Tampilkan postingan dengan label Njoto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Njoto. Tampilkan semua postingan

Senin, 05 Oktober 2009

Pedagang Batik Pembela Republik

DALAM bayangan anak-anaknya, pria itu bertubuh tinggi, tegap, berkulit gelap, dan kerap memakai blangkon. Sosok yang disiplin, mencintai buku, dan gemar bermain bola. Dia Sosro Hartono, pedagang batik tulis asal Solo keturunan bangsawan.

Menikah dengan Masalmah, anak Raden Marjono, anemer dari Jember, Jawa Timur, Sosro memiliki tiga anak: Njoto, Sri Windarti, dan Iramani. Njoto lahir pada 1927, dua tahun lebih tua daripada Windarti dan 18 tahun lebih tua daripada Iramani.


Sosro mendidik anaknya dengan keras, tegas, dan disiplin. Adapun Masalmah santun, dengan tutur kata halus. "Tapi Bapak tak pernah main pukul," kata Windarti.

Setelah menikah, Sosro menyewa bangunan dari pedagang Cina di Bondowoso. Ia mendirikan toko batik Solo dan jamu Jawa. Sosro memberi nama toko itu Yosobusono, artinya membuat pakaian dalam bahasa Jawa. Di toko ini tersedia sarung dan kain batik, kemben, dan blangkon.

Yosobusono bukan toko biasa. Ia juga tempat mangkal aktivis kemerdekaan. Sosro menyokong mereka secara materi. Setiap hari ada saja pertemuan dan rapat pejuang, termasuk yang pernah dibuang ke Digul. "Para om Digul itu suka ngobrol dan nengok saya serta Njoto," ujar Windarti.

Sosro sering meluangkan waktu bersama anaknya meski sibuk dengan urusan toko dan para pejuang. Ia selalu menanyakan pelajaran dan cita-cita kepada Njoto dan Windarti. Sosro juga sering menemani dan melatih Njoto bermain bola. Sosro dan Njoto sama-sama hobi bermain bola. "Ayah itu senangnya bisnis," kata Iramani. "Bisnis adalah bisnis, keluarga adalah keluarga."

Sosro juga tak pernah melarang anaknya bermain. Ia hanya meminta anaknya menomorsatukan sekolah, belajar, dan membaca. Sosro tak pernah mengarahkan anaknya membaca buku komunis. "Ayah saya pembela Republik," kata Iramani.

Keluarga Sosro dan Masalmah termasuk ningrat Jawa yang menganggap pendidikan sangat penting bagi anaknya. Mereka mengirim anak-anak sekolah sampai ke Solo. Di kota inilah, Sosro membeli rumah yang menjadi pusat produksi batik, sekaligus tempat tinggal Njoto dan Windarti.

Suatu hari, ketika sedang berjalan pulang di pinggir rel, Windarti tiba-tiba diberi tahu bahwa ayahnya ditangkap Belanda. Tapi tak ada penjelasan mengenai sebab-musababnya. Windarti kemudian mencari pamannya, Maskan, yang kemudian mengajaknya menemui Njoto di Yogyakarta. Waktu itu, Njoto sudah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, wakil Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.

Di Yogyakarta itu, Windarti dan Njoto baru mendapat penjelasan lebih lengkap mengenai penangkapan sang ayah. Belanda ternyata mengendus kegiatan di Yosobusono yang sering menjadi tempat berkumpul pejuang.

Sosro semula ditahan di penjara Bondowoso, tapi kemudian dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya. Sekitar seratus orang, termasuk Sosro, diangkut dengan kereta, dengan gerbong tanpa ventilasi. Perjalanan hampir 15 jam dari Bondowoso ke Stasiun Wonokromo, Surabaya, tanpa mendapat udara segar.

Insiden yang terkenal dengan Gerbong Maut itu memakan korban puluhan orang. Sosro selamat tiba di Stasiun Wonokromo karena seorang penumpang memecahkan kaca kecil di gerbong. Tapi kondisinya lemah. Ia dipulangkan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi di rumah. Dan akhirnya Sosro mengembuskan napas terakhir tanpa disaksikan anak-anaknya. "Kami tahu satu bulan setelah Bapak meninggal," kata Windarti.

