Tampilkan postingan dengan label Dipa Nusantara Aidit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dipa Nusantara Aidit. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Oktober 2007

Kuburan: Rahasia Sumur Mati

Hamparan tanah berkerikil itu ditumbuhi labu siam dan ubi jalar. Pohon mangga dan jambu biji menaunginya di kanan-kiri. Hanya itu. Tak ada satu pun penanda yang menunjukkan bekas sumur di pekarangan belakang gedung tua itu. Dulu, bangunan ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali-sebuah kota kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah.

Meski tak berbekas, banyak orang meyakini, di sepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Comite Central PKI, dikuburkan pada 23 November 1965. Salah satunya Mustasyar Nahdlatul Ulama Boyolali, Tamam Saemuri, 71 tahun.

Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organisasi massa di pendapa kabupaten. Saat itu Tamam muda adalah aktivis Gerakan Pemuda Ansor, organisasi yang banyak terlibat dalam "operasi pembersihan". Kepada Tempo dua pekan lalu, dia bercerita bahwa dalam pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menembak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. "Eksekusi-nya subuh-subuh," Tamam menirukan Yasir. Se-akan meneguhkan ucapan kepada lawan bicaranya, Yasir menunjukkan jam tangan yang dia kenakan. "Ini arloji Aidit," katanya. Sewaktu didesak menceritakan bagaimana pucuk pimpinan PKI itu tewas, Yasir berujar, "Dia diberondong senapan AK sampai habis 1 magasin."

Sejumlah sumber lain membenarkan cerita Tamam. Setelah puluhan tahun, cerita itu sampai juga ke telinga putra Aidit, Ilham. Empat tahun lalu dia memutuskan datang sendiri ke tempat yang diduga sebagai pusara ayahnya. "Sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan ayah dengan sembunyi-sembunyi," katanya tatkala dihubungi pekan lalu. Saat itu dia hanya berbekal sepotong informasi dari koran bahwa Aidit tewas ditembak di Boyolali. Berbilang kawan dekat ayahnya dia tanyai, tapi tak ada satu pun yang tahu nasib Aidit selepas meninggalkan Ibu Kota.

Menemukan makam Aidit bukan perkara mudah, bahkan bagi anaknya. Ada upaya sistematis untuk membuat peristirahatan terakhir Aidit dilupakan orang. Sumur tua itu, misalnya, sampai dua kali diuruk batu setelah November 1965. Kompleks gedung markas Batalion 444 juga dibongkar dan kini hanya menyisakan sebuah gedung tua. Gedung itu sekarang digunakan sebagai mes pegawai Komando Distrik Militer (Kodim) Boyolali.

Batalion 444 dikenal sebagai kesatuan tentara pro-komunis. Salah satu komandan kompinya adalah Letnan Kolonel Untung Syamsuri, yang kemudian memimpin operasi penculikan sejumlah jenderal pada malam 30 September. Tahun-tahun menjelang 1965, Boyolali juga dikenal sebagai basis PKI Jawa Tengah. Dalam pemilu 1955 dan pemilihan kepala daerah dua tahun sesudahnya, PKI meraih kemenangan besar di sana.

Pencarian Ilham baru berbuah ketika sebuah lembaga swadaya masyarakat lokal di Boyolali menghubunginya dan menceritakan temuan mereka. Mereka mengetahui lokasi ini dari sumber-sumber kredibel yang terlibat langsung dalam pembunuhan anggota PKI saat itu," kata Ilham.

Tempo mendatangi lokasi itu dua pekan lalu. Dan seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit.

Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. "Pernah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat di atasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras," katanya. Saat bergeser beberapa meter ke samping, justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru ditutup lagi. Si penghuni ini menolak disebut namanya karena khawatir keselamatannya terancam.

Tak sampai 100 meter dari sana, ada sebuah lokasi lain yang juga disebut-sebut berhubungan dengan Aidit. Di sanalah, konon, Wakil Ketua Majelis MPR Sementara itu ditembak mati. Pekarangan tersebut bagian dari satu rumah berarsitektur tua yang sekarang menjadi gedung Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah.

"Jadi, setelah ditembak di sana, baru jenazahnya dimasukkan ke sumur di sebelahnya," kata Ilham kepada Tempo. Pada 1965, rumah itu digunakan sebagai Sekolah Pendidikan Guru. Lokasinya tak jauh dari Pasar Boyolali, yang berhadap-hadapan dengan markas polisi militer Kodim Boyolali dan gedung yang dulu digunakan sebagai Sekretariat PKI.

Mbah Jungkung, seorang pensiunan pegawai negeri setempat yang banyak mengetahui ihwal kejadian pada masa itu, membenarkan kisah Ilham. Bahkan, menurut dia, gedung sekolah itu dahulu dijadikan semacam kamp tahanan. Para anggota dan simpatisan PKI dikumpulkan di situ sebelum dieksekusi.

***

Ketika akhirnya berdiri di samping pusara ayahnya pada 2003 lalu, Ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. "Naluri saya mengatakan memang di sinilah tempatnya," katanya dengan suara tercekat. Putra Aidit itu juga mengaku memendam keinginan untuk memindahkan jenazah ayahnya ke tempat yang layak. "Tapi mungkin belum bisa sekarang," katanya pelan. "Kami harus bersabar."

Dan Soeharto pun Tersenyum


Ada di mana kamu saat pemberontakan PKI Madiun," tanya Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.

"Saya waktu itu baru saja dihijrahkan dari Jawa Barat," jawab Kolonel Yasir Hadibroto, Komandan Brigade IV Infanteri. "Kompi saya lalu mendapat tugas menghadapi tiga batalyon komunis di daerah Wonosobo, Pak."

"Nah, yang memberontak sekarang ini adalah anak-anak PKI Madiun dulu. Sekarang bereskan itu semua! D.N. Aidit ada di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," ujar Soeharto memberi perintah.

Percakapan di Markas Komando Strategis Angkatan Darat, Jakarta, itu dituturkan ulang oleh Yasir dalam Kompas edisi 5 Oktober 1980. Saat itu dia bersama pasukannya baru saja tiba di Tanjung Priok. Brigif IV sebenarnya tengah melakukan operasi di Kisaran, Sumatera Utara. Karena mendengar peristiwa G-30-S, mereka kembali.

Di hari pertemuan itu, 2 Oktober 1965, tentara telah mulai mengejar orang-orang Partai Komunis Indonesia yang dituduh terlibat G-30-S. Tapi Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Committee PKI, menghilang.

Yasir pun memboyong pasukannya ke Solo. Di sana dia bertemu Sri Harto, orang kepercayaan pimpinan PKI sedang meringkuk di salah satu rumah tahanan. Orang itu dia lepaskan. Hanya dalam beberapa hari Sri Harto melapor: Aidit berada di Kleco dan akan segera pindah ke sebuah rumah di Desa Sambeng, belakang Stasiun Balapan, pada 22 November.

Rencana pun disusun. Dan benar, sekitar pukul sebelas siang, Aidit muncul di rumah itu, menumpang vespa Sri Harto. Sekitar pukul sembilan malam, Letnan Ning Prayitno memimpin pasukan Brifif IV menggerebek rumah milik bekas pegawai PJKA itu. Yasir mengawasinya dari jauh.

Alwi Shahab, wartawan gaek yang kala itu sedang meliput di Solo, menulis di harian Republika, waktu digerebek Aidit bersembunyi di dalam lemari. Prayitno sendiri yang menemukannya.

"Mau apa kamu?" Aidit membentak anak buah Yasir itu saat keluar dari lemari. Prayitno keder pada mulanya, tapi segera menguasai keadaan. Setengah membujuk dia membawa Aidit ke markas mereka di Loji Gandrung.

Malam itu juga Yasir menginterogasi Aidit. Kabarnya, sang Ketua membuat pengakuan tertulis setebal 50 halaman. Isinya, antara lain, hanya dia yang bertanggung jawab atas peristiwa G-30-S. Sayang, menurut Yasir, Pangdam Diponegoro kemudian membakar dokumen itu. Entah bagaimana, koresponden Asahi Evening News di Jakarta, Risuke Hayasi, berhasil mendapatkan bocoran pengakuan Aidit untuk korannya.

Menjelang dini hari Yasir kebingungan, selanjutnya harus bagaimana. Aidit berkali-kali minta bertemu dengan Presiden Soekarno. Yasir tak mau. "Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain," kata Yasir seperti dikutip Abdul Gafur dalam bukunya, Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia.

Akhirnya, pada pagi buta keesokan harinya, Yasir membawa Aidit meninggalkan Solo menuju ke arah Barat. Mereka menggunakan tiga buah jip. Aidit yang diborgol berada di jip terakhir bersama Yasir. Saat terang tanah iring-iringan itu tiba di Boyolali.

Tanpa sepengetahuan dua jip pertama, Yasir membelok masuk ke Markas Batalyon 444. Tekadnya bulat. "Ada sumur?" tanyanya kepada Mayor Trisno, komandan batalyon. Trisno menunjuk sebuah sumur tua di belakang rumahnya.

