Senin, 19 Mei 2008

(11) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
Penerbit: Ithaca: Cornell University Press (1973)

FEITH terpikat oleh Indonesia muda yang memilih demokrasi liberal-cita-cita yang, menurut dia, digencet dari dua sisi: militer dan "pemimpin orator". Pada Desember 1949-Maret 1957, periode politik yang ia teliti, ada dua tipe pemimpin, yakni ahli pemerintahan dan pemimpin massa.

Ahli pemerintahan, menurut Feith, berkemampuan hukum, teknis pemerintahan, dan fasih berbahasa asing. Mereka sangat mengutamakan pembangunan ekonomi serta tak menolak tenaga dan modal asing. Adapun pemimpin massa ahli membakar gelora massa, pandai memberi harapan tapi tak cakap mewujudkannya. Semakin lama, Indonesia dikuasai pemimpin massa.

Adnan Buyung Nasution, pakar hukum, menganggap Feith terlalu mencampur konsep kenegaraan dengan Soekarno dan Hatta-pasangan pemimpin massa dan ahli pemerintahan. Dulu, kata dia, Indonesia menerapkan sistem dwitunggal yang membuat kacau. Padahal demokrasi tak bergantung pada orang per orang.

(12) Dualistische Economy Penerbit: Leiden: Van Doesburgh (1930)
SELAIN sistem ekonomi "impor", yakni kapitalisme modern, di Asia berkembang sistem ekonomi tradisional. Kedua sistem ini mustahil bercampur. Boeke menganggap perlu teori ekonomi khusus untuk masyarakat yang menganut dua sistem ini.

Gumilar Rusliwa Somantri, sosiolog dari Universitas Indonesia, menilai cara pandang Boeke menarik. Tapi ia menganggap ada kesalahan persepsi bahwa sektor informal tak adaptif dengan sistem kapitalistik. Padahal kapitalisme di banyak negara di Asia adalah kapitalisme kecil.

(13) Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta (2000)
PELUKIS Soedjojono (1913-1986) menyunting setiap tulisan yang ia susun pada 1930-1945. Buku ini terbit bersamaan dengan agresi militer Belanda, ketika para seniman ikut hijrah ke Yogyakarta. Isinya berkisar tentang seni rupa dan nasionalisme.

Mia Bustam, 88 tahun, istri pertama Soedjojono, menganggap mantan suaminya "seorang nasionalis yang tak tertutup pada internasionalisme". Jim Supangkat, kurator independen, menilai Soedjojono mengangkat tema nasionalisme yang mengandung universalisme.

(14) Nationalism and Revolution in Indonesia Penerbit: Cornell University Press (1952)
KAHIN beruntung berada di Indonesia saat negeri ini muda. Sejak pertengahan 1948 hingga setahun kemudian, ia mengamati langsung pergulatan tokoh-tokoh Republik dalam menegakkan kemerdekaan. Guru besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, itu dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan Republik Indonesia ke dunia.

Kahin menulis pelopor pergerakan bangsa ialah Raden Ajeng Kartini, bukan dokter Wahidin Soedirohoesodo. Buku ini memancing polemik. Mochtar Pabottingi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai buku ini menangkap semangat bangsa menjelang 1950-an.

(15) Indonesian Political Thinking: 1945-1965 Penerbit: Ithaca, New York (1970)
FEITHh dan Castles menyimpulkan ada lima aliran pemikiran politik di Indonesia hingga 1965: Islam yang direpresentasikan Partai Nahdlatul Ulama dan Masyumi, sosial demokrasi, tradisionalisme Jawa, nasionalisme radikal yang diwakili Partai Nasionalis Indonesia, serta komunisme dengan ikonnya, Partai Komunis Indonesia. Tiga di antaranya masih bertahan hingga kini: Islam, tradisionalisme Jawa, dan nasionalis.

(16) The Religion of Java Penerbit: The University of Chicago Press, Chicago, dan The University of Chicago, Ltd., London (1960)
CLIFORD Geertz paham betul tradisi dan kebudayaan multikultural masyarakat Jawa. Sejak 1959, ia dan lima rekan penelitinya melakukan riset di sebuah kota yang disamarkannya menjadi Pare. Kota kecil di Jawa Timur ini dipilih karena menggambarkan budaya Jawa yang tidak dipengaruhi Keraton Yogyakarta dan Solo.

Masyarakat Jawa terbagi menjadi kelompok abangan, santri, dan priyayi. Penggolongan ini dikritik keras Harsya Wardana Bachtiar melalui The Religion of Java: A Commentary (1973), yang menganggap priyayi seharusnya tak masuk klasifikasi. "Tulisan Geertz tak lagi cocok dalam konteks sekarang. Masyarakat Jawa mengalami banyak perubahan," kata guru besar antropologi budaya Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra.

(17) Netherlands Indie, A Study of Plural Economy Penerbit: Cambridge: At The University Press dan New York: The Macmillan Company (1944)
INDONESIA adalah sekumpulan anggota masyarakat yang majemuk. Meski hidup berdampingan secara fisik, perbedaan sosial budaya membuat mereka terpisah dan tak tergabung dalam suatu unit politik. Efeknya, timbul perbedaan kelompok ekonomi.

Ada orang Belanda minoritas yang menjadi penguasa, masyarakat Timur asing, terutama Tionghoa, serta pribumi yang cenderung menjadi pelayan di negeri sendiri. Kelompok terakhir secara ekonomi menempati peringkat terbawah.

Menurut ekonom Revrisond Baswier, penelitian sejarawan Inggris itu masih relevan hingga kini. Transformasi ekonomi Indonesia dari zaman kerja paksa sampai sekarang lebih banyak akibat tekanan luar, katanya.

(18) Capita Selecta Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, (jilid I, 1955) dan Pustaka Pendis, Jakarta, (jilid II, 1955), (jilid I)
BUKU ini merupakan kumpulan tulisan, pidato, catatan, dan wawancara Natsir. Tulisan tokoh Masyumi itu di majalah Pandji Islam dan Al-Manar pada 1938-1942 dikumpulkan pada jilid pertama. Memakai nama samaran A. Muchlis, ia menulis kebudayaan dan filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, serta persatuan agama dan negara.

Teks pada jilid kedua lebih beragam, merupakan pidato dan wawancara Natsir dengan pers pada 1950-1955, di antaranya pidato di parlemen dan radio.

Pengamat politik Bachtiar Effendi menilai Capita Selecta mencerminkan perhatian utama Natsir terhadap Islam dan negara. "Kata-katanya merupakan perpaduan antara intelektualisme dan seni yang tinggi," katanya.

(19) Indonesia in den Pacific-Kernproblemen van den Aziatischen Penerbit: Penerbit Sinar Harapan (1937)
JURNALIS Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie memaparkan soal kekuatan, kekuasaan, dan kepentingan di Pasifik. Doktor pertama Indonesia di bidang matematika dan sains ini menganggap posisi Indonesia sangat istimewa.

Budayawan Th. Sumartana menilai Ratulangie sebagai intelektual Kristen pertama yang menghargai makna historis dan kebangkitan Islam di Indonesia. Ia menempatkan Sarikat Islam sebagai wakil kebangkitan seluruh rakyat yang tertindas.

(20) Perubahan Sosial di Yogyakarta Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1990
MENTALITAS masyarakat Yogyakarta berubah dari introvert ke extrovert setelah kota itu menjadi ibu kota Republik Indonesia pada 1946-1949. Banyak orang dari berbagai daerah memasuki kota itu, yang membuat masyarakat asli membuka diri. Di situlah muncul kesadaran bahwa pendidikan dapat menjadi jembatan kesuksesan.

(21) Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun Penerbit: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta (1973)
BERISI rangkuman ceramah, diskusi, dan wawancara, buku ini memuat pemikiran Ali Moertopo soal akselerasi pembangunan 25 tahun. Ia menganggap pembangunan dan modernisasi masyarakat seperempat abad setelah kemerdekaan belum juga maksimal.

Ali memaparkan kondisi masyarakat, kekuatan bangsa, dan strategi untuk melaksanakan pembangunan. Pembangunan, menurut dia, berarti perombakan berbagai hambatan kemajuan. Akselerasi pembangunan identik dengan percepatan modernisasi. Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadikan buku ini rujukan untuk menyusun strategi pembangunan jangka panjang.

(22) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Penerbit: Djambatan, Jakarta (1971)
BUKU yang ditulis oleh 13 orang antropolog ini berisi budaya dan adat istiadat pelbagai suku bangsa di Indonesia: Aceh, Nias, Batak, Minangkabau, Jawa, Bali, Kalimantan, Minahasa, Ambon, Flores, Timor, hingga Tionghoa.

Setiap bab menggambarkan satu suku, ditulis seorang ahli dari suku yang sama atau peneliti yang mengunjungi dan meneliti daerah itu.

(23) Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini Penerbit: Alumni, Bandung (1983)
MERUPAKAN kumpulan karangan, pernyataan, dan pidato Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Luar Negeri, buku ini dijadikan pegangan untuk menganalisis pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pergulatan Mochtar memperjuangkan keutuhan teritorial dalam konvensi hukum laut internasional tercatat dalam buku ini. Hasil perjuangan itu sampai kini menjadi sumber hukum kelautan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(24) Culture and Politics in Indonesia Penerbit: Cornell University Press, London (1972)
UPAYA mengidentifikasi jejak budaya dalam tata politik Indonesia. Para penulisnya mewakili sejumlah ahli antropologi, sejarah, dan ilmu politik. Mereka mengulas cara institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai tradisi mempengaruhi kesadaran kekuasaan. Begitu pula pemberontakan, afiliasi politik, yang pada akhirnya membentuk ekspresi budaya baru.

(25) Art in Indonesia: Continuities and Change Penerbit: Cornell University Press, New York (1967)
DALAM buku ini Claire Holt berupaya melacak kontinuitas dan diskontinuitas sejarah kebudayaan Indonesia. Ia menggunakan bahan yang amat luas, mulai data arkeologi sampai relief-relief. Buku ini terdiri atas tiga bagian: warisan, tradisi yang hidup, dan seni modern. Setiap bagian merupakan periode tersendiri dalam sejarah seni Indonesia, dari zaman prasejarah hingga seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20.

Holt (1901-1970) mampu menyajikan argumentasi, ada benang merah yang tak terlihat antara lukisan-lukisan di dinding gua di Pasemah dan lukisan Sudjojono.

(26) Science and Scientists in the Netherlands Indies Penerbit: Board for the Netherlands Indies, Surinam & Curaao, New York (1945)

INILAH buku pepak informasi ilmu alam yang dijadikan panduan ilmuwan Indonesia selepas kemerdekaan. Disusun oleh 75 kontributor, sebagian besar materi sudah pernah dipublikasikan pada 1869-1944. Bentuknya makalah ilmiah, pidato, laporan perjalanan, serta daftar institusi ilmiah dan ilmuwan di Hindia Belanda semasa pendudukan Jepang. Tak kurang dari 134 ilustrasi-foto, sketsa, diagram, dan peta-melengkapi buku ini.

(27) Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna, dan Keserasian Penerbit: Yayasan Indonesia Hijau dan Gramedia (1986)
KEKAYAAn flora dan fauna Indonesia dibahas tuntas oleh Kathy MacKinnon, ahli zoologi asal Inggris, dalam buku ini. MacKinnon menelisik keragaman alam Indonesia berdasarkan lokasinya: hutan hujan Kalimantan dan Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil, serta Papua. Habitat pinggiran semacam bukit kapur, sungai, danau, hutan bakau, tepi pantai, dan karang laut juga dibahas.

MacKinnon mendedikasikan satu bab khusus tentang hubungan manusia Indonesia dengan alamnya. Misalnya bagaimana alam membentuk suku-suku yang berbeda. Kolonialisme dianggap berpengaruh besar karena banyaknya hutan hujan yang beralih menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

(28) Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981)
MUBYARTO (1938-2005), guru besar Universitas Gadjah Mada, menggagas sistem ekonomi yang mengacu pada etika dan falsafah Pancasila. Sistem ini mengharapkan terwujudnya pemerataan ekonomi dan sosial. Ide utamanya: mendorong para pelaku ekonomi bekerja berdasarkan moral serta mekanisme yang sehat.

(29) NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Penerbit: LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
SEMULA Martin menganggap kaum tradisional sebagai penghambat modernisasi. Setelah mengkaji Nahdlatul Ulama, ia menyimpulkan organisasi "kaum tradisionalis" ini memberikan warna lain dalam proses modernisasi.

