Jumat, 11 Oktober 2013

TAN MALAKA: BAPAK REPUBLIK YANG TERLUPAKAN
Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.

Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya �Bapak Republik Indonesia�. Soekarno menyebutnya �seorang yang mahir dalam revolusi�. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.


SUTAN SJAHRIR: PERAN BESAR BUNG KECIL
Sutan Sjahrir adalah satu dari tujuh �Bapak Revolusi Indonesia�. Dia mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan walau dia sendiri absen dari peristiwa besar itu.

Dia memilih jalan elegan untuk menghalau penjajah. Yakni melalui diplomasi: cara yang ditentang �Bapak Revolusi� lain.

Sejarah telah menyingkirkan peran besar Bung Kecil- begitu Sjahrir biasa disebut. Meninggal dalam pengasingan, Sjahrir adalah revolusioner yang gugur dalam kesepian.



NJOTO: PENIUP SAKSOFON DI TENGAH PRAHARA 
IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu �pro-rakyat� dan menggelorakan �semangat perjuangan�.

Ia menghapus The Old Man and the Sea�film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway�dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang �kapitalis� harus selalu dimusuhi.

HATTA: JEJAK-JEJAK YANG MELAMPAUI ZAMAN
Ketika wafat pada 1980, ia meninggalkan "30 ribu judul buku" dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal.
Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis.

Mari bertamasya sejarah bersama Hatta.

KARTOSOEWIRJO: MIMPI NEGARA ISLAM
Berasal dari keluarga abangan, sekarmadji maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.

Hampir lima puluh tahun setelah kematiannya, pemikiran dan cita-cita mendirikan negara Islam masih bergelora di kalangan sebagian umat islam negeri ini.

G 30 S DAN PERAN AIDIT
BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai "si jahat". Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok.
Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: "Djawa adalah kunci..." "Djam D kita adalah pukul empat pagi..." "Kita tak boleh terlambat...!"
Tapi ia bukan sepenuhnya "si brengsek", sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.

100 CATATAN YANG MEREKAM PERJALANAN SEBUAH NEGERI

MEMPERINGATI 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kami menyajikan edisi khusus yang berbeda, yakni memilih 100 teks yang terbit mulai 1908 yang kami anggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Istilah teks dipakai di sini karena yang kami pilih tidak hanya buku, tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, juga roman dan puisi.

Kamis, 10 Oktober 2013

Santri Kelana Ahli Tarekat

SUARA "mesin toelis" selalu terdengar setiap malam dari salah satu kamar di ujung kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Tahunnya 1934: mesin ketik masih barang langka dan mewah.

Para santri yang masih terjaga merasa terganggu. Tapi siapa berani memprotes? Sang pengetik adalah Abdul Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy'ari, pengasuh pondok. Wahid baru pulang dari Mekah. Dalam usia 20 tahun, anak sulung dari sepuluh bersaudara itu diminta ayahnya membantu mengajar dan membimbing para santri. "Semua dawuh Gus Wahid ketika itu dianggap top," kata Muchit Muzadi, 87 tahun. "Ndak ada yang berani protes kalau beliau lagi mengetik."

Muchit masuk Tebuireng pada 1937 dalam usia 12 tahun. Ia lulus Salafiyah pada 1943. Pondok masih dipimpin langsung KH Hasyim Asy'ari, dibantu putranya, Wahid Hasyim. Tertarik pada suara mesin ketik, Muchit dan sejumlah santri sering mengendap-endap, mengintip Wahid Hasyim dari balik jendela kamar. Wahid tak merasa terganggu, malah membiarkan santri-santrinya meninjau dari balik jendela kaca.

Rasa penasaran Muchit terhadap "mesin" terpenuhi karena dia kenal Karim Hasyim, adik Wahid Hasyim-yang membiarkannya ketak-ketik sembarangan ketika si gus sedang mengajar. "Gus Wahid tahu saya belajar mengetik pakai mesin itu, tapi beliau diam saja," Muchit bercerita. Kamar dengan penerangan senthir, lampu minyak yang digantung, itu tiap malam tak pernah hening. Jika tak mengetik, bisa dipastikan Wahid sedang membaca. "Sejak saya menginjakkan kaki di Tebuireng, saya melihat beliau tak pernah berhenti membaca," kata Muchit.

***

PADA masa awal kelahirannya, Wahid sering sakit-sakitan. Sebagai anak lelaki pertama-empat anak terdahulu perempuan-hal itu merisaukan ibundanya, Nyai Nafiqoh. Sang ibu bernazar, pada usia tiga bulan Wahid akan dibawa ke guru ayahnya, KH Kholil, di Bangkalan, Madura.

Ketika waktu itu tiba, Bangkalan sedang disiram hujan lebat. Petir sambar-menyambar. Bukannya membukakan pintu, Kiai Kholil malah meminta tamu dan bayinya itu menunggu di halaman rumah. Karena cemas melihat bayinya kehujanan, Nyai Nafiqoh menggendong sang bayi berteduh di emper sambil berdoa.

Tuan rumah tidak kasihan, tapi malah memerintahkan membawa sang bayi kembali ke halaman. Beberapa waktu kemudian, KH Kholil meminta bayi itu dibawa pulang. "Kisah itu menjadi isyarat, kelak sang bayi akan menjadi orang besar," kata Munib Huda, sekretaris pribadi Abdurrahman Wahid, anak tertua Wahid. Munib menilai kisah itu hanya bisa ditafsirkan oleh orang-orang yang ikhlas dan linuwih. Wahid lulus dari Madrasah Tebuireng pada usia 12 tahun. Di sela-sela pelajaran agama, dia menghafal syair-syair berbahasa Arab. Setahun kemudian, dia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara ke sejumlah pesantren.

Dalam berbagai pengembaraan ke pesantren-pesantren, Wahid selalu menggunakan oto, sebutan mobil zaman dulu, yang disetirnya sendiri. Selain dalam usia belasan tahun sudah mahir menyetir mobil, ia piawai mengendarai sepeda motor. Pernah, suatu ketika, karena ngebut, ia dan sepeda motornya nyemplung ke kali di depan pesantren. Lebar kali itu hampir empat meter dan arusnya deras. Tapi ia tak kesulitan saat naik ke jalan. Mesin sepeda motornya tetap menyala dan tubuh serta pakaiannya tidak basah. "Ia mengaku perasaannya tidak masuk ke kali, melainkan di jalan raya," kata Imam Tauhid, mantan abdi dalem Pondok Pesantren Tebuireng. Wahid memulai pengembaraan dengan menyantri di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo, selama 25 hari, 1-25 Ramadan. Kemudian pindah ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, yang didirikan KH Abdul Karim, alumnus Tebuireng dan kawan dekat ayahnya.

Dari Lirboyo, Wahid meneruskan pengembaraan ke sejumlah pondok pesantren di sekitar Jawa Timur. Selama dua tahun ia berpindah-pindah pesantren, kemudian pulang ke Tebuireng. Mondok berpindah-pindah merupakan tradisi nahdliyin. "Para santri sering berkelana untuk mencari barokah sang kiai," kata Munib Huda. "Jika santri mondok, makan dan minum juga ikut kiai."

Menurut Munib, di era muda Wahid, kiai di tiap pondok punya spesialisasi masing-masing. Ada spesialis ilmu fikih, tafsir, falaq, manteq, atau hukum agama. Aura dan karisma kiai masih benar-benar terasa. "Kalau sudah mondok di kiai-kiai, meskipun sebentar, sepertinya ilmu yang dimiliki menjadi peng-pengan alias dahsyat," kata Munib.

Kembali ke Tebuireng, Wahid mulai mengenal huruf Latin. Ia juga mulai membaca buku berbahasa Inggris, Jerman, dan Belanda serta mempelajari matematika, ilmu bumi, dan pengetahuan umum. Dia juga berlangganan majalah tiga bahasa terbitan Bandung. "Huruf Latin pada masa itu tak diajarkan di pondok," kata Salahuddin Wahid, salah satu putra Wahid Hasyim. Yang ingin bisa menulis Latin, belajar bahasa Inggris atau Belanda, harus belajar sendiri. "Pesantren tidak mau mengajarkan bahasa asing karena waktu itu sedang melawan Belanda."

Pada 1932, di usia 18 tahun, Wahid pergi ke Tanah Suci didampingi sepupunya, Muhammad Ilyas. Sembari menunaikan ibadah haji, mereka berdua diminta mendalami ilmu tafsir, hadis, nahwu, shorof, dan fikih. Dua tahun kemudian ia kembali ke Jombang. Kehadirannya di pondok membawa pencerahan. Dia mengusulkan kepada ayahnya perombakan kurikulum pendidikan pesantren, dari klasikal ke tutorial. Ide itu sempat ditolak, tapi kemudian bisa diterima. Hubungan pondok dengan dunia internasional juga kian luas karena Wahid bisa membantu menerjemahkan surat-surat ke berbagai bahasa. "Ayah saya yang memulai pendidikan non-agama di pesantren," Salahuddin bercerita. "Beliau berlangganan majalah, memahami sesuatu, lalu membeli buku. Semua ilmu dia pelajari otodidaktik."

Perombakan kurikulum diterima sang ayah dengan merestui berdirinya Madrasah Nizamiyah, yang tempat belajarnya di serambi Masjid Tebuireng dengan siswa pertama 29 orang. Abdul Karim Hasyim termasuk siswa pertama. Pelajaran menggunakan tiga bahasa: Arab, Belanda, Inggris.

Menurut Lily Wahid, Ilyas yang pertama kali memperkenalkan bahasa Belanda kepada Wahid. Pemahaman terhadap Belanda berubah: harus menguasai agar bisa membebaskan diri dari penjajah. "Ketika kami pindah ke Jakarta, ibu saya juga mengikuti kursus bahasa Belanda," kata Lily.

Berbeda dengan Wahid, yang tak pernah bersekolah formal, Ilyas sempat duduk di bangku Hollandsch Inlandsche School, sekolah dasar Belanda. "Wahid Hasyim produk pengajaran ayahnya, tak pernah masuk sekolah Belanda," kata Zamakhsyari Dhofier, 71 tahun, Rektor Universitas Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah. Wahid sengaja tak dimasukkan ke sekolah Belanda karena KH Hasyim Asy'ari takut hal tersebut memicu kontroversi di kalangan ulama, yang ketika itu melawan kolonialis Belanda. Justru Ilyas, sepupu Wahid, yang dikirim ke sekolah Belanda. "KH Hasyim Asy'ari berstrategi, dari Ilyas inilah Wahid kelak bisa belajar soal Belanda tanpa menimbulkan kontroversi," kata Dhofier.

