PADA GILIRANNYA RAKYAT AKAN ABSTAIN DARI REKAYASA PEMILU DEMOKRASI YANG NON ASPIRATIF
Penulis : Andi Salim
Sekiranya negeri ini diukur berdasarkan konsistensi pemerintah yang memimpinnya, maka sudah barang tentu setiap warga negaranya hanya bisa menyampaikan keluh kesah dari apa yang menjadi fakta sejarah sejak Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Mulai dari program Landreform yang dicanangkan pada zaman Orde Lama yang mana program Landreform ini diartikan sebagai strategi reformasi agraria dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah yang bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis dalam mewujudkan cita-cita UUPA guna melaksanakan perubahan secara mendasar terhadap relasi agraria yang ada.
Hal ini agar menjadi solusi yang lebih adil dan memenuhi hajat kepentingan rakyat disektor pekerja petani untuk memiliki lahan yang cukup, namun program tersebut hanya tinggal kenangan atas kenyataan sulitnya masyarakat mendapatkan tanah bahkan sekedar tapak rumahnya saja mereka harus mencicilnya dalam masa kredit KPR antara 15 hingga 20 tahun lamanya. Sedangkan dongeng Orde Baru pun tak kalah merdunya ketika program tinggal landas yang dicanangkan pak Harto dimasa itu pun terbukti hanya meninggalkan landasannya yang justru nyaris membuat Indonesia mengalami kebangkrutan di segala lini kehidupan masyarakatnya.
Belum lagi era reformasi yang katanya ingin memperbaiki keadaan masyarakat melalui peran kekuasaan pemerintah agar mendapatkan kesejahteraan, namun buktinya setelah era ini bergulir sejak 26 tahun silam yang dirasakan hanya pejabatnya saja yang makmur, dibalik suburnya korupsi dengan angka kerugian Negera yang terus mengalami kenaikan, bahkan di era SBY proyek-proyek dibiarkan mangkrak serta menjadi program percontohan gagal dengan utang negara yang mengalami trend kenaikan jumlah angka menggunung. Ditambah lagi di era Jokowi dengan program Revolusi Mentalnya hanya ramai dalam tataran wacana semata.
Program Revolusi Mental merupakan suatu tekad politik yang mendasar dengan landasan pemikiran pada semboyan Trisakti yakni Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, Berkarakter dalam Budaya. Tumpuan keberhasilan revolusi mental berpijak pada integritas, Etos kerja, gotong royong. Melalui tiga prinsip utama yang dikembangkan itu adalah integritas (jujur, dipercaya, berkarakter, tanggung jawab), etos kerja (kerja keras, berdaya saing, optimis, inovatif, dan produktif), dan gotong royong (kerjasama, solidaritas, komunal, berorientasi pada kemaslahatan).
Gerakan revolusi mental itu sendiri memiliki 8 prinsip, yaitu (1) berfokus pada gerakan sosial untuk mendorong kemajuan indonesia; (2) ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah; (3) harus bersifat lintas sektoral; (4) kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor privat, dan akademisi; (5) diawali oleh program pemicu untuk mengubah perilaku masyarakat secara konkret dan cepat; (6) desain program harus user friendly, populer, menjadi bagian dari gaya hidup, dan sistematik holistik; (7) nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan sosial (moralitas publik) dan bukan mengatur moralitas privat; (8) dampaknya dapat diukur.
Entah mental siapa pula yang menjadi sasaran revolusinya. Toh faktanya, wacana ini hampir tidak memiliki situs peninggalan apapun dan seolah-olah tertiup angin nyiur kepulauan negeri ini yang semilir, menjelang akhir kekuasaan beliau di periode kedua ini pun tak kunjung membuktikan apa-apa, bahkan didapati jika kredibilitas kepercayaan rakyat terhadap petugas penyelenggara dan kualitas demokrasi saat ini semakin merosot tajam. Kenyataan itu terlihat dari hebohnya suara-suara publik tentang kecurangan pemilu sebagaimana petisi para akademisi yang membuat pernyataannya secara terbuka.
Dugaan masyarakat atas praktek politik Gentong Babi atau Pork Barrel Politics sebagaimana yang diperankan Jokowi mendatangkan kritik tajam bahkan tak sedikit yang kecewa. Sebab sarana Bansos dituding sebagian pihak menjadi strategi kampanye beliau dalam mendongkrak suara Paslon capres tertentu untuk dapat terpilih dibalik tingginya intensitas pembagian bansos kepada masyarakat itu justru terjadi menjelang hari pemilihan presiden Indonesia tanggal 14 Februari 2024 lalu. Hasil pemilu pun dipertanyakan kedalam dua proses. Pertama, melalui Hak angket DPR RI yang sedang diusulkan, dan kedua, melalui sidang MK yang saat ini sedang digelar.
