Minggu, 03 Oktober 2021

Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal

 https://regional.kompas.com/read/2021/09/30/105734778/kesaksian-eks-prajurit-cakrabirawa-saat-g30s-pki-abdul-latief-dan-untung?page=all#page2
Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal
 
Kompas.com - 30/09/2021, 10:57 WIB
Penulis Kontributor Banyumas, M Iqbal | Editor Dony Aprian 
PURBALINGGA, KOMPAS.com - 

Tepat hari ini, 56 tahun yang lalu, berlangsung peristiwa berdarah yang menjadi catatan merah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Tujuh perwira TNI yang dituding sebagai “Dewan Jenderal” diculik oleh Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa yang diketahui terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, para perwira TNI ini disiksa dan dibantai dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Buntut dari peristiwa ini, setidaknya 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dieksekusi massal di berbagai penjuru Indonesia. 
Ada juga yang dipenjara dan diasingkan sebagai tahanan politik selama puluhan tahun tanpa pernah diadili sebagaimana layaknya warga negara.

Salah satu saksi hidup yang mengetahui secara rinci kronologi peristiwa pada malam mencekam itu adalah Ishak Bahar (87), warga Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Lansia yang pernah menyandang pangkat terakhir Sersan Mayor (serma) itu saat peristiwa G30S bertugas sebagai Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa. 
“Saya pendidikan di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) terus bertugas di pengawal Istana tahun 1964. Waktu Soekarno pidato di Konferensi Asia Afrika, saya yang mengawal presiden ke Aljazair,” kata Ishak saat berbincang di rumahnya, Rabu (29/9/2021). 
Ishak mengungkapkan, keterlibatan dirinya dalam tragedi G30S adalah hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Dia merasa terjebak dalam pusaran politik yang menjungkirbalikkan nasibnya dari seorang patriot yang terhormat menjadi pesakitan berlabel pengkhianat negara. 
Masih jelas di ingatan, saat Letkol Untung, pimpinan Ishak di Batalion Cakrabirawa memberi perintah untuk ikut bersamanya.  