KH Imam Tauhid, 87 tahun, abdi dalem keluarga Hasyim Asy'ari selama 32 tahun, yakin Wahid seorang wali. Ia selalu berpuasa sejak usia 12 tahun. Makan hanya sayuran, tempe-tahu jarang, ikan sama sekali tak pernah. Tiap malam ia melakukan salat tahajud. Beliau bisa berjalan tanpa menapak tanah, kata Imam. Mobil cuma ditepuk langsung mogok. Kereta api yang ditumpangi santri dari Jakarta yang hendak ke Tebuireng tapi kebablasan, cuma ditepuk tangan saja, berhenti. Dia orang khos, kata Imam.Gus Wahid tak pernah lelah berkelana sambil belajar, dan sepanjang hidupnya melakukan tirakat.

Penerus Makrifat Syekh: Mudin Penakluk Harimau

Abdul Wahid Hasyim dikenal suka mentraktir dan tidak membeda-bedakan teman. Memberontak dengan mengenakan celana panjang-bukan sarung-di pesantren.

PULUHAN santri dan warga Tebuireng berdesakan di masjid pondok pesantren. Mereka tengah menggelar pengajian yang rutin digelar setiap Jumat seusai salat isya. Suara mereka terdengar hingga ke dalam kasepuhan, yang berjarak sekitar 10 meter dari masjid. Kasepuhan adalah tempat bermukim keluarga besar Kiai Hasyim Asy'ari, pendiri sekaligus pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Malam itu, 1 Juni 1914, suasana di dalam kasepuhan tak kalah ramai. Nafiqoh, istri kedua Hasyim, tengah menahan rasa sakit lantaran detik-detik kelahiran bayi yang dikandungnya makin dekat. Dia dikelilingi sejumlah kerabat dan pelayan dekat. Menjelang malam, dari dalam kasepuhan melengking tangis bayi. Nafiqoh melahirkan bayi lelaki. Air mata bahagia meleleh dari putri Kiai Ilyas, pengasuh Pondok Pesantren Sewulan, Madiun, itu. Hasyim memberi nama putranya Muhammad Asy'ari. Nama ini diambil dari nama ayah Hasyim. Ia mewariskan nama itu kepada sang bayi karena empat kakaknya semuanya perempuan. Tapi, sebulan kemudian, nama ini diganti. Asy'ari kecil sering sakit hingga tubuhnya makin lama makin kurus. Nama itu dianggap terlalu berat disandang sang bayi.

Hasyim kemudian mengganti nama putra pertamanya itu dengan Abdul Wahid Hasyim. Nafiqoh memanggil anaknya itu dengan panggilan "Mudin". Menurut Imam Tauhid, kini 87 tahun, fisik Gus Wahid-demikian ia menyebutnya-biasa saja. Imam pernah menjadi abdi dalem kasepuhan Pesantren Tebuireng selama 32 tahun. "Dia tidak cakep, tapi makrifatnya tinggi," katanya saat ditemui di rumahnya di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri. Wahid kecil memang memiliki kemampuan yang tak sama dengan anak lain. Sang ayah tak menyekolahkannya ke Hollandsch Indische School layaknya putra seorang tokoh pada zaman itu. Hasyim memang dikenal antisekolah yang didirikan penjajah. Ia pun memilih mengajar anak-anaknya sendiri. Karena cerdas, Wahid cepat menyerap semua pelajaran yang diberikan.

"Kalau saat itu bisa dihitung, nilai IQ ayah saya pasti tinggi," kata Salahuddin al-Ayyubi, anak ketiga Wahid, yang kini memimpin Pesantren Tebuireng, dan biasa dipanggil Gus Solah. Umur lima tahun Wahid sudah belajar membaca Al-Quran. Hasyim sendiri yang mengajar putranya itu setiap seusai salat zuhur dan magrib. Untuk pengetahuan agama lain, Wahid\ belajar di Pesantren Tebuireng pada pagi hari. Karena cepatnya ia menyerap ilmu yang diajarkan, pada umur tujuh tahun ia sudah mulai belajar "kitab". Di antaranya kitab Fathul- Qarib, Minhajul Qawim, dan kitab Mutammimah. Hasyim memiliki kamar khusus untuk anak-anaknya belajar ilmu kitab itu. "Semua anaknya diperintahkan belajar di ruangan itu," kata Abdul Hakam, 68 tahun, salah seorang cucu Hasyim yang pernah tinggal di kasepuhan.

Kendati demikian, bukan berarti Wahid tidak pernah bermain-main layaknya anak lain. Meski tergolong bocah pendiam, ia kerap bermain dengan teman sebayanya. Wahid juga kerap mengajak kakak dan adik-adiknya bermain bersama-sama. "Ia sangat perhatian sama adik- adiknya," kata Imam. Meski sebagai anak kiai, yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi,

Wahid bermain dengan semua anak. "Dia tak pernah memilih-milih teman," ujar Imam. Gus Wahid juga suka mentraktir teman-temannya. Ia juga dikenal suka berbagi pisang goreng, makanan kesukaannya. Bila ibunya tidak membuat penganan itu, ia kerap membeli pisang goreng di warung sekitar pondok dan membaginya kepada kawan-kawannya. Tak seperti anak kebanyakan, Wahid kala itu kerap mendapat uang saku dari orang tuanya. Jika uang sakunya habis, sementara ia ingin jajan, biasanya ia menulis memo di atas secarik kertas yang kemudian ia tukarkan dengan makanan yang ia inginkan. "Nanti ayah atau ibunya yang akan membayar makanan berdasar memo itu," kata Imam.


Seperti anak-anak lainnya, Wahid kerap dimarahi ayahnya jika bersalah. Berbeda oleh sang ayah, jika yang memarahi ibunya, biasanya ia lalu menangis. Imam mengenang bagaimana sang ibu kerap menenangkannya saat Wahid kecil menangis. "Kamu jangan suka nangis, karena nanti kalau sudah besar bakal jadi menteri," kata Nafiqoh seperti ditirukan Imam. Ucapan yang kelak ternyata memang benar. Wahid juga dikenal memiliki selera makan yang tidak macam-macam. Kegemarannya adalah makan nasi putih dan kulup (sayur-mayur yang direbus). Ia tak suka makan ikan, daging, atau tahu-tempe. Meski makanannya terkesan tak bergizi, ia terhitung jarang sakit. "Tubuhnya kuat karena sering bermain sambil olahraga," kata Imam.

Saat bermain, Wahid gemar berlari ke sana-kemari. Ini pulalah yang dilakukannya saat ayahnya mengajar para santri. Dengan santainya Wahid berlari-lari dan menggelendot pada ayahnya. Tapi ia memang luar biasa. Sembari bermain seperti ini, ia menguping dan menyerap pelajaran yang disampaikan ayahnya kepada para santri itu.

Karena cepatnya ia menyerap ilmu itu pulalah, pada usia 12 tahun, setamat dari madrasah Tebuireng, ia sudah bisa mengajar. Murid pertamanya adiknya sendiri: Abdul Karim Hasyim. Sambil mengajar adiknya pada malam hari, biasanya ia belajar dan membaca buku-buku dalam bahasa Arab.

Wahid juga menyerap ilmu dari pesantren di luar Tebuireng. Ia, antara lain, pernah belajar di Pondok Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, juga Pesantren Lirboyo, Kediri. Pesantren ini dibangun teman ayahnya, Kiai Abdul Karim. Ia hanya tiga hari berada di pesantren ini. Era mencari ilmu dari pesantren ke pesantren ini dilakoni Wahid hingga usia 15 tahun. Tempo sempat menemui Kiai Haji Aziz Masyhuri di Pesantren Al-Aziziyah di Dusun Denanyar, Jombang. Ia pernah menulis biografi Wahid Hasyim, yang dimuat dalam buku 99 Kiai Kharismatik Indonesia. Ia berkisah Wahid kerap berpindah-pindah pesantren karena tak menemukan pesantren yang cocok. "Ia hanya menyerap apa yang hanya dianggapnya baik, setelah itu berkelana ke pesantren lain," katanya.

Wahid juga dikenal memiliki khos (kekhususan) dalam dirinya. Menurut Imam, Wahid pernah mempertunjukkan kelebihannya itu dengan naik ke punggung harimau peliharaan ayahnya. Harimau itu dikurung di kandang di bawah pohon besar beberapa meter dari masjid kasepuhan. Imam sendirilah yang sehari-hari bertugas memberi makan harimau itu. "Harimau itu tak melawan saat Gus Wahid menungganginya," kata Imam.

Meski dikenal sebagai anak yang sopan dan patuh kepada orang tua, Wahid remaja sempat menunjukkan pemberontakannya terhadap tradisi pesantren. Saat kecil, seperti yang lain, ia dikenal hanya suka bersarung dan mengenakan blangkon, busana "sehari-hari" warga pondok. Suatu ketika, saat remaja, ia membuat geger pesantren lantaran muncul bercelana panjang. Tingkah lakunya itu membuat Hasyim berang. Hasyim menegur putranya itu. Tapi Wahid berkukuh, menyatakan memakai celana tidak melawan agama. Sang aayah pun mengalah dan membiarkan anaknya tersebut bergaya dengan caranya sendiri.

Pesantren di Sarang Penyamun

TEKAD Hasyim Asy'ari sudah bulat. Ia akan membangun pondok pesantrennya sendiri. Setelah berzikir dan berdoa, ia pun memilih kawasan Tebuireng, Jombang, untuk mewujudkan cita-citanya itu. Pada 1899-saat itu umurnya 28 tahun-Hasyim memboyong keluarganya, pindah dari Nggendang, Jombang, tempatnya selama ini bermukim, menuju Tebuireng.

Niat ini awalnya ditentang semua saudara dan teman-teman dekatnya. Bahkan ia diejek dan ditertawai kiai-kiai lain. Mereka tahu Tebuireng adalah daerah yang berbahaya dan tanpa agama. Orang menyebut Desa Tebuireng sebagai desa tanpa perikemanusiaan. Penduduk di sana punya hobi merampok dan lokasi pelacuran bertebaran di sepanjang jalan. "Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia," kata Hasyim kepada yang menentangnya kala itu. Desa Tebuireng menjadi kawasan "jahiliah" karena ada pabrik gula warisan Belanda. Para buruhnya tinggal di sekitar pabrik. Mereka gemar berjudi, hura-hura di pasar malam, dan keluar-masuk tempat pelacuran yang tumbuh subur. Penyamun juga berdatangan ke tempat ini, menyatroni para buruh berkantong tebal atau memalak mereka yang keluar-masuk tempat pelacuran.

Hasyim muda tetap nekat. Ia mendirikan pondok yang hanya terletak sekitar seratus meter di seberang pabrik. Awalnya ia mendirikan sebuah pondok beratap rumbia. Hanya berukuran 6 x 8 meter persegi, pondok itu terbagi atas dua ruangan. Hanya dua santri yang berguru di situ pada mulanya. Beberapa bulan kemudian, jumlah santri bertambah jadi 28 orang.