Tergambar pula perubahan haluan politik Nahdlatul Ulama: dari semula mengkritik pemerintah, melakukan rekonsiliasi dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, lalu meninggalkan politik praktis. Sifat paling menonjol dari Nahdlatul adalah sangat terdesentralisasi, yang menggambarkan kemandirian para kiai lokal.

(30) Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta (1981)
MUNAFIK, segan bertanggung jawab, berjiwa feodal, boros, dan percaya takhayul, tapi berjiwa seni tinggi. Itulah orang Indonesia yang digambarkan buku ini. Naskahnya pertama kali dibacakan Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 6 April 1977.

Mochtar memaparkan, ciri-ciri itu hasil sekian banyak persinggungan peradaban. Mochtar mengimbau rakyat Indonesia untuk terus mengelola kekayaan nasional, daripada membiarkan diri terbuai jerat kapitalisme.

(31) Catatan Subversif Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan PT Penerbit Gramedia (1987)
INI sebenarnya catatan harian Mochtar Lubis selama sembilan tahun sejak 22 Desember 1956: ketika ia dipenjarakan dan kemudian menjadi tahanan luar. Di situ digambarkan antara lain perilaku elite-elite politik zaman Soekarno dan orang-orang yang dipenjarakan rezim kala itu. Pemimpin Redaksi Indonesia Raya ini juga menulis kasus korupsi pada saat itu.

(32) Pembagian Kekuasaan Negara Penerbit: Aksara Baru (1978)
BERISI teori pembagian kekuasaan negara di Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet, serta Indonesia. Buku ini berpengaruh pada proses pembentukan tata negara Indonesia. Pemisahan kekuasaan dalam arti material tak pernah dilaksanakan di Indonesia. Yang ada adalah pemisahan formal.

(33) Laporan dari Banaran Penerbit: Sinar Harapan (1960)
MERUPAKAN memoar Jenderal Simatupang yang dicatatnya selama setahun hingga pengakuan kedaulatan RI, 27 Desember 1949. Di situ diungkapkan peran rakyat dalam perjuangan, termasuk ungkapan Jenderal Sudirman tentang " kemanunggalan rakyat dan tentara". Yang hendak ditonjolkan bukan hanya tentara yang berperan dalam perang rakyat 1945.

(34) Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin Penerjemah: Yusron Asrofie Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1983)
PROFESOR emeritus Chiba University, Jepang, ini meneliti pergerakan Muhammadiyah di Kotagede, Yogyakarta, 1900-1972. Kotagede dianggap sebagai pusat budaya Jawa yang sinkretis. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam pembaruan ternyata tak bertentangan dengan kebudayaan Jawa. Ini bertolak belakang dengan citra organisasi itu sebagai gerakan pemurnian ajaran Islam. Muhammadiyah justru dianggap terpadu dengan tradisi kejawen dalam menyaring intisari Islam.

(35) Six Decades of Science and Scientists in Indonesia Penerbit: Naturindo, Bogor (2005)
SETELAH 60 tahun Indonesia merdeka, Setijati menggagas buku penerus Science and Scientists in the Netherlands Indies. Pada 2005, berkumpullah 22 peneliti senior, kebanyakan telah pensiun, dan generasi pertama ilmuwan Indonesia. Masing-masing menyusun tulisan dalam bahasa Inggris sesuai dengan bidang keilmuannya.

Beragam topik dalam koridor ilmu alam disajikan, dari geofisika, ilmu tanah, mikrobiologi, ilmu serangga, ornitologi (ilmu burung), nutrisi, kehutanan, pendidikan perbenihan, pengembangan jurnal ilmiah, hingga sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

(37) Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1986)
INI hasil Lokakarya Nasional Etika Penelitian yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1986. Fakultas itu sebelumnya telah melansir beberapa kode etik penelitian kedokteran, tapi buku ini menjadi rujukan karena disusun dari urun rembuk fakultas kedokteran se-Indonesia.

Meski tipis, buku ini memuat panduan etika penelitian yang padat. Etika penelitian terhadap manusia dan hewan serta penggunaan jenazah diuraikan kerangkanya. Buku ini menyinggung pula etika penulisan ilmiah.

(38) A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia Penerbit: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York (1971)LEBIH dikenal sebagai "Cornell Paper", inilah sejarah Gerakan 30 September yang berlawanan dengan versi penguasa Orde Baru. Analisis diambil berdasarkan dokumen Mahkamah Militer Luar Biasa serta artikel-artikel media massa di Jakarta, Medan, Solo, Bali, dan Surabaya pada Oktober-November 1965.

Cornell Paper mengungkapkan, kejadian 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat. Partai Komunis Indonesia justru tidak mengetahui gerakan itu. Naskah yang diedarkan terbatas pada 10 Januari 1966 ini awalnya tanpa nama penyusun. Banyak dikritik karena dianggap kurang akurat, naskah itu langsung memicu perdebatan kalangan intelektual. Identitas penulis akhirnya bocor. Sejak 1968 hingga tumbangnya Orde Baru, Anderson ditolak masuk Indonesia. Pada 1971, edisi revisi naskah itu diterbitkan sebagai buku, lengkap dengan nama penyusunnya.

(39) 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976 Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1976)
DISUSUN oleh profesor-profesor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, buku ini merangkum 125 tahun perjalanan pendidikan kedokteran di Nusantara. Pijakan awalnya 1851, ketika Dokter Djawa School, sekolah dokter pertama di Indonesia, didirikan di Jakarta. Penyusun menguraikan perkembangan sekolah dokter pada masa penjajahan Belanda, Jepang, hingga 1976.

Para penulis menyinggung pula kehidupan siswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), cikal-bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ini memuat daftar lulusan pendidikan kedokteran dari zaman Belanda, daftar dokter yang gugur atau hilang semasa perang kemerdekaan, dan statistik mahasiswa kedokteran di Indonesia. l

(40) Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai Penerbit: CV Rajawali, Jakarta (1982)
BERDASARKAN penguasaan tanah sebagai alat produksi petani, Sajogyo mengelompokkan masyarakat tani sebagai petani atas, tengah, gurem, dan tunakisma. Petani gurem dan tunakisma alias buruh tani merupakan mayoritas masyarakat pedesaan. Tapi mereka tak mendapatkan perhatian politik. Akibat kritiknya, Sajogyo dicopot dari jabatan Ketua Badan Pelaksana Survei Agro-Ekonomi.

Mereka Ulang di Pengucilan

EDDY Budianto terkenang akan pengalamannya masuk Akademi Militer pada 1970. Kala itu, kampus di lereng Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah, tersebut "mengharamkan" atribut-atribut Abdul Haris Nasution. "Tak ada foto Pak Nas sama sekali," kata purnawirawan mayor jenderal itu.


Eddy, mantan Asisten Intelijen Tentara Nasional Indonesia, juga masih mengingat para taruna dulu tak pernah mendiskusikan buku-buku mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu. Ia bahkan baru membaca buku Nasution, Pokok-pokok Perang Gerilya, di Sekolah Staf dan Komando, Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat, 1992. Buku yang telah diterjemahkan menjadi Fundamentals of Guerilla Warfare itu merupakan bacaan wajib di sana.

Inilah periode awal Nasution dikucilkan dari politik Indonesia. Menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 1966, ia memimpin sidang umum yang memberhentikan Soekarno. Ia pula yang mengangkat Soeharto menjadi presiden. Namun, kemudian ia dianggap menjadi ancaman. Ia dicegah ke luar negeri. Rezim Orde Baru bahkan melarangnya hadir pada undangan-undangan pernikahan.

Pada awal "masa pengucilan" ini Nasution meneruskan misi lama yang terhenti: menulis peristiwa sejarah 1945-1949. Ia telah mengumpulkan bahan-bahannya pada 1952-1955, setelah diberhentikan dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat. Misi ini tertunda ketika Presiden Soekarno mengangkatnya kembali ke jabatan yang sama, November 1955.

Nasution menilai, hingga seperempat abad proklamasi, perjuangan kemerdekaan dikesankan "hanya berisi pidato-pidato, rapat-rapat, perundingan-perundingan diplomasi, dan resolusi-resolusi". Padahal "pokok perjuangan ialah perang rakyat semesta untuk menggagalkan kembali penjajahan". Perang gerilya, itu inti perjuangan kemerdekaan.

Sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah ketika itu menyebutkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 1949 diperoleh melalui jalan diplomasi. Begitu juga dengan penerbitan-penerbitan yang mengecilkan perjuangan bersenjata. Tak mudah bagi Nasution untuk meneruskan kembali misinya.

Begitu memimpin Angkatan Darat pada 1955, ia menyerahkan puluhan peti berisi arsip aneka peristiwa ke markas kesatuannya. Ia tak memeriksanya lagi sampai meninggalkan jabatan itu tujuh tahun kemudian. Peti-peti tersebut ternyata tak ketahuan rimbanya pada saat Nasution perlu untuk menyusun naskah.

Nasution pun merekrut para anggota staf Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat untuk bekerja bersama Moela Marboen, anggota staf pribadinya. Merekalah yang mengumpulkan arsip, membuka kliping harian di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung pada 1945-1949, sampai mengumpulkan surat-surat Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jadilah naskah Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia pada 1973, dua tahun setelah Nasution melepaskan jabatan Ketua Majelis Permusyawaratan.

***

UPACARA penyerahan kedaulatan Indonesia dilakukan 27 Desember 1949 di dua tempat. Atas nama Republik Indonesia Serikat, Perdana Menteri Hatta menerimanya dari Ratu Juliana di Amsterdam. "Kini kita tidak lagi berdiri berhadap-hadapan," kata Juliana, "melainkan berdiri sejajar, meski penuh dengan tanda-tanda luka."

Di Jakarta, Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink menyerahkan kedaulatan kepada Sultan Hamengku Buwono IX, Wakil Perdana Menteri. Ratusan ribu orang berkumpul di jalan raya dan lapangan depan Istana "Gambir". Pasukan Belanda menurunkan bendera merah-putih-biru, lalu regu Tentara Nasional Indonesia mengibarkan Merah-Putih.

Sehari kemudian, Presiden Soekarno dan rombongan terbang dari Yogyakarta, ibu kota revolusi, menuju Jakarta. Berangkat dari Pangkalan Udara Maguwo dan mereka menumpang dua pesawat udara. Tiba di Jakarta pada pukul 11.40, Soekarno disambut Hamengku Buwono. Ratusan orang bersorak gempita.

Begitulah ending 11 jilid tulisan Sekitar Perang Kemerdekaan. Pada jilid-jilid sebelumnya, Nasution memaparkan gerakan politik diplomasi yang dianggapnya justru banyak melemahkan Republik. Nasution melihat kesalahan dari awal: para pemimpin tak sigap mengambil alih kekuasaan segera setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Agustus 1945.

Anggota Pembela Tanah Air dan Heiho, pasukan terlatih pendudukan Jepang, juga tak segera dijadikan tentara nasional. "Kita melepaskan kesempatan memperoleh tentara yang lengkap guna menjamin pertahanan proklamasi, tanpa mengutamakan diplomasi saja," Nasution menulis.

Saat pendudukan Sekutu, Inggris tak mampu mempertahankan semua kota. Di Surabaya mereka kewalahan menahan gempuran, 10 November 1945. Inggris minta diplomasi, yang disetujui Soekarno. Gempuran di Surabaya dihentikan. Perundingan digelar di Semarang, Bandung, Bogor, dan Jakarta. Kesempatan menggempur Sekutu musnah.

Nasution menganggap pemerintah kemudian melalaikan Kalimantan, Indonesia Timur, dan Irian. Akibatnya, Belanda masuk ke wilayah-wilayah itu. Republik akhirnya dipaksa melepaskan wilayah-wilayah itu melalui perundingan Linggajati, Jawa Barat, 25 November 1946. "Perundingan ini memberi Belanda ruang dan tempo untuk mendatangkan dan menyusun pasukan penyerbu," kata Nasution.

Wilayah Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian dari tangan Republik setelah perundingan Linggajati. Itu karena Belanda hanya mengakui Republik Indonesia de facto di seluruh Jawa, Madura, dan Sumatera. Perundingan hanya mengatur pembentukan secara bertahap negara Indonesia Serikat, yang meliputi wilayah Hindia Belanda.