Njoto awalnya tak menunjukkan paras sedih begitu mendengar ayahnya meninggal. Tapi begitu pulang ke Solo, Njoto langsung ke kamar dan menumpahkan air mata. "Njoto nangis macam anak kecil," ujar Windarti.

Sosro dimakamkan di kompleks pemakaman Desa Tegal Ampel, Bondowoso. Istrinya, Masalmah, yang meninggal pada 1968, juga dimakamkan di tempat yang sama.

Saat Lek Njot Bersepatu Roda

TUJUH puluh tahun silam. Njoto kecil terpesona pada sepatu roda, mainan yang tergolong mewah waktu itu, apalagi di Jember, kota kecil di ujung Jawa Timur. "Kulo nyuwun dipundhutke sepatu roda," kira kira begitu permintaan Njoto kepada ibunya, Masalmah. Sengaja si bocah tak mengajukan permintaan kepada ayahanda, Raden Sosro Hartono, seorang keturunan ningrat Solo yang disegani karena perbawanya. Njoto memang lebih dekat kepada sang ibu.

Saat itu sebenarnya Njoto punya sepeda baru, hadiah dari bapaknya. Dengan sepeda itu bocah lanang semata wayang dari tiga bersaudara ini saban pagi berangkat ke sekolah, HIS (Hollands Inlandsche School, setaraf sekolah dasar) di Jember. Tapi mengayuh sepeda saja belum cukup. Ingin benar Njoto kecil menjelajahi jalanan Jember dengan sepatu ajaib beroda yang mungkin dilihatnya di surat kabar itu.

Singkat kata, permintaan sepatu roda Njoto ini sampai juga ke telinga Raden Sosro. Beruntung, pemilik usaha pembuatan blangkon dan jamu ini mengabulkan permintaan Njoto. Sepatu roda pun dibeli. Pak Raden secara khusus memerintahkan dua penjaga Yosobusono, toko batik milik keluarga Sosro, untuk menjaga Njoto agar tidak jatuh saat belajar meluncur dengan sepatu roda.

Walhasil, saban sore setelah toko batik tutup, Njoto siap beraksi. Dua karyawan toko yang masih terhitung kerabat Pak Raden itu turut sibuk bergerak. Mereka berjaga di sisi kanan dan kiri Njoto yang limbung ke sana kemari. Lek Njot, si anak majikan, tak boleh jatuh.

Tak lama, Njoto mulai lancar bersepatu roda. "Dalam sehari saja ia sudah bisa," kata Sri Windarti, adik Njoto yang selisih dua tahun umurnya dengan sang kakak. Sri tinggal di Medan, bersama keluarga Iramani, adik bungsu Njoto yang terpaut usia 18 tahun.

***

Lelaki blasteran Solo Jember ini lahir pada 12 Januari 1927 di rumah kakeknya, Marjono, seorang pemborong yang memiliki rumah bertingkat tiga di Jember. Sejak kecil Njoto berpembawaan serius seperti bapaknya. Hobinya pun membaca, seperti yang ditekankan oleh Raden Sosro, yang mewanti wanti anak anaknya agar rajin membaca dan bukannya keluyuran.

Saat bersekolah di HIS, Njoto tinggal bersama kakek dan nenek dari pihak ibu di Kampung Tempean, Jember. Adiknya, Sri Windarti, turut serta. Ini karena Raden Sosro ingin anak anaknya bisa belajar di sekolah Belanda, yang jauh lebih teratur kurikulumnya, ketimbang sekolah rakyat untuk orang kebanyakan di Bondowoso, sekitar 30 kilometer utara Jember.

Sepulang sekolah, Njoto terkadang bermain sepak bola di lapangan tak jauh dari rumah kakeknya. Tentu juga menjelajahi jalanan dengan sepatu roda. Masa kecil yang riang.

Urusan belajar bukan berarti terabaikan. Menjelang sore, bersama Sri Windarti, dia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo. Waktu belajar plus ini mulai pukul lima sore hingga delapan malam.