Meski lumayan banyak, para santri itu tak bisa hidup tenang. Selama dua tahun pertama, mereka tidur berdesakan di dalam bilik-bilik dan tak berani merapatkan ke tubuh ke dinding yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Saat itu sering terjadi "perang kecil" antara santri dan penduduk yang tak suka kepada mereka. Para penduduk, terutama di malam hari, sering menyerang mereka dengan menusukkan tombak dan parang dari balik dinding. "Para begundal saat itu ganas sekali," kata Imam Tauhid, 87 tahun, salah satu pelayan Kiai Hasyim yang kini masih hidup, kepada Tempo. Imam kini bermukim di Dusun Balongjambe, Pare, Kediri.

Perlahan-lahan, perang ini dimenangi Hasyim dengan para santrinya. Menurut Imam, satu per satu perampok itu angkat kaki. Lokasi pelacuran dan judi pun mereka gusur. Pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang. Pada 6 Februari 1906, pesantren ini mendapat pengakuan dari pemerintah Hindia Belanda.

Pada zaman revolusi, Pesantren Tebuireng pernah diserbu Belanda karena dianggap membangkang. Mahmad Baedlowi, salah seorang cucu Hasyim, bercerita kepada Tempo, pesantren itu sempat berkali-kali diserang tentara Belanda. Keluarga Hasyim dan para santri terpaksa mengungsi. Belanda bahkan pernah membangun markas tentaranya di sisi utara pesantren. Kendati pesantren dibombardir pasukan Belanda, bisa dibilang mortir-mortir Belanda tak pernah mengenainya. "Bom mereka selalu meleset dan hanya meledak di sekitar pesantren," kata pria 73 tahun itu.

Setelah seabad lebih tumbuh, Pesantren Tebuireng kini berkembang pesat. Tebuireng menjadi pelopor pesantren modern. Pesantren yang kini berdiri di atas lahan 12 hektare itu terbagi atas tiga kompleks bangunan yang berdekatan: asrama putra-putri, gedung SMP dan SMA, serta sebuah universitas. Jumlah santrinya kini sekitar 1.500 orang.

Tiga pekan lalu, saat Tempo mengunjungi Tebuireng, terlihat pesantren legendaris itu tengah dibenahi. Sejumlah gedung dipugar. Menurut Salahuddin Wahid, salah satu putra Wahid Hasyim yang kini memimpin pesantren itu, bangunan asli pesantren tetap dipertahankan. Salah satu bangunan yang berkali-kali direnovasi tapi tetap dipertahankan bentuknya adalah masjid yang dibangun Hasyim Asy'ari. "Kami ingin pesantren ini terus berdiri hingga kiamat nanti," kata kiai yang biasa disapa Gus Solah itu.

Berakar dari Sultan Demak

Abdul Wahid Hasyim merupakan keturunan keluarga ulama masyhur, para perintis pesantren di Jawa. Ayahnya, KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sedangkan ibunya putri KH Muhammad Ilyas, pendiri Pesantren Sewulan, Madiun. Seperti umumnya keluarga ulama waktu itu, perkawinan merupakan perjodohan antar-anak kiai atau anak kiai dengan santrinya.

Dirunut lebih jauh, dari pihak ibu, Wahid Hasyim masih keturunan Ki Ageng Tarub I. Sedangkan dari pihak ayah, silsilah itu sampai pada Jaka Tingkir atau Sultan Adiwijaya, raja pertama Kesultanan Pajang (1549-1582). Keduanya bermuara di Sultan Demak Raden Brawijaya VI, yang berkuasa pada 1478-1498.

Para ilmuwan memang masih ragu terhadap perihal silsilah ini karena sanad nasab itu berupa cerita oral. Tapi buku-buku yang mengulas kisah hidup ulama Jawa memakai silsilah itu untuk menerangkan pertalian darah mereka dengan pendiri kerajaan Islam di Jawa, wali-wali, bahkan hingga Majapahit.

Wahid Hasyim juga sepupu satu buyut dengan R. Ng. Haji Minhadjurrahman Djojosoegito, pendiri Jaringan Ahmadiyah Indonesia aliran Lahore. Minhadjurrahman-yang dididik secara Muhammadiyah dengan berguru kepada Ahmad Dahlan-teman debat Wahid Hasyim. Karena itulah tak aneh jika Wahid punya pemikiran terbuka terhadap golongan ini. Ia tahu persis bagaimana Ahmadiyah, baik secara pemikiran maupun nasab atau keturunan.

Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim Asy�ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum�at legi, 5 Rabi�ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya nama Muhammad Asy�ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.

Semenjak tahun 1939 KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A�la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah,PSII, PII, Al-Irsyad, Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).

Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain.

Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.

Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma menjadi �Majelis Syuro Muslimin Indonesia� (Masyumi). Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah �Suara Muslimin� yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.    

Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentraldi kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdir idari: KH. Hasyim Asy�ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.

Oleh karena KH HasyimAsy�ari tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945)Taktik politik yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. �Kerja sama� dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim,dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur�an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.

Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.

Wafat dalam usia belum 40 tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul

Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan mati.

Selasa, 09 November 2010

Misteri Surat Untuk Sukarno-Hatta

"SAYA, sebagai perwira muda, saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam politik," kata Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Ketika itu, perseteruan antara Perdana Menteri Mohammad Hatta dan kubu Front Demokrasi Rakyat, koalisi kekuatan "sayap kiri" di Indonesia, semakin runcing sejak Agustus 1948. Sedangkan Letnan Kolonel Soeharto-menurut buku tersebut-membaca situasi, mengamati setiap kubu, dan menganalisisnya dengan cermat.

Aroma perang saudara sudah begitu pekat di udara setelah pasukan Brigade 29 yang pro dengan tulang punggung Partai Komunis Indonesia, melucuti senjata pasukan Siliwangi di Madiun, Jawa Timur, pada 19 September 1948. Presiden Sukarno dan Musso, Pemimpin Partai Komunis Indonesia saling menyerang melalui pidato maupun tulisan mereka. "Bagimu adalah pilihan antara dua: ikut Muso dengan P.K.I.-nja jang akan membawa bangkrutnja tjita-tjita Indonesia Merdeka-atau ikut Sukarno-Hatta," kata Sukarno dalam pidatonya hanya beberapa jam setelah pelucutan senjata.

Panglima Jenderal Sudirman tidak menginginkan anggota pasukan di Jawa Timur terseret konflik politik ini. Soeharto, yang dianggap netral, diutus membujuk Letnan Kolonel Soeadi, Komandan Pasukan Panembahan Senopati, supaya tidak bergabung dengan PKI. Soeharto dan Soeadi bertemu di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeadi, yang memang condong ke PKI, malah mengajak Soeharto berkeliling meninjau kondisi Kota Madiun.

"Saya ditelepon Soeharto dari Mantingan (kecamatan di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur)," ujar Soemarsono, Gubernur Militer Madiun ketika itu. Setelah tiba di Madiun, Soemarsono mengajak Soeharto berkeliling kota untuk menunjukkan tidak ada pemberontakan di kota itu. "Menurut pidato Sukarno, bendera Merah Putih di Madiun sudah diganti bendera palu arit. Saya minta Soeharto melihat mana ada bendera merah, semuanya bendera merah putih."

Di rumah Residen Madiun yang ditinggali Soemarsono, Soeharto berjumpa dengan Musso yang sudah satu setengah bulan tiba di Indonesia. Selama berpuluh tahun, setelah pemberontakan PKI pada 1926 gagal, Musso tinggal di luar negeri. Baru kali itulah Soeharto bertemu Musso. Tokoh komunis itu mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan kopiah. Mereka kemudian berbincang-bincang. Soeharto menanyakan kepada Musso kenapa pemerintah dan Front Demokrasi royal malah ikut berseteru.

+ Apakah tidak sebaiknya kita tinggalkan permusuhan dan bersatu melawan Belanda?

- Bagi saya pun demikian, Bung Harto. Saya juga datang, kembali ke Indonesia, untuk mempertahankan kemerdekaan. Tapi rupanya Sukarno dan Hatta tidak senang kepada saya, mencurigai saya.

+ Kenapa tidak diadakan pembicaraan?

- Baru saja bertemu, tapi tidak ada kesepakatan.

+ Apakah boleh saya sampaikan kepada Bung Karno dan Bung Hatta bahwa sebenarnya Pak Musso masih menginginkan persatuan?

- Ya, tolong sampaikan. Tapi terus terang, Bung Harto, kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan.

Menurut penuturan Soemarsono, yang kini tinggal di Sydney, Australia, seusai pertemuan tersebut, dia meminta Soeharto membuat surat pernyataan bahwa situasi Madiun aman dan tak ada sinyal-sinyal pemberontakan. "Mas saja yang buat, saya tidak terbiasa," kata Soemarsono mengutip jawaban Soeharto saat itu. Soemarsono meminta Soeharto menyampaikan surat itu ke Presiden Sukarno dan perdana menteri Hatta.

Mantan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin yang sudah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia juga menitipkan sepucuk surat untuk Presiden Sukarno. Amir, kata Soemarsono, mengirim surat pribadi yang berisi permintaan agar Bung Karno turun tangan mendamaikan kedua belah pihak.

Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan menyampaikan semua pernyataan Musso kepada Panglima Sudirman yang ketika itu sudah sakit keras. "Pak Dirman yang menyampaikan hasil pertemuan dengan Musso ke Bung Karno dan Bung Hatta," kata Soeharto. Memang tak ada data sejarah menyatakan apakah pesan Musso itu sampai ke Sukarno dan Hatta. Yang pasti, perang saudara itu tak tercegah lagi. Dan Musso tewas di ujung senapan.

Soemarsono: Kami Tidak Memberontak

KINI dia 89 tahun. Tapi ia bicara dengan tegas, jelas, sesekali meledak-ledak. Ingatannya terjaga baik, ia bercerita dengan runtut dan mendetail. Keriput di wajah, tubuhnya yang terlihat ringkih, tak kuasa menghalanginya bicara panjang lebar tentang sejarah pergerakan Indonesia. Ia menilai telah terjadi pemutarbalikan sejarah, dan itu tak adil baginya.

Soemarsono, mantan Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, juga bekas pemimpin Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), menganggap Peristiwa Madiun adalah bagian penting dari sejarah hidupnya.

Dia berperan penting mengkoordinasi gerak cepat empat batalion Brigade 29, pasukan ABRI yang pro-Partai Komunis Indonesia, pada dinihari 18 September 1948. Dalam beberapa jam, Soemarsono dan pasukannya melucuti pasukan Siliwangi, Brimob, dan polisi militer di barak-barak mereka sendiri.

Sebagian besar anggota Brigade 29 memang eks anggota Pesindo. Soemarsono bersama pasukan ini bertarung hidup-mati mempertahankan Surabaya dari serangan Inggris, pada 10 November 1945. "Meski bukan komandan di pasukan itu, pengaruh saya besar," kata Marsono, begitu dia biasa disapa, sambil tertawa.