Padahal, sore itu juga, Ishak ada jadwal mengawal presiden ke Senayan. “Sore itu sekitar jam 18.00 WIB, saya ada tugas untuk mengawal Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan, tahu-tahu Pak Untung datang minta saya ikut dia,” katanya. 
Saat itu Ishak sempat bertanya kepada Untung karena perintah untuk mendampingi bertepatan dengan tugas mengawal presiden. Namun, sebagai prajurit, dia terikat oleh sumpah militer untuk patuh kepada pimpinan, tidak membantah perintah atau putusan. 
“Sudah jangan mengawal (presiden), ikut saya!” kata Ishak menirukan perintah Untung. Dengan persenjataan lengkap, Ishak mengawal dalam satu kendaraan bersama Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), sopir dan ajudan.
“Saya tidak dikasih tahu tujuannya ke mana, tahu-tahu mampir ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk menemui Soeharto yang sedang menjaga anaknya, Hutomo Mandala Putra (Tomy) yang lagi sakit,” beber Ishak. Ishak sendiri tidak ikut masuk ke dalam kamar di mana Tomy dirawat. Namun, di perjalanan dia menguping jika Untung dan Abdul Latief sudah mendapat izin Soeharto untuk sebuah misi yang baru dia sadari sesudahnya. 
“Baik Pak Untung dan Pak Latief itu pamitan dengan Suharto mau nyulik jenderal,” katanya dengan mantap. Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak diperintahkan untuk bersiaga di sebuah rumah pondok. Menjelang tengah malam, pasukan Batalion Cakrabirawa yang lain datang berduyun-duyun. 
“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya. Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak. Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu bergerak untuk menculik Dewan Jenderal. Pukul 03.00 WIB, para jenderal datang silih berganti. Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup. 
“Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen D.I. Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R. Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S. Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak. 
“Saya kaget, saya panik malah, kok ada begini, ada apa,” sambungnya. Karena kepanikan itu, para jenderal yang diculik, baik masih hidup atau sudah meninggal dijebloskan ke dalam sebuah sumur tua. Tubuh mereka dilempar lalu ditembak dari atas secara membabi-buta.
 “Saya menyaksikan langsung dengan satu polisi namanya Soekitman. Awalnya, Soekitman ini suruh dibunuh, tapi saya tahan, saya lindungi, saya bilang kamu tidak tahu apa-apa,” kata Ishak sambil memperagakan detik-detik penembakan. Kelak, Soekitman yang diselamatkan Ishak ini menjadi saksi kunci bagaimana kebiadaban para tentara Cakrabirawa membantai Dewan Jenderal. Dia pula yang menunjukkan lokasi jasad Dewan Jenderal dibenamkan dalam sumur tua lalu diuruk dan ditanam pohon pisang. Ishak mengungkapkan, peristiwa pembantaian itu berlangsung sangat cepat. Bahkan, sampai detik terakhir penembakan jenderal, dia masih belum percaya apa yang terjadi di depan matanya adalah nyata. 
“Saya hanya sedikit tahu kalau Dewan Jenderal ini mau menggulingkan Pak Karno, sebagai pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa berkewajiban menggagalkan itu,” terangnya. Ishak mulai sadar, bahwa dirinya sudah terjebak masuk dalam pusaran gejolak politik yang maha dahsyat. Meski demikian, Ishak belum sepenuhnya paham skenario seperti apa yang akan menjeratnya setelah itu. 
“Setelah itu lalu bubar, saya enggak tahu (Untung dan Latief) pada ke mana, saya ditinggal dengan pasukan-pasukan yang lain. Saya pulang sendiri dengan pembawa truk, sopir dan Soekitman itu tadi,” katanya. Sesampainya di markas Cakrabirawa, tidak berselang lama datang pasukan tentara berpita putih. Ishak dilucuti dan langsung dijebloskan ke penjara tanpa dimintai keterangan apa pun. 
“Saya ditahan belasan tahun tanpa pakai persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan jadi saksinya Untung,” ujarnya. Selama 14 hari, Ishak ditahan di LP Cipinang. Di sinilah neraka dunia yang dirasakan bagi pasukan Cakrabirawa yang tertangkap, tidak terkecuali Ishak. 
“Saya diberi makan jagung rebus saja, tapi tidak pakai piring, langsung disebar di lantai, dituturi (dipunguti) satu-satu,” 
Selain itu, siksaan yang dialami selama di Cipinang juga tak bisa diceritakan dengan rinci oleh Ishak. Dari sorot mata dan mimik muka, Ishak tampak masih menyimpan trauma akan penyiksaan saat proses interogasi di sana. 
“Saya disuruh mengaku anggota ini, anggota itu, saya jawab enggak ngerti anggota, enggak ngerti partai, enggak ngerti apa-apa, gole (petugas) mukuli semaunya,” ungkapnya. Setelah 14 hari, Ishak dan sejumlah anggota Cakrabirawa dipindah ke Salemba. Di sana dia menghabiskan 13 tahun lamanya dalam jeruji besi tanpa pernah mendapat peradilan yang layak. 
“Banyak yang mati karena makanan ngga cukup, banyak juga yang mati karena disiksa. Temen-temen saya (Cakrabirawa) sudah habis, di sel banyak yang mati, dibebaskan apalagi, sudah,” kata Ishak. 
Belasan tahun Ishak menempati sel berukuran 4x1 meter bersama empat rekannya. Hingga akhirnya, Ishak dibebaskan pada 28 Juli 1977 bebarengan dengan ratusan ribu tahanan politik yang lain. Sepulangnya dari hukuman, Ishak masih harus dihadapkan dengan stigma masyarakat. Terlebih Ishak merupakan keluarga terhormat, putra dari seorang ulama dan pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. 
“Masyarakat tahunya saya militer, ya pada heran kenapa Pak Ishak itu anak ulama sampai ditahan di situ sebabnya apa, wong saya jebolan pondok pesantren. Jadi saya ditahan karena PKI, orang ya heran, apa sebabnya,” katanya. Seperti eks tapol yang lain, sulit bagi Ishak mencari pekerjaan yang layak di lembaga formal. Di masa awal dia menghirup udara bebas, Ishak rela bekerja serabutan untuk bertahan hidup. 
“Umur saya baru 40-an lah waktu itu, kerja jadi buruh mencangkul, buruh menek kelapa, jual ayam, jual sayuran, jual dedak, dipikul,” katanya. Di akhir perbincangan, kepala Ishak tertunduk, mengenang peristiwa yang telah dia alami seumur hidupnya. Sampai saat ini setiap kepingan memori tentang peristiwa malam 30 September masih lekat di kepalanya. Mulai dari kali pertama bertugas sebagai pengawal presiden, wajah rekan-rekan di Cakrabirawa, hingga peristiwa G30S/PKI yang seperti mimpi buruk baginya. 
“Kita-kita orang enggak tahu, militer si ya, orang militer kan enggak berpolitik, belajar politik saja enggak, jadi ngertinya karena PKI,” ungkapnya. “Jadi bagi saya, kejadian itu (G30S) seperti kejadian kemarin, masih ingat semua, masih membayang. Saya baca bukunya Soeharto itu banyak, paling berat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),” pungkas Ishak.