Njoto kecil tumbuh dengan cita cita menjadi jurnalis. Kepada ayahnya, Njoto juga menyampaikan tekadnya untuk menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Rusia, dan Prancis.

Sejak kecil Njoto tidak menyukai struktur sosial yang bertingkat dan cenderung kaku. Pada hari raya Idul Fitri, misalnya, dia merasa tak nyaman menyaksikan suasana feodal Jawa itu di rumah orang tuanya di Bondowoso. Ketika sanak kerabat dan para pekerja batik sowan menghadap Pak Raden, Njoto memilih cabut dari rumah, bersepeda, dan nongkrong di tempat pemandian umum Tasnan. Pemandian ini terletak sekitar tujuh kilometer dari rumah dan masih ada hingga kini.

Setamat HIS, Njoto melanjutkan sekolahnya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama, di Jember, yang bisa dimasukinya tanpa tes. Namun, ketika tentara pendudukan Jepang datang, sekolah Belanda ini tutup. Sang bapak, yang membaca situasi darurat masih akan lama, memindahkan sekolah kedua anaknya itu ke MULO yang dibuka Jepang di Solo, Jawa Tengah. Di kota batik inilah kakek dan nenek dari pihak bapak tinggal.

Di kota ini, Raden Sosro membeli rumah di Desa Kemlayan Wetan 142, di kawasan Kauman. Selain sebagai tempat tinggal kedua anaknya, rumah ini 0menjadi tempat membuka usaha batik tulis, yang memproduksi sarung batik, kain panjang, kemben, dan blangkon.

Sabar Anantaguna, salah satu penggiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat, pernah satu sekolah dan sekelas dengan Njoto di MULO Solo. Penampilan Njoto, seingatnya, cukup rapi dan terawat. "Dia pakai celana panjang," kata Sabar, "sedangkan saya pakai celana pendek karena miskin." Di sini ia tetap bersepeda ketika pergi pulang sekolah.

Njoto pintar bergaul. Tak aneh jika guru menunjuknya sebagai ketua kelas. Bakatnya di bidang tulis menulis lebih menonjol dibanding olahraga.

Suatu ketika Njoto membuat karangan tentang para penjudi sepak bola yang kecewa. Para penjudi itu, begitu ia menulis, sudah berkumpul di pinggir lapangan siap menyaksikan pertandingan. Apa daya, hujan tiba tiba turun dan pertandingan langsung bubar. Para penjudi kecewa karena batal bertaruh. Karangan ini, seperti beberapa karangan Njoto lainnya, dibacakan guru di depan kelas.

Selain pintar menulis, Sri Windarti mengenang, kakaknya hobi menikmati musik klasik, bermain gitar, dan mengarang beberapa lagu. "Dia sendiri tidak menyanyi. Saya yang disuruh menyanyi," kata Windarti.

Njoto membentuk grup Suara Putri, yang berisi empat penyanyi remaja putri yang salah satunya adalah Windarti. Mereka berlatih bernyanyi sambil diiringi petikan gitar Njoto. Salah satunya lagu Wanita Asia, yang sempat mereka nyanyikan di stasiun radio di Solo dan belakangan direkam dalam piringan hitam. Lagu ini memuji ketegaran perempuan Asia plus menyanjung kedatangan Jepang yang melibas Belanda. Setelah Jepang hengkang pada 1945, lagu ini dilarang.

***
Tempo mencoba menelusuri rumah di Desa Kemlayan Wetan itu, tempat Njoto menghabiskan hari hari yang penuh energi. Rumah bertembok tinggi di Jalan Empu Gandring 141 itu kini menjadi rumah kos. Pintu gerbangnya yang cokelat tertutup rapat. Tembok pagar setinggi sekitar tiga meteran itu berwarna putih dan kusam. Seorang perempuan yang membuka pintu mengatakan, "Pemilik rumah tidak ada. Semuanya kos di sini." Pintu gerbang kembali ditutup. Jalanan lengang.