Ditemui dua kali pada September lalu di rumah putrinya di Jakarta, Soemarsono, yang kini bermukim di Sydney, Australia, menceritakan kembali apa yang terjadi di Madiun dan sekitarnya pada akhir 1948. Ia tetap keras menolak peristiwa itu disebut sebagai pemberontakan.

Banyak yang menyebut Peristiwa Madiun 1948 merupakan pemberontakan PKI.

Saya menolak istilah pemberontakan untuk menyebut peristiwa yang terjadi di Madiun itu. Kami tidak berinisiatif untuk terlibat dalam bentrokan. Kami hanya membela diri.
Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal September 1948. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan di kantor wali kota. Setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang, diculik tentara.

Reaksi Anda?

Saya tentu bertanya kepada komandan teritorial Tentara Nasional Indonesia di Madiun, Letkol Sumantri. Dia mengaku tidak tahu siapa yang menculik. Lho kok bisa, padahal kami mendapat informasi dari anak-anak Brigade 29 bahwa ketiga aktivis buruh itu ditahan di markas Siliwangi. Saya berkesimpulan, para penculik adalah tentara gelap yang tidak melapor saat masuk Madiun. Kami putuskan bergerak untuk membebaskan pemimpin buruh yang diculik.

Apa yang kemudian terjadi?

Saya akan ditangkap. Dokter Moestopo, kawan seperjuangan saya dari Surabaya, datang menemui saya di Pabrik Gula Rejoagung. Dia kolonel pasukan Siliwangi. Begitu bertemu, dia memeluk saya dan menangis. Saya bertanya, ada apa. Dia mengaku mendapat perintah untuk menangkap saya. Tentu saya marah. Saya berkata padanya, tangkap saja, tapi apa mungkin menangkap saya tanpa ada perlawanan.

Lalu?

Setelah itu, datanglah Kepala Korps Polisi Militer Madiun, Kapten Sunardi, ke tempat saya. Dia juga memberikan informasi bahwa saya akan ditangkap. Saya bertanya: soal apa. "Bung dianggap melawan pemerintah," kata Sunardi. Staf intelijen Pesindo menyampaikan kabar serupa. Sejak itu saya lebih berhati-hati.

Anda merasa diteror?

Suatu hari, seseorang menembak saya di pekarangan rumah. Tapi tembakannya meleset, dan peluru kena pohon. Sejak itu, saya bersiap-siap. Pasti ada yang menteror. Saya siapkan pistol di mobil, meskipun saya pergi ke mana saja tanpa sopir. Mobil saya waktu itu Chevrolet tahun 1942.

Suasana Madiun saat itu?

Banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam.

Mengapa Anda merasa terdesak? Bukankah Madiun ketika itu basis PKI?

Sebenarnya keresahan sudah dimulai saat kabinet Amir Sjarifoeddin jatuh. Kabinet Hatta membuat kebijakan baru, yaitu rasionalisasi tentara. Semua laskar, yang kebanyakan anggotanya PKI, akan dikeluarkan dari militer. Kami, yang tidak pernah bersekolah formal, tidak akan pernah menjadi perwira. Pendidikan tentara Divisi Senopati, misalnya, paling tinggi ongko loro (kelas dua SD). Kami semua akan diganti dengan tentara sekolahan. Siliwangi yang akan paling diuntungkan.

Anda menuding Hatta ikut melakukan provokasi sampai terjadi Peristiwa Madiun?

Hatta jelas melakukan provokasi. Dia yakin, jika masih ada orang PKI di aparatur pemerintah, Barat tidak akan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dia juga membebaskan Tan Malaka. Padahal semua orang tahu Tan Malaka musuh orang-orang PKI.

Jadi, Anda yakin akan adanya Red Drive Proposal?

Itu jelas. Proposal itu terkait dengan proses pengakuan de jure masyarakat internasional atas Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat meminta agar orang-orang kiri di pemerintahan disingkirkan dulu. Jika itu dilakukan, baru Indonesia akan mendapat pengakuan.

Bagaimana Peristiwa Madiun bermula?

Saya yang bertindak duluan, pada dinihari 18 September. Tepat pukul dua pagi, kami melucuti pasukan Brimob, polisi militer, dan Siliwangi. Waktu itu jatuh korban tewas lima orang. Tiga orang dari mereka dan dua orang Brigade 29.
Jadi tidak benar bahwa di Madiun ketika itu semua bendera Merah Putih diganti bendera merah palu-arit, dan ada ribuan muslim dimasukkan ke penjara. Setelah pelucutan pasukan, situasi Madiun biasa-biasa saja.

Anda tidak berencana mengganti pemerintahan Sukarno-Hatta?

Saya hanya mau melucuti lawan, supaya mereka tidak bisa menyerang kami lebih dulu. Kami hanya membela diri. Kami juga tidak punya rencana pemberontakan. Buktinya, pada pagi harinya kami kirim telegram ke Yogyakarta, melaporkan situasi di Madiun.

Siapa yang mengirim telegram?

Supardi, Wakil Wali Kota Madiun. Semula saya minta komandan teritorial, Letkol Sumantri, yang melapor. Dia tidak berani. Residen Madiun, Samadikun, tidak ada di tempat. Wali Kota Madiun juga tidak berani. Ya sudah, saya tunjuk Supardi. Saya bilang, kamu sebagai wakil wali kota lapor saja, minta instruksi dari pemerintah Hatta di Yogya, apa yang harus dilakukan.

Di mana Musso saat itu?

Ia sedang melakukan tur ke daerah-daerah. Sebelumnya, dia sempat mampir ke Madiun. Sebelum memutuskan bergerak, saya sudah menemui Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri, di sebuah penginapan. Jadi saya bertindak atas perintah Musso.

Kalau bukan pemberontakan, mengapa ada proklamasi pemerintahan Front Nasional?

Itu bukan proklamasi pemerintahan baru. Kami hanya bersiap-siap, karena ada informasi bahwa kami akan diserang. Saat itu semua wakil partai juga diajak berembuk bersama di Balai Kota Madiun. Namun, setelah Sukarno berpidato di radio menuduh kami berontak, situasinya berubah. Pak Musso marah sekali. Pidato balasannya itu tanpa teks.

(Rosihan Anwar dalam sebuah tulisan pernah menuliskan keadaan ini. "Malam tanggal 19 September 1948 Presiden Sukarno bicara di depan RRI Yogya dan meminta rakyat memilih antara Muso-PKI dengan Sukarno-Hatta. Dalam waktu dua jam Muso tampil di depan radio Madiun dan mengatakan 'rakyat seharusnya menjawab kembali bahwa Sukarno-Hatta adalah budak-budak Jepang, dan Amerika dan kaum pengkhianat harus mati'." Red.)

Apa yang Anda lakukan setelah Peristiwa Madiun?

Saya disalahkan oleh pemimpin PKI yang baru di bawah D.N. Aidit. Saya di-black out oleh partai. Semua peran saya dihapus. Saya diminta tidak disiarkan sebagai orang yang terlibat peristiwa Surabaya 10 November, misalnya. Saya diminta menyingkir karena partai mau membangun kembali basisnya. Saya lalu pergi ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan menjadi guru di sana. Tapi, begitu pecah peristiwa 1965, saya ditangkap lagi oleh Orde Baru.

Setelah Pistol Menyalak Tiga Kali

KENDATI sudah bertahun-tahun tinggal di Belanda, Nugroho, 85 tahun, masih mengingat rumah besar yang berada paling dekat dengan jalan raya di kompleks Pabrik Gula Rejoagung di Madiun, Jawa Timur. Ia bercerita, 62 tahun lalu kompleks pabrik itu menjadi markas Badan Kongres Pemuda.


Nugroho bekerja di bagian penerangan badan itu. Ia ingat saat itu Rejoagung di bawah kendali Soemarsono yang ditugasi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) menjadi Ketua Badan Kongres Pemuda Madiun.

Rumah itu pula yang pada pekan ketiga September 1948 berkali-kali didatangi orang berseragam militer. Tamu yang datang itu adalah orang-orang bekas Laskar Pemuda Sosialis yang masuk jadi tentara di Brigade 29.

Soemarsono memang sudah tak lagi bertugas di militer sejak dipecat Perdana Menteri Mohammad Hatta dari Pendidikan Politik Tentara. Oleh Hatta bintang dua di pundaknya juga dilucuti. Tapi ia masih punya pengaruh karena merupakan salah satu pentolan Pesindo.

Saban kali bekas anak buahnya datang, yang dibawa adalah kabar-kabar buruk. "Mereka melaporkan ada pasukan dengan badge tengkorak berlatih menembak dekat markas mereka," kata Soemarsono.

Lain waktu mereka melaporkan hilangnya tiga pemimpin pemogokan Serikat Buruh Daerah Autonom. Penculiknya ditengarai pasukan tengkorak tadi. Kelompok bersenjata yang sama juga dituding menembak anggota Serikat Buruh Kereta Api.

Nugroho, tukang gambar poster Badan Kongres Pemuda, bercerita saat itu situasi Madiun memang panas. "Ada tentara, ada laskar macam-macam, dan mereka sering bentrok," ujarnya. Yang paling mencolok, kata dia, adalah kelompok bersenjata dengan logo tengkorak di seragamnya.

Rentetan masalah itu mengingatkan Soemarsono akan cerita tiga perwira-Letnan Kolonel Suwardi, Komandan Angkatan Laut Solo Letnan Kolonel Achmad Jadau, dan Letnan Kolonel Slamet Rijadi yang datang dari Solo, Jawa Tengah. Ketiga perwira ini menceritakan soal penembakan dan penangkapan orang-orang kiri di daerah mereka.

Soemarsono yakin hanya dalam hitungan hari masalah di Solo bakal sampai ke Madiun. Apalagi intelijennya di Polisi Militer dan Brigade Mobil bercerita ada instruksi dari pemerintah Mohammad Hatta untuk menangkap dirinya. Bahkan Brigade 29 juga akan dilucuti oleh Brigade Mobil Polisi.

Ia makin yakin saat didatangi kawan lamanya, Kolonel Moestopo, yang menyampaikan kabar senada. Moestopo, yang saat itu sudah bergabung dengan p asukan Siliwangi, bahkan mengatakan ia diperintahkan untuk menangkap Soemarsono. "Tangkap saja. Tapi apa mungkin menangkap saya tanpa saya melawan!" Soemarsono balik menghardik.

Pada 16 September, Soemarsono menerima telepon dari Kediri. Di ujung sambungan terdengar suara Panglima Divisi Brawijaya Kolonel Sungkono. Bekas tetangga Soemarsono saat tinggal di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur, itu mengajak bicara tentang ulah pasukan Siliwangi.

