensi perkembangan kapitalisme yang relatif terbatas, dan yang sedang mengalami stagnasi pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Mungkin saja benar bahwa PSI pada 1950-an telah menjadi anomali sebagai partai kaum intelektual di tengah suatu masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah sekali. Tetapi jumlah kaum terdidik di Indonesia sekarang cukup banyak dibandingkan setengah abad yang lalu. Kaum buruh saja memiliki tingkat melek huruf yang lumayan tinggi sebagai hasil dari sistem pendidikan nasional yang diadakan secara meluas serta sudah tidak asing lagi dengan persoalan-persoalan hak. Pola konsumsi di kota-kota besar dan kecil di Indonesia memberikan indikasi hadirnya kelas menengah yang lebih signifikan dan juga beragam, termasuk kaum profesional yang kian mempunyai ambisi sosial tinggi.

Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan perkembangan kapitalisme yang pesat di masa lalu, terutama sebelum keanjlokan Orde Baru. Kalaupun sebuah partai sosial demokrat atau liberal belum dapat diharapkan menang dalam pemilu di Indonesia, seharusnya ia dapat memainkan peranan yang lumayan signifikan mengingat konteks yang sudah berubah. Tetapi, adakah Indonesia memiliki suatu partai liberal andal yang dapat dikatakan mewakili kepentingan kelas menengahnya? Apakah ada partai berhaluan sosial demokrat, atau bahkan lebih radikal, yang dapat dikatakan mewakili aspirasi kaum buruh Indonesia? Sekali lagi, dalam kenyataannya partai-partai semacam ini masih absen dalam kancah politik. Kalau begitu, di mana kita bisa menemukan ahli waris ideologi Sutan Sjahrir dalam masyarakat Indonesia yang sudah sepuluh tahun menikmati alam demokrasi?

Di masa Orde Baru, sebagian pengikut Sutan Sjahrir dapat ditemukan dalam peranan sebagai teknokrat pemerintahan. Sebagian lagi dapat ditemukan di kalangan oposisi politik, dalam berbagai organisasi kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sebagai golongan intelijensia, pikiran mereka mencuat dalam seminar-seminar tentang masalah politik dan pembangunan dan tidak jarang pula muncul dalam halaman opini surat kabar atau majalah berita.

Tetapi suasana depolitisasi yang dikembangkan secara sistematis oleh Orde Baru praktis menutup kemungkinan untuk betul-betul berorganisasi di tingkat bawah. Sementara itu, konstituen potensial suatu partai sosial demokrat ataupun liberal berkembang dalam suatu alam pemikiran tertutup yang bergelimang materialisme vulgar.

Kelas menengah kota Indonesia mengembangkan nilai-nilai sosial politik yang konservatif, dan untuk sebagian lebih memberikan tempat bagi perluasan sentimen xenofobis yang berlandaskan ikatan primordial sempit daripada hak-hak yang bersifat universal. Persoalan hak sosial dan politik dikesampingkan demi kenikmatan kehidupan material di bawah perlindungan rezim yang otoriter. Kelas buruh pun, dengan beberapa pengecualian, praktis tak terjamah secara politik, terlepas dari kegiatan organisasi di kalangan mereka yang meningkat cukup pesat pada 1990-an.

Karena itu kaum intelijensia sosial demokrat dan liberal sudah menjadi semakin terputus dari masyarakat ketika reformasi akhirnya bergulir. Mereka tak memiliki basis sosial yang kukuh untuk menjadi pemain inti dalam pertarungan reformasi. Akibatnya masih dirasakan sekarang: partai politik di Indonesia dikuasai oleh petualang dan pialang yang tidak bervisi dan berprinsip, tidak berpikir maju, dan hanya sibuk dengan politik tawar-menawar tak berkesudahan di belakang layar.