Pada periode perundingan Linggajati, Belanda merebut wilayah terpenting, seperti Sumatera Timur, Palembang yang kaya akan minyak, dan Jawa Barat. Namun, mereka tak mampu mengosongkan basis-basis gerilya. Siasat diplomasi kembali digelar: perundingan.

Kali ini digelar di USS Renville, kapal perang Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta, pada akhir 1947. Menurut Nasution, hasil perundingan ini adalah pengosongan kantong-kantong perjuangan yang sebelumnya tak dapat dicapai aksi militer Belanda. Presiden yang sudah memindahkan ibu kota ke Yogyakarta terpaksa menyerah. Pemerintahan darurat dibentuk.

Perjuangan gerilya menyelamatkan Republik. Pasukan dikirim ke wilayah-wilayah yang terlepas akibat perjanjian Renville. Instruksi dikirim ke Kalimantan, Sulawesi, juga Irian agar meneruskan gerilya. Belanda buntu dan tak mampu membasmi perang semesta itu. Mereka mundur teratur hingga bersedia menggelar Konferensi Meja Bundar. Perundingan inilah yang mengawali penyerahan kedaulatan 1949.

Andi Widjajanto, anggota staf pengajar Universitas Indonesia, menilai Sekitar Perang Kemerdekaan merekonstruksi sejarah perang kemerdekaan. Buku ini menempatkan militer dan metode perjuangan bersenjatanya di titik sentral pengakuan kedaulatan.

Rekonstruksi sejarah ini membuat militer memiliki legitimasi sejarah sebagai "guardian of state" yang berperan penting membentuk negara-bangsa. Legitimasi sejarah pula yang dipakai secara sistematis oleh Nasution dan Angkatan Darat untuk mengembangkan gagasan kelompok fungsional (1957), jalan tengah (1958), hingga akhirnya tercipta doktrin dwifungsi.

Tanpa legitimasi sejarah, menurut Andi, prinsip "hak waris" militer atas pembentukan negara-bangsa tak akan muncul. "Intervensi militer dalam politik dengan demikian juga tidak terjadi," kata peneliti Center for East Asian Cooperation Studies itu.

Perjalanan sejarah mencatat Nasution sebagai figur yang dipuji sekaligus dicaci. Konsep dwifungsi, yang awalnya hanya pelibatan militer terbatas untuk mengisi kekosongan di pemerintah, membawa tentara jauh merasuk ke kehidupan bangsa. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menganggap dwifungsi membuat Tentara Nasional Indonesia memainkan peran ganda yang sangat represif dan eksesif di masa Orde Baru.

Konsep Nasution itu yang dimanfaatkan seluas-luasnya oleh rezim Soeharto. Ironisnya, sang "aktor intelektual" justru dikucilkan hampir sepanjang Orde Baru. Nasution menjadi paria di rezim yang ikut ia lahirkan.

(10) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Penulis: A.H. Nasution Penerbit: Dinas Sejarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa, Bandung, 1977, 11 jilid

Logika Si Misterius

LELAKI berwajah tirus itu memiliki banyak nama alias: Ong Soong Lee, Elias Fuentes, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun Tat, Eliseo Rivera, dan Howard Law. Tentu bukan tanpa sebab bila Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka melakukan penyamaran. Nama-nama itu merupakan tameng pria kelahiran 2 Juni 1896 ini dari kejaran intel kolonial yang selalu memburunya.

Dia juga kerap hidup berpindah tempat. Tidak mengherankan jika tak banyak orang mengenalnya secara dekat. Kisah tentang pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, itu pun kerap bercampur antara mitos dan fakta. Tak ubahnya cerita legenda yang banyak beredar di berbagai pelosok Tanah Air.

Kendati kisah hidupnya menyimpan banyak misteri, tidak dengan karya intelektualnya. Sejak terjun ke dunia politik pada 1921 hingga kematiannya yang misterius pada 19 Februari 1949, sudah beberapa buku lahir dari tangannya, di antaranya Menuju Republik Indonesia (1925), Massa Actie (1926), Madilog (1943), dan Dari Penjara ke Penjara (1948).

Menuju Republik Indonesia ditulis Tan Malaka saat berada di pembuangan dan menjadi salah seorang agen Komintern di Kanton, Cina. Ia menuangkan pemikirannya tentang program politik, ekonomi, sosial, dan militer yang diperlukan untuk memerdekakan Indonesia. Dalam Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka menuangkan pandangan dan perjalanan hidupnya. Berawal dari kepulangannya dari sekolah di Belanda sampai penangkapan dirinya di Madiun, 1948.

Dari empat buku itu, Materialisme-Dialektika-Logika (Madilog) dianggap menempati posisi istimewa. "Madilog memang merupakan karya terbaik Tan Malaka. Paling orisinal, berbobot, dan brilian," tulis peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Alfian (almarhum), dalam kata pengantar buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 karya Harry A. Poeze.

Madilog ditulis di sebuah rumah berdinding bilik bambu yang sudah reyot di Rawajati, Cililitan, Jakarta Timur. Penulisannya makan waktu kurang-lebih delapan bulan sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943. Dalam buku Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian (LP3ES, 1988), Dr Alfian menyatakan, meski Tan Malaka kerap memakai terminologi Marxis-Leninis, yang ditekankannya adalah "kekuatan ide sebagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dari pertentangan kelas".

Sementara Massa Actie merupakan kritik atas kegagalan pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926-1927, Madilog merupakan refleksi atas nasib buruk bangsa Indonesia yang dinilainya tak pernah keluar dari belenggu perbudakan. Sebelum diperbudak penjajah, bangsa ini juga diperbudak sistem feodal. Feodalisme ini yang menyebabkan orang takut atau malas berpikir dan mudah menyerah.

Untuk keluar dari krisis, Tan Malaka menawarkan perubahan mental dengan mengembangkan pola pikir baru yang diperkenalkannya dengan formula materialisme-dialektika-logika. "Inti Madilog adalah mengajarkan cara berpikir logis," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam.

Buku yang tergolong berat bagi orang awam itu amat mempengaruhi aktivis Partai Musyawarah Rakyat Banyak alias Murba yang didirikan Tan Malaka pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Bahkan pengaruh buku yang ditulis pada 1943 itu masih terasa berpuluh-puluh tahun sesudahnya.

Bagi Andi Irawan, aktivis mahasiswa Surabaya pada 1990-an, Madilog cukup populer di kalangan aktivis, meski tak semua bisa mendapatkan buku itu, apalagi membacanya. "Kami mendapatkannya dalam bentuk fotokopian. Diterimanya pun dengan sembunyi-sembunyi seperti orang bertransaksi narkoba," ujarnya.

Pada 1990-an, kata Tri Agus Siswomihardjo, popularitas buku Tan Malaka di kalangan aktivis lebih-kurang sama dengan karya-karya sastrawan kiri Pramoedya Ananta Toer dan karya pemikir pendidikan bagi kaum tertindas, seperti Ivan Illich dan Paolo Freire. "Tan Malaka populer karena aksi dan pemikirannya dinilai lebih progresif dibanding tokoh pergerakan di masanya," kata bekas editor majalah Kabar dari PIJAR ini.

(8) Dari Pendjara ke Pendjara Terbit: 1948
(9) Madilog Terbit: 1943

Membongkar Mitos Konstituante

SAAT Orde Baru di puncak kekuasaan, pemikiran politik yang bertentangan dengan arus besar ide Orde adalah sesuatu yang sensitif. Perdebatan menyangkut konstitusi, yang melawan tafsir resmi, misalnya, bisa menjadi hal gawat. Mereka yang berpendapat berseberangan dengan Orde Baru bisa dituding subversif dan masuk bui. Orde Baru menafsir sejarah dari kepentingan mereka sendiri. Mitos politik pun dimunculkan untuk melanggengkan dan membenarkan sistem politik yang mereka anut.

Salah satu mitos yang diciptakan Orde Baru adalah perihal kegagalan Konstituante pada 1959. Keluarnya dekrit Presiden Soekarno yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu disebut sebagai gagalnya demokrasi parlementer. Peristiwa itu lantas dikenang sebagai keampuhan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatasi perbedaan. Karena ringkas, Undang-Undang Dasar 1945 dianggap supel.

Adnan Buyung Nasution mencoba mematahkan "mitos" kegagalan Konstituante-lembaga yang anggotanya dipilih dalam pemilihan umum paling demokratis pada 1955. Pengacara yang juga pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini memilih tema Konstituante lantaran didorong pengalamannya membela rakyat kecil. "Mengapa setelah merdeka lebih dari 40 tahun, begitu banyak rakyat Indonesia masih menderita akibat penindasan, kesewenang-wenangan, dan penghinaan. Mengapa hak-hak rakyat Indonesia untuk turut memerintah negaranya terus diingkari," kata Buyung dalam pengantar buku itu.

Pada buku yang diterjemahkan dari disertasi doktornya di Universitas Utrecht, Belanda, pada 1992 itu, Buyung menunjukkan bahwa aspirasi konstitusi, yang ditandai dengan pembatasan kekuasaan eksekutif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, sudah berkembang di Konstituante. Bahkan hak-hak dasar manusia dalam rancangan Undang-Undang Dasar baru lebih lengkap ketimbang Universal Declaration of Human Right pada 1945. Majelis yang bersidang di Bandung tersebut gagal, kata Buyung, justru karena tekanan dari luar, terutama tentara, yang tak sudi kehilangan kekuasaannya.

Menurut Nurcholis Madjid, meski karya Buyung ini tak menggugat Pancasila sebagai dasar negara, telah memberi sumbangan terbesar dalam menggugah semangat dasar konstitusi. Terutama, kata Cak Nur, dalam soal hak asasi manusia. ''Dasar negara seharusnya dibahas terbuka dan dikembangkan secara dinamis,'' kata Nurcholish ketika mengulas buku Buyung pada 1995.

Menurut pakar hukum tata negara Sri Soemantri, Buyung menegaskan "semangat konstitusionalisme" yang sebenarnya sudah bersemayam dalam diri anggota Konstituante. "Tapi kemajuan itu dibungkam."

Pembongkar mitos "kegagalan" Konstituante yang lain adalah Marsillam Simanjuntak. Aktivis 1966 ini menerbitkan buku, dari skripsi sarjana hukumnya pada 1989, berjudul Pandangan Negara Integralistik, Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 45 (Pustaka Utama Grafiti, 1997). Buku setebal 284 halaman ini berisi "tangkisan" terhadap gagasan negara integralistik, konsep yang kerap dipakai Orde Baru dalam penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Menurut Marsillam, konsep negara integralistik sendiri, sekalipun sempat dinyatakan oleh Soepomo di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, telah ditolak dan sama sekali tidak termuat naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain, istilah negara integralistik telah "diselundupkan" dalam memori kolektif bangsa seolah-olah demikian adanya bentuk negara yang diidamkan saat itu. "Penulisan itu didorong semangat untuk menangkis anggapan bahwa kedaulatan berada di tangan negara," kata Marsillam.

Dua buku tersebut memang tidak berpengaruh kuat dalam praktek konstitusi. Namun, betapapun sumbangannya, kata Sri Soemantri, tetap penting. "Kedua karya tersebut berjasa meluruskan anggapan yang keliru dalam praktek konstitusi di masa itu," kata Soemantri.

(6) Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 Pengarang: Adnan Buyung Nasution Penerbit: Grafiti Pers Tahun terbit: 1995
LAGU KHAYAL MERDEKA

TAN Malaka duduk dengan satu manuskrip tergeletak di pahanya, di bangsal yang tersembunyi, di Geylang Serai, Singapura. Saat itu pagi hari, Juni 1926. Keningnya berkilat keringat. "Dia baru saja berlatih senam, kegiatan rutin setiap pukul lima pagi," tulis Harry A. Poeze, biografer Tan Malaka, dalam bukunya Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945.

Duduk di atas veldbed, Tan menulis brosur dalam bahasa Belanda bertajuk Massa Actie in Indonesia. Dia ketua Komintern untuk Asia, dan legendanya dibangun dari penjara ke penjara, dari negeri ke negeri. Sejak 1921, dia menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia, menggantikan Semaun. Karena dianggap berbahaya bagi penguasa kolonial, dia ditangkap Belanda, lalu diusir dari Nusantara. Dia merantau dari negeri ke negeri, sebelum singgah di Singapura.