"Sudah, Cak, serang saja mereka. Masak sampean dari Surabaya bisa dihantam-hantam begitu?" kata Soemarsono menirukan ucapan Sungkono. "Hadapi saja Siliwangi itu, kami sepenuhnya di belakang Madiun."

Digosok Sungkono, Soemarsono semakin panas. Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Rebut Kembali Madiun, Brigade 29 memiliki kekuatan sekitar lima batalion. Mantan Panglima Daerah Militer Siliwangi ini menjelaskan, pasukan yang dipimpin Kolonel Dachlan tersebut sudah bersiaga di seputar Madiun, yakni di Ponorogo, Ngawi, Magetan, Pacitan, sampai ke lereng-lereng Gunung Wilis di Kediri.

***


Di lain pihak, pada awal September kelompok-kelompok di sekitar Madiun yang berpotensi menjadi lawan Soemarsono sudah diberangus. Itu yang dialami Pesantren Takeran di Magetan yang enggan mendukung gerakan kiri di sana. Satu per satu pemimpin pondok dijemput dan tak pernah kembali.

Madiun sendiri jadi basis massa yang solid buat gerakan ini karena kota itu punya bengkel kereta api dan banyak pabrik gula. "Mereka dapat dukungan dari buruh pabrik dan serikat buruh kereta api," kata mantan Tentara Republik Indonesia Pelajar di Madiun, Yusuf Musdi.

Merasa di atas angin, Soemarsono pada 16 September berangkat meminta restu kepada Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri. Ia bercerita tentang kondisi Madiun dan kekhawatiran adanya penculikan terhadap komandan tentara yang berpihak ke Front Demokrasi Rakyat-organisasi yang menghimpun kelompok kiri, termasuk PKI.

Kepada Soemarsono, Musso bertanya tentang perimbangan kekuatan. "Tidak usah khawatir, saya kenal pasukan saya," jawab Soemarsono. Kalau begitu bertindak saja, lucuti pasukan itu," kata Musso lagi. Amir menimpali, "Bertindak saja, sebelum mereka bertindak." Pertemuan larut malam itu berakhir. Soemarsono pamit dan Musso merangkulnya. "Saya bertindak itu atas perintah Musso," ujarnya belakangan.

Namun peneliti sejarah dari Universitas Cornell, Ann Swift, meragukan klaim tersebut. Menurut dia, petinggi Front Demokrasi baru tahu setelah pelucutan selesai. Swift merujuk pada berita Madjallah Merdeka terbitan 30 September 1948, yang menyebut para aktivis Front yang kemudian tertangkap mengaku tak tahu-menahu rencana Soemarsono yang disebut "agak terburu-buru" itu.

Himawan Soetanto sependapat dengan Swift. Himawan melihat petinggi Front belum menghendaki gerakan bersenjata. Buktinya, kata dia, saat Peristiwa Madiun pecah, Musso dan Amir justru sedang bersafari di kota-kota lain buat menggalang dukungan.

Himawan yang ikut operasi Siliwangi menyerang Madiun juga menilai perhitungan Soemarsono meleset. Pasukan-pasukan yang dianggap bakal memberikan dukungan malah berbalik menggempur Soemarsono, termasuk Kolonel Sungkono.

Pada 17 September malam, suasana Pabrik Gula Rejoagung mencekam. Nugroho yang tinggal di Asrama Rejoagung diberi tahu malam itu akan terjadi sesuatu. "Kami diminta tenang dan jangan keluar," katanya.

Lewat tengah malam terdengar letusan pistol. Tar, tar, tar! Tiga kali tembakan di pagi buta itu menandai bergeraknya serdadu Brigade 29.

Soemarsono, yang mengendalikan pasukan dari Rejoagung, mengirim pasukan merangsek ke tiga titik di Madiun: markas Polisi Tentara Republik Indonesia, markas Brigade Mobil Polisi, dan basis "pasukan tengkorak" di Maospati, daerah perbatasan dengan Magetan. "Saya putuskan menyerang duluan," kata Soemarsono. "Bisa repot kalau saya harus menghadapi tiga pasukan itu sekaligus."

Kalah dalam jumlah, lawan di markas Polisi Militer dan "pasukan tengkorak" dengan cepat ditekuk pasukan Soemarsono. Namun di markas polisi yang tak jauh dari Rejoagung terjadi perlawanan sengit. Menurut Nugroho, kontak senjata di markas polisi itu terdengar sampai asramanya di Rejoagung. "Suara tembakan baru berhenti sekitar pukul empat pagi," ujarnya.

Nugroho bercerita, semua aktivis Badan Kongres baru berani keluar asrama saat hari sudah terang dan melihat barisan panjang polisi digiring pasukan Soemarsono. "Panjang sekali, saya lihat ada yang belum berpakaian," ucapnya. "Semua digiring entah ke mana."

Penyerangan rupanya meluas sampai ke tapal batas kota. Kantor polisi Gorang Gareng di perbatasan Madiun dan Magetan juga jadi sasaran. Sempat melawan, polisi akhirnya menyerah karena kehabisan peluru.

Enam jam setelah pistol menyalak di Rejoagung, Brigade 29 sukses memukul lawan-lawannya. Madiun dan sekitarnya dikuasai penuh pasukan Front Demokrasi Rakyat.

Menurut Soemarsono, cuma dua anak buahnya yang tewas. Saat pemakaman mereka, Soemarsono berseru lantang, "Van Madiun begint de victorie!" Dari Madiun kemenangan dimulai.

Mitos Amerika di Kaki Lawu

 DI ketinggian seribu dua ratus meter, telaga itu membentang. Airnya tenang, dengan kedalaman hampir tiga puluh meter. Hawa sejuk senantiasa merapat di sekitarnya. Gunung Lawu yang menjulang kukuh terlihat menancapkan kakinya. Keindahan panoramanya membuat wisatawan rajin berlabuh di Sarangan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Seperti memenuhi hasrat turis, banyak hotel dan vila mengitari telaga seluas tiga puluh hektare ini.

Dulu pun orang-orang Belanda membangun rumah dan hotel di kawasan Sarangan. Tapi, pada saat Agresi Militer Belanda Kedua, akhir 1948, tentara Republik membakar bangunan-bangunan itu. Sebagian sisa bangunannya masih terlihat hingga kini.

Di sini pula, tersimpan rumor tentang pertemuan pemerintah Amerika dengan pemerintah Indonesia. Satu pertemuan yang oleh pihak komunis diduga ikut mempengaruhi penyingkiran orang-orang kiri oleh Kabinet Hatta dalam Peristiwa Madiun pada September 1948.

Tuduhan keterlibatan Amerika di Madiun pada 1948 muncul setelah peristiwa itu sendiri. Adalah Paul de Groot, pemimpin komunis di Belanda, seperti ditulis ahli Asia Tenggara dari Universitas Cornell, Ann Swift, dalam disertasinya berjudul The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising of 1948, yang membuka teori provokasi Peristiwa Madiun oleh Amerika.

Di hadapan parlemen Belanda, sebulan setelah Peristiwa Madiun, De Groot menuduh Charlton Ogburn, penasihat politik delegasi Amerika dalam Komite Jasa Baik untuk Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertemu dengan Sukarno dan Hatta di Sarangan, tiga bulan sebelum Peristiwa Madiun meletus. Dalam pertemuan ini, Amerika menjanjikan pengiriman senjata dan penasihat teknis jika pemerintah Indonesia mau menyingkirkan komunis. Tuduhan ini langsung dibantah oleh Menteri Penerangan Mohammad Natsir.

Belakangan, tuduhan De Groot ini diadopsi oleh komunis Rusia pada Januari 1949. Tiga tahun setelah Peristiwa Madiun, wartawan Prancis, Roger Vailland, juga menuliskan pertemuan itu dalam Boroboudour, Voyage Bali, Java et autres Iles. Versi Roger ini ditelan oleh majalah Bintang Merah milik PKI.

Berdasarkan tulisan Roger, pertemuan Sarangan digelar pada 21 Juli. Indonesia diwakili Presiden Sukarno, Perdana Menteri Mohammad Hatta, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, Menteri Dalam Negeri Soekiman Wirjosandjojo, Mohamad Roem, dan Kepala Kepolisian Soekanto. Dari pihak Amerika, hadir Duta Besar Merle Cochran dan penasihat Presiden Harry Truman, Gerard Hopkins.

Pertemuan ini disebut menghasilkan Red Drive Proposal. Salah satu isinya, Amerika memberikan US$ 56 juta untuk menghancurkan PKI. Bintang Merah juga menyebutkan Kabinet Hatta menggunakan Rp 3 juta untuk menyogok Dokter Muwardi, pemimpin Gerakan Revolusi Rakyat, untuk membuat insiden Solo yang kemudian memunculkan Peristiwa Madiun.

Mantan Gubernur Militer Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun Soemarsono meyakini adanya Red Drive Proposal. Soemarsono mengaku mendengar dari mantan perdana menteri Amir Sjarifoeddin-yang digantikan Hatta setelah Perundingan Renville-soal pertemuan itu. Amir mengatakan adiknya saat pertemuan itu menyaksikan siapa saja yang hadir. Sukarno saat itu hanya diam. Sedangkan Hatta menyetujui tawaran Amerika. "Yang banyak bicara Hatta, Soekiman, dan Roem," katanya.

***


Menurut Soemarsono, seperti tertulis dalam buku Revolusi Agustus, saat itu PKI memang menghadapi gerakan antikomunis dari sejumlah pihak. Partai Nasional Indonesia dan Masyumi, misalnya, semula mendukung Amir Sjarifoeddin yang memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville. Tak lama setelah perundingan itu, PNI dan Masyumi berbalik menentang hasil Perundingan Renville-yang akhirnya menjatuhkan Amir dari jabatannya. Belakangan, kabinet Hatta yang melaksanakan Perundingan Renville justru menyertakan orang-orang PNI dan Masyumi.

Inilah yang membuat PKI yakin, penyingkiran orang-orang kiri sudah direncanakan setelah Perundingan Renville. Soemarsono tak heran, Hatta yang sering berseberangan dengan PKI, dan Menteri Dalam Negeri Soekiman yang tokoh Masyumi, menyetujui pemberangusan kaum kiri pada saat pertemuan Sarangan. Kondisi ini sejalan dengan niat Amerika membendung komunis di berbagai belahan dunia. Di sisi lain, Sukarno menginginkan pengakuan kedaulatan dari negara Barat. "Bung Karno waktu itu berpihak pada Hatta," kata Soemarsono.

Banyak pihak meragukan adanya pertemuan Sarangan. Hersri Setiawan, mantan tahanan politik di Pulau Buru yang pernah mewawancarai Soemarsono, mengatakan pernah mencoba menelusuri dokumen pertemuan itu. Tapi nyatanya tak ada satu pun dokumen kuat yang mampu menjelaskan pertemuan dan Red Drive Proposal. "Saya menyimpulkan (proposal) itu mengada-ada," katanya.