PEMBERONTAKAN POLITIK MAHFUD MD DALAM ISTANA.

 PEMBERONTAKAN POLITIK MAHFUD MD DALAM ISTANA.

Oleh: Saiful Huda Ems.

Sudah sejak lama saya selalu curiga dengan sepak terjang Pak Mahfud MD sebagai Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju Jokowi, disetiap langkah gerakan politiknya saya lihat Pak Mahfud ini selalu zigzag, kadang pro ke kubu Jokowi kadang pro ke kubu para penentang Pemerintahan Jokowi. Misalnya saat menjelang kedatangan HRS dari Arab Saudi, Pak Mahfud membuat statement agar Polisi atau aparat keamanan sebaiknya tidak terlalu mencurigai HRS. HRS menurut Pak Mahfud tidaklah terlalu berbahaya, hingga aparat keamanan tidak perlu mencari-cari kesalahan HRS. Namun ternyata, kedatangan HRS saat itu disambut oleh lautan manusia, hingga dari jalan tol menuju bandara sampai bandara itu sendiri, penuh sesak orang yang mau menjemput HRS. Terjadi juga perusakan beberapa fasilitas di bandara Soekarno Hatta saat itu. Tak hanya itu, HRS kemudian melakukan beberapa tindakan melawan hukum hingga HRS dipenjara. 

Apakah sampai disitu saja pembelaan Pak Mahfud MD terhadap penentang utama Pemerintahan Jokowi, yakni HRS itu? Tidak ! Ada lagi pembelaan Pak Mahfud MD terhadap HRS, yakni ketika Ponpes milik HRS yang berdiri di atas tanah milik PTPN di Megamendung Bogor, yang harusnya diserahkan pada negara, namun saat itu Mahfud MD justru mengusulkan agar Ponpes itu tetap dikelola oleh para pengikut HRS yang Ormasnya dinyatakan berbahaya, bertentangan dengan Pancasila hingga harus dibubarkan oleh Pemerintah. Sangat kontroversial sekali langkah-langkah Pak Mahfud MD ini, namun sayangnya kontroversialnya sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan juga berbahaya bagi stabilitas dan keamanan negara. 

Sekarang Pak Mahfud kembali lagi berulah, jika dahulu ia nampak mencari perhatian dari HRS, kali ini setelah HRS loyo dalam penjara, ia nampak mencari perhatian dari sosok politisi mantan Presiden RI 2 Periode, yakni SBY. Pertama, bagaimana mungkin pembicaraan tertutup tiga orang penting (Presiden Jokowi, Kemenkumham Yasonna Laoly dan Menko Polhukam Mahfud MD sendiri) bisa dipublish? Saya pribadi sangat menyayangkan sekali insiden ini, meskipun saya sebenarnya juga masih meragukan pernyataan Pak Mahfud MD, apa benar Presiden Jokowi telah mengarahkan Menkumham dan Menko Polhukam untuk tidak mensahkan hasil Kongres Luar Biasa Partai Demokrat pimpinan Pak Dr. Moeldoko? Ini rahasia kebijakan Presiden loh, yang berarti rahasia negara juga, lah kok bisa-bisanya main buka saja? 

Kedua, saya pikir kok sangat tidak rasional, bagaimana mungkin proses peradilan yang masih berjalan di PTUN dan di Mahkamah Agung terkait gugatan dan judicial review AD/ART Partai Demokrat 2020, serta gugatan terkait Keputusan Menkumham kok tiba-tiba mau dipaksa berhenti oleh Pak Mahfud MD dengan menyatakan sidang dismissal di PTUN mestinya langsung mensahkan keputusan Kemenkumham, karena bagi Pak Mahfud Keputusan Kemenkumham sudah sah, sebab Muktamar (mungkin maksudnya Pak Menteri ini Kongres) yang dilakukan diluar pengurus itu tidak sah. Loh...loh...nanti dulu Pak, Pak Mahfud nampaknya ketinggalan informasi, bahwa KLB itu dilakukan oleh para pengurus dan buktinya setelah itu mereka dipecatin satu persatu oleh AHY. Selain itu Sidang Dismisal di PTUN kan sudah selesai Pak, dan kemudian lanjut di pembahasan pokok materi gugatan sampai kemudian menghadirkan para saksi fakta. Lha masak tiba-tiba mau disemprit, distop oleh Pak Menko Polhukam? Ini tarung hukum Pak, bukan tarung gulat. Mekanismenya berbeda jauh. 