Artinya, pada dua solusi yang ditempuh, baik melalui proses politik berupa usulan hak angket melalui mekanisme TSM yang disinyalir dilakukan pemerintah dengan mempertanyakan berbagai hal melihat sisi pengungkapannya dari berbagai aspek yang terasa janggal serta menyalahi aturan dan ketentuan pelaksanaan yang berlaku, termasuk kebijakan pembagian bansos dengan intensitasnya penyalurannya yang begitu tinggi dan dirasakan mempengaruhi pilihan politik masyarakat, serta proses hukum walau hal ini tetap ditempuh meskipun sulitnya menemukan alat bukti kecurangan yang terjadi dikarenakan harus terhubung antara fakta kejadian dengan pelaku dan saksi-saksi yang harus dihadirkan dalam berbagai pengajuan materi gugatannya.
Pada akhirnya respon terhadap fakta pemilu saat ini menjadi terbelah. Ada yang melihatnya sebagai rivalitas politik dari tergabung 3 koalisi partai untuk saling menilai adanya kecurangan, Namun tak sedikit pula yang mengarahkan pandangannya kearah Jokowi yang tudingan masyarakat sedang berusaha membangun dinasty kekuasaan melalui cawe-cawe politiknya, hingga menghempaskan nilai-nilai demokrasi rakyat. Bahkan komentar sekelas tokoh pembela kebenaran dari seorang Romo Magnis Soeseno pun turut menyatakan pendapatnya dipersidangan MK guna menilai adanya kejanggalan yang dirasakan. Tentu saja pendapatnya itu lebih didasari pada penguasaan ilmu filsafat yang selama ini menjadi dasar pemikirannya.
Jika pemilu yang semestinya mencerminkan wajah aspiratif hingga mengandung makna atas sikap menghargai harapan, keinginan dan cita-cita masyarakat melalui pemerintah yang dipercaya rakyatnya, dimana sikap ini selalu menjadi pegangan untuk selanjutnya menjalankan roda pemerintahan pasca pemilu yang digelar, Kini rakyat justru menuding bahwa Pemerintah mulai menerapkan harapan palsu yang tiada henti, dari era kepemimpinan yang tiada pernah meninggalkan jejak pembuktian apapun, baik sejak jaman Orde Lama, Orde Baru dan sekarang Era reformasi yang hanya sekedar menunggu waktu sekiranya kapan orang-orang yang punya harapan itu punah dan mengakhiri harapannya.
Walau perhelatan politik sering diartikan seni untuk merebut kekuasaan tanpa mengeluarkan darah. Namun jika kecurangan yang dirancang terkesan TSM, pada gilirannya memantik pertumpahan darah pula tentunya. Oleh karenanya, masyarakat harus menyembunyikan rasa percaya terhadap pemerintahan manapun guna melawan ketika pihak yang dipercaya itu malah mengkhianati mereka, termasuk kepada siapa saja yang berada pada pemerintahan daerah, apalagi terhadap pemimpin nasional yang notabenenya jauh dari jangkauan keseharian hingga sulit menilai dan menentukan keaslian sikap pemimpinnya. Toh dugaan dinasty politik yang dibangun Jokowi saat ini malah ada saja yang mengartikannya sebagai upaya demi penyelamatan bagi bangsa dan negara ini.
Kemiskinan sesungguhnya melucuti harapan rakyat, dan kebodohan pun sesungguhnya akan merusak aturan yang semestinya tegak. Sedangkan politik kotor tentu pada gilirannya merusak tatanan yang seharusnya dipatuhi. Jika aturan dan ketentuan agama tidak lagi berpengaruh terhadap sikap dan pemikiran seorang pemimpin, serta hukum dan perundang-undangan yang cenderung dipermainkan olah pemangku kekuasaan demi melindungi dirinya. Maka yang tersisa hanya hukum rimba untuk melampiaskan kemarahan rakyat yang akan dijadikan solusi akhir sebelum segalanya diserahkan kepada Tuhan yang menentukan segala takdirnya.
Jangan sampai keberadaan seorang pemimpin justru menghambat proses penafsiran atas reward and punishment Tuhan atas rancunya pengertian dari istilah "Ujian" dan "Musibah" yang kini terasa sulit dibedakan oleh karena kemiskinan yang melilit rakyat terasa secara terus menerus, dimana keduanya berasal dari ketentuan sang Maha Kuasa pula tentunya. Politik yang tampak sekarang hanya menjadi wahana ajang penjagalan bagi kepentingan kelompok tertentu yang mengklaim diri mereka secara legitimate dengan menyatakan diri sebagai perwakilan rakyat. Padahal esensi yang mereka pikul justru bertentangan dengan kredibilitas kehendak rakyat itu sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat, Salam Toleransi. #Andisalim #GTI #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