Ke sana Yasir membawa tahanannya. Di tepi sumur, dia mempersilakan Aidit mengucapkan pesan terakhir, tapi Aidit malah berapi-api pidato. Ini membuat Yasir dan anak buah marah. Maka: dor! Dengan dada berlubang tubuh gempal Menteri Koordinasi sekaligus Wakil Ketua MPRS itu terjungkal masuk sumur.

***

24 November 1965, pukul 3 sore. Yasir bertemu Soeharto di Gedung Agung, Yogyakarta. Setelah melaporkan pekerjaannya, termasuk keputusannya membunuh Aidit, sang kolonel memberanikan diri bertanya: "Apakah yang Bapak maksudkan dengan bereskan itu seperti sekarang ini, Pak?" Soeharto tersenyum.

Setelah Peristiwa G-30-S: Kawan Ketua ke Daerah Basis

Langit masih gelap saat pesawat Dakota T-443 menyentuh landasan Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto, Yogyakarta. Pesawat penting, dengan orang penting di dalamnya. Maka, di pagi buta itu, 2 Oktober 1965, sejumlah perwira AU bergegas ke terminal. Ada Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto, juga lima perwira AU berpangkat mayor.

"Apakah tujuan kedatangan Yang Mulia ke Yogyakarta?" tanya Komodor Udara Dono Indarto saat menyambut sang tamu di ruang VIP pangkalan.

Sosok yang dipanggil Yang Mulia itu, pria berumur 42 tahun, menjawab singkat. "Situasi di Yogyakarta panas. Saya diperintahkan oleh Bung Karno untuk mempersiapkan, karena kemungkinan Bung Karno akan ke Yogyakarta," katanya. Ia adalah Dipa Nusantara Aidit, Menteri Koordinator/Wakil Ketua MPRS dan juga Ketua Comite Central (CC) PKI. Ia ditemani dua sekretarisnya, Walujo dan Kusno.

Lawatan orang nomor satu PKI ini ke Yogyakarta dan Jawa Tengah pada saat seperti itu tentu saja mengundang beragam tafsir. "Kawan ketua mendatangi daerah basis," kata Ngadiyanto, anggota DPRD Jawa Tengah dari PKI, soal lawatan itu. Dua daerah itu memang basis partai berlambang palu arit ini. Menurut bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo, selain untuk konsolidasi, kedatangan ini buat menyelamatkan diri. "Karena tidak banyak yang bisa dilakukan pada saat itu," kata pria yang kini 85 tahun itu kepada Tempo.

Saat itu, terkesan Angkatan Udara menangkap kedatangan Aidit ini sebagai tugas negara, bukan partai. Angkatan Udara pun menawarkan untuk mengantarkannya ke Kepala Daerah Yogyakarta Sri Paku Alam. Tapi Aidit memilih pergi ke rumah Ketua Comite Daerah Besar (CDB) PKI Yogyakarta, Sutrisno. Salah satu perwira di pangkalan, Mayor Sunaryo, mengantarnya dengan mobil Morris; satu mobil pengawal ikut di belakangnya. Sebelumnya, sejumlah perwira mengusulkan Aidit diantar mobil dinas Angkatan Udara. Rencana ini batal karena Dono Indarto menolaknya.

Dalam perjalanan ke rumah Sutrisno, dua kali rombongan Aidit kesasar. Awalnya ke rumah Ketua Partai Nahdlatul Ulama, lalu ke rumah Ketua Partai Nasionalis Indonesia. Tak jelas benar apakah ini sengaja atau memang karena ketidaktahuan. Dalam buku Menyingkap Kabut Halim 1965 memang diungkapkan: tak seorang pun dari para pengantar itu tahu rumah Sutrisno. Tapi kedatangan orang pusat yang tak dijemput pejabat daerah memang menjadi tanda tanya sendiri di benak orang-orang Angkatan Udara.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di kota ini Aidit bertemu dengan pimpinan PKI Yogyakarta. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjata untuk mendukung Dewan Revolusi Untung, meski itu tak jadi dilaksanakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam. Setelah itu, Aidit bertolak ke Semarang.

Wakil Ketua I CC PKI M.H. Lukman dan pemimpin PKI Jawa Tengah dikabarkan mengadakan pertemuan darurat di Semarang. Menurut Victor Miroslav Fic, pertemuan ini penting karena menghasilkan sikap politik PKI yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan partai tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu. Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi kekuatan untuk menangkal serangan dari lawan-lawan politik partai dan Presiden.

Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali, justru akhir Oktober 1965. Pria 61 tahun ini awalnya dihampiri dua orang yang mengendarai VW Kodok, yang belakangan diketahui adalah Aidit dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Suyatno Atmo. "Si Mbah (panggilan untuk Aidit) menanyakan jalan menuju kantor Bupati Boyolali," kata Jungkung. Bupati Boyolali saat itu, Suwali, memang kader partai.

Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu dan menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemuan Semarang.

Bertolak belakang dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 September beserta tujuan-tujuannya. Partai juga harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai. Menurut Victor Miroslav Fic, perbedaan keputusan Semarang dan Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat. Yang juga belum jelas dari rangkaian peristiwa ini adalah bagaimana Aidit bisa melakukan rapat di Yogyakarta, Semarang, dan Solo dalam waktu sehari.

Dalam keadaan genting ini, Politbiro PKI bertemu di Blitar, Jawa Timur, 5 Oktober 1965. Soal pertemuan ini memang simpang-siur. Bekas anggota CC PKI, Rewang, mengaku tak tahu soal pertemuan itu. "Oktober 1965, saya masih di Jakarta," kata Rewang kepada Tempo. Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Sumaun Utomo tegas menyangkal adanya pertemuan itu. "Saat itu semua pengurus elite PKI masih di Jakarta dan sibuk menyelamatkan diri. Secara teknis, tidak mungkin anggota Politbiro berkumpul di Blitar," kata pria 85 tahun itu.

Menurut Victor Miroslav Fic, memang tak semua elite partai hadir. Selain Aidit, cuma ada M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI yang juga Wakil Ketua DPR Gotong-royong. Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit yang akan disampaikan kepada Presiden Soekarno.

Dalam surat tertanggal 6 Oktober yang diyakini ditulis di Blitar, Aidit menyampaikan versinya soal peristiwa 30 September. Malam itu, ia mengaku dijemput tentara berpakaian Pengawal Presiden Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet. Tapi mobil yang membawanya justru mengarah ke daerah Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, bukan Istana Negara. Dari para penahannya, ia mendapat informasi soal rencana menangkap orang yang disebut terlibat Dewan Jenderal. Informasi tambahan lainnya, Presiden dikabarkan memberi restu gerakan ini.

Keesokan harinya, masih menurut surat itu, Aidit diminta berangkat ke Yogyakarta dengan pesawat yang disediakan Wakil Perdana Menteri Omar Dhani, untuk mengatur kemungkinan evakuasi Presiden ke Yogyakarta. Kota ini dianggap tepat untuk markas pemerintahan sementara. Dalam surat tersebut, Aidit juga menyampaikan permintaan maaf karena tak bisa datang dalam rapat kabinet di Bogor karena pesawat AURI yang akan mengantarnya rusak.

Surat itu diakhiri dengan enam usul untuk menyelesaikan krisis politik akibat penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat tersebut. PKI tetap beranggapan Gerakan 30 September itu adalah soal internal di tubuh Angkatan Darat. Aidit mengaku tak tahu sebelumnya soal gerakan tersebut "sehingga tidak dapat menyalurkan potensi revolusi ke arah yang wajar". Kepada Presiden, Aidit menyampaikan usul agar peristiwa itu diselesaikan Presiden secara politik.

Aidit menyerahkan surat itu kepada Lukman dan menginstruksikan agar dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, Lukman diminta menghubungi Njoto dan menyampaikan surat tersebut untuk diserahkan kepada Presiden secara pribadi. Bila kabinet bersidang pada 6 Oktober di Bogor, Njoto diminta hanya membacakan salah satu poin yang berisi usul penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September secara politik. Njoto memang bisa bertemu dengan Presiden. Di depan sidang kabinet, Presiden memberi Njoto kesempatan untuk menyampaikan pandangan PKI.

Ada cerita sendiri soal gagalnya Aidit datang dalam rapat kabinet di Istana Bogor. Mulanya, datang radiogram kepada komandan Skuadron Pendidikan B Mayor Udara Sugiantoro, 5 Oktober 1965. Isinya, ada permintaan agar dikirim sebuah pesawat Mentor ke Pangkalan Angkatan Udara Panasan, Solo, dan pilotnya menghadap ke komandan pangkalan.

Mayor Udara Sugiantoro melaporkan radiogram itu ke Gubernur Akademi Angkatan Udara Komodor Udara Dono Indarto. Tak lama kemudian, Sugiantoro bersama Kapten Udara Suwandi Sudjono melesat dengan dua pesawat Mentor ke Panasan, Solo. Sesampai di pangkalan, ia menghadap ke komandan pangkalan, Kolonel Udara Sunyoto. Ia pun diberi instruksi mengantar seorang pejabat, yang tak ia sebutkan namanya, ke Pangkalan Angkatan Udara Semplak, Bogor.