Di negeri itulah Tan merampungkan Massa Actie, karya yang diakui memberikan visi revolusioner bagi kemerdekaan Indonesia. Subakat, tokoh komunis dan tangan kanannya di Negeri Singa, lalu menerjemahkan brosur itu ke dalam bahasa Indonesia. Tan harus bergegas dan tulisannya itu mesti segera sampai ke tangan kaum komunis di Tanah Air.

Sebelumnya, pada 25 Desember 1925, sejumlah tokoh Partai Komunis Indonesia menggelar rapat rahasia di Prambanan, Yogyakarta. Mereka akan memberontak pada 1 Mei 1926. Rute aksi sudah ditetapkan. Mulanya, Sumatera akan berontak. Lalu diikuti Jawa. Jika rencana pertama gagal, aksi berikutnya harus terjadi, selambatnya dua bulan berikutnya.

Tan mendapat laporan rencana Prambanan itu dari tokoh Komite Sentral Partai Komunis Indonesia, Alimin, saat mereka bertemu di Manila. Tan menolak rencana itu. Revolusi, kata dia, tidak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa, para pengikut revolusi. Singkat kata, rencana itu "tidak matang", secara teori dan praktek.

Memang, aksi boikot dan demonstrasi kecil-kecilan menentang Belanda lagi ramai pada waktu itu. Bagi Tan, kegiatan itu masih sebatas pemanasan, satu gerak rutin, seperti senam pagi. Artinya, otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. "Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak," tulisnya dalam Massa Actie. Dia mau bilang, revolusi adalah hasil dari kematangan para aktor, dan juga kondisi sejarah.

Alimin tidak membantah. Pemberontakan memang tak meletus seperti tanggal ditetapkan. Tapi Alimin diam-diam menyimpan rencana itu. Di Tanah Air, pro-kontra pun meruyak. Di Jawa, mayoritas pemimpin komunis mendukung revolusi Prambanan. Akhir 1926, kota-kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah bergerak. Pemberontakan bahkan merembet ke suatu nagari di Sumatera Barat: Silungkang, 1927.

Di Sumatera Barat, partai proletar itu terbelah dua. "Kubu Padang condong ke Komite Sentral, sementara Padang Panjang taat kepada Tan Malaka," tulis sejarawan Mestika Zed dalam Pemberontakan Komunis Silungkang 1927. Seperti ramalan Tan, semua pergolakan itu cepat layu. Belanda bahkan menggulung pengikut komunis di Jawa dan Sumatera. Para pemimpinnya ditangkap. Ada yang dibuang ke Digul. Partai Komunis Indonesia pun lumpuh.

Konflik Tan dengan para kameradnya di Tanah Air juga kian tajam. Ujungnya, dia keluar dari Partai Komunis Indonesia. Bersama Subakat dan Djamaluddin Tamim, Tan mendirikan partai baru: Partai Republik Indonesia. Partai itu berdiri di Bangkok, Juni 1927. Dia menyamar sebagai Haji Ibrahim, dan berdiam di Chiang Mai.

Tan memang bermimpi tentang republik, suatu gagasan politik yang dibayangkannya muncul setelah kehancuran kolonialisme di Tanah Air. Lebih jauh, dia memimpikan Indonesia, lewat bukunya Naar de Republiek Indonesia. Risalah itu sebetulnya dibuat sebagai pedoman aksi komunis, seperti halnya pamflet Semangat Moeda. Sayangnya, Massa Actie tak dapat menolong pemberontakan yang gagal itu. Brosur itu terlambat keluar dari percetakan.

Namun tulisan itu toh tetap beredar. Tidak hanya di kalangan komunis, tapi juga nasionalis. "Segala sesuatu yang ada akan musnah", tulis Tan Malaka, mengutip Mephistopheles, sebagai kata pembuka Massa Actie. Dia sedang menyuntikkan radikalisme dalam dosis tinggi. Tan mulai mengupas arti revolusi dalam sejarah. Masyarakat feodal digantikan kapitalis. Belakangan berganti lagi jadi sosialis, pada Revolusi Oktober di Rusia, 1917.

Pada masa yang riuh itu, Massa Actie lebih dari sekadar brosur. Ia juga pedoman aksi bagi kemerdekaan. Indonesia, kata Tan, adalah titik terlemah dari rantai kolonialisme di Asia. Di sana, tak tumbuh kelas menengah, yang bisa menjadi sekutu kekuasaan Belanda. Karena itu, aksi parlementer adalah jalan mustahil. Kemerdekaan hanya mungkin tercapai lewat kekuatan-kekuatan revolusioner. Oleh aksi massa, untuk dan dari massa.

Dia mengkritik kelompok intelektual, "yang tak punya akar di kalangan massa". Mereka harus keluar dari bilik studi, kata Tan, untuk memperlihatkan kesadaran revolusioner lewat aksi nyata. Dia menyerukan adanya gelombang pemogokan, boikot, dan demonstrasi, yang kian luas melalui kesatuan nasional dan menuju "Federasi Republik Indonesia". "Inilah jalannya, tidak ada jalan lain," tulis Tan dalam karyanya itu.

Brosur itu segera ditelan oleh lingkaran diskusi di Jakarta dan Bandung. Visi tentang republik mulai kental. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari tulisan Tan Malaka itu. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Tak aneh jika isi buku itu juga menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat, saat diadili penguasa Belanda di Bandung.

Massa Actie sebetulnya dokumen strategi dan taktik membangun gerakan revolusioner. Dia mengecam kebebalan organisasi tradisional dan menyerukan adanya partai revolusioner untuk merebut kemerdekaan. Tan mengkritik Boedi Oetomo dan National Indische Partij, yang menurut dia tak memberikan basis bagi tumbuhnya kekuatan revolusioner. Juga Sarekat Islam.

Boedi Oetomo dinilai partai berwatak regional, apolitis, rasial, dan hanya bergiat untuk satu kebudayaan mati (Hindu Jawa). National Indische Partij hancur karena pertentangan antara bangsa Indo-Eropa dan bangsa Indonesia. Sedangkan Sarekat Islam adalah campuran Islam, reformisme, sentimen, dan demagogi rasial dalam satu organisasi dan pemimpin yang buruk. Semua itu menjadikan aksi massa sebagai hal yang sulit.

Tapi kritiknya buat "Indonesische Studieclub", himpunan kaum intelektual Indonesia, sangat hati-hati. Seperti halnya Tan, kelompok itu berjuang di garis nonkooperasi. Tapi, kata Tan, kelompok itu harus mengangkat program perjuangan buruh dan memasukkan aksi ekonomi sebagai taktik perjuangan. Dengan begitu, kelompok studi itu dihadapkan pada tiga pilihan: bekerja sama dengan imperialisme Belanda, mengikuti Boedi Oetomo, atau berjuang bersama rakyat merebut kemerdekaan. "Politik sama tengah, liberal, bagi Studieclub berarti politik mati," tulis Tan Malaka.

Mungkin karena diilhami Massa Actie pula para pemuda mulai berpikir tentang Indonesia sebagai kesatuan nation. Dua aktivis pelajar, Ketua Indonesische Studieclub Maruto Nitimihardjo dan Sugondo Djojopuspito, lalu menggelar Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Sebelum pertemuan pada hari terakhir, Mohammad Yamin datang menggandeng seorang pemuda bertubuh ceking, berwajah tirus. Dialah Wage Rudolf Supratman.

"W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu," ujar Hadidjojo Nitimihardjo, putra kelima Maruto Nitimihardjo, kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Supratman memang menulis lagu setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, bab bertajuk "Khayal Seorang Revolusioner". Di situ Tan antara lain menulis, "Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya."

Pada saat itu, Yamin memaksa Sugondo memberikan waktu bagi Supratman memainkan lagu ciptaannya di depan forum. Lalu bergemalah lagu Indonesia Raya. Semua bersemangat. "Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku...." Semua bermimpi, kelak kata "mulia" dalam lirik "Indonesch-Indonesch, Mulia-Mulia" akan berganti dengan kata "merdeka".

(6)  Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
      Penerbit: Grafiti Pers Tahun terbit: 1995

(7) Massa Actie in Indonesia Terbit: Desember 1926 (Singapura), 1947 (Jakarta), 1986 (Yayasan Massa, Jakarta)

Kontroversi Buku Yamin

SEBUAH pertemuan kecil digelar di Istana Negara. Hari itu, 29 Mei 1995, Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono bersama satu tim kecil penyusun buku datang menghadap Presiden Soeharto. Di antara rombongan ada sejarawan Taufik Abdullah, A.B. Kusuma, dan Nannie Hudawati. "Tim buku" itu dipimpin Syafroedin Bahar, pejabat Sekretariat Negara yang belakangan pernah menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Mereka datang untuk menyerahkan sebuah buku yang selama 50 tahun-bahkan hingga kini-belum lengkap, yakni Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan terbitan Sekretariat Negara, edisi ketiga. Buku tersebut merevisi buku karya Mohammad Yamin yang terbit pada 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I. "Buku itu edisi terakhir yang paling lengkap, meski belum sempurna," kata Taufik Abdullah.

Tim perlu melapor kepada Soeharto karena pada edisi tersebut ada tambahan penting, yakni dua arsip, yang kemudian dikenal sebagai "Koleksi Pringgodigdo". Dokumen ini merupakan kumpulan catatan dua bersaudara anggota Badan Penyelidik: Abdoel Karim Pringgodigdo dan Abdoel Gafar Pringgodigdo. Berkat dua naskah tambahan itulah sejumlah koreksi atas naskah Yamin bisa dilakukan. "Bisa dibilang bagian perdebatan sudah lengkap," kata Taufik, yang mendapat tugas membuat kata pengantar. Perdebatan para pendiri negara adalah salah satu bagian rapat Badan Penyelidik.

Koleksi Abdoel Karim Pringgodigdo semula berada di Yogyakarta. Naskah itu dirampas saat tentara Belanda menduduki Kota Gudeg tersebut pada 19 Desember 1948. Naskah ini kemudian "terbang" ke Belanda dan disimpan oleh Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie pada Algemeene Rijksarchief di Den Haag. Pada awal 1994, satu salinan bundel naskah tersebut diberikan kepada pemerintah Indonesia dan disimpan di Arsip Nasional. Keberadaan naskah tersebut diketahui berkat informasi sejarawan Belanda, Dr R.J. Drooglever.
Adapun risalah Abdoel Gafar (disebut juga sebagai "Koleksi Yamin") ditemukan petugas Arsip Nasional di perpustakaan Rekso Pustoko milik Puri Mangkunegaran, Solo. Risalah tersebut berada di keraton karena dibawa Retno Satuti, janda Rahadian Yamin, putra tunggal Mohammad Yamin, yang menjadi menantu Mangkoenagoro VIII. Bundel tersebut secara tak sengaja ditemukan seorang petugas Arsip Nasional pada 1989 saat diminta menata buku-buku dan arsip keraton. Jumlah dokumen risalah itu cukup banyak. Jika dijajarkan, kabarnya, panjangnya mencapai 11 meter.

Banyak memang muncul pertanyaan, bagaimana bisa risalah A.G. Pringgodigdo "jatuh" ke tangan Yamin. Dosen dan peneliti sejarah Universitas Indonesia, A.B. Kusuma, menduga risalah itu sengaja "disimpan" oleh Yamin. Semula, kata Kusuma, Pringgodigdo meminjamkan risalah itu kepada Profesor Dr A. Toynbee, ahli sejarah asal Inggris, yang ingin menyusun buku sejarah kemerdekaan Indonesia.

Setelah selesai, Toynbee bermaksud mengembalikannya ke Indonesia. Kebetulan waktu itu Yamin berkunjung ke London. Toynbee pun menitipkan notula tersebut. "Yamin tak pernah mengembalikan kepada Pringgodigdo. Ia memakainya sebagai bahan naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945," kata pria 73 tahun ini.

Isi kedua risalah tersebut secara keseluruhan hampir sama, yakni catatan rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 pada 11 Juli 1945. Khusus dalam risalah Abdoel Karim, ada catatan lengkap nama-nama anggota Badan Penyelidik yang berpidato serta lamanya pidato mereka pada 29-31 Mei 1945, yang selama ini dianggap misterius.
***

USAHA merekam "atmosfer" rapat para pendiri negara sepanjang 40 hari di masa-masa awal pendirian negara jelas bukan perkara gampang. Dokumen menyangkut peran masing-masing tokoh sukar dikumpulkan.