Demokrasi Indonesia pada dasarnya memerlukan partai-partai sosial demokrat, liberal�dan bahkan yang lebih radikal�untuk memberikan isi kepada kehidupan politik dewasa ini. Demokrasi Indonesia memerlukan partai-partai yang akan memberikan makna lebih substansial kepada hak-hak formal yang sudah dimenangkan dengan susah payah sejak kejatuhan Orde Baru. Partai semacam itu dibutuhkan untuk menyediakan tantangan kepada para penjarah dan koruptor masa lalu yang masih bercokol dalam berbagai institusi publik. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia sedang mencari para ahli waris ideologis Sutan Sjahrir, yang bukan saja intelektual piawai melainkan juga mengakar pada masyarakat serta mampu berorganisasi secara efektif.

VEDI R. HADIZ
Staf pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Nasional Singapura (NUS)

Sutan Sjahrir: Titian Sosialisme ke Demokrasi

Oleh: IGNAS KLEDEN

PEMIKIRAN politik kiri, yaitu filsafat politik yang menekankan persamaan dan keadilan, merupakan semangat zaman sekaligus intellectual fashion tempat hampir semua pendiri Republik Indonesia bertumbuh dan menjadi matang. Soekarno terpukau pada teori imperialisme Lenin, Hatta mempelajari ekonomi sosialis negara-negara Skandinavia dan memperjuangkan koperasi sebagai perwujudan ekonomi kerakyatan, Tan Malaka mencoba menerjemahkan sosialisme ilmiah ke dalam teori Madilog sebagai epistemologi materialis untuk mengikis alam pikiran mistis dan takhayul, sedangkan Sjahrir memperkenalkan dan mendirikan partai politik dengan asas sosial-demokrasi.

Dalam sejarah sosialisme di Barat�sebagaimana dijelaskan Sjahrir �konsep sosial-demokrasi muncul pertama kali di kalangan kaum sosialis Jerman di bawah pimpinan Eduard Bernstein, setelah berdirinya Gerakan Buruh Internasional II (dikenal sebagai Internasional II) di Paris pada Juli 1889. Internasional II lahir dua dasawarsa setelah Internasional I yang didirikan pada 1864 dengan mengikuti gagasan Marx, hancur berantakan oleh revolusi 1871 yang menelan korban lebih dari 20 ribu jiwa.

Menjelang akhir abad ke-19 terjadi perkembangan baru dalam industri di Eropa, yang tak sesuai dengan ramalan Marx tentang tahapan-tahapan menuju revolusi proletar. Industri bertumbuh pesat, kaum pekerja pabrik bertambah banyak dan proletarisasi memang meluas, tetapi kaum buruh tidak menjadi semakin miskin dan sengsara, tidak mengalami Verelendung sebagaimana diramalkan Marx. Demikianpun buruh tidak menjadi lebih radikal karena ditemukan metode baru untuk memperbaiki nasib mereka melalui mogok dan hak pilih.

Bernstein tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari ajaran Marx dan mendirikan partai politik sendiri. Sifat internasional gerakan buruh ditolak, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air. Ajaran Marx perlu direvisi secara besar-besaran sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (syarat-syarat sosialisme dan tugas-tugas sosial-demokrasi) pada 1899.

Seperti biasa, munculnya kritik kepada Marx menimbulkan anti-kritik yang sama gencarnya mempertahankan Marxisme. Alhasil, pergolakan dalam kalangan Marxis Jerman melahirkan tiga sayap pergerakan, yaitu sayap kanan di bawah pimpinan Bernstein yang menganjurkan sosial-demokrasi, sayap tengah dengan dua tokoh utama, August Bebel dan Karl Kautsky, yang menolak mogok sebagai metode perjuangan kaum pekerja, dan sayap radikal di bawah Rosa Luxembourg. Internasional II praktis bubar dengan pecahnya Perang Dunia I, sampai muncul Internasional III sesudah pecah Perang Dunia II. Tiga pimpinannya yang kemudian memainkan peranan penting adalah Lenin, Trotsky, dan Stalin, yang mencoba menghidupkan kembali impian semula dari Marx, yaitu mengobarkan revolusi proletar di seluruh dunia.