Sejarawan Rushdy Hussein menilai gejala keterlibatan Amerika memang ada. Misalnya, setelah Perundingan Renville, Amerika yang tadinya mendukung Belanda berbalik arah ke Indonesia. Selain itu, pihak komunis menganggap Kepala Kepolisian Soekanto merupakan binaan Amerika karena pada 1948 menjalani pelatihan di sana. "Tapi semua itu hanya gejala psikologis. Kaitannya tidak langsung. Pertemuan Sarangan bisa dianggap sebagai mitos," ujar Rushdy.

Ann Swift malah menunjukkan kelemahan mendasar versi PKI yang menganggap pertemuan dilakukan pada 21 Juli 1948. Padahal, "Merle Cochran baru tiba di Indonesia pada 9 Agustus 1948," tulis Swift.

Toh, Swift menunjukkan Cochran membujuk Sukarno dan Hatta agar mengeliminasi komunis dari Indonesia, seperti tertulis dalam dokumen milik kantor Hubungan Luar Negeri Departemen Pertahanan Amerika. Dokumen itu menyebutkan, Cochran rajin menemui Presiden dan Perdana Menteri. Ia khawatir, komunis akan menjatuhkan kabinet Hatta. Sebagai imbalan menumpas komunis, Amerika akan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda yang lebih bisa diterima, meski sebelumnya Amerika lebih berpihak kepada Belanda untuk melawan blok Soviet di Eropa melalui bantuan Marshall Plan. Indonesia pun memanfaatkan ketakutan Amerika sebagai tekanan mengupayakan kesepakatan dengan Belanda.

Swift menilai peran Cochran yang memang antikomunis sangat besar dalam membujuk pelenyapan kaum Marxis. Meski menyarankan Hatta segera mengambil tindakan militer kepada komunis, Cochran tak terlihat menawarkan bantuan senjata.

Menurut Swift, pada 6 September, seorang pejabat tinggi Indonesia, diduga dari Masyumi, mengirim telegram ke Konsul Jenderal Amerika di Jakarta. Isinya, Hatta telah menyiapkan aksi tanpa kompromi terhadap komunis. Tapi Hatta membutuhkan bantuan untuk mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.

Belanda sempat menawarkan bantuan tapi ditolak. Saat itu Amerika hanya menjawab upaya terbaik dari Hatta akan menjadi pintu kesepakatan dengan Belanda. Jika kesepakatan itu terjadi, Amerika akan membantu perekonomian Indonesia. Belakangan, saat berbicara dengan Cochran?setelah Peristiwa Madiun, Hatta sendiri mengatakan membutuhkan peralatan persenjataan kepolisian. Tapi Cochran menjawab bantuan ekonomi tersedia begitu federasi Indonesia tercipta.

Entah ada entah tiada bantuan dari Amerika, yang jelas, penumpasan PKI di Madiun akhirnya terlaksana. Pada 1 Oktober 1948, Konsulat Amerika menyatakan Peristiwa Madiun sebagai "kekalahan pertama komunis".

Di Hotel Huisje Hansje, Red Drive Proposal disebut-sebut ditawarkan Amerika kepada pemerintah Indonesia. Tapi pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia serta warga setempat tak tahu persis lokasi hotel itu. Bung Karno memang pernah ke Sarangan sebelum Peristiwa Madiun. Saat itu ia membawa istrinya, Fatmawati, dan kedua anaknya, Megawati Soekarnoputri dan Guntur Soekarnoputra. "Tapi menginapnya di Hotel Merdeka," kata bekas karyawan Hotel Merdeka, Sukarno.

Sejarawan Rushdy Hussein pernah mencari Hotel Huisje Hansje. Tapi tak ada petunjuk apa pun yang ditemukannya. Rushdy menduga, hotel itu ikut dibakar pada saat Agresi Militer Belanda Kedua. Huisje Hansje seperti lenyap membawa mitos bernama Red Drive Proposal.

Laga Pengalih Sebelum Madiun

BAKDA isya, Kolonel Sutarto sampai di depan rumah ibunya di Kampung Timuran Solo. Malam itu, 2 Juli 1948, komandan Pasukan Panembahan Senopati (KPPS) ini bergegas pulang begitu menerima kabar ibunya sakit keras.

Begitu paniknya, Sutarto jadi tak awas terhadap sekitarnya. Turun dari jip yang membawanya dari markas, bekas Shodancho Daidan Peta di Wonogiri itu disambut tembakan dari kegelapan. Dor... dor.... Sutarto ambruk. Dua peluru menembus belakang tubuhnya. Ia tewas bersimbah darah.

Insiden itu memicu beragam kecurigaan. Selain pelakunya tak tertangkap, korbannya adalah panglima sebuah kesatuan tempur paling besar dan berpengaruh di wilayah Surakarta.

Belakangan muncullah desas-desus. Di lingkungan prajurit Senopati beredar kabar, Sutarto ditembak anggota pasukan Siliwangi, anak buah Letnan Kolonel Sadikin. "Karenanya, anggota pasukan Senopati diperintah mencari tahu," kata Mayor Slamet Rijadi dalam buku biografinya, Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS.

Muncul spekulasi baru. Sutarto sengaja ditembak karena dianggap melawan Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Tentara yang digulirkan kabinet Hatta. Sutarto menganggap program ini tak transparan dan mengancam posisi pasukannya.

Front Demokrasi Rakyat/PKI yakin pembunuhan Sutarto adalah teror politik gaya Hatta. "Ini rasionalisasi dalam bentuk lain. Kami yakin Hatta sendiri yang langsung turun tangan karena dia Menteri Pertahanan saat itu," kata Soemarsono, mantan Gubernur Militer Pemerintahan Front Nasional Daerah Madiun.

Spekulasi ini menguat karena insiden penembakan Sutarto terjadi selang 40 hari setelah ia memimpin parade pasukan di Solo, 20 Mei 1948. Di depan Presiden Sukarno dan Panglima Besar Sudirman, Sutarto menggelar lima resimen tempurnya, termasuk enam resimen laskar rakyat, seperti pasukan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Tentara Laut Republik Indonesia, yang dikenal kiri.

Belakangan, Divisi IV Panembahan Senopati batal dilikuidasi. Menanggapi aksi penolakan itu, Panglima Sudirman menjadikan pasukan Sutarto sebagai pasukan komando khusus.

Program kabinet Hatta so-al Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) Tentara yang ditentang Sutarto menyorongkan konsep penataan postur angkatan perang yang lebih ramping dan efisien. Hatta beralasan, kocek negara yang mepet dan wilayah Indonesia yang kian menciut akibat Perjanjian Renville menjadi pertimbangan Re-Ra. Hatta, seperti dikutip dalam otobiografinya, merujuk setidaknya ada 350 ribu tentara plus 400 ribu anggota laskar yang kudu diciutkan menjadi 160 ribu hingga 57 ribu prajurit reguler.

Perampingan itu dimulai dengan penataan struktur garis dan wilayah komando. Besaran divisi dan kesatuan komando teritori juga diciutkan. Jawa, misalnya, dari tujuh divisi menjadi empat divisi. "Semuanya disesuaikan dengan fungsi pertahanan menghadapi agresi Belanda," kata Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia.

Menurut Himawan Soetanto dalam bukunya, Madiun, dari Republik ke Republik, Program Re-Ra justru bermasalah saat diberlakukan di lapangan. Misalnya friksi akibat audit personel sesuai dengan kepangkatan dan tingkat pendidikan antara perwira eks Peta dan eks KNIL. Eks Peta, misalnya, turun sampai dua tingkat (dari letnan satu menjadi pembantu letnan satu). Adapun perwira eks KNIL naik pangkat dua tingkat.

Menurut Soemarsono, sejatinya FDR/PKI adalah kelompok yang paling dirugikan dengan Re-Ra. Barisan laskar yang dibangun FDR, seperti Pesindo, biro perjuangan, perwira politik, dan TNI Masyarakat, akan dilikuidasi karena dianggap bukan TNI. "Sebenarnya kamilah sasaran tembak utama kabinet Hatta," kata Soemarsono dalam bukunya, Revolusi Agustus.

Soemarsono sendiri dipecat dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Pangkat terakhirnya mayor jenderal. Pada bulan yang sama, dipecat pula Wikana, eks Gubernur Militer Surakarta. Wikana adalah tokoh FDR dan Pesindo. Menyusul kemudian pembubaran TNI Masyarakat yang dirintis Joko Suyono dan Sakirman.

***

Menurut Himawan, FDR berang karena penataan sistem komando TNI bisa menghancurkan upaya FDR membangun kekuatan sejak 1945. Setidaknya 35 persen dari TNI pada masa itu sudah dipengaruhi "kelompok kiri". Beberapa di antaranya bahkan panglima kesatuan tempur. "Wajar kalau penolakan para perwira terhadap Re-Ra kemudian dimanfaatkan tokoh-tokoh kiri," kata Himawan.


Himawan merujuk sikap keras Divisi VI Narotama, Jawa Timur, dan Divisi IV Panembahan Senopati. Sutarto sendiri dicap "kiri " karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh Front Demokrasi Rakyat/PKI.

Menurut Himawan, sebenarnya ada faktor lain yang mendorong penolakan perwira daerah terhadap Re-Ra, yakni sentimen atas perlakuan istimewa Hatta terhadap kesatuan Siliwangi-setelah pasukan Siliwangi terpaksa hijrah ke Surakarta, pasca-Renville, dan Hatta kemudian mempromosikan eks Panglima Siliwangi Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Sudirman. Sosok Nasution dianggap menjadi ancaman terhadap wibawa Sudirman sebagai panutan mereka.

Sebagai kota terbesar kedua di Republik setelah Yogyakarta, Solo pada 1948 sudah padat dengan aneka pendatang dan pengungsi, antara lain Brigade II Siliwangi pimpinan Sadikin. Buat pasukan setempat, kehadiran Siliwangi dianggap sebagai "intruders" atau orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga mereka.

Kontak senjata terbuka antara KPPS dan Siliwangi bisa dicegah berkat langkah bijak Komandan Komando Militer Kota Solo Mayor Achmadi. Belakangan terbukti Sutarto dibunuh Pirono atas suruhan tokoh PKI, Alimin.

Ketegangan makin memuncak ketika perwira ALRI-Gajah Mada yang juga tokoh FDR, Mayor Esmara Sugeng, dan enam perwira KPPS lainnya "dibawa" ke Siliwangi. Para perwira itu dikabarkan ditawan di asrama kompi Siliwangi yang dipimpin Kapten Oking di Srambatan, tak jauh dari Stasiun Balapan.

Puncaknya pada 13 September 1948. Markas Siliwangi diserbu pasukan Senopati. Pertempuran berlangsung sengit dan jatuh korban. Letkol Soedi, Panglima KPPS, melaporkan insiden penculikan para perwiranya ke Panglima Sudirman. Ia juga mengultimatum agar perwira yang diculik dibebaskan sebelum pukul 12.00 WIB.