Titik penting pembentukan negara Indonesia terjadi saat Jepang pada 29 April 1945 membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Lembaga yang saat itu biasa disebut "Badan Penyelidik" ini terdiri atas 62 anggota inti tokoh kalangan Indonesia plus 8 orang Jepang sebagai anggota istimewa. Badan ini diketuai Dr Radjiman Wedyodiningrat, dengan wakil ketua Ichibangase Yosio dan Panji Soeroso. Di luar anggota Badan Penyelidik, ada Badan Tata Usaha yang beranggotakan 60 orang. Badan ini dipimpin oleh R.P. Soeroso dengan wakilnya, Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (Jepang).

Badan Penyelidik mulai bersidang pada 29 Mei 1945 di gedung Cuo Sangi-in atau Dewan Pertimbangan Pusat di Jalan Pejambon, Jakarta. Sidang itu dibagi dua termin. Sidang pertama berlangsung lima hari, pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Yang dibahas dalam sesi tersebut adalah dasar negara, sebuah sesi penting karena di situlah kala itu dibahas "Pancasila", yang belakangan hari penuh kontroversi. Rapat ini diikuti semua anggota Badan Penyelidik.

Sidang kedua berlangsung pada 10-17 Juli 1945, membahas bentuk dan wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan undang-undang dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Pada termin ini, anggota Badan Penyelidik dipilah-pilah menjadi Panitia Perancang Undang-Undang Dasar dengan ketua Soekarno, Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso, serta Panitia Ekonomi dan Keuangan dengan ketua Mohammad Hatta.

Di antara dua sidang resmi itu, berlangsung pula sidang tak resmi yang dihadiri 38 orang. Sidang yang dipimpin Bung Karno ini membahas rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian dibahas pada sidang resmi kedua 10-17 Juli 1945. Setelah Badan Penyelidik merampungkan tugasnya, pada 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Panitia baru bersidang pada 18-22 Agustus 1945 atau sehari setelah proklamasi, yang antara lain berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama RI serta mengesahkan UUD 1945.

Adapun buku Yamin berisi kumpulan salinan stenografi dua kali sidang Badan Penyelidik plus laporan sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau Dokuritsu Junbi Iinkai pada 18-19 Agustus 1945 tersebut. Di luar hal itu, ada juga terlampir dokumen sekitar rencana pelaksanaan demokrasi terpimpin dan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada 1959.
***
SERI buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Yamin ini sejak diterbitkan telah menyulut sejumlah kontroversi. Kritik keras atas buku tersebut, terutama jilid I, datang dari Mohammad Hatta. Mantan anggota Badan Penyelidik dan wakil presiden pertama itu menyebut Yamin licik. "Karena pidato Hatta di depan sidang Badan Penyelidik tidak dimuat oleh Yamin," kata Taufik Abdullah. Menurut sejarawan ini, naskah pidato Hatta pun sampai sekarang tidak ditemukan.

Selain itu, kata Taufik, Yamin mengesankan dirinya, dalam bukunya tersebut, sebagai penyusun tunggal UUD 1945. Hatta menganggap Yamin dengan sengaja mengaburkan fakta sejarah karena memoles notula rapat Badan Penyelidik dan hanya mencuplik bagian-bagian yang menonjolkan posisinya. "Buku Yamin harus kita baca secara kritis," ujar Sri Soemantri, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran. Apalagi, kata Sri, karya Yamin selama bertahun-tahun tidak memiliki pembanding.

Sejarah memang rawan dimanipulasi. Ini juga pernah terjadi pada awal 1981, ketika sejarawan Nugroho Notosusanto meluncurkan bukunya, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara. Dalam buku setebal 68 halaman yang diterbitkan Balai Pustaka tersebut, Nugroho menyatakan Pancasila dirumuskan bersama antara Bung Karno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Menurut mantan Rektor Universitas Indonesia tersebut, 1 Juni hanyalah hari lahir Pancasila versi Bung Karno.

"Penemuan" Nugroho ini mendapat kecaman hebat. Sejarawan Abdulrachman Surjomihardjo saat itu menyatakan kesimpulan Nugroho itu cuma pamflet politik. Ini terkait dengan posisi Nugroho yang kerap melakukan pembenaran atas setiap kejadian sejarah yang melibatkan Soeharto. Sumber Nugroho dalam melakukan penelitian itu adalah buku Yamin.

(5) Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Pengarang: Profesor Mr H Mohammad Yamin Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959; jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960

Gugatan dari Kaleng Rombeng

BAGI Soekarno, kaleng rombeng berbau pesing adalah alat buang hajat sekaligus sarana menuangkan pikiran. Di penjara Banceuy, Bandung, 1930, tiap malam lelaki itu menjadikan kaleng itu sebagai meja sekaligus tadah buang hajat. Jika pagi tiba, ketika ia diizinkan meninggalkan sel, dibawanya kaleng itu ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah itu, dengan dilapisi beberapa lembar kertas, ia pakai lagi sebagai meja untuk menulis.


Hampir setahun di Banceuy, berlembar-lembar tulisan lahir di atas kaleng pesing itu. Salah satunya adalah pembelaan yang kemudian disebut "Indonesia Menggugat".

Dalam pleidoinya itu, Soekarno berbicara tentang penderitaan rakyat setelah tiga setengah abad dihisap koloni Belanda. Ia juga berbicara mengenai pendirian Partai Nasional Indonesia dan pergerakan yang dipercayainya dapat membebaskan Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme.

Bahasanya lugas, tapi nadanya menyala-nyala. Ketika membacanya dalam 19 kali persidangan di Jalan Landraad, Bandung, gedung itu sesak oleh manusia. Naskah itu bahkan sempat diterbitkan dalam selusin bahasa di dataran Eropa.

Soekarno ditahan setelah ditangkap di Yogyakarta, ketika akan mengikuti pertemuan politik partainya di Solo. Hari itu, pagi 29 Desember 1929, setengah lusin polisi Indonesia yang dipimpin inspektur Belanda mencokoknya atas nama Sri Ratu. Ditahan semalam di penjara Mergangsan, Yogyakarta, Soekarno dan dua kawannya dibawa ke Banceuy, bui Bandung-penjara tingkat rendah, kotor, dan berbau.

Divonis empat tahun penjara, Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Gubernur Jenderal De Graeff saat itu agaknya tak tahan atas kritik pedas terhadap putusan membui Soekarno. Tapi tiga tahun kemudian Soekarno ditangkap lagi dan diasingkan ke Ende dan Bengkulu.

***

BANDUNG adalah tempat Soekarno muda membuat sejarahnya. Semula, ia hanya berniat kuliah di Bandoeng Technische Hoogeschool-sekarang Institut Teknologi Bandung-mengambil jurusan arsitektur. Tapi pergulatan batin dan pertemuannya dengan para tokoh di kota itu membuat Soekarno, setelah lulus pada 1926, berbelok ke jalur politik. Sebelumnya ia pernah mendirikan biro konsultan meski mandek karena tak ia urus.

Saat itu Soekarno sudah mendirikan Algemeene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yang didirikannya bersama Mr Iskak, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr Boediardjo, dan Mr Soenarjo, pada 1927.

Kegiatan klub itu adalah mendiskusikan bacaan, terutama buku-buku "babon" berbahasa Belanda yang dipinjam dari perpustakaan. Bergantian mereka membacanya lalu berdiskusi dan membuat tulisan.

Saat itu usia Soekarno baru 25 tahun. Ketika kawan-kawan seusianya sibuk bertemu kekasih, Soekarno memilih tenggelam dalam Das Kapital. "Aku ingin menyelam, menyelam dalam dan lebih dalam lagi," katanya dalam buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Klub ini lalu kebanjiran peminat dan tumbuh menjamur di berbagai kota. Belakangan Soekarno dan kawan-kawan pada 1926 menerbitkan majalah Suluh Indonesia sebagai sarana mensosialisasikan pikiran mereka.

Artikel pertama ditulis oleh Soekarno sendiri. Judulnya, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Isinya tentang konflik antara Serikat Islam Putih pimpinan Agus Salim dan Serikat Islam Merah (Sarekat Rakyat) pimpinan Semaun dkk.

Soekarno melihat, pertikaian politik antarkelompok justru menghambat perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda. "Tetapi kita yakin, bahwa dengan terang-benderang menunjukkan, kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin Indonesia semuanya insaf, persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan," demikian Soekarno menulis.

Sikap politik Soekarno muda terbangun di rumah pendiri Syarikat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto-kawan karib ayah Karno di Surabaya.

Soekarno muda dititipkan di rumah tokoh pergerakan Islam itu, ketika saat masuk Hoogere Burger School (HBS). Di rumah inilah ia dapat berkenalan dengan tokoh Pergerakan Nasional seperti Wahidin Soedirohusodo dan Soetomo. Juga para tokoh Islam seperti Agoes Salim, Abdoel Moeis, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj'ari, dan A. Hassan, seorang tokoh Persis Bandung yang belakangan menjadi kawan korespondensinya yang termasyhur.

Di rumah Tjokro pula, Soekarno berkenalan dengan tokoh dari Marxisme dan sosialisme, seperti Alimin, Semaun Darsono, dan Tan Malaka. Tiga terakhir awalnya adalah pengurus Sarekat Islam kemudian memisahkan diri untuk bergabung dengan kelompok Marxis. Mereka selanjutnya mendirikan Partai Komunis Indonesia pada 1920, sementara Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Partai Nasionalis Indonesia di Bandung, 1927.

Pada lahirnya Partai Nasionalis Indonesia, Soekarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun propaganda politik. Ia tak hanya turun ke daerah, menggalang dukungan, tapi juga menerbitkan majalah Persatuan Indonesia pada 1928 sebagai ajang propanda. Majalah Fikiran Rakjat diterbitkan pada 1932 ketika Partai Nasionalis Indonesia pecah menjadi Partindo.

***

PENJARA, pengasingan di Ende dan Bengkulu, adalah tempat Soekarno lebih merenungi soal Islam. Penjara Sukamiskin, misalnya, melarang buku politik dan surat kabar masuk ke sel Soekarno. Sepanjang masa di penjara itu, satu-satunya hiburan Soekarno adalah belajar tentang agama dan menulis.

Penjara sesungguhnya memang di Ende, kampung nelayan di Flores, Nusa Tenggara Timur. Empat tahun lamanya, ia menjalani politik pengasingan akibat aktivitas politik nonkoperasi melalui Partindo.

Di pulau itulah, Soekarno menghabiskan waktu dengan membaca buku Islam. Renungan-renungannya tentang Islam muncul dalam suasana intens, terutama surat-menyurat pribadi yang dikirimkannya kepada A. Hassan. Surat-surat itu kelak masyhur disebut sebagai "Surat-surat dari Ende".

Pernah Soekarno menulis soal tabir atau hijab yang memisahkan perempuan dan laki-laki. Ia juga dengan cemerlang menulis tentang donor darah. Juga menjawab tudingan bahwa ia anggota Ahmadiyah.

Yang menarik, meski tak meyakini Ahmadiyah, ia tak menyinggung perlu-tidaknya Ahmadiyah hidup di bumi Indonesia. Tidak juga menuduhnya aliran sesat. Juga tidak merasa Islam yang dianutnya yang paling benar.

Di Ende dan Bengkulu, selain surat-suratnya ke A. Hassan dan artikelnya yang termashyur di Panji Islam, Soekarno meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama. Beberapa di antaranya dipentaskan selama ia berada di Ende. Namun "temuan" penting sesungguhnya adalah konsepsinya yang kelak dinamai Pancasila.

***

DARI seluruh masa Soekarno muda, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menilai periode 1926-1930 adalah puncak kreativitas pemikiran Soekarno akan nasionalisme dan sikap kerasnya menentang kolonialisme. Juga kegandrungannya pada persatuan. Karakter Soekarno sebagai pemersatu dan aktivis anti-imperialis yang militan terlihat jelas di era ini. Begitu pula era sesudahnya hingga menjelang kemerdekaan, 1945. "Selama masa itulah, kita dengan mudah mengenal siapa sesungguhnya Soekarno," kata Eros Djarot, salah seorang politikus nasionalis.

Boleh jadi, karena itu pula, Di Bawah Bendera Revolusi jilid I menjadi karya Soekarno yang paling populer. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh sebuah panitia penerbitan resmi dari Departemen Penerangan yang dipimpin Mualiff Nasution, 17 Agustus 1959. Tebal 650 halaman, berisi 61 tulisan Soekarno antara 1926 dan 1941.