Atas desakan Mayor Sugiantoro yang ingin tahu siapa pejabat "misterius" itu, Kolonel Sunyoto pun buka kartu. Orangnya tak lain adalah Aidit. Tahu perkembangan Gerakan 30 September di Jakarta melalui radio, ia tegas menolak instruksi itu.

"Ini perintah," bentak Kolonel Sunyoto waktu itu.

"Saya hanya tunduk pada perintah atasan saya langsung di Akademi Angkatan Udara," kata Mayor Sugiantoro.

Suasana tegang karena keduanya sama-sama teguh pendirian. Pesawat Mentor itu pun kembali lagi ke Yogyakarta, dan tak ada penerbangan ke Bogor.

Di tengah gencarnya usaha perburuan terhadap tokoh dan simpatisan PKI yang dilakukan pasukan Soeharto, Aidit masih sempat mengeluarkan instruksi. Menurut Victor Miroslav Fic, salah satu instruksinya adalah yang dibuat pada 10 November. Dalam surat yang terdiri atas 11 item itu, Aidit menyampaikan "wasiat" setelah melihat perkembangan keadaan. Merujuk pada buku wartawan TVRI Hendro Subroto, Dewan Revolusi PKI: Menguak Kegagalannya Mengkomuniskan Indonesia, mungkin surat itu ditulis dari tempat persembunyian Aidit di daerah Kerten atau Sambeng, sama-sama di Solo.

Dalam "wasiat terakhirnya" itu, Aidit mengakui kerusakan fatal pada partai akibat Gerakan 30 September, meski semua sudah diperhitungkannya. Surat itu juga mengisyaratkan kemungkinan Aidit mencari perlindungan ke RRC. Jika itu terjadi, petinggi PKI diminta menjamin kelangsungan partai, mempertahankan daerah basis di Jawa, menghindari perlawanan frontal, serta teror dan sabotase hendaknya dijalankan sistematis untuk perang urat saraf. Surat itu juga mengisyaratkan optimisme bahwa Sosro-yang diyakini sebagai nama samaran untuk Soekarno-belum meninggalkan PKI.

Dalam sidang terakhir Kabinet Dwikora, 6 Oktober, Soekarno bisa meyakinkan kabinet untuk menerima usul Aidit. Tapi perkembangan yang terjadi kemudian berujung pada kekalahan PKI. Selang 12 hari setelah "surat wasiat" itu, Aidit ditangkap anak buah Komandan Brigade Infanteri 4 Kodam Diponegoro Kolonel Yasir Hadibroto. Itulah akhir karier dan hidupnya.

Perjalanan Terakhir Aidit

1. Jakarta
Aidit bertolak dari Jakarta pukul 01.30 WIB pada 2 Oktober 1965.
Naik Pesawat Dakota T-443 dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma menuju Pangkalan Angkatan Udara Adisutjipto.

2. Yogyakarta
Tiba di bandara pada 2 Oktober 1965 dini hari.
Aidit pergi ke rumah Ketua CDB PKI Yogyakarta Sutrisno.
Bertemu dengan petinggi partai dan memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi massa untuk membela Presiden Soekarno.

3. Semarang
Aidit bergabung dengan pemimpin PKI Jawa Tengah yang mengadakan pertemuan darurat, 2 Oktober 1965.
Rapat menghasilkan sikap politik yang menyatakan Gerakan 30 September adalah masalah internal Angkatan Darat dan PKI tak ada sangkut-pautnya dengan gerakan itu.
Tugas utama partai kini melakukan konsolidasi.

4. Boyolali
Aidit dilaporkan datang ke kota ini pada 2 Oktober 1965, tapi agendanya tak jelas benar.
Ada yang mengaku melihat Aidit di Boyolali justru akhir Oktober. Waktu itu, Aidit hendak bertemu dengan kader partai yang jadi Bupati Boyolali, Suwali.

5. Solo
Aidit menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali Kota Solo Utomo Ramelan, 2 Oktober 1965.
Rapat justru mendukung operasi Gerakan 30 September dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung merebut kekuasaan pemerintah setempat dan membela partai.

6. Blitar
Pada 5 Oktober 1965, Politbiro PKI menggelar rapat.
Pertemuan itu untuk menyusun pernyataan Politbiro PKI soal Gerakan 30 September dan juga surat Aidit kepada Presiden Soekarno.
Bekas anggota CC PKI, Rewang, tak tahu pertemuan itu.
Bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI Semaun Utomo menyangkal adanya pertemuan itu.

7. Solo
Pada 10 November, di suatu tempat di Solo, Aidit menulis instruksi ke semua CBD partai.
Pada 22 November 1965, Aidit ditangkap.

Malam terakhir: Setelah Lampu Depan Dimatikan

Jarum jam menunjuk angka 21.30.

Bocah enam setengah tahun itu merosot turun dari ranjang ibunya. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Dentang jam dinding di ruang tengah membuatnya makin terjaga pada malam itu, Jumat Pahing, 30 September 1965.

Ilham, bocah itu, menyelinap ke ruang tamu. Ayahnya, Dipa Nusantara Aidit, tengah asyik mengobrol dengan Hardoyo, mantan Ketua Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa onderbouw Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembicaraan berlangsung serius. Wajah keduanya menegang. Beberapa kali keduanya terpaksa menghentikan pembicaraan tatkala Ilham berseliweran di ruang tamu.

Ketika Hardoyo pamit, Ilham melihat ayahnya mengantar tamunya hingga ke teras. Setelah itu, Aidit berbalik masuk rumah, mengunci pintu depan, dan menghalaunya ke kamar tidur. "Ham, larut malam begini kau belum juga tidur," kata Aidit. Ketua Comite Central (CC) PKI itu meraih tangan Ilham dan menggandengnya menuju kamar.

Ilham hafal. Jika sudah tidak ada tamu, biasanya ayahnya berganti baju dan masuk ruang kerjanya. "Kalau tidak membaca, ya menulis, sampai pagi," cerita Ilham, anak lelaki kedua Aidit yang lahir di Moskow, 18 Mei 1959, kepada Tempo.

Hardoyo bukan satu-satunya tamu malam itu. Sebelumnya, ada beberapa orang lainnya. Ilham tak ingat siapa. Tapi, seperti pernah dikatakan Hardoyo kepadanya-Hardoyo sudah meninggal pada Desember lalu-tetamu yang datang malam itu adalah orang-orang Partai, para pemimpin buruh juga petani.

Rumah Aidit memang tak pernah sepi dari tamu. Menurut cerita adik Aidit, Murad, di bagian kiri rumah ada semacam paviliun yang sengaja digunakan sebagai Posko Pemuda Rakyat. Beruntung karena posisi rumah abangnya di Jalan Pegangsaan Barat 4, Cikini, Jakarta Pusat-sekarang Kantor Partai Golkar DKI Jakarta-berada di pojok.

Para tamu pun tak ragu datang ke rumah Aidit. Sebab, ada satu tanda pasti bila sang Comandante ada di rumah dan bersedia menerima tamu: lampu serambi depan menyala. "Dia sendiri yang selalu menyalakan dan mematikan lampu itu," cerita Murad.

***

Jam terus berdetak. Tapi Ilham belum pulas juga. Dia tetap terjaga sembari membolak-balikkan badan di ranjang. Iri nian dia melihat abangnya, Iwan, dan adik kembarnya, Irfan, mendengkur nikmat.

Dia malah dikagetkan oleh deru mesin jip memasuki pelataran rumah. Terdengar derap sepatu bergegas mendekat. Dia juga mendengar derik pintu depan dibuka, menyusul beberapa saat kemudian. Dia menangkap suara ibunya bernada tinggi ketika berbicara dengan si tamu. Karena penasaran, dia mengendap-endap ke ruang depan.

Ilham tak ingat seluruh pembicaraan. Namun dia melihat ibunya membentak dua orang berseragam militer warna biru di depan rumah. "Ini sudah malam!"

"Maaf, tapi ini darurat. Kami harus segera," jawab si tamu tak diundang.

"Sebentar. Akan saya panggilkan," ibunya menjawab kesal, berbalik dan memanggil ayahnya di ruang kerja. Ilham yang kepergok berada di ruang tengah ikut kena damprat. "Kamu, anak kecil, tidur kamu. Sudah malam begini masih kelayapan."

Ilham tak bergerak dan tetap berada di ruang tengah. Ia mendengar kedua orang tuanya berdebat. Lalu dia melihat ayahnya menemui tamu itu. "Segeralah bersiap, Bung, waktu kita terbatas," kata si prajurit.

Aidit kembali ke kamar tidur, membuka lemari baju, memasukkan beberapa pakaian dan buku ke dalam tas. Ia sempat terlihat ragu. Ilham melihat ayahnya meletakkan tas dan kembali ke ruang depan, berbicara selintas dengan penjemputnya. Lalu Aidit kembali ke kamar dan ribut dengan Soetanti. "Ibu ngotot minta ayahnya tak usah berangkat ke Istana, malam-malam," kisah Ilham. Namun ayahnya tetap pergi.