Ketiga, pernyataan Pak Mahfud MD mantan Ketua Team Sukses Prabowo-Hatta di Pilpres 2014 ini bahwa Partai Demokrat kubu AHY yang sah, bagi saya itu selain merupakan sirene pemberontakan terselubung Pak Mahfud MD pada Pak Jokowi, juga merupakan "kedipan mata" Pak Mahfud MD pada SBY bapaknya Ketum dan Waketum Partai Demokrat (AHY dan Ibas) yang juga Ketua Fraksi dan Ketua Panggar DPR RI dari Partai Demokrat (gila dirangkap semua oleh anaknya SBY ya? mirip group arisan keluarga-red.). Terhadap sirene pemberontakan pada Pak Jokowi yang dilakukan oleh Pak Mahfud saya tidak kaget, karena Pak Mahfud bisa saja mengharap akan dipecat oleh Pak Jokowi kemudian Pak Mahfud akan menyanyikan lagu jadul SBY, dizalimi. Lalu Pak Mahfud berharap akan jadi bintang kontestan Capres atau Cawapres 2024 seperti SBY dan Anies Baswedan. Dan untuk soal kedipan mata Pak Mahfud pada SBY, saya pikir salah alamat, karena di Pemilu 2024 Partai Demokrat pimpinan AHY akan nyungsep tak memenuhi parliamentary threshold, apalagi jika kemudian PTUN memenangkan Partai Demokrat pimpinan Pak Dr. Moeldoko, maka SBY dan AHY akan putar haluan profesi menjadi Group Band Cikeas ! 

Last but not least, mohon Pak Mahfud MD berpikir ulang sebelum tersapu gelombang Manusia-Manusia Cerdas Indonesia masa depan, yang berdiri tegak lurus pada tiang Demokrasi. Apa yang dilakukan oleh Pak Mahfud MD itu merupakan penghianatan sejati dari demokrasi, karena meluruskan Partai Politik dalam hal ini Partai Demokrat yang dikuasai oleh Keluarga Cikeas bahkan yang berkuasa melebihi di sistem kerajaan sekalipun adalah suatu keteladanan yang baik ! Jangan pernah sekalipun memadamkan api perjuangan kami yang ingin menegakkan demokrasi ! Dan bagi kami nilai-nilai juang itu jauh lebih utama daripada mencari kekuasaan belaka. Kami sangat lelah berpuluh tahun berjuang untuk memperbaiki keadaan politik di negeri ini, Pak. Jangan dikotori oleh tindakan-tindakan politik dagang sapi dan kerbau yang terselubung, sangat memuakkan !...(SHE).

Jakarta, 3 Oktober 2021.

Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.

Fakta membuktikan bahwa banyak wanita Bali yang tidak mengenakan penutup dada pada zaman dahulu.

Foto-foto "jadul" apa tentang Indonesia yang pernah kamu temukan di Internet dan Pinterest
Anda akan menemukan gambar kalau menjelajah Pinterest dengan kata kunci “old Indonesia” dan “old bali”

Fakta membuktikan bahwa banyak wanita Bali yang tidak mengenakan penutup dada pada zaman dahulu.
Source : https://id.quora com/






[1]

[2]

Kecantikan wanita Indonesia

[3]

[4]

Bapak Soekarno.

[5]

Bung Hatta.

[6]

Bapak Soeharto dan Ibu Tin.

[7]

Ada pak Prabowo juga.

[8]

Masyarakat Indonesia zaman dahulu.

[9]

[10]

[11]

[12]

[13]

[14]

[15]

[16]

[17]

[18]

[19]

[

Catatan Kaki

[28] Pin by erwin b. on People | Pinterest | Dutch east indies, Indonesia and Vintage cigarette ads
[29] JUAL IKLAN JADUL: Iklan Minuman | adv tempo doeloe | Pinterest | Vintage ads, Old commercials and Old ads
[30] 28 Old Indonesian Ads You Never Thought You Would See Again
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India