Menurut Asvi, butuh lima tahun bagi panitia itu untuk bekerja mengumpulkan tulisan yang tersebar di mana-mana. Semuanya masih dalam ejaan lama. Kabarnya, Soekarno sendiri yang membubuhkan judul, Di Bawah Bendera Revolusi. Soekarno pula yang menggandeng Tjio Wie Tjay alias Haji Masagung, pengusaha Toko Buku Gunung Agung, sebagai penerbit dan penyalur.

Pada 1963, buku monumental ini dicetak ulang. Hanya dalam waktu dua minggu edisi pertama terjual habis. Pada 1965, buku itu dicetak yang keempat kalinya. Dan pada 2005, penerbitan buku itu dilakukan anak-anak Soekarno melalui Yayasan Bung Karno.

Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia era 1960 di Bandung, Siswono Yudohusodo dan Suko Sudarso, mengakui buku itu menjadi buku bacaan wajib bagi anak-anak muda masa itu. Suko mengaku mengagumi buku itu karena pemikiran Soekarno yang jauh ke depan.

Suko menyebut tulisan yang digandrunginya dalam buku itu adalah artikel Soekarno di Suluh Indonesia, "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme". Tulisan ini sempat diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterbitkan Universitas Cornell dengan pengantar Ruth Mcvey.

(4) Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I) Penerbit: Panitya Penerbit, 17 Agustus, 1959 (I), 1963 (II), 1965 (IV), Yayasan Bung Karno, 2005 (V)

Hindania dan Politik Antara Dua Karang

NAMAKU Hindania! Karya pertama Hatta ini dimuat di majalah Jong Sumatra pada 1920. Sang tokoh, Hindania, alias Hindia Belanda, adalah janda kaya yang menyesal kawin dengan Wollandia-Negeri Belanda-lantaran suami baru itu mengeruk habis hartanya. Sebuah romantika patriotik karya seorang pemuda 18 tahun, pelajar rantau Minang di Prins Hendrik Handels School di Betawi.

Separuh abad kemudian, cinta Hatta kepada buku makin menjadi. Ia bukan cuma pelahap berbagai jenis bacaan, tapi juga penulis buku yang produktif. Hatta, Sebuah Bibliografi, terbitan Yayasan Idayu tahun 1988, mencatat ada 86 karya tulis, amanat, dan pidato Hatta dengan beragam topik. Sebagian ditulis di Belanda, atau sebagai hasil kuliah di sana, seperti Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indonesia (1931), Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1934), Rasionalisasi (1939) dan Mentjari Volkenbond dari Abad ke Abad (1939).

Hatta juga menulis buku-buku teks yang lugas dan terang, seperti Alam Pikiran Yunani (1941), Pengantar ke Djalan Ekonomi Sosiologi (1957), dan Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1954). Beberapa Fasal Ekonomi (1943) merupakan buku pengantar ilmu ekonomi dengan penjelasan mendasar seperti apa itu uang, bagaimana bank bekerja, dan dilema muslim tentang rente.

Salah satu karyanya yang ikonik adalah ketika Hatta, seorang sosialis religius, mengukuhkan sikap antikomunisnya melalui buku tipis 114 halaman berjudul Mendajung Antara Dua Karang. Ia menegaskan prinsip kebijakan luar negeri yang bertahan hingga kini: politik bebas aktif.

Mendajung Antara Dua Karang dilansir pertama kali oleh Penerbitan Negara, Yogyakarta, pada 1946. Judul awalnya Dasar Politik Luar Negeri Indonesia. Dua tahun berikutnya, Hatta membawakannya sebagai pidato pemerintah di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat-yang menjadi cikal-bakal parlemen negeri ini.

Kala itu, September 1948, Hatta baru enam bulan menjadi perdana menteri. Posisi itu sebelumnya dipegang Amir Sjarifuddin, tokoh komunis terkuat pada masa itu. Tapi kabinet Amir bubar karena ia meneken Persetujuan Renville, yang dianggap merugikan Republik.

Hatta kemudian mengajak Amir bergabung dalam kabinetnya. Tapi Amir menolak. Bahkan, melalui Front Demokrasi Rakyat-gabungan sejumlah organisasi kiri, seperti Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia-Amir menyatakan beroposisi. Ia dan kelompoknya ingin pemerintah mengambil jalan komunis seperti Rusia. Tak tanggung-tanggung, front itu menuntut 10 dari 17 kursi kabinet. Menurut sejarawan Deliar Noer, Hatta sangat marah, "Sampai-sampai meminta para pengawalnya mengeluarkan mereka dari kamar."

Jelasnya, Hatta tak ingin melihat Indonesia terombang-ambing antara Amerika yang kapitalis dan Rusia yang komunis. Hatta memandang politik Soviet mencla-mencle. Kurang dari tiga dekade, katanya, Soviet telah tujuh kali pindah kanan, pindah kiri. "Kalau Marx menyesuaikan taktik pada keadaan, politik kita mesti begitu juga," Hatta menulis. "Kita jangan menjadi obyek pertarungan politik internasional."

Setelah tulisannya tentang tata ekonomi dunia-yang banyak mengutip Marx-dimuat di majalah bulanan Sin Tit Po pada 1938, tak sampai setahun kemudian terbit kritik sinis dari Mevrouw Vodegel Soemarmah. Ternyata penulis artikel berjudul "Apakah Hatta Seorang Marxis?" itu Tan Ling Djie, yang di belakang hari menjadi Sekretaris Jenderal Partai Tionghoa Indonesia. Ia kemudian juga aktif di Partai Komunis Indonesia.

Hatta membalas. "Tan Ling Djie lima tahun dididik sebagai propagandis komunis di Moskow," katanya, mengawali jawaban sepanjang belasan halaman. Sayang, tulisan Hatta berjudul "Ajaran Marx, atau Kepintaran Sang Murid Membeo?" itu baru dimuat di majalah mingguan Nationale Commentaren milik Dr Sam Ratulangi pada 1940 alias setahun kemudian. Penyebabnya: Sin Tit Po sudah lenyap dari pasar.

Membaca buku-buku Hatta, benarlah apa yang ditulis Profesor George McT. Kahin, bapak studi Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang menulis buku In Memoriam: Mohammad Hatta (1902-1980). Hatta, di mata Kahin (yang telah wafat pada 2000), adalah tokoh besar yang jujur, tidak korup, dan dengan tulus mengabdikan hidupnya untuk menegakkan keadilan sosial dan membangun negara demokratis.

(2) Dasar Politik Luar Negeri Indonesia (Mendajung Antara Dua Karang) Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946), NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)

(3) Beberapa Fasal Ekonomi Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)

Padi yang Tumbuh Tak Terdengar

... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu.

SEOLAH meramal masa depan, Mohammad Hatta menulis kalimat itu lima tahun sebelum Soekarno kehilangan kekuasaannya. Ketika itu Hatta sudah tak lagi menduduki jabatan wakil presiden. Tak lama setelah Soekarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Hatta pamit mundur. Itulah tanda dimulainya periode gelap dalam sejarah Indonesia, diberlakukannya demokrasi terpimpin. Sekaligus pada saat yang sama: berakhirnya duet Soekarno-Hatta.

Bagian penting dari Demokrasi Kita adalah kritik Hatta kepada Bung Karno. Berkali-kali, dalam berbagai pidato, Soekarno menolak demokrasi Barat yang ditudingnya saling serang, saling terjang (free fight democracy). Menurut Bung Karno, demokrasi ala Barat ini membahayakan persatuan. Itulah sebabnya, ia menggagas demokrasi yang ditopang empat kaki: nasional, Islam, komunisme, dan tentara.

Gagasan ini diwujudkan dengan konsep Nasakom (persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis). Soekarno yang gandrung akan persatuan menganggap gagasannya ini bisa menghindari pertempuran antarkelompok. Untuk mewujudkan gagasannya, ia membubarkan Konstituante-dewan perwakilan yang ia tuding hanya sibuk berkelahi sehingga gagal menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan Soekarno membubarkan parlemen ini sebagian diambil karena desakan tentara, kekuatan politik yang perannya sangat minim dalam pentas nasional.

Inilah yang terutama dikritik Hatta. "Demokrasi bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan," demikian Hatta menulis.

Saling serang Soekarno-Hatta sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Demokrasi Kita ditulis. Bung Karno, seperti dikutip Cindy Adams dalam Penyambung Lidah Rakyat, pernah berkata, "Aku dan Hatta tidak pernah berada dalam gelombang yang sama."

Hatta menyebut Soekarno sebagai orang yang tak pernah masuk ke detail, hanya bicara garis besar. Seraya mengutip hikayat Goethe's Faust, Hatta menuding Karno sebagai kebalikan tokoh Mephistopheles yang mengklaim dirinya sebagai, "... ein Teil jener Krafte, die stets das Base will und stets das Gute schafft"-bagian dari satu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk tapi selalu menghasilkan yang baik. "Soekarno kebalikan dari itu. Tujuannya baik tapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuan itu," tulis Hatta.

***

PERNAH Soekarno mempermasalahkan Hatta yang mengeluarkan Maklumat Nomor X, 3 November 1945. Dalam maklumat itu Hatta menyampaikan partai-partai perlu diberi tempat untuk tumbuh.

Ide Hatta sederhana saja: partai adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Karena itu, kata Hatta, "Sedjauh tetap memperdjuangkan mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan, Pemerintah menjukai timbulnja partai2 politik, karena dengan adanja partai2 itulah dipimpin ke djalan yang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat."

Soekarno menyebut maklumat itu pintu ke arah perseteruan antarpartai. "Terima kasih Tuhan bukan Soekarno yang menandatangani maklumat itu," kata Soekarno dengan sinis.

Dalam ceramahnya di Institut Pertanian Bogor, Juni 1966, Bung Hatta kembali menjawab serangan Bung Karno. Hatta tak membantah bahwa sistem multipartai di Indonesia membawa ekses buruk, yakni pertarungan tak sehat partai-partai serta lahirnya pemerintahan yang lemah pada masa demokrasi parlementer (1955-1959). Tapi katanya, "Bukan dalam Maklumat Wakil Presiden 3 November 45 yang menegaskan adanya demokrasi terletak kesalahan, tetapi dalam partai-partai dan para pemimpin yang lupa daratan." Dengan kata lain, Hatta membedakan ide dengan praktek.

Partai politik yang lahir pada masa demokrasi parlementer memang menunjukkan sisi buruk demokrasi. Partai dibanjiri orang-orang yang berebut posisi, mengincar kedudukan dan pembagian rezeki. Partai berkembang biak. Anggota partai yang lama memisahkan diri dan membentuk partai baru bukan karena perbedaan ideologis tapi karena persoalan "rezeki" yang tak merata.

Dalam Demokrasi Kita, Hatta mengkritik keadaan ini. Menurut dia, partai-partai sesungguhnya belum mempraktekkan demokrasi karena keputusan di dalam partai tidak diambil dari bawah melainkan didrop dari atas.

Ketika itu negara tak menentu. Pemerintah jatuh-bangun. Kabinet tidak dianggap sebagai amanah orang ramai, tempat orang menerapkan jimat ajimumpung. Partai menjadi agen korupsi, menjadi pemberi lisensi agar uang masuk ke kas partai untuk kepentingan pemilihan umum. Akibatnya, kabinet tidak memikirkan negara. Agenda menyejahterakan masyarakat terabaikan. Rakyat mengeluhkan demokrasi: daerah tidak dipedulikan-agenda otonomi diabaikan. Tentara berang.

Di sinilah Hatta menyimpulkan bahwa demokrasi parlementer yang ultrademokratis melahirkan kediktatoran. Katanya, "Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya: diktator."

***
Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin Buya Hamka pada 1960. Tapi justru karena tulisan itu Pandji dibreidel oleh Perdana Menteri Subandrio. Buya Hamka, pemimpin redaksinya, dipenjarakan.

Buku tipis, 36 halaman, ini baru diterbitkan pada Juni 1966 setelah Soekarno jatuh. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Jaksa Agung tanggal 30 Mei 1966 mengumumkan bahwa artikel itu boleh diterbitkan dalam bentuk buku. Dijual dengan harga Rp 3 per buah, Demokrasi diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.

Sejarawan Amerika, George Kahin, menyebut Demokrasi sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta sebagai seorang patriot dan negarawan.