Sebelum meninggalkan rumah, Aidit mencium kening istrinya. Dia juga mengangkat tubuh Ilham dan mengusap rambutnya. Kepada Murad, dia berpesan agar mengunci pagar. "Matikan lampu depan," perintah Aidit kepada Murad.

***

Ke mana sesungguhnya Aidit pergi malam itu, dan apa saja yang dilakukan, masih belum ada satu versi jawaban yang pasti hingga kini.

Dalam kesaksian Mayor Udara Sudjono di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), dialah yang menjemput Aidit di rumahnya-bukan Cakrabirawa. Lalu Sudjono membawanya ke rumah Sjam Kamaruzzaman, Kepala Biro Khusus PKI di Jalan Salemba Tengah, Jakarta Pusat. Di tempat itu, sudah menunggu sejumlah anggota Biro Khusus-biro ini dibentuk Aidit tanpa setahu pengurus pusat (CC) PKI.

Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, di rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga dipertemukan dengan Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang dekat dengan Presiden Soekarno. Kepada Pranoto, Aidit menawarkan posisi sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal Ahmad Yani. Selain itu, Aidit menyampaikan konsep Dekrit Dewan Revolusi yang harus diteken malam itu dan disiarkan pagi 1 Oktober 1965.

Setelah itu, rencananya, Aidit bertemu Soekarno di rumah Komodor Susanto di Halim Perdanakusuma. Skenarionya, Aidit akan memaksa Soekarno membersihan Dewan Jenderal, lalu memintanya mengundurkan diri sebagai presiden. Pertemuan dengan Soekarno gagal. Sebagai gantinya, Aidit mengutus Brigadir Jenderal Soeparjo menemui Soekarno, yang juga berada di Halim, namun di tempat terpisah.

Versi lain tertulis dalam surat Aidit ke Soekarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September 1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat kabinet di Istana Negara. Tapi dia malah dibawa ke Jatinegara dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Di Halim, Aidit ditempatkan di rumah kecil, dan diberi tahu akan ada penangkapan terhadap anggota Dewan Jenderal.

Esok harinya, Aidit mendapat kabar bahwa Soekarno memberi restu terhadap penyingkiran Dewan Jenderal. Lalu Aidit diminta ke Yogyakarta dengan pesawat untuk mengatur kemungkinan evakuasi Soekarno. Kota itu dianggap tempat yang tepat untuk markas pemerintahan sementara.

Tidak jelas mana yang lebih benar. Hingga kini pun tidak ada kejelasan apa saja yang terjadi pada Aidit setelah dia meminta Murad mematikan lampu depan sebelum meninggalkan rumah di Pegangsaan. Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian, bahwa Aidit pernah dibawa ke Halim. Yang lainnya, gelap.

Gerakan 30 September: Dari Menteng ke Pusaran Kekuasaan

PERISTIWA 42 tahun lalu itu tetap saja masih menjadi tanda tanya keluarga besar Aidit: apa sebenarnya peran Aidit dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu? Peran Aidit dalam "kup" 30 September 1965 memang masih misteri. Sejumlah sejarawan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Committee Central, dituding sebagai otaknya.

Murad Aidit, adik kandung Aidit, berkisah. Pada "malam berdarah" itu tak ada tanda-tanda atau kesibukan khusus di rumah Aidit. "Malah saya dipesan mematikan lampu," kata Murad. Menjelang "peristiwa Gerakan 30 September" itu, Murad memang menginap di rumah Aidit di Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat. Rumah Aidit sepi. "Sampai sekarang saya lebih bisa menerima tragedi itu karena ada pengkhianat dalam tubuh PKI," katanya. Dia tidak yakin abangnya yang memerintahkan pembunuhan para jenderal.

Aidit mengawali "karier politiknya" dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal sebagai "sarang pemuda garis keras" pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam, antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik, dan Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi). Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Soekarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia-sesuatu yang kemudian ditolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis.

Aidit disebut-sebut juga berperan dalam pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pascapemberontakan yang gagal itu, ia sempat dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogya. Ketika terjadi agresi Belanda, ia kabur dari penjara dan tinggal di Vietnam Utara. Tentang kepergiannya ke Vietnam ada pendapat lain. Ada yang menyebut bahwa sebenarnya ia hanya mondar-mandir Jakarta-Medan.

Yang pasti, pada pertengahan 1950, Aidit, yang saat itu berusia 27 tahun "muncul" lagi. Bersama M.H. Lukman, 30 tahun, Sudisman, 30 tahun, dan Njoto, 23 tahun, ia memindahkan kantor PKI dari Yogyakarta ke Jakarta. Bisa dibilang, dalam kurun waktu inilah karier politik Aidit sesungguhnya dimulai.

Momentum konsolidasi partai terjadi ketika meletus kerusuhan petani di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, 6 Juni 1953. Kerusuhan yang digerakkan kader PKI itu menjatuhkan kabinet Wilopo. Kesuksesan ini memompa semangat baru ke tubuh partai tersebut.

Bersama "kelompok muda" partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pengurus PKI beralih ke generasi muda. Tokoh partai semacam Tan Ling Djie dan Alimin disingkirkan. Pada kongres itu, Aidit dikukuhkan menjadi Sekretaris Jenderal PKI. Aidit lantas meluncurkan dokumen perjuangan partai berjudul "Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Memenangkan Revolusi".

Aidit juga membangun aliansi kekuatan dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) untuk memperkuat PKI. PNI dipilih karena, selain sama-sama anti-Barat, juga ada figur Soekarno yang bisa dipakai mengatasi tekanan lawan-lawan politik mereka. Puncak kerja sama terjadi pada masa Sidik Djojosukarto memimpin PNI. Saat itu disepakati bahwa PNI tidak akan mengganggu PKI dalam rangka membangun partai.

Menurut Ganis Harsono, seorang diplomat senior Indonesia dalam otobiografinya, Cakrawala Politik Era Sukarno, strategi ini berhasil "menyandera" Bung Karno. Ada kesan bahwa Bung Karno berdiri di depan PKI, sekaligus memberi citra PKI pendukung revolusi Bung Karno dan Pancasila.

Kerja keras Aidit membuahkan hasil. Pada Pemilu 1955, PKI masuk "empat besar" setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Di masa ini PKI menjadi partai komunis terbesar di negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.

PKI terus maju. Pada tahun itu juga partai ini menerbitkan dokumen perjuangan "Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan". Bentuk pertama, perjuangan gerilya di desa-desa oleh kaum buruh dan petani. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama kaum buruh di bidang transportasi. Ketiga, pembinaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata, yakni TNI.

Pada 1964, PKI membentuk Biro Khusus yang langsung dibawahi Aidit sebagai Ketua Committee Central PKI. Tugas biro ini mematangkan situasi untuk merebut kekuasaan dan infiltrasi ke tubuh TNI. Biro Chusus Central (demikian namanya) dipimpin Sjam Kamaruzzaman. Tak sampai setahun, Biro Chusus berhasil menyelusup ke dalam TNI, khususnya Angkatan Darat.

Pada Juli 1965, seiring dengan merebaknya kabar kesehatan Bung Karno memburuk, suhu politik Tanah Air makin panas pula. Sebuah berita dari dokter RRC yang merawat Presiden datang: Bung Karno akan lumpuh atau meninggal dunia. Di Jakarta bertiup rumor menyengat, muncul Dewan Jenderal yang hendak menggulingkan Bung Karno.

Dalam Buku Putih G-30-S/PKI yang diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994, disebutkan bahwa Aidit kemudian menyatakan, gerakan merebut kekuasaan harus dimulai jika tak ingin didahului Dewan Jenderal. Gerakan itu dipimpinnya sendiri. Ada pun Sjam ditunjuk sebagai pemimpin pelaksana gerakan.

Saat diadili Mahkamah militer, Sjam mengaku dipanggil Aidit pada 12 Agustus 1965. Dalam pertemuan itu, ia diberi tahu bahwa Presiden sakit dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan bila Bung Karno mangkat. Menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia meninjau "kekuatan kita".

Sejak 6 September 1965, Sjam lantas menggelar rapat-rapat di rumahnya dan di rumah Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infanteri I Kodam Jaya). Di rapat ini hadir Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa) dan Mayor Udara Sudjono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan Halim Perdanakusumah). Rapat terakhir, 29 September 1965, menyepakati gerakan dimulai 30 September 1965 dengan Untung sebagai pemimpinnya.

Dalam wawancara dengan majalah D&R, 5 April 1999, A. Latief menyatakan, Gerakan 30 September dirancang untuk menggagalkan upaya kup Dewan Jenderal. "Kami dengar ada pasukan di luar Jakarta yang didatangkan dalam rangka defile Hari Angkatan Bersenjata dengan senjata lengkap. Ini apa? Mau defile saja, kok, membawa peralatan berat," kata Latief. Karena merasa bakal terjadi sesuatu, para perwira tersebut, yang mengaku terlibat karena loyal pada Soekarno, memilih menjemput "anggota" Dewan Jenderal untuk dihadapkan ke Soekarno.