Menarik bahwa meskipun pemikiran politik kiri, khususnya Marxisme, menjadi suasana umum dalam alam pikiran para pendiri republik Indonesia, yang mempersatukan semua mereka adalah nasionalisme dan keyakinan tentang kemerdekaan tiap bangsa sebagai sesuatu yang niscaya dan mungkin dilaksanakan. Aneh sekali, misalnya, bahwa Tan Malaka, yang menjadi seorang Marxis sejak muda, menjadi tokoh pertama yang memikirkan dan merencanakan bentuk negara Indonesia yang akan merdeka, yaitu republik. Ini jelas menyimpang dari Marxisme ortodoks yang amat menekankan sifat internasional dari gerakan proletar sedunia.

Menarik juga bahwa tidak banyak dari antara para pendiri republik yang berbicara tentang demokrasi sebagai isu penting untuk Indonesia Merdeka. Mungkin hanya Hatta dan Sjahrir yang memberi perhatian khusus kepada pentingnya demokrasi sebagai sistem politik yang dapat diusulkan dan melakukan pendidikan politik untuk mempersiapkannya. Koperasi dalam pengertian Hatta tak lain dari perwujudan demokrasi dalam bidang ekonomi. Sementara itu Sjahrir tak bosan-bosannya mewanti-wanti risiko pemikiran kiri dan euforia nasionalisme yang tidak diimbangi dengan semangat demokratis.

Terhadap pemikiran Marxis Sjahrir menolak bahwa individu tidak penting dan hanya menjadi unsur dan nomor dalam perjuangan kelas. Terhadap Bolsyevisme Lenin yang kemudian dipraktekkan oleh Stalin, dia mengecam keras adanya partai tunggal dan politbiro dengan kekuasaan tak terbatas. Dia tidak percaya bahwa Partai Komunis hanyalah peralihan sementara sebelum tercapai pemerintahan oleh kaum proletar dan bahwa pengorbanan manusia dalam perjuangan itu harus diterima sebagai necessary evil yang tak terhindarkan. Dengan sinis dia bertanya: bagaimana mungkin adanya partai tunggal yang dibenarkan oleh negara dan adanya politbiro yang demikian totaliter masih sejalan dengan teori Lenin tentang menghilangnya negara atau the withering away of the state, ketika proletar sudah sanggup memerintah dirinya sendiri?

Dalam pidatonya di depan Kongres Sosialis Asia II di Bombay pada 6 November 1956 Sjahrir berkata: �Kaum sosial kerakyatan di Asia menyadari bahwa mereka mempunyai ketidaksabaran revolusioner yang sama dengan kaum komunis, tetapi mereka melihat dengan sangat jelas bahwa kaum komunis telah menempuh suatu jalan yang salah. Dituntun oleh ajaran-ajaran Lenin dan Stalin mengenai perjuangan kelas dan kesusilaan kelas, mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia.� Di sini terlihat Sjahrir berpaling ke demokrasi, yang mengakui bahwa secara politik rakyat berhak memerintah dirinya sendiri berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dan secara moral kedudukan, hak serta martabat setiap orang harus dihormati dan dibela berdasarkan prinsip human dignity.

Dia menentang kekuasaan politik yang ditentukan berdasarkan susunan hierarkis dalam feodalisme maupun dalam politbiro ala Bolsyevik. Menurut Sjahrir, dalam pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan martabat manusia, sosialisme yang dianutnya sejalan dengan demokrasi liberal, tetapi dengan satu perbedaan. Yaitu, bahwa pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi sering kali masih menutup mata terhadap penghisapan satu golongan terhadap golongan lain yang jauh lebih besar.

Dia cukup realistis untuk melihat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat hanya mungkin terlaksana apabila suatu bangsa sudah terbebas dari penjajahan asing. Karena itu dia memihak sepenuh hati kepada perjuangan kemerdekaan dan turut mendukung dengan caranya sendiri apa yang dinamakannya revolusi nasional, yang membuatnya dapat bekerja sama dengan tokoh lain yang menjadi sasaran kritiknya seperti Soekarno dan Tan Malaka. Akan tetapi dalam keyakinannya, revolusi nasional itu harus segera disusul oleh revolusi sosial, untuk mengubah susunan dan pandangan masyarakat agar pimpinan politik tidak telanjur jatuh ke tangan orang-orang yang berpikiran feodal. Kalau ini terjadi keadaannya akan menjadi sangat berbahaya karena susunan hierarkis feodal dapat segera bersekutu dengan fasisme, yang dengan mudah memanipulasi nasionalisme yang tak terkendali menjadi chauvinisme, yang bakal mempersulit pergaulan demokratis pada tingkat internasional.