Buya Hamka menganggap terbitnya Demokrasi Kita adalah anugerah. "Satu obat penawar karena buku ini dikeluarkan setelah saya dibebaskan dari tahanan selama dua tahun empat bulan karena fitnah prolog Gestapo/PKI dan Biro Pusat Intelijen," tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita.l l l

Lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat, Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di Kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Ketika umurnya belum 10 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit. Ketika itu di Aur Tajungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang-orang yang lewat.

Pemerintah kolonial murka karena di Kampung Kamang, 16 kilometer dari rumah Hatta, rakyat berontak: mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan, orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang dicokok adalah Rais, sahabat kakek Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta.

Pengalaman demi pengalaman pahit menggembleng Hatta. Ia memang bukan Soekarno yang sanggup membakar massa melalui pidato-pidatonya yang memikat. Hatta lebih banyak diam: ia lebih suka menulis. Isi buku-bukunya menggambarkan spektrum minatnya yang luas: politik, ekonomi, sosial, dan sastra.

Tokoh yang disukai Hatta adalah Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, penulis Belanda yang pernah menulis novel Max Havelaar. Satu ucapan Dekker yang kerap dikutip Hatta, dengan tepat menggambarkan sosok bekas wakil presiden itu: onhoorbaar groeit de padi, tak terdengar tumbuhlah padi. Hatta adalah padi yang tak terdengar itu.

(1) Demokrasi Kita Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)

Berbagai Tinta Menulis Indonesia

JUNI 1815, Thomas Stamford Raffles pergi ke Tengger, Gunung Bromo, mencari manuskrip khazanah lokal setempat. Juni itu juga, ia mengunjungi Bali dan, dari Raja Buleleng, mendapatkan naskah Baratayuda versi Bali. Pergi ke Solo, ia dihadiahi Serat Manik Maya oleh Susuhunan Pakubuwono IV.

Selama pemerintahannya yang singkat di Jawa, Raffles memburu berbagai macam babad, kesusastraan Jawa. Sejumlah bupati-di antaranya Bupati Semarang Kiai Adipati Sura Adimanggala, Panembahan Sumenep Natakusuma, dan Bupati Tegal Aria Reksanegara-membantunya. Ahli arkeologi Belanda, Mayor Hermanus Christiaan Cornelius, menyuplai informasi dan menolong Raffles menerjemahkan lontar-lontar.

Di tengah kesedihan karena ditinggal mati istri dan atasannya, Lord Minto, Raffles pulang ke London dengan membawa 30 ton dokumen tentang Jawa. Dari situlah lahir dua jilid buku: The History of Java, sebuah buku babon 1.000 halaman lebih yang berisi pembahasan luas mengenai geografi, agrikultur, adat istiadat, sastra, agama, tumbuh-tumbuhan, ekonomi, dan statistik kependudukan Jawa.

Itulah buku yang luar biasa. Seperti Syekh Amongraga, tokoh dalam Serat Centini, Raffles menapaktilasi reruntuhan candi-candi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, serta mendeskripsikan secara teliti suasana dan anatomi candi.

Bukalah halaman tentang kunjungannya ke Candi Sewu, di Klaten, Jawa Tengah. Di hadapannya terbentang sebuah atmosfer kuno, yang menurut dia menyirap dirinya ke sebuah cita rasa arkaik yang terlupakan. Ia menatap sebuah patung penjaga, seorang raksasa gemuk, yang membawa pentungan kecil. Mulutnya bersiung. Rambutnya keriting seperti menggunakan wig. Raffles menulis, "Ekspresi wajahnya belum pernah saya temukan di India atau bagian timur lain mana pun, mukanya sangar tapi menampilkan karakter humor."

Kemampuan Raffles menggabungkan data lokal dengan buku ilmiah para ilmuwan, misalnya buku Pendeta F. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-Indien (1724), dan buku Rumphius, Herbarium Amboinense (1741), sangat mengagumkan. Keistimewaan lain adalah betapa kitab Raffles itu dilengkapi dengan banyak gambar litografi patung yang mungkin kini sudah tak ada lagi di lokasi candi.

Tapi Raffles tak berbicara tentang kepedihan Jawa. Di tangannya, Hindia Belanda adalah Hindia yang elok, permai, tanpa kelaparan. Menurut John Bastin, sejarawan yang menulis kata pengantar The History of Java, dari Herman Warner Muntinghe-orang Inggris yang pernah bekerja sebagai sekretaris Gubernur Jenderal Willem Daendels-Raffles banyak mendapat informasi tentang eksploitasi dan kekerasan di Jawa.

Menurut sejarawan Denys Lombard (almarhum), sebagian besar buku yang dihasilkan penulis Barat tentang Nusantara saat itu berkelok-kelok di antara dua kutub yang meninabobokan: beku dalam keindahan warna-warni atau tempat mimpi romantis yang penuh nostalgia. Karena itu, dapat dimengerti mengapa publik Eropa tercengang ketika pada 1860 dari tangan Eduard Douwes Dekker muncul roman Max Havelaar.

Karya itu menyajikan sebuah gambaran yang lain tentang Hindia Belanda. Dari kamar loteng sebuah hotel kecil di Brussel, tempat pelariannya setelah kariernya sebagai asisten residen Lebak hancur, anak seorang kapten kapal itu melakukan kritik yang tajam. Dengan memakai nama samaran Multatuli (artinya "aku telah banyak menderita"), ia tanpa ampun membeberkan ketidakadilan sistem tanam paksa Hindia Belanda. Di Hindia Belanda, penduduk harus menyerahkan seperlima tanahnya ke Gubernemen, untuk ditanami kopi karena kopi penting bagi pasar Eropa.

Multatuli menampilkan kelicikan kepentingan Belanda tersebut lewat tokoh roman seorang makelar kopi di Amsterdam bernama Batavus Droogstoppel. Makelar kopi ini adalah lambang pemerasan.

***

MEMPERINGATI 100 Tahun Kebangkitan Nasional, kami menyajikan edisi khusus yang berbeda, yakni memilih 100 teks yang terbit mulai 1908 yang kami anggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Istilah teks dipakai di sini karena yang kami pilih tidak hanya buku, tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, juga roman dan puisi.

Dua karya di atas, The History of Java dan Max Havelaar, adalah contoh magnum opus pada abad ke-19. Keduanya berlainan watak. Yang satu menampilkan gambaran tentang keindahan Hindia-pesona alam dan candi-candi terpendamnya-sedangkan yang lain menghamparkan sebuah kenyataan tragik.

Indonesia, kita tahu, adalah sebuah proyek yang belum selesai. Imaji Indonesia agaknya selalu tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles dan sesuatu yang memprihatinkan seperti dideskripsikan Multatuli. Seratus teks yang kami pilih ini adalah teks yang kami anggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub itu untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Melaluinya dapat direkam pergolakan pemikiran, cita-cita, atau bahkan batu sandungan menuju Indonesia yang kita impikan: Indonesia yang pluralis, kosmopolit, dan modern.

Tentu ini tak mudah. Buku yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal kami disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya. Di sinilah muncul perdebatan tentang bagaimana kita menyikapi karya yang secara ilmiah luar biasa tapi tidak berbicara tentang aspek kebangsaan.

Bagaimana misalnya kita menimbang buku seperti Kalangwan, adikarya tentang sastra Jawa kuno, karya (mendiang) Pastor Zoetmulder. Juga bagaimana kita menempatkan The Island of Bali karya penulis Meksiko, Miguel Covarrubias (1937)-buku yang konon saat diluncurkan pertama kali di New York membangkitkan Balimania di kalangan seniman avant-garde Amerika. Setelah membaca Covarrubias, pada 1942 Soekarno mengirim duta budaya "Gong Gunung Sari" ke Amerika dan Eropa.

Tapi kami berkeras hati bahwa karya yang kami pilih adalah yang menyuarakan imaji kebangsaan. Termasuk di dalam karya-karya ini adalah teks-teks yang berasal dari lapangan kesusastraan, kesenian, bahkan dunia kebudayaan pop seperti komik. Komik Wiro karya Kwik Ing Hoo pada 1970-an-tentang anak rimba Indonesia yang berkawan dengan seekor monyet lalu mengembara dari Sumatera sampai Irian Jaya melawan penjajahan Belanda dan Jepang-adalah komik yang sanggup melambungkan imaji "nasionalisme" yang menyala pada anak-anak di zaman itu.

Kesulitan lain kami adalah mencari buku-buku sejenis yang diterbitkan dalam 20 tahun terakhir. Kita misalnya tak menemukan buku seperti The Malay Dilemma karya Mahathir Mohamad pada 1970-an yang, betapapun paradoksnya, tetap bisa aktual untuk membaca fenomena pluralitas di Malaysia saat ini.

***

MENDISKUSIKAN hal itu, kami mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku).

Taufik Abdullah berpendapat benih-benih konsepsi keindonesiaan sudah ada sebelum 1908. Dari penelitiannya, ia melihat hikayat-hikayat Aceh tentang kepahlawanan yang beredar di Jawa sedikit-banyak memberikan inspirasi pada tokoh-tokoh di Jawa tentang "ikatan imajiner saat itu untuk menjadi sebuah Indonesia".

Asvi Warman Adam berpendapat karya-karya kesarjanaan yang membongkar tragedi 30 September dan pembantaian Partai Komunis Indonesia adalah teks-teks yang penting. Teks-teks yang membongkar sejarah gelap suatu bangsa, menurut dia, berguna untuk menjadikan bangsa itu mampu membuat orientasi yang segar dalam perjalanan hidup ke depan.

Goenawan mengingatkan bahwa ada banyak polemik di media massa yang menarik sejak 1908. "Dari polemik kebudayaan di majalah Pujangga Baru sampai polemik antara harian Merdeka dan Harian Rakjat pada 1960-an," katanya.

Ignas Kleden secara cemerlang mengajak kami memberikan perhatian pada buku-buku mengenai atlas atau peta. "Saya kira atlas-atlas karya Adam Bachtiar sangat penting," katanya. Adam Bachtiar adalah pembuat atlas pertama di Indonesia, pada 1952. Usul Ignas itu mengingatkan kita bahwa, seperti pernah ditulis seorang kolektor peta Amerika bernama Thomas Suarez dalam Early Mapping of South East Asia, kolonialisme di Nusantara dimulai dari peta. Negara-negara Eropa saat itu, kata Suarez, bersaing mengirim para mualim unggul dan ahli kartografinya untuk secara khusus memetakan wilayah Nusantara.

Bahkan raksasa pemeta Belanda bernama Willem Janszoon Blaeu, yang pada 1608 mengukuhkan diri sebagai kartografer akbar dengan membuat sebuah peta dunia spektakuler dalam empat jilid, Het Licht der Zee-vaert, juga pernah berhubungan dengan Nusantara.

Kita ingat pada 1644 Karaeng Pattingalloang, seorang pangeran di Makassar, meminta VOC di Batavia mengiriminya peta dunia, empat atlas, teleskop, dan globe dunia karya Blaeu sebagai bagian negosiasi dari keinginan VOC memiliki kawasan penanaman kayu cendana di Makassar. Globe itu begitu besar, diameternya 130 sentimeter, spesialis dibuat Blaeu untuk Pattingalloang. Tujuh tahun semenjak dikirim dari Belanda, tepatnya Februari 1651, globe baru sampai di Sulawesi. Di Selebes, globe itu diarak beramai-ramai.

***

SEBULAN lebih diskusi demi diskusi dilakukan, untuk kemudian kami bisa yakin memilih 100 teks itu. Teks kami kategorikan bukan berdasarkan peringkat, melainkan berdasarkan jenisnya: buku, novel, puisi, maklumat, pidato, surat, catatan harian, polemik, laporan jurnalistik, peta, atlas, ensiklopedia, dan kitab undang-undang.

Jika sebuah buku diulas lebih panjang dari buku yang lain, itu bukan karena buku itu dianggap lebih baik dari yang lain, melainkan karena kami menganggap ada banyak aspek dari buku itu yang harus diungkap. Penulisan artikel juga tidak kami lakukan sendiri, tapi melibatkan sejumlah penulis yang kami anggap memiliki kapasitas.

Sejumlah teks kami pilih karena menampilkan perlawanan. Dari khazanah pidato, misalnya, ada ceramah Ki Hajar Dewantara, Seandainya Aku Seorang Belanda. Juga pidato Mochtar Lubis, Potret Manusia Indonesia, di Taman Ismail Marzuki, yang menghantam kemunafikan manusia Indonesia. Selain itu, ada polemik pembaruan pemikiran Islam dari Nurcholish Madjid atau seminar ekonomi dan keuangan yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1966.