Menurut Latief gerakan itu diselewengkan oleh Sjam. "Rencananya akan dihadapkan hidup-hidup untuk men-clear-kan masalah, apakah memang benar ada Dewan Jenderal," katanya. Tapi, malam hari, saat pasukan Cakrabirawa pimpinan Letnan Dul Arief, anak buah Untung, akan berangkat menuju rumah para jenderal, tiba-tiba, ujar Latief, Sjam datang. "Bagaimana kalau para jenderal ini membangkang, menolak diajak menghadap Presiden," kata Dul Arief. Sjam menjawab, para jenderal ditangkap. Hidup atau mati.

Keesokan harinya, Dul Arief melaporkan kepada Latief dan Jenderal Soepardjo bahwa semua telah selesai. "Mula-mula mereka saya salami semua, tapi kemudian Dul Arief bilang semua jenderal mati. Saya betul-betul kaget, tidak begitu rencananya," kata Latief yang mengaku tidak kenal dengan Aidit.

Aidit sendiri belum pernah memberi pernyataan tentang hal ini. Ia ditangkap di Desa Sambeng, dekat Solo, Jawa Tengah, pada 22 November 1965 malam, dan esok paginya ditembak mati. Sebelum ditangkap pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto, Aidit dikabarkan sempat membuat pengakuan sebanyak 50 lembar. Pengakuan itu jatuh ke Risuke Hayashi, koresponden koran berbahasa Inggris yang terbit di Tokyo, Asahi Evening News.

Menurut Asahi, Aidit mengaku sebagai penanggung jawab tertinggi peristiwa "30 September". Rencana pemberontakan itu sudah mendapat sokongan pejabat PKI lainnya serta pengurus organisasi rakyat di bawah PKI. Alasan pemberontakan, mereka tak puas dengan sistem yang ada. Rencana kup semula disepakati 1 Mei 1965, tetapi Lukman, Njoto, Sakirman dan Nyono-semuanya anggota Committee Central-menentang. Alasannya, persiapan belum selesai. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan Letkol Untung dan sejumlah pengurus lain pada Juni 1965, disepakati mulai Juli 1965 pasukan Pemuda Rakyat dan Gerwani dikumpulkan di Pangkalan Halim Perdanakusumah.

Pertengahan Agustus, sekembalinya dari perjalanan ke Aljazair dan Peking, Aidit kembali melakukan pertemuan rahasia dengan Lukman, Njoto, Brigjen Soepardjo, dan Letkol Untung. PKI mendapat info bahwa tentara, atas perintah Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani, akan memeriksa PKI karena dicurigai mempunyai senjata secara tidak sah. "Kami terpaksa mempercepat pelaksanaan coup d'etat," kata Aidit. Akhirnya, dipilih tanggal 30 September.

Dalam buku Bayang-bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G-30-S karena ia membentuk dua organisasi: PKI legal dan PKI Ilegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus hanya kepada Aidit. Hanya, ternyata, tak semua "hasil" itu dilaporkan Sjam.

Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut bekas Wakil Perdana Menteri era Soekarno ini, G-30-S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alasan Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong. Waktu itu, kata Soebandrio, Aidit membawa seorang dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Soebandrio dan Leimena, yang juga dokter, ikut memeriksa Soekarno. Kesimpulan mereka sama: Bung Karno cuma masuk angin.

Soebandrio dalam memoarnya, Kesaksianku Tentang G-30-S, menyesalkan pengadilan yang tidak mengecek ulang kesaksian Sjam. Menurut Soebandrio, ada lima orang yang bisa ditanya: Bung Karno, Aidit, dokter Cina yang ia lupa namanya tersebut, Leimena, dan dirinya sendiri. Menurut Soebandrio, pada Agustus 1965 kelompok "bayangan Soeharto" (Ali Moertopo cs) sudah ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi untuk mendorong PKI mendahului memukul Angkatan Darat.

Njoto membantah pernyataan Aidit. Menurut Njoto, "Hubungan PKI dengan Gerakan 30 September dan pembunuhan Jenderal Angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apa pun, sampai-sampai sesudah terjadinya," katanya dalam wawancara dengan Asahi Evening News. Keterangan Njoto sama dengan komentar Oei Hai Djoen, mantan anggota Comite Central. "Kami semua tidak tahu apa yang terjadi," kata dia.

Presiden Soekarno sendiri menyatakan Gestok (Gerakan Satu Oktober)-demikian istilah Bung Karno-terjadi karena keblingernya pemimpin PKI, lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme), serta adanya "oknum yang tidak benar".

Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. "Menurut kami, PKI memang terlibat, tapi terlibat seperti apa?" kata Murad. Setelah puluhan tahun tragedi itu berlalu, pertanyaan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad dan anggota keluarga Aidit yang lain.

Trio Komunis: The Three Musketeers

Madiun, 19 September 1948...

Revolusi memakan anak sendiri. Sebelas pemimpin teras PKI tewas. Muso, Amir Sjarifuddin, dan Maruto Darusman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo.


Partai limbung, tercerai-berai. Tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul menjadi tulang punggung partai. Ketiganya menghidupkan partai-dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI: Sekretaris Jenderal, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.

Kisah persahabatan-dan konflik-tiga sahabat itu menarik dikenang.

Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohamad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Bekas Hotel Schomper itu terkenal sebagai sarang para pemuda aktivis kemerdekaan. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit tiga tahun lebih muda daripada Lukman, yang ketika itu baru 23 tahun. Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota.

Sejak itu, Aidit dan Lukman menjadi akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pada 1944 terpilih masuk Barisan Pelopor Indonesia-kumpulan 100 pejuang paling setia kepada Bung Karno. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakkan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Keduanya juga pernah ditangkap dan ditawan di Pulau Onrust, Jakarta Utara, selama tujuh bulan.

Keduanya bersama memilih jalan komunis dan berguru ke tokoh-tokoh komunis senior. Saat menjadi penghuni Menteng, mereka misalnya menjalin kontak dengan Widarta, penanggung jawab organisasi bawah tanah PKI Jakarta. Widarta adalah kawan akrab Wikana, pemimpin PKI Jawa Barat yang terkenal cerdas. Aidit dan Lukman terkesan pada Wikana.

Sampai-sampai, setelah bebas dari Onrust, mereka mencari Wikana di Yogyakarta. Di Yogya saat itu, pemimpin PKI Sardjono, eks Digulis, baru saja memindahkan kantor pusat PKI di Jalan Boemi 29, Solo, ke Jalan Bintaran, Yogyakarta. Aidit dan Lukman kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan majalah dwibulanan Bintang Merah. Di sinilah keduanya lalu bertemu Njoto. Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkacamata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, dan Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKI di awal 1948, yang tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.

Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini sama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agraria, Lukman di sekretariat agitasi dan propaganda, sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.

Hingga pecahlah geger Madiun....

Aidit sempat tertangkap, tapi dibebaskan karena tak ada yang mengenalnya. Ibarruri Putri Alam, putri sulung Aidit, melukiskan, ayahnya bisa lolos ke Jakarta dengan menyamar menjadi pedagang Cina. "Rambutnya digundul habis, Papa ikut iring-iringan konvoi barang." Njoto dan Lukman, kemudian menyusul Aidit ke Jakarta.

Di Jakarta, trio Aidit-Lukman-Njoto ditempa. "Mereka menggodok orientasi partai," kata Sumaun Utomo, kini 85 tahun, bekas Ketua Lembaga Sejarah CC PKI, mengenang. Terbunuhnya banyak kader dalam Peristiwa Madiun membuat mereka harus mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata Murad Aidit dalam bukunya, Aidit Sang Legenda.

Mereka diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dengan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Adapun organisasi dijalankan lewat sistem komisariat di Comite Central. Situasinya sulit karena setiap kabinet alergi komunisme.

Sampai-sampai itu membuat trio Aidit-Lukman-Njoto harus bersembunyi dengan menyamar. Aidit dan Lukman bahkan pernah disiarkan pergi ke Cina pada 1949. Padahal itu hanya bualan belaka untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bilang sesungguhnya mereka ke Medan. Ada yang bilang ke Jakarta. "Mereka sering menginap di rumah seorang kawan di Kemayoran," tulis sejarawan Prancis, Jacques Leclerc, dalam Aidit dan Partai Pada Tahun 1950.

Dalam situasi serba repot itu, Aidit dan Lukman justru nekat kembali menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Dua pekan sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakjat, embrio Harian Rakjat yang menjadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari. Njoto bergabung di redaksi pada Januari 1951.

Dua tahun kemudian, tiga sahabat kelompok Bintang Merah ini memimpin partai. Aidit menjadi sekretaris jenderal, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto wakil sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).

Sebagai ketua, Aidit memelototi politik secara umum. Lukman, yang jago main sepak bola, memimpin Front Persatuan. Urusan agitasi dan propaganda kini diemban Njoto. Tak cuma berorganisasi, untuk meluaskan jaringan, mereka mendirikan sekolah, dari tingkat dasar sampai universitas.