Dia percaya bahwa baik sosialisme maupun demokrasi hanya bisa diwujudkan melalui kekuatan akal dan bukannya melalui jalan kekerasan. Namun sekaligus diperingatkannya bahwa penggunaan akal dapat membawa orang kepada pendewaan akal dalam ilmu pengetahuan, suatu hal yang jelas ditentang oleh tuntutan akal itu sendiri. Dia seakan meramalkan secara intuitif Dialektik der Aufklaerung (dialektik pencerahan) yang dicanangkan Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari mazhab Frankfurt pada 1969, bahwa akal yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

Dalam sebuah esai yang penting Sjahrir menuntut agar demi perjuangan, seseorang harus bebas dari perasaan-perasaan yang menghalangi orang berpikir jujur sesuai dengan kebutuhan perjuangan. Pikiran dan tindakan hendaknya �tidak dikuasai oleh unsur psikologis, melainkan oleh hukum akal budi dan otak yang sanggup berpikir dan bertindak menurut keadaan dan perubahan�. Tampaknya ada dialektik antara Sjahrir dan kebudayaan masyarakatnya, dan tuntutan Sjahrir mungkin hanya separuh benar. Dia lupa bahwa akal harus memperhatikan perasaan, rasio perlu menimbang psikologi, dan logika bertugas menerangi yang irasional. Kalau tidak, dialektik itu akan menelan korban, dan, tragisnya, korban itu tak lain dari diri Sjahrir sendiri, dengan meninggalkan sosial-demokrasi bagaikan yatim piatu.

IGNAS KLEDEN
Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)

Sjahrir dalam Renungan Dua Jilid

Oleh: DANIEL DHAKIDAE

MENGENANG Sutan Sjahrir menempatkan siapa pun jauh-jauh dari suasana selebrasi bagi salah seorang tokoh utama revolusi Indonesia. Mengenang Hatta adalah perayaan, untuk tidak mengulang super-selebrasi dalam hal Soekarno. Mengenang Sjahrir adalah merenungi keterasingan dan pengasingan sebegitu rupa sehingga terpaksa dilakukan sesuatu yang, pada dasarnya, memalukan untuk �memperkenalkan kembali� siapa Sutan Sjahrir.

Sjahrir, Ilmu, dan Pembudakan Ilmuwan

Sjahrir adalah a man of paradox dalam berbagai arti. Tubuhnya kecil dengan tinggi tidak mencapai satu setengah meter, 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan.

Namun�atau sebenarnya justru karena�inteligensinya yang besar itu dia meninggalkan studinya di Leiden, Belanda, tanpa berminat sedikit pun untuk menyelesaikannya, sebagaimana Hatta dan kawan-kawannya yang lain. Tentang ini, dengan enteng dia hanya berkata bahwa seorang pemegang titel itu hanya �pemegang titel sahadja�, tidak lebih dari itu.

Namun pandangan Sjahrir jauh melampaui masalah sepele ijazah. Sjahrir menukik tajam ke dalam soal ilmu dan keilmuan ketika dia memberikan jawaban yang paling serius dalam Indonesische Overpeinzingen (IO): �Lama-kelamaan saya tahu bagaimana membebaskan diri dari perbudakan ilmu resmi (de slavernij van de offici�le wetenschap). Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku�. Yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya� (IO, 29 Desember 1936). Secara utiliter seolah-olah dia katakan: pengetahuan tidak berguna kalau tidak menjadi kebenaran yang bisa diserap dan diolah masing-masing orang. Di luar itu, ilmu hanya sekadar kumpulan kaidah dan abstraksi yang tak bermanfaat.