Ketegangan itu membuat Sudirman turun tangan. Namun sejumlah perundingan yang digelar tak banyak menyelesaikan masalah. Letnan Kolonel Sadikin tetap emoh melepas para perwira KPPS dengan alasan tidak tahu ada penculikan-meski belakangan akhirnya enam perwira itu diketahui ditahan di penjara Wirogunan, Yogya.

Gencatan senjata yang digariskan Sudirman dalam perundingan di Balai Kota Solo toh tak ditaati. Esok harinya, 16 September, giliran Markas Pesindo di Jalan Singosaren diserbu. Selain pasukan Siliwangi, ikut juga Barisan Banteng dan GRR. Ketegangan menjalar ke seluruh penjuru Solo.

Sudirman akhirnya mengeluarkan keputusan harian yang intinya peristiwa di Surakarta menyinggung kedaulatan Angkatan Perang. Karena itu, komandan kesatuan diminta bertanggung jawab. Sudirman juga menyampaikan, pucuk pimpinan negara telah sepakat akan melakukan tindakan tegas di daerah mana pun yang terancam bahaya.

Presiden Sukarno menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer. Keputusan itu, menurut Nasution, diambil bersama Sudirman. Mereka bertiga akhirnya bertemu dengan Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta sekitar pukul 23.00 WIB.

Di Solo, 18 September 1948, Gubernur Militer Solo Gatot Subroto meminta aksi tembak dihentikan. Gatot juga menyatakan batalion Ahmad Jadau, Soejoto, dan Dahlan dinyatakan liar.

Clash antarkesatuan di Solo ternyata dipantau penuh oleh Belanda. Pusat Dinas Intelijen Militer Belanda, Centrale Militaire Inlichtingen Dienst, pada 23 September 1948, seperti dikutip Himawan, menyebut Solo memang akan dijadikan "Wild West" oleh kelompok Musso sebagai pengalih perhatian dari gerakan yang terjadi di Madiun.

Disebutkan pula, sesungguhnya pertikaian bersenjata itu adalah antara dua pasukan yang sama-sama berhaluan komunis, yaitu Divisi IV Panembahan Senopati-di bawah pengaruh Alimin, Musso, dan Amir Sjarifoeddin-dan Satuan Divisi Siliwangi di bawah pengaruh pemimpin komunis seperti Tan Malaka dan Dr Muwardi.

Infiltrasi ke Siliwangi, kata dokumen itu, dilakukan sejak 1947 oleh satuan eks Brigade Tjitarum, pasukan Tan Malaka. "Mereka sama-sama mau merebut kekuasaan komunis, tapi beda kiblat," kata sejarawan Rushdy Hussein.

Karena itu, menurut sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, pertempuran ala "koboi" di Solo seperti lingkaran. "Hanya berputar-putar antara Musso dan Tan Malaka. Dua-duanya siap meledak."

Suatu Malam di Proklamasi 56

LELAKI yang mengenakan safari warna gelap itu berjalan sendirian. Suatu hari pada Januari 1948, sekitar pukul 19.00 WIB, dengan raut wajah kusut dia mendekati beberapa pemuda yang tengah duduk santai di belakang rumah Presiden Sukarno di Jalan Proklamasi 56, Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Rumah ini memang menjadi tempat bersantai para pejabat negara dan aktivis kemerdekaan di malam hari. Setelah menyapa sekadarnya, dia mengeluarkan sebotol kecil wiski dari kantong celana, kemudian menenggaknya. Lelaki itu adalah Amir Sjarifoeddin, Perdana Menteri Indonesia yang beberapa hari sebelumnya "dipaksa" meletakkan jabatan.

"Malam itu kami minum wiski bersama," kata Rosihan Anwar mengenang peristiwa itu. Dalam penglihatan wartawan senior ini, Amir terlihat agak tertekan setelah lengser dari jabatan perdana menteri. "Meski dia berusaha menutupi dengan tetap terlihat enjoy," katanya. Amir terpaksa melepaskan jabatan perdana menteri setelah meneken Perjanjian Renville. Tekanan dari lawan politiknya kian menjadi-jadi. Sebagai kepala pemerintahan, dia dinilai bertanggung jawab atas semakin terpojoknya posisi Indonesia setelah perundingan itu.

Wajah Amir Sjarifoeddin tampak sumringah pagi itu, 8 Desember 1947. Di atas kapal USS Renville dia asyik berbicara tentang Frank Graham, perwakilan Amerika Serikat di Komisi Tiga Negara. "Mereka rileks sambil masing-masing memegang Injil di tangan," kata Rosihan. Pemimpin redaksi koran Siasat itu mengaku melihat pertemuan tersebut saat mengunjungi kapal perang milik Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Perundingan Renville terjadi atas desakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947, yang khawatir melihat pertikaian Indonesia-Belanda yang berlarut-larut. Dalam resolusinya itu, Dewan Keamanan mendesak kedua negara agar menyelesaikan pertikaian dengan menunjuk tiga negara sebagai penengah.

Indonesia memilih Australia, Belanda menunjuk Belgia. Dua negara itu kemudian menunjuk Amerika sebagai anggota ketiga. Persekutuan ini kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara, yang diwakili Frank Graham (Amerika), Richard Kirby (Australia), dan Paul van Zeeland (Belgia).

Sebelum berunding, di dalam negeri, Amir pasang kuda-kuda. Dia merangkul kembali Masyumi agar mau bergabung di pemerintahan. Tawaran itu diterima tanpa syarat. Pada 11 November 1947, Amir merombak kabinet dengan memberikan lima kursi menteri untuk Masyumi.

Namun harapan tinggal harapan. Baru saja perundingan dibuka, delegasi Belanda menolak usul Indonesia untuk menyelesaikan persoalan politik sebelum membicarakan soal gencatan senjata. Tak hanya itu, Belanda juga menolak tuntutan komisi teknis Indonesia yang diketuai J. Leimena agar tentara kompeni ditarik kembali hingga batas garis demarkasi yang telah disepakati bersama 14 Oktober 1946. Sebaliknya, Belanda menuntut batas demarkasi itu adalah kesepakatan baru pada 28 Agustus 1947, yang disebut sebagai Garis van Mook. Pembahasan di komisi teknis buntu.

Macetnya pembahasan di komisi teknis membuat Amir jengkel dan mengancam akan kembali ke Yogyakarta. "Kapan saya kembali ke Jakarta tergantung Belanda. Saya hanya kembali jika ada sesuatu yang harus dikerjakan," katanya seperti dikutip Naskah Lengkap Asal-Usul KTN. Karena tak diindahkan, pada 24 Desember 1947, Amir kembali ke Yogyakarta.

Pada saat yang sama, di sejumlah daerah tentara Belanda terus melakukan aksi militer. Tersiar kabar akan ada aksi militer besar-besaran ke Yogyakarta, jika Indonesia tetap ngotot menolak 12 prinsip politik Belanda. Kondisi semakin genting. Frank Graham sebagai utusan Komisi Tiga Negara menggelar pertemuan dengan "Lima Besar RI", yaitu Sukarno, Moh. Hatta, Soetan Sjahrir, Amir, dan Agus Salim. Graham meminta Indonesia tidak meninggalkan meja perundingan. Tidak memiliki pilihan, Indonesia akhirnya mengalah dan menerima tuntutan Belanda. Kemudian, 17 Januari 1948, di atas kapal Renville, Amir meneken persetujuan itu.

Para pemimpin Republik mendukung. Presiden Sukarno mengatakan, meski Perjanjian Renville seakan-akan merugikan Indonesia, harus dilihat kemungkinan keuntungan yang bisa diperoleh. "Kalau bisa mencapai cita-cita dengan jalan damai, kenapa harus perang," katanya. Hatta mengatakan perjanjian ini tidak menjauhkan kita dari cita-cita. Panglima Besar Sudirman juga mengaku puas atas pencapaian itu.

Di luar dugaan Amir, partai-partai pendukungnya justru menolak Perjanjian Renville. Sehari setelah perjanjian itu, sekitar 300 orang yang mengaku sebagai massa Hisbullah menggelar demonstrasi di depan Istana Yogyakarta. "Kabinet Amir Bubar. Kami menolak Perjanjian Renville," demikian kata salah satu dari mereka. Sumpah-serapah juga diarahkan ke Perdana Menteri, "Amir pengkhianat."

Pemimpin Partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia juga menyalahkan Amir. Mereka mengatakan menarik dukungan dari pemerintahan dan mengumumkan pengunduran diri para menteri. Presiden Sukarno yang semula mendukung kini berbalik. "Sebaiknya serahkan mandat kepada saya," kata Sukarno.

Amir tidak bisa berbuat banyak. Pada 23 Januari 1948, dia menyatakan mundur. Sukarno kemudian menyerahkan tampuk pemerintahan kepada Hatta yang kemudian membentuk kabinet baru. Masyumi dan PNI, dua partai yang sebelumnya meninggalkan Amir, kemudian memutuskan bergabung di kabinet Hatta.

Menurut Soemarsono, anggota Pimpinan Pusat Pesindo, Amir saat itu merasa seperti terjebak dalam sebuah permainan politik. "Aduh, begini permainan komplotan ini," katanya mengutip keluhan Amir.

Kepedihan Amir tak berujung di situ. Di kalangan kelompok kiri, dia juga disalahkan, dinilai terlalu lemah dan mau begitu saja menyerahkan tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri. Menurut Soemarsono, sebuah rapat mendadak digelar kelompok kiri untuk mengadili Amir. "Semua yang hadir menyalahkan dia karena mau mundur begitu saja," katanya.

Pemimpin Partai Komunis Indonesia, Musso, dalam dokumennya, Jalan Baru untuk Republik Indonesia, juga menyerang ketidakberdayaan Amir. Menurut dia, kaum komunis saat itu melupakan ajaran Lenin yang menyatakan pokok dari revolusi adalah kekuasaan negara. "Mundurnya Amir memberi jalan elemen borjuis memegang kendali pemerintah," katanya.

Semua ini berlangsung cepat: Amir mendapati dirinya sekonyong-konyong jadi musuh bersama. Tak mengherankan malam itu di belakang rumah Sukarno dihabiskan sampai larut dengan minum wiski dan bernyanyi. Menurut Rosihan, pertemuan malam itu adalah terakhir kali dia bersua dengan Amir. "Setelah itu, saya hanya mendengar dia pergi ke Solo membentuk Front Demokrasi Rakyat," katanya. "Sampai akhirnya ditembak mati."

Sebulan Bersama Oude Heer

RAPAT Politbiro Partai Komunis Indonesia, Agustus 1948, adalah panggung pertama bagi Musso setelah 21 tahun menghilang dari Republik. Pada 1927 ia kabur ke Moskow akibat terlibat pemberontakan PKI 1926 yang dapat dipadamkan Belanda. Pada 1935 ia pernah menyusup ke Surabaya untuk menghidupkan kembali PKI. Tapi ia tak berhasil.