Usaha itu berbuah. Pada Pemilihan Umum 1955, PKI menclok di urutan keempat. Hasil itu membuat Aidit optimistis partainya bisa meraih posisi nomor satu sebelum 1975. "Asalkan keadaan berjalan normal," kata Murad mengutip ucapan kakaknya.

Kenyataannya, cita-cita itu terempas. Tragedi 1965 menguak cerita bahwa tiga sekawan itu, meski di luar tampak guyub, ternyata tidak melulu solid.

Aidit dan Njoto, misalnya, amat berbeda pendapat soal teori revolusi. Aidit percaya kup yang didukung sedikitnya 30 persen tentara bisa bermutasi menjadi revolusi. Aidit saat itu, menurut Manai Sophiaan (almarhum)-dalam sebuah tulisannya-terinspirasi oleh kudeta di Aljazair pada Juni 1965. Saat itu Kolonel Houri Boumedienne mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella.

Sebaliknya, Njoto justru mempertanyakan kesahihan teori itu. Bahkan, dalam wawancaranya dengan koresponden Asahi Shimbun di Jakarta pada 2 Desember 1965-dua pekan sebelum ia dinyatakan "hilang"-ia tak yakin Gerakan 30 September dapat dikategorikan sebagai kudeta yang bisa menjadi revolusi. "Revolusi siapa melawan siapa?" kata Njoto. Ia bahkan menyangsikan premis Letnan Kolonel Untung soal Dewan Jenderal bisa membenarkan kup.

Soetarni, bekas istri Njoto-kini 79 tahun-ingat, sesungguhnya menjelang petaka 1965 suaminya yang pandai main musik dan dandy sudah disingkirkan Aidit. Masalahnya adalah kedekatan Njoto dengan Soekarno. Njoto kerap menulis naskah pidato si Bung. Soekarno pernah menyebut Njoto sebagai Marhaen sejati. Aidit malah melihat Njoto "dipakai" Soekarno. "Di mata Soekarno, Njoto pertama-tama adalah nasionalis, itu baru komunis," kata Aidit saat itu.

Tapi, menurut Sumaun, Njoto tersingkir karena punya pacar orang Rusia. Namanya Rita. Gara-gara itulah seluruh posisi dipreteli oleh Aidit. Tidak etis, menurut Aidit, seorang pentolan partai yang sudah berkeluarga memiliki pacar.

Saat ditanyai Tempo bagaimanakah sesungguhnya hubungan Njoto dan Rita, Soetarni tak menyembunyikan hal itu. Ia mengaku semula tidak menaruh curiga pada Rita. Mereka bahkan kerap bertukar suvenir. Rita mengiriminya kosmetik, Soetarni membalasnya dengan batik. Hingga datanglah sepucuk surat dari Rusia. Isinya: perempuan 20-an tahun itu jatuh cinta dan ingin menikahi suaminya.

Soetarni jelas marah. Tapi anak ningrat Solo itu cuma bisa menumpahkannya kepada salah satu pamannya. "Njoto tahu kalau saya marah. Ia kemudian minta maaf," kata Soetarni.

Njoto akhirnya disidang CC. Ia dipecat dari Biro Agitasi dan dari kursi Pemimpin Redaksi Harian Rakjat. "Hal itu dilakukan karena bila dibiarkan akan merusak partai di mata orang lain," kata Sumaun.

"Three Musketeers" retak. Lalu terjadilah tragedi 1965....

Karir di PKI: Berakhir Seperti Muso

KEDATANGAN Muso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu terkesan pada gagasan Muso, "Jalan Baru bagi Republik". Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera pada 1926 itu, yang kemudian dilibas Belanda, seluruh kekuatan sosialis komunis harus disatukan. Untuk merebut kekuasaan, PKI tak boleh bergerak sendiri.

Pada pertengahan 1948 itu, Aidit muda ditugasi mengkoordinasi seksi perburuhan partai. Padahal umurnya baru 25 tahun, banyak yang lebih senior dan berpengalaman. Posisi strategis ini merupakan kepercayaan besar bagi lelaki tamatan sekolah dasar itu.

Muso mencela Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut dia, revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Soekarno-Hatta. Bukan ke genggaman kaum proletar, buruh dan tani. Sikap ini diyakini Aidit. Baginya, kehadiran Muso menjanjikan aksi, bukan sekadar angan revolusi.

Hanya sebulan setelah Aidit menerima jabatan koordinator seksi perburuhan partai, tepatnya pada dini hari 18 September 1948, tiga letusan pistol menyalak di kesunyian Kota Madiun, Jawa Timur. Massa yang menyebut dirinya kaum revolusioner bergerak. Puluhan ribu buruh dan tani merangsek mengambil alih kekuasaan pemerintah di daerah-daerah.

Muso mencoba mendirikan apa yang disebutnya "Soviet Republik Indonesia". Madiun, Magetan, Cepu, Blora, dan sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur dikuasai massa PKI. Bendera merah bergambar palu arit ditancapkan di banyak tempat. Soekarno meminta rakyat memilih: dirinya atau Muso, yang dicapnya sebagai pengkhianat Republik. Muso balik menuduh Soekarno-Hatta sebagai kolaborator imperialis.

Ini fase penting sekaligus genting bagi karier politik Aidit. Aksi massa revolusioner di lapangan berujung getir. Mayoritas pimpinan partai tertangkap, lalu dihukum tembak. Menurut Suripno, seorang pentolan partai yang berakhir di ujung bedil, gerakan gagal karena sepi dukungan rakyat. Layu dalam dua pekan.

Pengalaman itu terasa semakin pahit bagi Aidit. Mentor yang digugu, Muso, tewas ditembak tentara. Sempat tertangkap di Yogyakarta, Aidit cukup beruntung lepas karena tak dikenali. Belakangan, setelah jadi Ketua Comite Central PKI, Aidit menyebut peristiwa itu sekadar "permainan anak-anak" (kinderspel). Ia menuduh Mohammad Hatta, perdana menteri saat itu, sebagai pihak yang memprovokasi. Amerika Serikat dicurigai di belakang pemerintah untuk melawan "bahaya merah".

Dari Yogyakarta, Aidit "hijrah" ke Jakarta, dan dikabarkan kabur ke Beijing, Cina. Namun, menurut buku karangan Murad Aidit, sang abang bersembunyi di daerah pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia memakai nama samaran Ganda.

Bergerak dalam senyap, bersama beberapa yang tersisa, Aidit mencoba membangun kembali partai yang terserak. Aidit masih setia pada ide Muso. Lewat penerbitan Bintang Merah, ia menyebarkan lagi paham revolusioner dan anti-imperialis. Ia kerap mencantumkan nama "Alamputra" di bawah tulisannya.

Tiga tahun berlalu, karier politik Aidit makin moncer. Ia "mengkudeta" kelompok PKI tua, Alimin dkk, yang dinilai melakukan banyak kesalahan. Tan Ling Djie, anggota senior politibiro, didepak karena perbedaan pandangan politik. Didukung sejumlah aktivis muda dalam Kongres V PKI, 1951, ia berhasil mencapai posisi Ketua Comite Central PKI.

Aidit terus di puncak kekuasaan itu hingga tak lama setelah Gerakan 30 September 1965. Seperti Muso, Aidit berakhir diterjang peluru.

Kisah Cinta: Meminang Lewat Sepucuk Surat

Suatu siang di awal 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di Jalan Purnosari, Solo, yang biasanya lengang lengau, kedatangan tamu tak diundang. Dua gadis berdiri di depan pintu. Mereka kemudian dijamu dua redaktur, Hasan Raid dan Dipa Nusantara Aidit.

Dua gadis itu mengaku mahasiswi tingkat tiga Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Yang agak gemuk dan berpipi bulat memperkenalkan diri sebagai Soetanti. "Seingat saya, mereka datang untuk silaturahmi saja," kata Hasan, kini 85 tahun, kepada Tempo dua pekan lalu.

Soetanti-yang disapa "Bolletje" (sebuah kata Belanda yang berarti bundar) oleh teman-temannya-datang lagi beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai Ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan "kuliah" soal politik dan keorganisasian.

Karena urusan organisasi itulah Soetanti kerap bolak-balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit-Soetanti kian akrab. Padahal keduanya punya watak bertolak belakang.

Sebagai seorang ningrat Mangkunegaran (kakeknya seorang Bupati Tuban), Tanti punya banyak teman dari pelbagai golongan. Predikat mahasiswi kedokteran membuatnya kian dihormati dalam organisasi dan dalam kehidupan sehari-hari. Itu disokong sifat dasarnya yang periang, gampang akrab, dan suka bicara ceplas-ceplos.

Beda dengan Aidit. Anak seorang mantri kehutanan dari Belitung itu seorang pemuda serius, tak pandai berkelakar, dan suka musik klasik. Yang dipikirkannya hanyalah bagaimana memajukan partai. Mengobrol dengannya, seperti dikenang Hasan, tak akan lepas dari soal-soal politik, revolusi, dan patriotisme.