Renungan Jilid Satu: Sjahrir dan Dirinya

Sutan Sjahrir mewariskan kepada bangsa ini dua karya monumental. Pertama, yang sudah dikutip di atas, Indonesische Overpeinzingen, 1945, yang ditulis seluruhnya dalam bahasa Belanda. Dalam kata pengantar cetakan ketiga, dikatakan penerbit Belanda, �Sjahrir mengejutkan dunia dengan kedalaman, dinginnya berpikir, dan kebijakan seorang negarawan.�

Kenyataan bahwa buku ini diterbitkan dalam bahasa Belanda, di Belanda pula, semakin mengasingkan penulisnya dari massa rakyat. Meski sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1947 oleh penerjemah tangguh, H.B. Jassin, buku ini tetap asing bagi sebagian besar warga bangsa ini, dulu, apalagi sekarang, untuk kalangan tua, apalagi untuk kalangan muda.

Melalui terjemahan Inggris, renungannya memukau dunia. Dalam hubungan itu, sama sekali bukan kebetulan kalau semua rentetan renungan selama kurang-lebih empat tahun, 1934-1938, dibuka Sjahrir dengan renungan utama tentang individu dan masyarakat. Persoalan ini jelas bukan masalah Indonesia, meski Indonesia mulai menapak ke dalamnya.

Namun pikiran Sjahrir hanya mungkin dipahami bila ditempatkan dalam arus utama Eropa, kalau diperhatikan bagaimana kekuatan baru seperti Uni Soviet, yang tengah mempropagandakan homo sovieticus, manusia baru Soviet, yang bebas dari nafsu kapital demi pengabdian kepada masyarakat komunis. Gerakan fasisme di daratan Eropa sendiri menempatkan nasion menjadi lebih penting daripada pribadi�baik di Jerman, Italia, maupun Spanyol. Ini bukan semata-mata karena Hitler, Mussolini, dan Franco, melainkan karena kaum filosof sekaliber Martin Heidegger pun menjadi sumber inspirasinya.

�The Kyoto School of Philosophy�, Kyoto tetsugaku-ha, mengembangkan hal serupa dengan menganut paham bahwa nilai etika baru mencapai kesempurnaan ketika semuanya diambil alih negara. Hanya negara yang menjamin kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis akan mendapatkan terjemahan material dalam ekonomi persemakmuran dalam naungan bangsa dan negara Jepang bagi Asia.

Dalam paham dan pengalaman Sjahrir, bahkan Belanda pun, sarang dari individualisme itu, mengalami perubahan dan semakin mempopulerkan pembicaraan tentang apa yang oleh Sjahrir disebut sebagai pandangan hidup organik. Kalau ini yang terjadi, individualisme itu sudah jelas mengalami perubahan besar dan berarti dan berada dalam ancaman.

Bagi Sjahrir, semuanya mengarah ke suatu perkembangan yang mengkhawatirkan menuju sejenis staatsabsolutisme, absolutisme negara, di mana negara secara organik-biologik menjadi �bentuk lebih tinggi dari masyarakat manusia�, dan dengan begitu tentu saja menjadi bentuk idaman. Sjahrir sangat khawatir terhadap perkembangan ini.

Sjahrir dan Nasionalisme

Kontroversi Sjahrir tertuang dalam pandangannya tentang nasionalisme yang melawan arus utama yang berlaku di Indonesia pada masa-masa itu. Soekarno senantiasa mengatakan nasionalisme Indonesia berbeda dari nasionalisme di mana pun karena nasionalisme Indonesia �bukan nasionalisme yang timbul dari kesombongan belaka�, �bukan nasionalisme yang menyerang-nyerang�, karena nasionalisme kita adalah nasionalisme �ketimuran�.

Sjahrir tanpa tedeng aling-aling mengatakan nasionalisme adalah proyeksi kejiwaan dari semangat rendah diri dalam sikap kolonial antara penjajah dan kaum terjajah (de projectie van het inferioriteits-complex, IO, hlm. 178). Sebagaimana kita tahu, pandangan ini pun tidak jauh dari pandangan Julien Benda, kritikus intelektual Prancis, yang mengatakan nasionalisme adalah bentuk korup dari semangat kecendekiaan dan malah menjadi bagian dari nafsu kekuasaan. Sjahrir dan Benda bersetuju dalam hal ini.