Sejak itu PKI menjadi partai bawah tanah yang melawan fasisme secara lunak. PKI tak menggalang massa buruh dan tani, tapi menyusup ke pemerintah dan organisasi lain. Musso menilai cara itu tak efektif.

Dalam gagasan barunya, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia", Musso menganggap PKI tidak mengakar kuat pada buruh, tani, pemuda, dan tentara. Kader PKI terpecah akibat disusupkan ke pemerintah atau partai lain. Sosialisasi ideologi partai lembek karena tidak dilakukan secara terbuka. Sebagai partai bawah tanah PKI ketika itu lebih banyak berlindung di balik Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Didirikan di Solo pada 26 Februari 1948 sebagai akibat jatuhnya kabinet Amir Sjarifoeddin, FDR menampung partai dan ormas sayap kiri. Selain PKI ilegal, anggota front itu adalah Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Tani Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Indonesia. Amir sendiri didapuk menjadi Ketua Front.

Menurut sejarawan Belanda, Harry A. Poeze, FDR dibentuk setelah Amir dan Sutan Sjahrir pecah kongsi dalam Partai Sosialis. Amir menghendaki partai memihak Soviet dan menentang kapitalisme pimpinan Amerika Serikat. Sjahrir berpendirian partai harus menempuh politik luar negeri bebas aktif.

Jatuhnya kabinet Amir memperparah perseteruan itu. Sjahrir akhirnya keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia. Adapun Partai Sosialis Amir melebur ke FDR.

Dalam dokumen FDR, "Menginjak Tingkatan Perjuangan Militer Baru", disebutkan bahwa aliansi itu dibentuk untuk menggulingkan kabinet Hatta yang tengah berkuasa. Penggulingan itu akan dilakukan melalui parlemen, bahkan jika perlu membentuk pemerintahan baru melalui pemberontakan.

Amir menyambut gagasan Musso. Dalam rapat Majelis Lengkap FDR, Agustus 1948, ia berujar, "Kedatangan Oude Heer (Pak Tua) Musso bisa mempercepat proses yang selama ini kita jalankan." Dalam bukunya, Madiun dalam Republik ke Republik (2006), mantan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Himawan Soetanto menyatakan kembalinya Musso membawa haluan baru yang menekankan perlawanan terhadap fasisme secara radikal.

Musso tidak mau menyia-nyiakan waktu. Di panggung rapat Politbiro PKI, ia meminta partai itu bersalin rupa. Menurut mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat DI Yogyakarta Hersri Setiawan, di mata Musso PKI ilegal melakukan beberapa kesalahan, di antaranya partai tidak berani melakukan perjuangan bersenjata dan lebih memilih politik kompromi. Partai juga dianggap tidak mengedepankan ideologi komunis. "Musso menuntut gerakan PKI direvisi," kata Hersri.

Rapat itu akhirnya memutuskan hanya perlu satu partai kiri yang legal untuk menyatukan gerakan buruh dan kaum miskin. Pada rapat FDR, 21 Agustus 1948, Politbiro PKI mengusulkan agar ketiga partai di FDR melebur menjadi satu dan menyandang nama Partai Komunis Indonesia.

Dalam korespondensinya dengan ahli politik Ben Anderson, mantan Ketua Bidang Pertahanan Pesindo Soerjono menyatakan usulan itu ditolak pemimpin Partai Buruh, seperti Asrarudin dan S.K. Trimurti. Mereka meminta Front menggelar kongres sebelum melebur menjadi PKI.

Sejumlah kader partai di FDR memang meragukan kemampuan Musso, tokoh lama yang tiba-tiba ingin mengambil alih kepemimpinan partai kiri. Sejumlah kader Pesindo dan Barisan Tani Indonesia yang semula pro-Sjahrir memilih hengkang. "Kerikil ini menyebabkan PKI baru tidak solid," kata sejarawan Rushdy Hussein.

Namun upaya penyatuan itu tak terhindarkan. Umumnya pemimpin partai kiri mempercayai Musso. Pada Kongres PKI, 27 Agustus 1948, penyatuan itu disahkan. Awal September dibentuklah kepengurusan PKI legal dengan Musso sebagai pemimpin. Kepengurusan itu menandai masuknya PKI ke kancah politik terbuka. Belum genap sebulan muncul ke permukaan, meletuslah pemberontakan Madiun yang dilakukan organ PKI pimpinan Musso. Setelah peristiwa itu, PKI kembali remuk redam.

Proklamasi Dini di Madiun

"Madiun sudah bangkit 
Revolusi sudah dikobarkan 
Kaum buruh sudah melucuti polisi dan tentara Republik 
Pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk"

MELALUI Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia, pidato Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia Soemarsono memecah keheningan pagi di Kota Madiun, Jawa Timur, pada 18 September 1948. Suasana mencekam merasuk hingga ke sudut-sudut kota. Pasukan Soemarsono menguasai semua gedung vital dan kantor pemerintahan. Mereka melucuti tentara dan polisi.

Soemarsono menyatakan gerakan itu upaya membela diri. Maraknya penculikan terhadap tokoh Partai Komunis Indonesia di Yogyakarta dan Solo telah menjalar ke Madiun. "Apalagi ketika itu berkeliaran pasukan gelap dengan lencana tengkorak," katanya dalam perbincangan dengan Tempo, Oktober lalu.

Dua hari sebelum peristiwa itu, Soemarsono bertemu dengan Musso dan Amir Sjarifoeddin di Kediri untuk melaporkan kondisi Madiun yang semakin genting. Mendapat laporan itu, Musso dan Amir kompak menjawab, "Bertindak! Lucuti saja pasukan yang menculik itu."

Menjelang siang, Madiun bergerak pulih. Seluruh kota telah berada dalam penguasaan pemuda PKI. Keadaan ini, kata Soemarsono, harus dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Namun tak satu pun pejabat Madiun yang berani melaporkan. Terjadi perdebatan sengit di antara petinggi militer PKI. "Semua saling lempar," kata Soemarsono. Samadikun, penguasa sipil tertinggi di Madiun, sedang ke luar kota dan wakilnya, Sidarto, terbaring sakit.

Komandan Teritorial Madiun Letnan Kolonel Sumantri juga menolak. Dia malah meminta Soemarsono yang mengirimkan laporan ke Yogyakarta. "Saya bukan orang pemerintah," Soemarsono menolak. Akhirnya diputuskan meminta Wali Kota Madiun, Purbo, mengirimkan laporan kepada Perdana Menteri Mohammad Hatta. Namun Purbo juga sedang terbaring sakit.

Lalu muncullah Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat. Dia mengatakan sanggup mengirimkan laporan itu. "Asalkan dengan persetujuan komandan teritorial," katanya, seperti diceritakan Soemarsono. Semua sepakat, termasuk para bupati yang telah menyatakan mendukung PKI.

Hari itu juga Supardi mengirim telegram ke Yogyakarta, menjelaskan pelucutan senjata batalion Siliwangi dan Mobrig oleh Brigade 29. Supardi juga menyampaikan keadaan Madiun aman terkendali. "Berhubung kepergian kepala daerah, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang. Minta instruksi lebih lanjut." Demikian laporan Supardi, yang menyebut dirinya wakil Pemerintahan Republik Indonesia Daerah Madiun.

Hingga menjelang petang, tak ada balasan dari Yogya. Esoknya, menjelang malam, "jawaban" itu akhirnya datang juga. Tidak lewat telegram, tapi melalui gelombang Radio Republik Indonesia di Yogyakarta. Dengan berapi-api Presiden Sukarno menyampaikan pidato menanggapi peristiwa di Madiun.

Sukarno mengatakan telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-Hatta. "Negara kita mau dihancurkan. Mari basmi bersama pengacau-pengacau itu," Sukarno berseru.

Hanya berselang tiga jam, melalui Radio Gelora Pemuda, Musso membalas pidato Sukarno. Musso menyatakan Sukarno-Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. "Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-daerah lain akan melepaskan diri dari budak-budak imperialis itu," katanya.

Musso bersama petinggi Front Demokrasi Rakyat mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah Madiun. Para pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang propemerintah, digantikan kader PKI. Musso kemudian melantik Soemarsono sebagai gubernur militer dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan pasukan PKI. Alasannya, pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan kekuatan militer. Adapun Supardi, karena dinilai berani melapor ke pemerintah pusat, diangkat menjadi residen.

FRONT Nasional Daerah Madiun menguasai lima kabupaten: Magetan, Madiun, Ponorogo, Ngawi, dan Pacitan. Hari itu bupati diganti dengan kader PKI. Wilayahnya semakin luas dengan bergabungnya Wonogiri dan Sukoharjo.

Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. "Kemudian mendirikan pemerintahan Soviet," katanya. Sejarawan Harry A. Poeze memberikan penilaian yang sama. "Itu upaya mereka menjadikan Musso sebagai presiden," katanya.

Bertahun-tahun kemudian, para tokoh PKI berkukuh menolak dituding melakukan pemberontakan di Madiun. "Alangkah mencari-carinya orang yang menuduh PKI merobohkan Republik Indonesia," kata D.N. Aidit dalam pembelaannya berjudul Menggugat Peristiwa Madiun, yang dibacakan di Sidang Dewan Perwakilan Rakyat, 11 Februari 1957. Bantahan serupa datang dari Soemarsono. Menurut dia, kalau memberontak, PKI pasti sudah melakukan penyerangan. "Ini tidak," katanya.

SITUASI Madiun-Yogyakarta terus memanas. Pada akhir September 1948, lewat Radio Gelora Pemuda, PKI membantah tudingan Hatta. Lewat Supardi, PKI meminta upaya perdamaian dengan pemerintah Sukarno-Hatta. "Karena pemerintahan lokal di Madiun merupakan bagian dari Republik Indonesia," kata Supardi, seperti dikutip dalam buku Himawan Soetanto yang berjudul Rebut Kembali Madiun.

Abdoel Moetholib, yang belakangan menggantikan Supardi, melakukan langkah yang sama. Dia mengumumkan daerah-daerah yang sebelumnya diduduki PKI telah kembali dilepaskan. Agar lebih meyakinkan, Moetholib melakukan penggantian bupati di Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.

Upaya itu sia-sia. Sukarno telanjur menunjuk Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk mengambil langkah tegas guna merebut kembali Madiun. Sepuluh batalion tentara pemerintah menyerbu Madiun. Kota yang dikelilingi pegunungan itu dikepung dari berbagai penjuru. Petinggi PKI terdesak. Pada 28 September, Musso, Amir Sjarifoeddin, dan Soemarsono hengkang meninggalkan Madiun. "Kami terjepit," kata Soemarsono.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India