Tapi justru inilah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si bolle senantiasa menyimak di bangku paling depan.

Meski akrab, Aidit-Tanti tak pernah terlihat berduaan. Hasan Raid, yang kemudian diangkat anak oleh Siti Aminah-ibu Tanti-karena sama-sama dari Minang, tak pernah melihat Aidit ngapel ke asrama atau ke rumah Tanti laiknya orang pacaran. Pertemuan keduanya pun selalu dalam acara organisasi. "Kalau menginap di kantor PKI, Tanti datang beramai-ramai," katanya.

Suatu ketika, seusai pidato, Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata surat lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.

Maka, awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti, 24 tahun, menikah secara Islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuh PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron-dua adik Aidit-yang mewakili keluarga Belitung.

Setelah menikah, aktivitas Aidit di partai dan pergerakan tak surut. Ia bahkan sering meninggalkan Soetanti, yang buka praktek dokter, untuk turne ke kampung-kampung memperkenalkan dan menggalakkan program-program PKI. Ketika pada September 1948 "Peristiwa Madiun" meletus, Aidit ditangkap, lalu "buron" ke Jakarta. Tanti kian sedih karena ayahnya, yang mendukung Amir Syarifuddin, tewas ditembak.

Di Jakarta pun, Aidit jarang ada di rumah. Soetanti hanya ditemani adik-adik Aidit ketika melahirkan Ibarruri Putri Alam, putri sulung mereka, pada 23 November 1949. Suami-istri ini jarang terlihat jalan bareng, kecuali dalam acara-acara resmi partai atau kenegaraan.

Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro-eksekutif dalam partai-PKI pada 1951. Ia kian sibuk dengan bepergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasional komunis di Vietnam, Tiongkok, dan Rusia. "Tak ada mesra-mesraan seperti pasangan muda lain." Itu kesaksian Fransisca Fanggidaej, wartawan Harian Rakjat dan radio Gelora Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi anggota parlemen dari PKI pada 1957-1959.

Fransisca, kini 82 tahun dan tinggal di Utrecht, Belanda, adalah satu-satunya perempuan yang akrab dengan Aidit. Selain di kantor partai, keduanya sering bertemu di parlemen.

Ciri paling menonjol dari keluarga Aidit, kata Fransisca, selain sederhana, juga egaliter. Sementara anak-anak memanggil dengan sebutan borjuis "Papa", Tanti memanggil suaminya cukup dengan "Dit". "Padahal semua orang menyapa Aidit dengan panggilan hormat 'Bung'," katanya. Ketika Fransisca menanyakan ihwal panggilan itu, Tanti menjawab, "Suka-suka saya, dong. Wong dia suami saya. Kalau tidak mau, dia pasti menyampaikan keberatan."

Selama perkawanan itu, tak sekali pun Aidit curhat soal pribadi kepadanya. Apalagi tentang hasrat kepada perempuan lain. Padahal Aidit dikagumi banyak perempuan di partai dan di gedung DPR. "Selain ganteng, berwawasan luas, ia pandai menyenangkan dan menghargai orang," kata Fransisca.

Hanya sekali, pada 1950-an, Aidit dengan guyon menyatakan kagum pada kecantikan seorang perempuan anggota konstituante. Ismiyati, gadis itu, kata Fransisca, menjadi kembang parlemen dan disukai banyak laki-laki. Mendengar guyonan Aidit itu, Utuy Tatang Sontani-sastrawan kiri kondang di zaman itu-menyatakan kekaguman yang sama. Bisik-bisik, keduanya bersaing menggapai hati Ismiyati.

Tapi agaknya "persaingan" itu tak serius. Ketika Ismiyati menikah dengan pemuda lain, Utuy dan Aidit cuma ketawa-ketawa. "Keduanya sebatas mengagumi kecantikan. Tapi tidak tahu kalau Utuy, karena dia suka mengejar perempuan," kata Fransisca, tergelak.

Selain cerita ini, tak pernah terdengar Aidit berhubungan dengan perempuan lain, baik sebelum maupun setelah bertemu dengan Soetanti. Apalagi Aidit orang yang sangat antipoligami. Ia pernah memarahi Njoto, Wakil Ketua II Comite Central PKI, yang akan menikah lagi dengan seorang penerjemah asal Rusia.

Semasa kepemimpinan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir menjadi "garis partai". Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, bercerita, pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan memacari istri orang.

Merantau ke Jakarta: Sejak Awal Membaca Risiko

"AKU mau ke Batavia," kata Achmad Aidit kepada ayahnya, Abdullah. Waktu itu awal 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School, setingkat sekolah dasar masa itu. Di Belitung, tempat tinggal keluarga Aidit, sekolah "paling tinggi" memang hanya itu. Untuk masuk sekolah menengah-dikenal dengan nama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)-pemuda-pemuda pulau itu harus merantau ke Medan atau Jakarta.

Meninggalkan Belitung bukan pilihan yang lazim pada masa itu. Pemuda yang merantau sampai tanah Jawa bisa dihitung dengan jari. Tapi Aidit bisa meyakinkan ayahnya. "Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak," kata Murad Aidit, adik kandung Achmad, kepada Tempo, dua pekan lalu. Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad Aidit sudah benar-benar bulat.

Adik Aidit yang lain, Sobron, dalam bukunya Aidit: Abang, Sahabat, dan Guru di Masa Pergolakan, menjelaskan bahwa untuk diizinkan merantau, seorang remaja harus memenuhi empat syarat: bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, dan sudah khatam mengaji. Keempat syarat itu sudah dipenuhi Aidit.

Setibanya di Batavia, Achmad Aidit ditampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantri polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya, pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Jakarta. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

Bakat kepemimpinan Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya. Di sekolahnya yang baru, Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah pejuang kemerdekaan Muhammad Husni Thamrin, yang ketika itu akan dimakamkan. Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS.

Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ketika indekos di sini, Murad datang menyusul dari Belitung, juga untuk bersekolah di Jakarta.

Menyekolahkan dua anak jauh dari rumah tentu tak mudah untuk keuangan Abdullah Aidit. Gajinya sebagai mantri kehutanan hanya sekitar 60 gulden sebulan. Dari jumlah itu, 15-25 gulden dikirimnya ke Batavia. Tentu saja jumlah itu juga pas-pasan untuk dua bersaudara Aidit.

Apalagi ketika masa pendudukan Jepang tiba, pada 1942. Hubungan komunikasi antara Jakarta dan kota sekitarnya terputus total. Saat itu, dari rumah tumpangannya di Tanah Tinggi, Aidit menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun menjarah gudang-gudang perkapalan di Pelabuhan Tanjung Priok. Dari pagi sampai sore, aneka jenis barang diangkut massa ke Pasar Senen, mulai dari ban mobil, mesin ketik, sampai gulungan kain bahan baju.

Kiriman uang dari Belitung macet. Untuk bertahan hidup, Achmad dan Murad mau tak mau harus mulai bekerja. Aidit lalu membuat biro pemasaran iklan dan langganan surat kabar bernama Antara. Lama-kelamaan, selain biro iklan, Antara juga berjualan buku dan majalah. Tatkala abangnya sibuk melayani pelanggan, Murad biasanya berjualan pin dan lencana bergambar wajah pahlawan seperti Kartini, Dr Soetomo, dan Diponegoro, di dekatnya.

Berdagang memang bukan pekerjaan baru untuk Aidit. Ketika masih tinggal di Belitung, setiap kali ada pertandingan sepak bola di Kampung Parit, Aidit selalu berjualan kerupuk dan nanas. "Untuk ditabung," Sobron berkisah dalam bukunya.

Tak puas dengan perkembangan usahanya, Aidit kemudian mengajak seorang kawan yang tinggal satu indekos dengannya, Mochtar, untuk berkongsi. Mochtar ini seorang penjahit yang punya toko lumayan besar di Pasar Baru. Karena lokasi usahanya yang strategis, toko Mochtar segera menjadi tempat mangkal para aktivis masa itu, seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh. Otomatis, jaringan relasi Aidit meluas.

Ketika Mochtar menikah dan menyewa rumah sendiri di kawasan Kramat Pulo, Aidit dan Murad ikut pindah ke sana. Kondisi ini menguntungkan Aidit, karena Mochtar sering membiarkan kakak-beradik itu tidak membayar sewa. "Pakai saja untuk keperluan lain," katanya seperti ditirukan Murad. Tapi, kalau Mochtar sedang butuh duit, setoran uang sewa Murad akan dimasukkan ke kantong. Biasanya, kalau begitu, Aidit akan menggerutu. "Kamu sih, terlalu menyodor-nyodorkan uangnya, makanya dia terima," katanya memarahi Murad.

Namun situasi ekonomi yang terus memburuk membuat Aidit akhirnya angkat tangan. Murad diminta tinggal di sebuah asrama korban perang, sebelum dikirim pulang ke Belitung.

***

SITUASI politik Ibu Kota yang gegap-gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Dia pertama-tama bergabung dengan Persatuan Timur Muda atau Pertimu. Pekumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Syariffudin dan Dr Ahmad Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.