Karena itu, Sjahrir mengatakan dia tidak pernah benar-benar menjadi penganut paham �non-ko�, karena sikapnya menolak kerja sama dalam Dewan Ra�jat lebih menjadi propaganda politik, dan tidak pernah memungkinkannya membangun suatu dasar filosofis di atasnya. Menolak kerja sama dengan Belanda hanya pencerminan dari ketidakpahaman terhadap perkembangan dunia yang lebih luas; dunia sudah berubah. Namun nasionalisme berjalan di tempat.

Renungan Jilid Dua: Perdjoeangan Kita

Perdjoeangan Kita adalah sesungguhnya renungan Sjahrir jilid dua, pascaproklamasi. Sementara renungan pertama adalah sesuatu yang reflektif ketika subyek Sjahrir dan obyek dunia dan Indonesia tidak diberi jarak, renungan jilid dua Sjahrir mengambil jarak sepenuh-penuhnya sehingga menjadi sesuatu yang rasional dengan tujuan yang hendak langsung dicapai dan dengan alat yang Sjahrir sendiri tahu dan diberi rekomendasi utama: membersihkan pemerintahan dari noda-noda fasis Jepang.

Perdjoeangan Kita diterbitkan pada November 1945, kira-kira tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Berbeda dengan renungan Indonesia yang ditulis dalam bahasa Belanda, Perdjoeangan Kita ditulis dalam bahasa Indonesia karena, menurut pengantarnya sendiri, risalah tersebut �mengoepas perkara pokok perdjoeangan kita sekarang� dan �mengenai kehidoepan dan nasib ra�jat kita jang bermilioenan�.

Dalam masa tiga bulan bisa disaksikan semacam kekosongan, ketiadaan keputusan penting, dan malah ketiadaan pemerintahan. Sjahrir dengan tajam menunjukkan alasan mengapa terjadi hal-hal semacam itu. Pertama, yang mengambil alih dan mengendalikan pemerintahan adalah mereka yang berjiwa lemah yang biasa �membungkuk serta berlari untuk Jepang atau Belanda�.

Kedua, perasaan bahwa kemerdekaan adalah karunia Jepang tidak memungkinkan mereka bertindak bahkan setelah Jepang kalah perang sekalipun. Ketiga, pemuda-pemuda tidak memiliki syarat untuk memimpin karena pemuda hanya cakap untuk �menjadi serdadu... berbaris, menerima perintah menyerang, menyerbu dan berjibaku, dan tidak pernah diajar memimpin�. Karena tidak berpengetahuan lain, semuanya menyalin mentah-mentah apa yang dipelajari dari Jepang, yaitu berpikir dan bertindak fasistis.

Sjahrir dan Prediksinya

Prediksinya secara mengagumkan tidak meleset. Sedangkan yang menyangkut dirinya self-fulfilling. Apa yang sudah ditulisnya 10 tahun sebelum merdeka, di Banda Neira, akhirnya mendapatkan kepenuhan pada 1945. Apa yang dikhawatirkan dalam �individu dan masyarakat� semakin menjadi kenyataan ketika mereka yang mendapatkan pendidikan militeristis Jepang mulai memegang tampuk pemerintahan republik baru. Sjahrir tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mengalami otoritarianisme bangsanya sendiri ketika dia dipenjarakan di Madiun pada 1960 oleh militer dalam Demokrasi Terpimpin. Dia sakit di penjara, dikirim oleh pemerintah Soekarno ke rumah sakit di Swiss, dan menemui ajal di negeri asing itu pada 1965.

Bilamana dia hidup lebih lama lagi, dia pun akan menyaksikan bahwa apa yang ditakutinya pada 1934 mendapat kepenuhan dengan intensitas berlipat-ganda 30 tahun kelak dalam Orde Baru, yang selama 40 tahun mengerjakan neofasisme militer, yang tidak saja menguasai, tapi demi nafsu kesatuan, juga memporakporandakan bangsa ini.

DANIEL DHAKIDAE
Peneliti senior pada Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India