Ada juga buku yang membongkar mitos-mitos kebangsaan. Pemberontakan Petani Banten karya Sartono Kartodirdjo kami pilih karena membuktikan bahwa bukan hanya orang terpelajar yang menggerakkan sejarah, tapi juga orang kecil. Juga kami memilih tulisan-tulisan Soedjojono tentang nasionalisme dan seni rupa yang dengan brilian memaparkan bahwa seni rupa Indonesia memiliki watak modernismenya sendiri.

Tak lupa catatan-catatan perjalanan, seperti lawatan wartawan Adinegoro ke Eropa, yang membandingkan karakter kita dengan karakter orang Eropa, perjalanan keliling jurnalis Parada Harahap ke Sumatera, atau petualangan sastrawan Gerson Poyk ke pelosok-pelosok terpencil Indonesia.

Nationalism and Revolution in Indonesia karya George McTurnan Kahin kami sertakan karena Kahin memberikan sumbangan penting bagi studi tentang revolusi Indonesia. Pada musim semi 1948, Kahin sempat bertemu dengan Sjahrir, yang bersama asistennya, Soedjatmoko Mangoendiningrat, sedang berada di New York untuk sebuah acara di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dari Sjahrir, Kahin mendapat sehelai surat untuk disampaikan kepada Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Surat itulah "visa" buat Kahin untuk memasuki teritori Indonesia yang sedang dikuasai tentara. Lalu masuklah Kahin ke Indonesia dan lahirlah Nationalism and Revolution in Indonesia-buku yang tanpa malu-malu diakui Kahin sebagai wujud keberpihakannya kepada Indonesia.

Dari ranah pemikiran keagamaan, kami memilih Catatan Harian Ahmad Wahib. Renungan-renungan anak pesantren Bangkalan itu bisa jadi menjadi inspirasi bagi siapa saja kini yang mengangankan Islam menjadi agama yang kosmopolit, inklusif, dan tak canggung pada kebebasan berpikir. "Aku bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Aku bukan Buddha, bukan Protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim," tulis Wahib dalam catatannya pada 9 Oktober 1969.

Demikianlah, teks-teks pilihan kami ini mungkin belum merepresentasikan seluruh simpul pergolakan pemikiran sejarah Indonesia modern 100 tahun terakhir. Mungkin banyak yang tertinggal atau terlupakan, atau ada yang kami pilih tapi tak tepat menurut Anda. Pada akhirnya, tak ada yang sempurna dalam sebuah pilihan. Selamat membaca.

(1)  Demokrasi Kita
      Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)
(2)  Dasar Politik Luar Negeri Indonesia
      (Mendajung Antara Dua Karang)
      Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946),
      NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)
(3)  Beberapa Fasal Ekonomi
      Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)
(4)  Di Bawah Bendera Revolusi (Jilid I)
      Penerbit: Panitya Penerbit, 17 Agustus, 1959 (I),
      1963 (II), 1965 (IV), Yayasan Bung Karno, 2005 (V)
(5)  Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
      Penerbit: Sekretariat Negara; jilid pertama, tahun 1959;
      jilid kedua, 1960, jilid ketiga, 1960
(6)  Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959
      Penerbit: Grafiti Pers Tahun terbit: 1995
(7)  Massa Actie in Indonesia
      Terbit: Desember 1926 (Singapura), 1947 (Jakarta),
      1986 (Yayasan Massa, Jakarta)
(8)  Dari Pendjara ke Pendjara
      Terbit: 1948
(9)  Madilog
      Terbit: 1943
(10) Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia
       Penerbit: Dinas Sejarah Angkatan Darat dan Penerbit Angkasa,
       Bandung, 1977, 11 jilid
(11) The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia
       Penerbit: Ithaca: Cornell University Press (1973)
(12) Dualistische Economy
       Penerbit: Leiden: Van Doesburgh (1930)
(13) Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman
       Penerbit: Yayasan Aksara Indonesia, Yogyakarta (2000).
(14) Nationalism and Revolution in Indonesia
      Penerbit: Cornell University Press (1952)
(15) Indonesian Political Thinking: 1945-1965
       Penerbit: Ithaca, New York (1970)
(16) The Religion of Java
       Penerbit: The University of Chicago Press, Chicago,
       dan The University of Chicago, Ltd., London (1960)
(17) Netherlands Indie, A Study of Plural Economy
       Penerbit: Cambridge: At The University Press dan New York:
       The Macmillan Company (1944).
(18)  Capita Selecta
       Penerbit: Bulan Bintang, Jakarta, (jilid I, 1955)
       dan Pustaka Pendis, Jakarta, (jilid II, 1955)
(19)  Indonesia in den Pacific-Kernproblemen van den Aziatischen
        Penerbit: Penerbit Sinar Harapan (1937)
(20)  Perubahan Sosial di Yogyakarta
        Penerbit: Gadjah Mada University Press, 1990
(21)  Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun
       Penerbit: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta (1973)
(22) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
       Penerbit: Djambatan, Jakarta (1971)
(23) Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini
       Penerbit: Alumni, Bandung (1983)
(24) Art in Indonesia: Continuities and Change
       Penerbit: Cornell University Press, New York (1967)
(25) An Introduction to Indonesia Historiography
       Penerbit: Cornell University, Amerika Serikat, 1965
(26) Science and Scientists in the Netherlands Indies
       Penerbit: Board for the Netherlands Indies, Surinam & Cura�ao, New York (1945)
(27) Alam Asli Indonesia: Flora, Fauna, dan Keserasian
       Penerbit: Yayasan Indonesia Hijau dan Gramedia (1986)
(28) Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan
       Penerbit: LP3ES, Jakarta (1981)
(29) NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru
       Penerbit: LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
(30) Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)
       Penerbit: Yayasan Idayu, Jakarta (1981)
(31) Catatan Subversif
       Penerbit: Yayasan Obor Indonesia dan PT Penerbit Gramedia (1987)
(32) Pembagian Kekuasaan Negara
       Penerbit: Aksara Baru (1978)
(33) Laporan dari Banaran
       Penerbit: Sinar Harapan (1960)
(34) Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin
       Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (1983)
(35) Six Decades of Science and Scientists in Indonesia
       Penerbit: Naturindo, Bogor (2005)
(36) Pemberontakan Petani Benten
       Penerbit : PT Dunia Pustaka jaya, Jakarta (1984)
(37) Pedoman Etik Penelitian Kedokteran Indonesia
       Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1986)
(38) A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia.
       Penerbit: Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program,
       Cornell University, Ithaca, New York (1971)
(39) 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia 1851-1976
       Penerbit: Fakultas Kedokteran UI (1976)
(40) Ekologi Pedesaan: Sebuah Bunga Rampai
       Penerbit: CV Rajawali, Jakarta (1982)
(41) Di Tepi Kali Bekasi
       Penerbit : Hasta Mitra Jakarta (1951)
(42) Tetralogi Pulau Buru
       Bumi Manusia (1980); Anak Semua Bangsa (1980),
Jejak Langkah (1985); Rumah Kaca (1988)
       Penerbit : Hasta Mitra Jakarta
(43) Siti Nurbaya
       Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1920)
(44) Belenggu
       Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta (1940)
(45) Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1948)
(46) Surabaya
       Penerbit : Merdeka Press, Jakarta (1974)
(47) Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesai
       Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta (1949)
(48) Layar Terkembang
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1936)
(49) Salah Asuhan
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1928)
(50) Tenggelamnya Kapal Van der Wijck
       Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1938)
(51) Jalan Tak Ada Ujung
       Penerbit: PT Dunia Pustaka Djaya, Jakarta (1952)
(52) Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
       Penerbit: PT Gunung Agung, Jakarta (1954)
(53) Revolusi di Nusa Damai
       Penerbit: Harper & Brother (Revolt in Paradise, 1961), PT Gunung Agung (1964)
(54)  Bebasari
        Penerbit: Fasco Djakarta (Cetakan ke-2, 1953)
(55)  Burung-burung Manyar
        Penerbit: Djambatan (1981)
(56)  Sandhyakala Ning Majapahit
       Penerbit: Pustaka Jaya (1971)
(57)  Naskah Proklamasi
(58)  Indonesia Vrij 1928
       (dalam buku karya Lengkap Bung Hatta Jilid 1)
(59)  Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat
       Orasi: Menteng Raya 58, Jakarta (2 Januari 1970)
(60) Dekrit Presiden 5 Juli 1959
(61) Garis-Garis Besar Haluan Negara
(62) Pidato B.J. Habibie di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 1983:
       Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri Suatu Negara Berkembang
(63) Seandainya Aku Seorang Belanda (Als Ik Eens Nederlander Was) .
(64) Pidato Lahirnya Pancasila
(65) Hasil-hasil Seminar Ekonomi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia 1966
(66) Pidato Nirwan Dewanto Saat Kongres Kebudayaan IV
(67) Manifes Kebudayaan
(68) Surat Kepercayaan Gelanggang
(69) Sumpah Pemuda
(70) Maklumat Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin mengenai Kemerdekaan Pers
(71) Habis Gelap Terbitlah Terang
      Penerbit : Balai Pustaka, Jakrta (1922)
(72) Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demostran
      Penerbit : LP3ES Jakarta (1983)
(73) Pergolakan Pemikiran Islam
      Penerbit : LP3ES Jakarta (1981)
(74) Polemik Manifesto Politik
      Publikasi : Harian Rakjat dan Merdeka (3-8 Juli, 1964)
(75) Perjuangan Kita
      Publikasi: Berbentuk pamflet mulai 14 November 1945.
      Pusat Dokumentasi Politik Guntur menerbitkan ulang pada 2001
(76) Melawan Melalui Lelucon
       Publikasi: Majalah Tempo 1975-1983.
       Kumpulan artikel diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun 2000
(77) Polemik Soetatmo versus Tjipto
       Publikasi: Pamflet berjudul Nota van Schrieke. Dibukukan Yayasan Obor Indonesia pada 1986
(78) Polemik Kebudayaan
       Publikasi: Majalah Pujangga Baru (1935)
(79) The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States
       Publikasi: Basic Book, New York (1963)
(80) Defisiensi Vitamin B1: Artikel tentang Eijkman dan Hasil Penelitiannya
       Publikasi: Temuannya memenangkan Nobel pada 1929
(81) Student Indonesia di Eropa
       Publikasi: Harian Bintang Timoer 1926-1928.
       Kepustakaan Populer Gramedia membukukannya pada 2000
(82) Pranakan Arab dan Totoknja
       Publikasi: Harian Matahari, Semarang (1934)
(83) Masalah Tionghoa di Indonesia: Asimilasi vs Integrasi Publikasi: Mingguan Star Weekly 6 Februari 1960-25 Juni 1960.
       Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran membukukannya pada 1999
(84) Penduduk dan Kemiskinan
       Penelitian: Studi kasus di pedesaan Jawa. Diterbitkan oleh Bhratara Karya Aksara (1976)
(85) Deru Campur Debu
      Penerbit: Dian Rakyat, Jakarta 1949
(86) Tirani dan Benteng
      Penerbit: Yayasan Ananda, Jakarta (1993-edisi baru)
(87) Potret Pembangunan Dalam Puisi
      Penerbit : Lembaga Studi Pembangunan Jakarta 1980
(88) Aku Ingin Jadi Peluru
       Penerbit : Indonesia Tera, Magelang 2000
(89) Wiro �Anak Rimba Indonesia�
      Penerbit: Liong, Semarang (1956)
(90) Keulana
       Penerbit: Firma Harris, Medan (1959)
(91) Matinya Seorang Petani
      Penerbit: Majalah Indonesia (1955)
(95) Tirto dan Koran Pergerakan
       Koran Medan Prijaji (1907-1912)
(96) Sepotong Sejarah Jakarta
      Kisah-kisah Jakarta
      Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta (1977)
(97) Lawatan ke Pelosok Negeri
      Catatan di Sumatera Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (1949)
(98) Atlas Indonesia
      Penerbit : NV Djambatan Jakarta (1952)
(99) Ensiklopedia Indonesia
       Penerbit : W Van Hoove Ltd, Bandung (1955)
(100) Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poerwadarminta
        Penerbit : Balai Pustaka, Jakarta (1952)
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India