Di balik karier politiknya yang mulai menjulang, Aidit seperti mencoba mengibaskan bayang-bayang keluarga dan masa lalunya di Belitung. Ketika Murad berkali-kali meminta bantuan finansial, misalnya, Aidit selalu menolak. Suatu kali Aidit bahkan berujar bahwa persamaan di antara mereka hanyalah faktor kebetulan, karena dilahirkan dari ibu dan bapak yang sama. "Selebihnya, tak ada hubungan apa pun di antara kita," katanya.

Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara-biasa disingkat D.N. Menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. "Dia mulai membaca risiko," kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang tak banyak orang yang tahu asal-usul Aidit. Dia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N. di depan namanya adalah singkatan "Djafar Nawawi".

Proses perubahan nama itu juga tak mudah. Abdullah, ayah Aidit, tak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Di depan anak-anaknya, Abdullah mengaku tidak bisa menerima rencana pergantian nama itu karena nama Achmad Aidit sudah kadung tercetak di slip gajinya sebagai putra sulung keluarga itu. Akan muncul banyak persoalan jika nama itu mendadak lenyap dari daftar keluarga.

Abdullah dan Aidit bersurat-suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N. Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesahan dari notaris dan kantor Burgelijske Stand-atau catatan sipil.

Silsilah keluarga Aidit: Ranting yang Terberai

ACHMAD "Dipo Nusantara" Aidit tak lahir dari keluarga komunis. Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah muslim taat dan pemuka masyarakat yang dihormati. Kakek dari garis ibu, Ki Agus Haji Abdul Rachman, adalah pendiri Batu Itam, kampung di pesisir di barat Belitung, sekitar 15 kilometer utara Tanjungpandan. Tapi garis hidup dan politik ideologi mencerai-beraikan anak dan cucu Abdullah. Kini mereka hidup terpisah, sebagian menjadi eksil di Eropa.

Rumah Tua Mantri Idit

RUMAH panggung itu tua dan setia. Di sana-sini, kayunya lapuk dan berjamur. Sebagian atap berbahan sirap telah koyak dan diganti seng. Hanya kerangka utama yang menggunakan kayu ulin yang masih kukuh. Selebihnya ringkih dimakan zaman. Itulah rumah Abdullah Aidit, ayah Dipa Nusantara Aidit-Ketua Umum Partai Komunis Indonesia.

Dibangun pada 1921 oleh Haji Ismail, kakek D.N. Aidit dari garis bapak, rumah itu terletak di Jalan Dahlan 12 (dulu Jalan Belantu 3) Dusun Air Berutak, Desa Pangkalalang, Belitung Barat.

Seperti rumah-rumah lain di Belitung, rumah ini punya dua bangunan utama: rumah depan dan rumah belakang. Kini yang tersisa hanya rumah belakang berukuran 8x7 meter. Bagian depan dibongkar tak lama setelah Abdullah Aidit meninggal pada 23 November 1965.

Di sana sekarang tinggal Gakdung, 48 tahun, seorang buruh lepas Pelabuhan Tanjung Pandan asal Bugis. Gakdung tinggal seorang diri. "Semula dia sewa. Tapi, karena hidupnya pun susah, biarlah ia cuma-cuma menempatinya," kata Murad aidit, adik D.N. Aidit.

Ditempati oleh nelayan miskin, rumah itu lusuh tak terawat. Yang tersisa hanya sebuah bilik, ruang tamu, dan dapur. Di dinding kayu menuju dapur terdapat kalender Partai Bulan Bintang bergambar Yusril Ihza Mahendra, bekas ketua umum partai itu.

Rumah Abdullah sempat menjadi asrama pelajar asal Kelapa Kampit, Belitung Timur, sebuah kawasan sekitar 54 kilometer dari Tanjung Pandan. Sekretaris Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Abdul Hadi Adjin, pernah tinggal di sana.

Antara rumah dan Jalan Dahlan yang memanjang di depannya, terdapat kebun dengan beberapa pokok pohon pisang dan pohon jengkol. Sebagian kebun ini adalah bekas rumah depan. Sebagian lagi yang lebih dekat jalan adalah bekas halaman yang kini dipakai untuk lapangan badminton. Di sanalah dulu Achmad Aidit-nama kecil Dipa Nusantara-berlatih tinju, angkat besi, dan senam. Hingga D.N. Aidit hijrah ke Jakarta, halaman rumah ini masih menjadi lapangan olahraga pemuda kampung Pangkalalang.

Sekitar 20 meter dari rumah tua itu terdapat rumah tua lainnya yang lebih terawat dan kukuh. Inilah rumah peninggalan Siti Azahra, istri Abdurrachman, qari di kampung itu. Kepada Abdurrachmanlah dulu Ahmad belajar mengaji Quran. Kini rumah ini dimiliki Efendi, kerabat Siti Azahra.

Anak-anak Abdullah Aidit juga belajar mengaji kepada Liman, saudara sepupu Azahra. Rumah Liman tak jauh dari kediaman Siti. Di rumah Liman, Achmad bersama teman seumurannya juga berlatih kesenian hadrah.

Seratus meter dari rumah Abdullah dulu berdiri surau panggung. Di sinilah Achmad kecil kerap didapuk mendendangkan azan saat magrib dan isya. Sekarang surau itu sudah rata tanah dan digantikan Kantor Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan Cabang Belitung.

Rosihan, 54 tahun, cucu Siti Azahra, mengungkapkan bahwa sebagian orang yang lahir sebelum tahun 1970 mengenal rumah ini milik Mantri Aidit. Ini sebutan untuk Abdullah yang pernah menjadi pegawai Boswezen, dinas kehutanan zaman Belanda. Abdullah meninggal pada 1968 dalam keadaan yang mengenaskan. Jasadnya baru ditemukan Marisah, istri kedua Abdullah, tiga hari setelah ia wafat. Pada hari kematian itu, Marisah tengah pergi ke rumah kerabatnya dan baru pulang tiga hari kemudian. Sepeninggal Abdullah, Marisah menempati rumah itu hingga akhirnya Sang Khalik memanggilnya pada 1974.

Adakah orang-orang di kampung Air Berutak menghubungkan rumah tua itu dengan Aidit, tokoh penting Partai Komunis Indonesia? Tidak. "Buat kami, semua biasa-biasa saja," kata Taufan, 52 tahun, cucu Siti Azahra. Semua memang sudah lewat. Yang tersisa hanya gubuk ringkih beratap sirap-rumah panggung yang tua dan setia.

Masa Kecil di Belitung; Anak Belantu Jadi Komunis

ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup bergengsi di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung.

Ayah Mailan bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur. Mereka memiliki puluhan sero, semacam tempat penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar.

Ya, Achmad yang belakangan berganti nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit memang datang dari keluarga terhormat.

Karena datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda.

Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi pada era Soekarno, firma ini berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu ditutup pada April 1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot.

Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.

Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit--nama keluarga, "Namun bukan marga," kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.

Walau dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Nurul Islam, organisasi pendidikan Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. Hingga kini sekolah itu masih tegak berdiri.

Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, adik ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke sungai mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar.

Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan. �Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan," kata kata Murad Aidit.

Dari delapan anak Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng remaja di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng kampung, anak benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak.

Geng kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak benteng atau kerap juga disebut anak tangsi--menyebut asrama tempat tinggal polisi.

Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua mereka berdagang di pasar dan pelabuhan Belitung. Karena tinggal di pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. Kawasan ini cuma 500 meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-anak geng pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan berbiak. Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina. Kelompok anak muda yang terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari keluarga yang kerap berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa.

Antargeng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba keras itu membuat Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Mungkin karena sering angkat besi, tubuh Aidit lebih gempal daripada adik-adiknya.

Aidit menjadi pelindung saudara-saudaranya dari perseteruan antargeng. Tapi dia tidak main hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si bungsu ini mengadu ke kakak sulungnya itu.

Diam-diam Aidit melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah, Aidit bilang kepada Murad, "Kau lawan saja sendiri." Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa musuh itu masih sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu kalau lawannya lebih besar.

Walau pertikaian cukup sengit, Achmad mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, misalnya, kerap pulang malam karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di tangsi. Dia juga kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan dengan geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS.

Aidit juga rajin menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari Belitung. Suatu hari perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu besar. Anak-anak gunung melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad menang, Karena dia bisa melakukan kontra-salto," kata Murad.

Aidit juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu petang Basri pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari kandang milik keluarga itu. Abdullah yang mendengar kisruh ini murka besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak petang hingga magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu.

Pergaulan Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar berkumpul dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton.

Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari bermula dari tambang itu. Saban hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura.

Perusahaan ini menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan none-none Belanda menonton film terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh tambang itu cuma bisa menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop.

Tertarik mendalami hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena para buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan. Tertegun sebentar, si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul.

Sejak saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka kian dekat. Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus. Dari ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu kesulitan para buruh, juga soal pesta-pora petinggi tambang.

Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin partai komunis dan tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India