Sri Honing, 74 tahun, warga asli Kemlayan, berkisah kepada Tempo. Honing masih ingat salah seorang warga pendatang yang bernama Njoto. "Dia bersekolah di sini," kata Sri Honing, yang tinggal tak jauh dari rumah indekos tadi. Njoto, menurut Honing, tidak lama tinggal di Kemlayan, hanya sekitar tiga tahun.

Kemlayan dikenal sebagai kampung seni. Ini tecermin dari nama kampung itu, Kemlayan, yang berasal dari kata mloyo, yang merujuk pada para penabuh gamelan Keraton Kasunanan Surakarta, yang banyak tinggal di sini.

Tempo kemudian menelusuri jejak MULO. Sekolah peninggalan Belanda itu telah berubah menjadi Sekolah Menengah Kristen Mertoyudan, dengan enam kelas dan 203 siswa. Sebuah prasasti bertahun 1924 tampil di halaman. "Saya tidak tahu dulu sekolah apa pada zaman Belanda," kata Nanik Setiawati, salah satu guru.

Di Jawa Timur, jejak rumah orang tua Njoto di Jalan P.B. Sudirman, Bondowoso, juga tertinggal samar. Rumah itu telah berubah menjadi rumah toko yang sudah tak lagi beroperasi. Menurut Umi, salah satu kerabat keluarga Njoto, toko itu sekarang dimiliki seorang pedagang Tionghoa dan sudah lama tutup. "Itu dulu rumah ayah Lek Njot," kata dia menunjuk ke seberang dari tokonya yang berjualan tape. Sebuah warung pecel ada di depan rumah. "Bapak saya yang menyewa sejak setahun lalu," kata Titut, penjual pecel.

Nasib rumah Marjono, kakek Njoto, di Kampung Tempean, Jember, tak kalah sunyi. "Pemiliknya, orang Situbondo, pulang kampung karena sakit," kata Saenal, Ketua RW. Rumah itu terletak di Gang Tiga persis berseberangan dengan makam seorang tokoh lokal, Mas Cholilah, di Jalan Samanhudi.

Jupri Ahmari, 74 tahun, sesepuh di Kampung Tempean, bertutur tentang asal mula nama kampung. "Dulu, banyak orang membuat tempe, maka disebut Tempean," katanya. Kampung ini termasuk basis komunis pada era 1960. Kini, jejak itu memudar seiring dengan berkembangnya sebuah taman pendidikan Al Quran.

Peniup Saksofon di Tengah Prahara

IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu �pro-rakyat� dan menggelorakan �semangat perjuangan�. Ia menghapus The Old Man and the Sea�film yang diangkat dari novel Ernest Hemingway�dari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang �kapitalis� harus selalu dimusuhi.

Ia adalah Njoto�yang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno.

Tapi sejarah �resmi� 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang �setengah berdosa� dan �berdosa penuh�. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak.

Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda.

Njoto salah satunya.

=========================================================
TIM TEMPO EDISI KHUSUS NJOTO
Penanggung Jawab: Arif Zulkifli
Koordinator: Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, Dwidjo U. Maksum, Agus Supriyanto
Penyunting: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Mardiyah Chamim, M. Taufiqurohman, Purwanto Setiadi, Putu Setia, Wicaksono
Penulis: Budi Riza, Yandhrie Arvian, Agus Supriyanto, Anton Aprianto, Bagja Hidayat, Dwidjo U. Maksum, Iwan Kurniawan, Kurie Suditomo, M. Nafi, Rini Kustiani, Sapto Pradityo, Wahyu Dhyatmika, Yandi M. Rofiyandi, Yuliawati, Arif Zulkifli, Bismo Agung
Penyumbang Bahan: Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Edi Faisol (Tegal), Mahbub Djunaidy (Jember), Rofiuddin (Semarang), Sutana Monang Hasibuan (Medan), Ukky Primartantyo (Solo)
Penyunting Bahasa: Dewi Kartika, Sapto Nugroho, Uu Suhardi
Fotografer: Mazmur A. Sembiring (Koordinator), Arnold Simanjuntak
Desain Visual: Gilang Rahadian (Koordinator), Eko Punto, Danendro, Hendy Prakarsa, Kiagus Auliansyah, Ajibon, Agus Darmawan S., Tri W. Widodo

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India